Bab 24

1998 Words
"Sialan tuh anak! Sok pintar banget. Mentang-mentang peringkat pertama," ucap Andra kesal. "Kalau gue jadi Lo, gue sudah pasti balas tuh anak," kata Ryan. Posisiku masih mengepalkan kedua tangan dengan sangat kuat. Lalu, aku segera pergi dari sana. Ya, aku tahu setelahnya pasti akan ada permasalahan antara aku dengan Andra karena fitnah yang keji itu. Namun, sifat tidak peduliku selalu menyertai. Meski tahu jika hal itu akan terjadi, aku malah dengan santainya duduk di perpustakaan sambil membaca buku. Tidak peduli dengan apa yang akan terjadi setelahnya. Entah akan ada perkelahian lagi atau apa, aku sudah siap. Dan benar saja, waktu istirahat kedua, tepatnya selang beberapa saat setelah bel tanda istirahat berbunyi, Andra datang menghampiri aku yang akan keluar kelas. Waktu itu di kelas hanya ada aku, dia dan beberapa orang perempuan saja. Dia menghampiri aku dengan gayanya yang seakan mau mengajakku berkelahi. "Woi, ngaku Lo! Lo kan yang udah lapor ke Bu Maya kalau ulangan tadi gue nyontek?" tanyanya. "Atas dasar apa Lo nuduh gue?" tanyaku dengan beraninya. "Gak usah banyak nanya Lo. Tinggal jawab iya atau tidak?" tanyanya balik dengan nada tak santai. "Nggak," jawabku sambil ingin berlalu dari hadapannya. "Woi, mau ke mana Lo?" tanyanya. Tangannya itu ia gunakan untuk mencegah aku melangkah dengan cara menahankannya ke pundakku. Alhasil mau tidak mau aku pun harus berhenti berjalan, dan akhirnya berbalik badan hingga melihat ke arahnya. "Berani-beraninya Lo mau mengabaikan gue. Miskin aja belagu Lo," ejeknya. Perasaan kesal dan marah itu tentunya ada ketika aku dihina seperti itu. Hanya saja selalu aku tahan dan tidak aku munculkan. Kalau mau, saat itu juga aku sudah menghajarnya habis-habisan, tapi emosiku aku tahan agar tidak keluar. "Cepat jawab! Lo yang sudah laporin itu?" tanyanya sekali lagi. "Nggak," jawabku. "Apa harus gue paksa supaya Lo ngaku?" tanyanya. Aku bingung. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri. Harus menjawab apa aku ini atas pertanyaannya? Jawabannya memang itu. Jika kuganti berarti aku bohong. Aku jelas tidak mau berbohong. Tapi ketika aku memberikan jawaban jujur itu, dia malah emosi. "Kalau memang itu jawabannya, gue harus jawab apa lagi?" tanyaku sambil berusaha melepaskan tangannya dari mencengkeram pundakku. "Heh, orang hebat kayak Lo ternyata mudah banget diadu domba," ucapku kemudian dengan beraninya. Setelah itu aku berjalan pergi. Aku memang pemberani. Dibully tidak pernah membuat nyaliku menciut. Dihina tidak membuat mentalku menjadi lemah. Dicaci maki justru membuatku semakin kuat. Hanya saja anehnya, mereka masih senantiasa terus melakukan hal yang sama. Padahal, tanggapanku atas pembullyan itu sangat berbeda dari kebanyakan orang-orang yang terbully. Ah, mungkin saja dengan tanggapan yang kuberikan itu malah membuat mereka semakin penasaran. Kala itu aku mulai mengerti, bahwa Ryan lah orang yang paling membenciku. Dia mungkin jarang membullyku langsung, tapi dia mengerahkan seluruh pasukannya untuk melakukannya hanya dengan bermodalkan cerita palsu yang ia sampaikan. Sialnya, para pasukannya itu dengan begitu mudahnya percaya. Sayang sekali menurutku, orang sepintar Ryan mempunyai akhlak yang buruk. Ya, di kelas, ia memang sangat pintar. Di semester satu kala itu dia menduduki peringkat kedua, yang dapat