Bab 1
Seorang gadis cantik, berambut panjang sepunggung. Bersenandung kecil di depan cermin untuk merias dirinya, agar terlihat lebih cantik daripada biasanya. Ia juga mengoleskan beberapa macam jenis makeup di wajahnya. Semakin mempercantik wajah yang memang sudah cantik dari lahir.
Gadis bernama Arina, mengulas senyum. Melihat hasil riasan tipis ala Korea di wajahnya. Semakin menyempurnakan kecantikan yang ia miliki.
"Sempurna!" pujinya di dalam hati. Sebelum meraih sling bag yang terletak di atas nakas. Menyampirkan ke pundak dan melangkah pergi. Menemui seorang pria, yang selama ini dikenal lewat sebuah sosial media.
Arina, atau yang biasa disapa Arin, melangkah dengan semangat yang begitu tinggi. Menemui pria yang bernama Zidan, di sebuah restoran cepat saji. Hampir enam bulan mereka berkenalan di media sosial, akhirnya sore ini Zidan mengajaknya untuk bertemu. Agar bisa mengenal satu sama lain dan mungkin saja bisa menjalin hubungan lebih dari sekedar teman di sosial media.
Di sore hari yang tampak cerah, Arin memasuki sebuah restoran cepat saji yang telah mereka sepakati dari tadi malam. Sambil mengedarkan pandangannya hingga ke sudut restoran, Arin menempelkan ponsel di telinganya. Mendengarkan arahan dari Zidan, agar mereka bisa bertemu.
"Aku duduk sendiri di sebuah meja, yang ada di salah satu sudut ruangan. Mengenakan kemeja lengan pendek berwarna hitam, dan kini tengah melambaikan tangan kepada seorang gadis cantik di dekat kasir," tutur Zidan di ujung panggilan. Saat tatapannya bertemu dengan Arin, yang kini berada di dekat kasir.
Gadis berusia dua puluh tahun, dan kini masih berstatus sebagai mahasiswa semester tiga itu ikut melambaikan tangan. Membalas sapaan Zidan di seberang sana.
"Aku tidak menyangka kamu jauh lebih cantik di dunia nyata, dibandingkan dengan fotomu yang dipoles filter di media sosial," gurau Zidan. Begitu Arin sampai di dekat mejanya.
Sangat sopan, Zidan menarik satu kursi untuk ditempati oleh Arin. Hal sederhana serta pujian yang begitu tulus darinya, membuat kedua pipi Arin bersemu merah. Salah tingkah karena ini baru pertama kali ia bertemu dengan pria dan langsung dipuji sedemikian rupa. Tentu saja membuatnya melayang ke awan karena perkataan Zidan.
"Aku juga tidak menyangka jika gombalanmu lebih dahsyat daripada di sosial media," balas Arin. Menyipitkan matanya saat melirik Zidan yang tertawa kecil atas ucapannya.
"Haha, ternyata untuk bagian judesnya kamu seimbang dengan di sosial media." Zidan mengusap sudut matanya yang sedikit berair karena tertawa.
"Ck, untuk bagian itu jangan bahas di sini," gerutu Arin. Mengerucutkan bibirnya, berpura-pura tidak suka dengan apa yang diucapkan Zidan.
Zidan yang masih saja tertawa kecil, berusaha untuk menahan diri agar tidak tertawa lagi. Takut Arina terbawa perasaan dan malah kabur darinya.
"Oke, oke, aku tidak akan membahas itu lagi. Apalagi menertawakan kamu. Ah, meskipun ini sangat berat tapi, aku harus melakukannya demi kamu."
Astaga. Lagi-lagi ucapan yang begitu manis meluncur dari mulut Zidan. Semakin membuat Arin terbang ke awan. Berharap itu tidak hanya sebatas gurauan atau gombalan saja. Karena tampaknya Arin menyukai sosok Zidan, yah karismatik dan baik.
Pria itu pandai mencairkan suasana sehingga tidak ada rasa canggung sedikitpun saat berada di dekatnya. Ada saja bahan pembicaraan yang akan dibahas sehingga Arin tidak mati gaya di depan Zidan.
"Aku berharap suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi. Mengingat kamu sibuk bekerja dan tinggal jauh di luar kota."
Arin berucap, setelah menandaskan ayam tepung yang ada di hadapannya. Memancing Zidan, agar bercerita lebih banyak tentang dirinya. Agar ia sedikit tahu dan tidak salah dalam melangkah. Takut ternyata Zidan adalah kekasih orang lain, atau lebih parahnya lagi suami orang lain.
Tentu saja Arin tidak ingin dicap sebagai perebut suami orang, yang akan mencoreng nama baiknya. Ia juga takut masalah tersebut diseret ke media sosial dan menjadi santapan netizen di seluruh Indonesia. Sangat-sangat menyeramkan jika benar itu terjadi.
"Aku akan berusaha datang untuk menemuimu. Meskipun hanya sekedar bertemu dan melepaskan rindu saja. Tapi, itu sudah lebih dari cukup asalkan bisa melihatmu secara langsung seperti sekarang."
Demi apa? Arin begitu bahagia karena mendengar apa yang diucapkan Zidan padanya. Semakin membuatnya terbang tinggi ke awan, dan tidak tahu lagi bagaimana caranya turun. Karena gombalan Zidan yang terlalu manis, mengalahkan manisnya gula dan madu.
Namun, tetap saja Arin harus bisa menahan diri. Agar tetap bisa menjaga wibawanya dan tidak dicap sebagai wanita yang mudah terbawa perasaan, hanya karena sebuah kalimat manis dari Zidan.
"Ehem." Arin menegakkan punggungnya. Menatap lekat kepada Zidan yang tidak pernah berhenti mengulas senyum padanya. "Aku tidak ingin kamu bolak balik dari kotamu ke sini. Semata-mata hanya untuk menemuiku."
"Kenapa memangnya? Kamu tidak suka? Atau karena kamu sudah memiliki kekasih atau suami, sehingga takut aku datang kesini untuk berkunjung?" Kedua alis Zidan terangkat. Mengunci pergerakan Arin dengan tatapannya.
*Astaga … bukan begitu!" gerutu Arin. "Aku justru yang takut kamu sudah memiliki kekasih atau istri. Yang akan menimbulkan masalah besar jika kita sering bertemu. Lagipula aku sudah memberitahu statusku padamu. Sedangkan kamu belum memberitahu apapun tentangmu padaku,* tuturnya. Seraya mengaduk jus jeruknya yang tinggal setengah.
"Ah, status, ya?" Zidan memperbaiki duduknya. Agar sedikit tegak dan bisa tegas dalam berucap. "Aku belum memiliki siapapun di dalam hidup dan hatiku. Jadi, kamu tidak perlu khawatir ada yang cemburu apalagi marah jika kita bersama."
Entah benar atau tidak yang diucapkan Zidan. Yang jelas, saat ini Arin sudah benar-benar meleleh dengan sikap dan kata-katanya. Apalagi ditambah dengan pengakuan Zidan yang mengatakan, dirinya belum memiliki pasangan. Alias jomblo.
"Kecuali, setelah ini kamu mau menjadi kekasihku, agar aku memiliki wanita yang akan marah dan cemburu jika berdekatan dengan wanita lain. Bagaimana?" sambung Zidan. Seraya meraih tangan Arin dan menggenggamnya. Mengungkapkan perasaan yang belum tentu benar adanya mencintai Arin.
Pasalnya, mereka berdua baru pertama kali bertemu dan saling mengenal hanya lewat sosial media saja. Postingan Arin yang tidak sengaja lewat di beranda Zidan, membuatnya mati penasaran dengannya. Karena sering mengupdate video lucu, sehingga ia penasaran dengan sosok gadis cantik yang ceria seperti Arin.
Beberapa bulan berkenalan. Saling memberi perhatian ala-ala anak muda yang sedang pacaran. Berbalas pesan singkat, bahkan sesekali melakukan panggilan video. Sekedar bertanya sudah makan atau belum.
