Satu

1352 Words
Hujan turun dengan derasnya seolah dikomando, saat Elvina memarkirkan motornya di parkiran kantor, beruntungnya parkiran itu mempunyai atap tertutup sehingga dia tak kehujanan. Namun yang membuatnya merasa tidak beruntung, adalah jarak antara parkiran dan gedung tempatnya bekerja cukup jauh dan tak tertutup atap, sehingga jika dia nekat menerobosnya, bajunya tentu akan basah. Elvina, wanita berusia 29 tahun mempunyai tubuh tinggi 165 centi meter dengan berat badan 55 kg, sangat proporsional dengan tubuhnya. Rambut lurus se leher bawah, dengan lesung pipit yang membuatnya tampak manis. Wanita yang akrab disapa El ini mempunyai warna kulit kuning langsat, sama seperti wanita Indonesia pada umumnya. Sudah bekerja selama tujuh tahun di kantor pusat perusahaan jasa pengiriman barang, sebagai data entry. Usianya terbilang muda dengan status janda satu anak, suaminya yang bernama Radhika meninggal lima tahun lalu, tepat di usianya yang ke 28 tahun. Meninggalkan anaknya yang bernama Yonna yang saat itu berusia dua tahun. Sangat kecil sehingga tak dapat mengenali ayahnya sendiri. Sejak itu kehidupan Elvina terasa hancur sehancur-hancurnya, suami yang dicintainya pergi begitu cepat, mereka hanya sempat berumah tangga tiga tahun lamanya, setelah berpacaran selama satu tahun. Perkenalan mereka berdua cukup unik, diawali mengirim pesan salah sambung yang dilakukan oleh Radhika, mereka akrab meski tak bertemu dan hanya menyapa lewat pesan, tak pernah berbicara di telepon pula, sepuluh tahun lalu. Hingga kemudia mereka memutuskan bertemu di  sebuah Mall, Elvina bersama satu teman wanitanya, begitupula dengan Radhika yang membawa teman akrabnya. Beruntung Elvina memang sudah bekerja disini, lamaran kerjanya dibawa oleh salah satu teman suaminya, ketika Elvina lulus kuliah, dan baru saja beberapa bulan melahirkan Yonna kala itu. “Deras banget hujannya,” ucap seorang pria dengan suara baritonya, tak banyak pria bersuara berat sepertinya yang entah mengapa justru terdengar seksi. Elvina mendongak demi melihat pria yang jauh lebih tinggi darinya, mungkin sekitar 180 sentimeter, rahangnya tampak kokoh, bulu matanya agak lentik dengan hidung yang mancung dan bibir yang seksi. Tak ada bulu halus seperti kumis atau jenggot diwajahnya. Elvina mengenal pria berwajah tampan itu, pria yang jika tersenyum matanya akan terlihat segaris karena tampak sipit. Namanya Dimas, dia teman kuliah mendiang suami Elvina, pria yang sama yang saat itu membawa lamaran kerja Elvina. Juga pria yang sama yang mengantar Radhika bertemu dengannya di Mall kala itu. Meskipun saling mengenal, namun hubungan mereka tak terlalu dekat, sesekali hanya bertegur sapa jika kebetulan bertemu di kantor. Apalagi wilayah kerja mereka terpisah, jika Elvina adalah bagian data entry, maka Dimas adalah Manager Personal Training, yang menanangi berbagai macam training, seminar dan sebagainya. Dia juga yang menangani perekrutan karyawan baru, mungkin masuknya Elvina di perusahaan ini karena turut andil dia juga, entahlah? Hanya saja dia pernah berkata nilai Elvina cukup bagus saat psikotest dan interview sehingga dia diterima disana. “Baru sampai Mas?” sapa Elvina, merutuki kebodohannya, mereka berdua sedang di parkiran motor sekarang, tentu saja dia baru sampai. “Ya. Oiya bagaimana kabar anak kamu, Yuna, Yona siapa namanya?” Dimas mencoba mengingat nama anak sahabatnya itu, memang sejak menikah dia menjadi jauh dengan Radhika, ditambah tak lama setelah dia menikah, Radhika meninggal karena sakit yang dideritanya, membuat hubungan mereka kian jauh. “Yonna, sehat Mas, oiya kabar Mbak Kamila bagaimana?” tanya Elvina kembali, menyebut nama istri Dimas, dia pernah bertemu sekali saat pesta pernikahan mereka. Namun Elvina ingat namanya karena dia mengikuti akun i********: lelaki di hadapannya ini. Dimas terlihat sedih dengan menundukkan wajahnya, lalu mencoba tersenyum pada Elvina. “Entahlah, dia lebih memilih mewujudkan impiannya, untuk bekerja dan menetap di Jepang,” tutur Dimas, istrinya memang sangat menyukai negeri sakura itu, apapun berbau jepang disukainya termasuk anime dan sebagainya, yang membuatnya tertarik menekuni dunia gambar dua dimensi dan membawanya terbang ke negeri yang jauh itu, meninggalkan Dimas disini dengan cita cita pernikahannya yang harus kandas. “Jadi jarang ketemu ya?” Elvina mengalihkan pandangan ke arah lain, mobil tampak lalu lalang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Hujan masih turun dengan deras bahkan kini disertai angin. “Kami sudah berpisah, saat dia memutuskan memilih tinggal di Jepang,” ucapnya lagi dengan suara sedih. Elvina tak mengerti harus mengucapkan apa? Status mereka sama, dia tahu rasanya orang yang berada di posisinya kini, ketika mengetahui bahwa suaminya telah lama