diartikan pula peringkatnya berada tepat satu tingkat di bawahku. Dia juga sosok manusia yang paling dibutuhkan di kelas. Apa-apa harus ada dia. Seolah-olah, sebuah rencana tidak akan berjalan mulus kalau tidak ada dia. Ryan adalah kunci dari sebuah keberhasilan. Jujur waktu itu aku iri dengan posisinya. Bagaimana bisa ada orang yang sangat dibutuhkan oleh orang lain seperti dia. Tentu posisinya pun sangat berbanding terbalik dengan aku. Ada atau tiadanya aku dalam sebuah rencana mungkin tidak berpengaruh apa-apa. Dan mungkin pula malah akan lebih baik jika tidak ada aku. *** "Hahaha.... Berarti Lo gagal dong nonton bioskop sama dia?" Ya meski di sekolahan aku tidak punya teman, setidaknya aku masih punya teman di tempat kerja. Ah, bukan teman sih, tapi sahabat. Kala itu ia bercerita tentang dia yang gagal nonton dengan sang pujaan hatinya. Mendengar itu bukannya aku simpati, aku malah menertawakannya. Lucu saja menurutku. Entah sudah berapa kali ia bilang ke aku kalau dia mau nonton bersama gadis yang tak kuketahui namanya itu, tapi lucunya rencana itu malah berakhir dengan kegagalan. "Ya gagal. Emang sialan tuh gedung bioskopnya. Pakai acara tutup segala," jawabnya. "Hahaha.... Kenapa gak Lo gempurin aja sekalian tuh gedung?" usulku. "Tadinya sih udah niat gitu, tapi gue gak bawa alat apa-apa. Masa gempurinnya pakai tangan kosong," ucapnya. "Ya nggak apa-apa, sih. Katanya Lo kuat," ucapku. "Heh, ya nggak sampai segitunya juga kali, Niel," kata Firman. Aku tertawa. "Jadi Lo langsung anterin dia pulang, gitu? Kasihan cuma ngehabisin bensin aja. Hahaha," tanya sekaligus ejekku. "Ya nggak, lah. Ya kali gue nyia-nyiain kesempatan berduaan sama dia," katanya. "Waduh, bahaya. Jangan bilang kalau Lo...." Aku menggantung ucapanku. "Apa?" tanyanya penasaran. "Nggak, nggak jadi," jawabku. "Halah, ngeres Lo pasti," katanya. "Ngeres apanya? Nuduh aja Lo," ucapku tidak terima. "Emangnya setelah gagal nonton bioskop Lo sama dia ke mana?" tanyaku kemudian. "Ya gue ajak makan," jawabnya. "Makan angin?" tanyaku. "Si k*****t. Asal nebak aja Lo," ucapnya. Kutatap ia tajam penuh keseriusan. Saat itu aku bergaya seolah-olah aku sedang sangat serius. Kubuang jauh muka bercandaku. Tidak tahu juga, sih. Aku cuma ingin memasang wajah seperti itu tanpa ada alasan lain yang lebih bisa diterima akal sehat. "Apa Lo bilang? Lo ngatain gue k*****t?" tanyaku. "Wih, santai Bro. Gue cuma bercanda," ucapnya. "Tapi bener juga sih Lo. Gue emang jarang tidur malam. Sama kayak si k*****t," ucapku sambil menghembuskan napas pelan. "Sialan Lo! Ngagetin gue aja. Gue pikir Lo marah," katanya. "Hahaha. Lo takut sama gue?" tanyaku. "Bukan gitu. Masalahnya Lo itu temen gue. Kalau Lo marah terus mukulin gue, mungkin gue cuma diam saja dan gak akan ngelawan, atau cuma nangkis doang. Bisa babak belur gue, entar," katanya. Dan itu membuatku langsung terdiam. Teman, ya? Dia menganggapku seperti itu. Dia juga telah mengaku bahwa dia tidak akan sanggup melawanku kalau aku sampai memukulinya. Bukan dia tidak berani atau lebih lemah dariku, melainkan karena dia yang tidak bisa memukuli temannya sendiri. Aku pernah dengar sebuah kata-kata, tapi aku lupa siapa yang mengucapkannya. Kira-kira begini: "Bukan aku takut berkelahi denganmu. Tapi aku takut berkelahi dengan temanku. Dan kamu adalah temanku." Firman memang teman yang baik. Dia