"Ba-bagaimana apanya?" tanya Arin. Gugup dengan pertanyaan yang diberikan Zidan padanya.
Meskipun ia sudah tahu kemana arah dan maksud tujuan pertanyaan pria itu, tetap saja Arin balik bertanya untuk memastikan apa inti dari pertanyaan Zidan. Takut salah sangka dan percaya diri dengan analisanya sendiri.
"Aku ingin kamu cemburu dan marah jika aku dekat dengan wanita lain. Atau … lebih singkatnya, maukah menjadi kekasihku?" tanya Zidan lantang. Menatap dalam-dalam pada manik hitam Arin. Menuntut jawaban sekarang juga dan sepertinya dari tatapan Zidan yang begitu tajam serta menghunus hingga jantung Arin, tidak ingin ada penolakan sama sekali.
Pertanyaan yang diajukan Zidan langsung membuat nafas Arin seakan berhenti seketika. Jantungnya bergemuruh, serta keringat dingin pun mulai turun membasahi pelipisnya.
Ingin rasanya saat ini Arin berteriak untuk meluapkan kebahagiaan karena Zidan ingin menjadikannya sebagai kekasih. Dan ingin pula rasanya ia langsung menerima ungkapan cinta dari Zidan saat ini juga, karena iseng pun memiliki keinginan yang sama.
Namun, akal sehat Arin masih bekerja dengan baik. Ia tidak ingin terburu-buru menjawab 'ya', sebelum menguji kesabaran dan kesungguhan Zidan yang memintanya untuk menjadi kekasih.
Bukannya apa, sebagai wanita tentu saja Arin harus sedikit jual mahal disaat ada seorang pria yang mengajaknya untuk menjalin kasih. Arin juga layak menguji kesungguhan pria itu agar tahu apakah ia serius atau hanya main-main saja.
Arin takut terlalu cepat menerima, ternyata banyak sikap buruk dan rahasia yang disembunyikan Zidan. Tidak menutup kemungkinan pula ia sudah memiliki istri dan berniat untuk memanfaatkannya saja. Tidak ada salahnya, bukan? Berprasangka buruk demi keselamatan diri sendiri?
Oleh karena itu, Arin langsung menarik tangannya yang ada di genggaman Zidan. Dengan suara yang begitu perlahan ia berkata,
"Maaf sebelumnya. Bukannya aku tidak ingin menerima permintaanmu. Akan tetapi, izinkan aku berpikir sejenak dan melihat bukti kesungguhanmu saat memintaku untuk menjadi seorang kekasih. Agar aku bisa memantapkan diri, apakah harus menerima atau menolak. Sekaligus membuat kita saling mengenal lebih jauh satu sama lain, bagaimana?"
Zidan terdiam. Mengatupkan mulutnya rapat-rapat dan berpikir cepat. Kalimat apa yang harus diucapkan agar tidak menyinggung perasaan Arin.
Saat Zidan menemukan jawaban yang tepat, anggukan pun menjadi pembuka. "Aku akan buktikan kalau aku benar-benar serius dengan apa yang kuucapkan padamu. Dan aku juga akan membuktikan keseriusan itu. Semoga saja kamu segera yakin, agar aku tidak digantung terlalu lama."
Arin pun mengangguk. "Pasti itu. Aku tidak akan berlama-lama menggantungmu.. Jika hatiku sudah yakin dan kurasa cukup dengan segala pembuktianmu, aku pasti akan segera memberikan jawaban."
Melegakan. Satu kata yang sama-sama dirasakan Arin dan Zidan saat ini. Setelah mengungkapkan apa yang mereka rasakan, sehingga tidak ada lagi beban yang membayangi pikiran mereka berdua.
Sehingga mereka berdua bisa melanjutkan acara makan yang sempat tertunda. Seraya bersenda gurau dan banyak bertanya tentang kepribadian masing-masing. Agar semakin mengenal satu sama lain dan bisa segera meresmikan hubungan mereka berdua ke jenjang yang lebih serius lagi.