meninggalkannya, hanya diam dan takut melemparkan suatu kata-kata yang justru bisa menyakitinya bukan menghiburnya. “Mungkin ini yang terbaik untuk kita, lagipula kita belum ada anak, jadi tak ada yang tersakiti dengan perpisahan ini,” imbuhnya sambil berusaha tersenyum. Elvina menoleh padanya dan membalas senyumnya, lelaki dan ketegarannya, mungkin memang diciptakan dalam satu kesatuan. “Oiya boleh minta nomor handphone kamu?” ujar Dimas seraya mengeluarkan ponsel genggam dari saku jaketnya. Elvina pun menyebutkan nomornya yang langsung di telepon oleh Dimas untuk memberikan juga nomornya, Elvina mengambil ponselnya dari saku jaketnya juga dan menyimpan nomor Dimas. “Pak Dimas!” panggil seseorang pria berseragam security membawa dua payung berwarna hitam, yang satu dipakainya dan satunya diulurkan ke Dimas. Dimas menerimanya sambil mengucapkan terima kasih. “Tumben nggak bawa mobil?” tutur security bertubuh gempal itu. “Habis ada urusan, buru-buru takut kejebak macet, tahu-tahu malah kejebak hujan,” kekeh Dimas ramah. Meskipun memegang jabatan cukup tinggi, sebagai manajer, tak membuatnya sombong atau tinggi hati pada siapapun, itulah yang membuatnya cukup dikenal oleh seluruh karyawan. Dimas membuka payung itu dan menoleh pada Elvina. “Yuk bareng,” ajaknya. Elvina melirik pada petugas keamanan itu dan kepada Dimas bergantian, jika dia bareng dengan petugas keamanan bertubuh tambun itu, mungkin salah satu diantara mereka akan kebasahan. Namun jika bersama Dimas, apa kata orang nanti? “Maaf ya Pak, tadi saya kira bapak Cuma sendiri,” ucap petugas keamanan itu tak enak hati, dari jauh dia memang melihat Dimas berteduh namun tak tahu bahwa Dimas dengan seseorang disini. “Nggak apa-apa, makasih banget malah, kamu sudah repot-repot bawakan payung,” ucap Dimas. “Saya, kembali ke pos jaga ya Pak, Mbak,” tuturnya sambil menunduk sopan dan meninggalkan Dimas berdua Elvina. “Duluan saja Mas Dimas, aku tunggu reda aja,” tutur Elvina canggung. Dimas melihat jam yang melingkar di tangannya. “Lima menit lagi masuk lho, kamu tahu peraturan perusahaan kan? Telat sedikit akan kena surat peringatan?” tanya Dimas, Elvina menggigit bibir bawahnya, menyesal mengapa dia tak pernah menyiapkan payung di tasnya. Dan dengan tak enak hati dia menerima ajakan Dimas untuk berpayung bersamanya. Mungkin jika hanya menempuh perjalanan lima puluh meter bersama tak akan apa-apa. Tak ada yang akan menggosipkan mereka. Lagipula digosipkan juga tak apa? Toh mereka sama-sama sendiri kan kini? Dimas melangkahkan kakinya disamping Elvina, berjalan dibawah derasnya hujan, payung ini tak terlalu lebar sebenarnya untuk berdua, sehingga dia merapatkan tubuhnya, namun Elvina justru bergerak seolah menjauhinya. Hingga Dimas mengganti posisi tangannya. Elvina berada di sebelah kirinya dan dia yang tadi memegang payung dengan tangan kiri, kini memegang dengan tangan kanannya, dan tangan kirinya dijulurkan memegang bahu Elvina, menatapnya dengan jarak yang cukup dekat. “Saya tak mau baju kita basah, karena kita masih akan bekerja sembilan jam lagi,” ucapnya sambil menarik bahu Elvina agar menempel pada tubuhnya. Elvina membeku, kakinya memang terus melangkah, namun tubuhnya sangat kaku seperti patung, dia memilih menunduk daripada terbius oleh tatapan Dimas yang seolah memburunya. Degup jantungnya berpacu dengan cepat, hal yang terasa asing yang tak pernah dirasakan selama lima tahun belakangan ini, seolah hadir kembali. Dia tahu detakan jantung ini, detakan yang sama yang dirasakannya saat bersama Radhika. Dia tahu bahwa dalam waktu yang sangat singkat ini, dia telah jatuh cinta pada pria tampan bernama Dimas yang kini berpayung dengannya. Dibawah hujan, mereka mengukir kisah mereka yang baru dimulai. Dimas baru melepaskan tangannya ketika sampai Lobi, beruntung hujan membuat suasana lobi tak terlalu ramai ,padahal biasanya jam-jam sebelum masuk kerja seperti ini para karyawan masih nongkrong dan asik berbincang di sekitaran lobi. “Ehm, Makasih ya Mas,” ucap Elvina. “Iya sama-sama, sana absen sebelum terlambat,” tutur Dimas sambil tersenyum manis, Elvina melihat jam di tangannya dengan gugup berpamitan pada Dimas dan segera berjalan cepat meninggalkan lelaki yang kini mematung sambil menutup payung yang tadi dikenakan. Menarik napas panjang dan menghapus senyum diwajahnya, dengan pandangan mata dingin ke arah lorong tempat terakhir Elvina terlihat sebelum masuk ke ruangan kerjanya. Samar menggumamkan kata maaf. Lalu dia berjalan menuju petugas keamanan yang tadi memberikan payung kepadanya untuk mengembalikannya. Menyelipkan uang seratus ribuan ke tangan petugas itu, tanpa senyum. Hanya wajah kaku dengan rahang yang mengeras seolah menyimpan sebuah rencana yang berat untuk dijalaninya. ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD