3
Seperti yang telah mereka janjikan sebelumnya, Dimas dan Elvina siang ini makan bersama, memilih sebuah rumah makan tak jauh dari tempat mereka kerja sehingga dapat ditempuh dengan berjalan kaki saja.
Rumah makan yang menyediakan hidangan berupa ayam geprek dengan sambal diatasnya, lengkap dengan lalapan.
Mereka berdua makan di lantai dua, ruangan itu tampak lebih private karena sedikit tertutup, tak seperti lantai satu yang berdinding kaca.
Mengambil sofa yang berada paling dekat dengan dinding, berwarna merah dan juga tampak hangat, warna meja yang hitam dan lampu gantung yang dinyalakan temaram, tak lupa musik klasik yang memanjakan telinga.
Meja besar yang sebenarnya bisa dihuni enam orang itu, kini hanya diisi mereka berdua, duduk berhadapan sambil memakan ayam geprek pesanan mereka.
Siang ini tak terlalu ramai pengunjung di rumah makan ini, mungkin karena memang waktu yang menunjukkan tepat pukul dua belas, sehingga belum banyak yang datang untuk beristirahat disini.
“El,” panggil Dimas, Elvina yang sedang menunduk menikmati makanannya itu mendongak, menatap manik hitam milik Dimas, tertegun memandangi rahang kokoh juga bibirnya yang tampak indah, dan kini bibir itu tersenyum melihat Elvina yang sudah menatapnya dengan rasa penasaran.
“Enak makanannya?” tanyanya, menarik sudut bibir keatas dan menyunggingkan senyumnya lagi yang tampak semakin rupawan.
“Iya, enak, kenapa?” tanya Elvina, karena melihat Dimas yang seolah ingin mengeluarkan kata-kata namun ditahannya.
“Hmm, kamu sudah siap menikah lagi?” tanyanya, mencoba mengusir suatu rasa yang berkecamuk di d**a dengan menyuap potongan ayam yang telah berada di tangannya itu.
“Ehm, sudah lima tahun berlalu, sepertinya sudah waktunya menikah, ada apa Mas?”
“Sudah ada calonnya?” tanya Dimas lagi, seolah ucapannya menusuk kalbu Elvina. Jomlo ditanya calon?
“Belum,” tutur Elvina. Ikut menyuap makanannya.
“Sama aku aja gimana?”
“Mas Dimas bercanda?” ucap Elvina seraya tertawa.
“Lho kok bercanda? Aku serius.”
“Masa main nikah begitu aja kita kan nggak terlalu kenal?”
“Usia kita sudah terlalu tua untuk berpacaran El, kalau bisa langsung nikah kenapa nggak? Lagi pula aku banyak mendengar tentang kamu dari Radhika dulu, dan yah, kurasa nggak ada salahnya kan aku menggantikan posisinya?” tanya Dimas, menatap tajam pada Elvina, membuat Elvina gugup dan salah tingkah. Dia sampai meminum air es jeruk dari gelasnya, demi mengusir rasa canggung yang tiba-tiba menyergapnya. Dilamar seperti ini, oleh lelaki yang merupakan sahabat mendiang suaminya, tanpa pendekatan lebih dahulu, tentu membuatnya bingung.
Apalagi wajah Dimas yang rupawan, apakah cocok bersanding dengannya? Sedangkan dia tahu, mantan istrinya, wanita yang bernama Kamila itu sangat cantik, apa Dimas tak malu menikahinya? Ibaratnya mendapatkan seorang wanita yang kecantikan wajahnya dibawah mantan istrinya? Ah Elvina dan insecure seolah menjadi satu.
“Bagaimana?” tanya Dimas tak sabar karena Elvina justru terdiam setelah lamaran yang diucapkannya tadi.
“Aku, nggak bisa jawab sekarang Mas, kasih aku waktu.”
“Oke, aku tunggu sebulan dari sekarang ya, kamu jangan khawatir, aku berjanji akan jadi suami yang baik untuk kamu, dan ayah yang baik untuk Yonna,” tuturnya diiringi senyum manisnya yang dapat membuat siapapun terpesona.
Elvina mengangguk, sebulan dari sekarang. Dia akan menandai kalendernya agar dapat menyiapkan jawaban nanti. Dia tak mau salah langkah yang berujung pada kegagalan pernikahan. Cukup sekali menyandang status janda, dan jangan sampai ada status itu lagi.
“Kalau boleh, aku mau kenal keluarga kamu lebih dekat,” ujar Dimas.
“Ya, main saja kerumah, nanti aku kirim alamatnya,” ucap Elvina.
Mereka saling terdiam dengan pemikiran masing-masing, berpura menikmati makanannya padahal rasanya tercekat di tenggorokan seolah tak mau tertelan.