juga orang pertama yang mengajari aku tentang arti pertemanan yang sesungguhnya. Seorang teman tidak akan pernah memukul. Seorang teman juga tidak akan pernah menyakiti, entah dalam bentuk yang merusak fisik ataupun perasaan. Itulah ilmu yang aku dapatkan dari seorang Firman. Aku tak punya banyak orang penting di dekatku. Hanya sedikit, dan orang-orang itu terasa sangat penting, bukan penting lagi. Seolah-olah, jika salah satu dari mereka hilang dari duniaku, maka sebagian besar dari jiwaku pun ikut hilang bersama dia. Ya, memang tidak banyak, akan tetapi kehadiran mereka begitu berharga di dalam hidupku. Tanpa mereka, duniaku akan sepi. Mungkin hanya hening dan suara hati yang akan terdengar jelas di telingaku. Terkadang aku juga ingin seperti orang-orang di luar sana. Mereka yang punya banyak teman, punya banyak orang-orang penting dalam hidupnya, dan bisa menciptakan canda tawa bersama mereka dengan begitu indahnya. Akan tetapi aku sadar aku ini siapa. Cuma anak orang miskin yang hidupnya dipenuhi dengan dendam dan kebencian. Masa-masa itu terlalu menyedihkan untuk dikenang. Kamu bertanya tentang siapa saja orang yang berharga dan peduli ke aku? Jawabannya bisa dihitung dengan jari. Aku tidak mau menyebutkannya satu-satu. Intinya, cuma sedikit dan mereka sangat berharga bagiku. *** "Salsa, mana bapak?" tanyaku ke adikku kala itu. Waktu itu adalah sore hari. Aku baru saja pulang kerja dan kulihat di rumah cuma ada Salsa, adikku. Dia duduk sendirian di kursi ruang tamu sambil menggambar sesuatu di sebuah kertas putih. Wajar saja, dia tidak punya ponsel. Sebelumnya ia pernah punya keinginan yang cukup besar untuk memiliki ponsel. Bahkan pernah kudengar dia berdoa sehabis sholat hanya untuk keinginannya itu bisa terkabul. Tapi yang membuat aku kagum adalah dia menyembunyikan keinginannya itu entah dariku ataupun dari bapakku. Kalaulah aku saat itu dengan secara tidak sengaja mendengar keluh kesahnya, aku mungkin tidak akan tahu bahwa dia sangat menginginkan punya benda kotak canggih itu. Dan sore itu mungkin adalah hari yang sangat spesial untuknya. Pasalnya aku telah membawa sebuah hadiah yang pastinya akan sangat membuat dia bahagia. Aku juga yakin dia akan menjaga dan memanfaatkannya sebaik mungkin. "Di belakang," jawabnya. "Ngapain?" tanyaku. "Lagi buat kandang ayam," jawabnya. "Oh." Dia masih fokus menggambar, sampai-sampai ia pun tak melihat aku yang sedang membawa sebuah paper bag yang berisikan hadiah spesial untuknya. Kalaulah ia melihatnya, sudah pasti ia akan bertanya, atau bahkan langsung melihat isinya. "Lagi nggambar apa, sih?" tanyaku sambil mendekatinya. "Ah, enggak. Cuma gambar ngawur aja. Buat mengisi waktu luang aja, Kak," katanya. "Emmm.... Kakak ada sesuatu buat kamu," ucapku. "Apa, Kak?" Dia bertanya tanpa melihat ke arahku, masih sibuk dengan aktivitas menggambarnya. Dengan lembut kuambil kertas sekaligus pensil beserta penghapusnya itu dari tangannya. Kuletakkan di atas meja agar fokusnya bisa teralihkan ke aku. "Eh, Kak," katanya. "Apa?" tanyaku. "Gak, gak jadi," jawabnya. Aku menghembuskan napas pelan. "Ini ada sesuatu buat kamu," kataku kemudian. "Sesuatu apa?" tanyanya. Dia masih belum melihat paper bag yang aku pegang. "Nih." Aku menunjukkannya. Ibaratnya, apa yang ia lihat kala itu baru sampulnya saja, isinya belum ia ketahui. Ia baru melihat apa