“Kalau boleh tahu, kamu kenal Mbak Kamila dimana?” tanya Elvina, untuk mengusir sepi, terserah dia mau dianggap terlalu ikut campur urusan orang, dia sangat didera penasaran, dan bukankah jika mereka ingin menikah, Elvina berhak tahu sesuatu yang mengganjal di benaknya?
Dimas tampak berpikir dan melanjutkan kembali makannya, sambil bercerita pertemuannya dengan Kamila, sepuluh tahun lalu.
“Kamu inget nggak pas bertemu pertama kali?”
“Oiya yang di mall itu kan? Sama Mas Radhika juga,” ucap Elvina, Dimas tersenyum getir, mengingat hari itu terkadang membuatnya sedikit sesak.
“Mungkin kamu ingat wajah aku waktu itu break out parah, jerawat dimana-mana, katanya sih karena hormon pubertas, tapi sudah tahunan nggak mau hilang juga,” dengus Dimas, Elvina hanya tertawa menanggapinya, dia ingat pria yang menunduk malu saat itu, selalu saja memilih berdiam diri dan seolah tak ingin terlibat pembicaraannya dengan Elvina dan Radhika.
“Ya, nggak lama setelah itu aku perawatan ke klinik kecantikan, soalnya dokter kulit yang katanya bagus praktek disana,” kekehnya membuat Elvina tertawa, melihat ekpresinya yang seperti geli, namun juga sedih sekaligus, sudut matanya tertarik hingga mata itu tampak menyipit karena bibirnya yang menyunggingkan senyum lebar.
“Kamila itu salah satu perawatnya, dia yang bantu aku buat jadi percaya diri, memberikan banyak threatment sejak awal aku break out sampai wajah ku jadi lebih baik, dia yang menemani semuanya, sampai akhirnya kita sama-sama jatuh cinta dan menikah,” tutur Dimas dengan nada getir di akhir kalimatnya.
“saat ini kalian benar-benar sudah resmi bercerai?” Elvina menyelesaikan suapan terakhir dan mengelap tangan yang terkena minyak sambal itu dengan tissue, lalu meminggirkan piringnya, menarik air es miliknya dan menyesapnya sekaligus. Dimas masih terdiam hingga Elvina mendongak dan memperhatikan wajahnya yang seolah membeku.
“Ya, kami telah resmi bercerai,” Ucapnya dengan wajah datar.
Dimas pun melakukan hal yang sama, meletakkan piringnya ke pinggir yang langsung dibereskan oleh Elvina, mencampur tulang ayam itu dalam satu piring dan menumpuknya menjadi satu.
Dimas masih memperhatikan Elvina, sampai wanita itu tampak tersipu karena ditatap seintens itu, “Kasian mbaknya kecapekan klo kayak gini kan tinggal cuci aja nanti,” ucap Elvina, seolah menebak pertanyaan di benak Dimas yang memperhatikan kebiasaannya setiap habis makan itu. Dia juga meminggirkan gelasnya yang telah habis isinya.
“Baik banget kamu,” ledek Dimas.
“Kalau sama temen-temen pasti mereka sudah ngebully aku, nyuruh aku ganti pekerjaan jadi karyawan restoran,” kekeh Elvina.
“Hmmm, pantes sih,” ucap Dimas.
“Hahhaa apa sih? Aku malah nggak bisa kerja berat. Cuci tangan dulu ya,” ucap Elvina meninggalkan Dimas untuk membersihkan tangannya.
Elvina membuka kran air lalu membilas tangannya setelah sebelumnya menggunakan sabun cair, melirik ke beberapa pengunjung wanita yang tampak curi pandang ke arah Dimas. Dia pun menggeleng geli, jalan dengan pria tampan seperti Dimas, inilah ujiannya.
Ingatan Elvina bermuara ke kejadian sepuluh tahun lalu, Dimas memang sepertinya mempunyai krisis kepercayaan diri karena sering sekali menunduk saat diajak berbicara, dan wajahnya memang sangat break out, meskipun sebenarnya ketampanan tetap terpancar dari wajah berhidung mancung dan berkulit putih bersih itu.
Namun lihatlah kini, kulit di wajahnya bahkan tampak mulus tak meninggalkan bekas jerawat sama sekali, mungkin tak akan ada yang menyangka bahwa lelaki itu pernah merasa insecure dengan wajahnya, sepuluh tahun lalu jika mengenalnya saat ini.
Dimas melihat ke arah Elvina yang masih memandanginya dari kejauhan, Elvina segera menyelesaikan mencuci tangannya dan kembali menghampiri Dimas, jam istirahat hampir berakhir dan dia tak mau terlambat masuk kerja, karena pekerjaannya yang pasti sudah menumpuk.
***