yang aku tunjukkan itu hanyalah sebuah paper bag yang tak ia ketahui apa isinya. "Ah, aku tahu apa isinya itu," katanya. "Apa? Coba tebak," ucapku. "Itu pasti batu, kan? Halah, udah gak mempan, Kak. Aku udah gak bisa dibohongi," katanya. Aku tertawa. Memang aku sering sekali jahil ke dia. Akan tetapi pada sore itu, aku benar-benar tidak sedang ingin jahil ke dia. Paper bag itu isinya nyata adalah hadiah untuknya. Bukan cuma paper bag yang kuisi batu atau semacamnya. Aku mengerti kalau adikku menduganya seperti itu. Gara-gara aku yang sering jahil ke dia, dia jadi sulit untuk mempercayaiku. Tapi aku malah suka. Perlahan aku bisa melihat perubahan dan perkembangan dari Salsa. Dari yang awalnya adalah gadis polos dan mudah sekali dibohongi menjadi gadis yang berpikir dulu untuk percaya atau tidak percaya dengan orang lain. "Jangan berpikir negatif gitu dong, ke kakak," ucapku. "Tapi emang batu kan, isinya?" tanyanya. "Heh, coba lihat aja sendiri," ucapku sambil memberikan paper bag itu, dan dia pun menerimanya. "Awas aja kalau batu. Aku lemparin ke kepala kakak," ancamnya. "Waduh. Bisa bocor dong kepalanya," kataku. "Aku tidak peduli," katanya. "Hahaha.... Ya sudah, buka aja!" perintahku. Ketika paper bag ia buka, ia menemukan sebuah kotak kecil yang berada di dalamnya. Ia mengamatinya dengan teliti, mungkin belum bisa menyimpulkan apa yang ada di dalam kotak itu. Tapi kuyakin pada saat itu ia sudah menduga tentang sesuatu yang berada di dalamnya. Ia kemudian memandangku. Dari pandangannya seolah memberikan banyak sekali pertanyaan yang harus aku jawab. Tapi aku cuma mengangkat sebelah alisku sebagai jawabannya. "Aku tahu. Ini pasti cuma kertas kan, isinya?" tebaknya. Aku memandangnya malas. "Buka aja, Dik. Jangan banyak nanya!" kataku. "Iya, iya," ucapnya. Setelahnya, dia pun membuka kotak itu, dan ketika sudah terbuka sempurna, matanya terbelalak melihat sesuatu yang berada di dalamnya. "Kak," panggilnya ke aku. "Hmmm." Aku bergumam. "Ini ponsel?" tanyanya. "Gak, itu kertas. Eh, apa batu, ya?" kataku. Dia tak menghiraukannya. Segera ia mengambil ponsel itu dari kotak. Ada chargernya juga yang turut ia ambil. Ia memandang ponsel itu dengan tatapan takjub. Maklum, baru kali itu dia memegang sesuatu yang bernama ponsel, mungkin. Aku ikut senang ketika dia senang. Raut wajahnya benar-benar menunjukkan bahwa ia sedang merasakan perasaan itu. Senyum itu tak pernah hilang dari wajahnya. Dengan matanya yang fokus menatap ke arah ponsel barunya. Ya, mungkin ponsel yang aku belikan buat dia itu masih tergolong murah. Maksudku, modelnya masih jauh dari ponsel-ponsel canggih lainnya. Kurasa juga kinerja dari ponsel yang kuberikan ke Salsa tidak bisa lancar. Akan banyak lemotnya. Namun, meski begitu Salsa sangat menyukainya. Dia memang gadis yang bisa menerima apa adanya. "Suka?" tanyaku. "Suka," jawabnya. "Syukurlah," ucapku. "Nah, sekarang kan udah punya ponsel. Apa yang sangat kamu inginkan selama ini sudah kamu dapatkan. Sekarang, kamu harus janji sama kakak," ucapku kala itu. "Janji apa, Kak?" tanyanya. Ia memandangku serius. "Jangan banyak main ponsel! Jangan karena itu kamu lupa belajarmu! Jangan karena itu pula kamu lupa tugas-tugas yang harus kamu lakukan tiap harinya! Pergunakan ponsel itu dengan baik! Dan, itu saja sih," kataku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD