Part 12. Kamu, Pelakornya, Bukan Aku!

2021 Words
“Reina, nanti pas ke gedung, kita mampir dulu ke kontrakan Khamila untuk jemput dia.” Kata Mas Alan sambil mengancingkan kemeja batik lengan panjangnya. Sesaat aku terpesona pada penampilannya. Ganteng dan juga dewasa! Mungkin juga ini yang membuatku jatuh hati padanya. Kalau Mas Reino bilangnya tentu saja suamiku ini tampak dewasa, karena sudah tua! Mas Alan selisih setahun lebih tua dibanding Mas Reino, tapi kakakku itu kalau sudah tidak suka, ada saja alasan dia mencari kekurangan orang lain. Tapi Ya Tuhan…, yang benar saja sih, kenapa pula harus menjemput Khamila dulu? “Emangnya dia gak bisa gitu datang sendiri ke gedung? Pakai taksi kan bisa, ada grab, ada gojek, ada banyak moda transportasi di Jakarta ini kok.” Jawabku ketus. Tiba acara pesta di kerabat Mas Alan. Bahkan di acara pesta, masih saja Khamila layaknya bayangan yang selalu menempel Mas Alan. Baiklah, dia juga mempunyai hubungan kekerabatan dengan si empunya acara, tapi kan bukan berarti Khamila menempel terus ke Mas Alan kan? Sejak mendengar bahwa kami akan menjemput Khamila, aku berusaha mati-matian tampil paripurna agar penampilanku jauh lebih cantik daripada Khamila. Aku yakin seharusnya kemudaanku, kecantikanku bisa menaklukkan hati Mas Alan jika kami berdua dibandingkan. Bukannya menyombongkan diri, tapi aku memang merasa lebih cantik, lebih muda, lebih kaya dan lebih pintar! Mas Alan melihatku dengan tatapan tidak suka, “Gak ada salahnya mampir. Toh kontrakan Khamila juga searah ke gedung. Lagipula ini sudah malam, tidak elok seorang perempuan pergi sendiri.” Ah ya, Khamila mewakili Bude dan Pakde Sukitjo yang tidak bisa hadir di acara kali ini. Tapi itu kan bukan menjadi tanggung jawab Mas Alan untuk ngemong Khamila ke manapun! “Tapi aku juga sering pulang malam, Mas tidak pernah menanyakanku atau menjemputku.” Jawabku, membalikkan kata-kata Mas Alan. Sesaat Mas Alan tidak mampu berkata apapun tapi akhirnya dia menjawab, “Kamu kan bawa mobil sendiri, ada juga supir yang siap antar jemput, jadi untuk apa aku menjemputmu?” Sayangnya, jawaban Mas Alan seperti torehan luka sembilu tajam yang memberikan luka. Dia berkata itu dengan tatapan mata yang aneh melihatku, seperti berkata untuk apa dijemput, toh kamu sudah punya supir yang siap antar jemput. *** “Mbak, elu cakep banget deh malam ini. Seksi, modis dan menarik mata lelaki buat ngelirik loh.” Rocky, si adik iparku, yang mengomentari pertama kali penampilanku ini. Yap, aku sungguh-sungguh ingin tampil paripurna agar bisa lebih dari Khamila! Sayangnya bukanlah pujian dari Rocky yang kuinginkan, melainkan pujian dari bibir Mas Alan! Apakah Mas Alan memujiku? Tidak! Dia memang sempat beberapa detik terdiam melihatku, mungkin terpukau tapi tidak ada kalimat pujian atau apapun yang keluar dari bibirnya. “Terima kasih Oky, mayan tersiksa pakai dress kaya gini sih.” Jawabku jujur. Gimana tidak tersiksa? Aku memakai gaun malam ketat membungkus tubuhku, gaun panjang berwarna hitam hingga mata kaki dengan belahan hingga ke lutut. Sedangkan bagian atas bertali spaghetti yang artinya pundakku terbuka. Aku ingin Mas Alan tidak melecehkanku lagi dengan berkata bahwa tubuhku gendut. Mati-matian aku menjaga pola makan dan olahraga tiga jam setiap hari. Walau belum sepenuhnya terbebas dari gangguan pola makan - ya, akhirnya aku mengaku pada mama bahwa aku terkena gangguan pola makan - tapi aku berhasil mengubah pola pikirku bahwa aku harus sehat dengan kondisi tubuh yang ideal, bukan kurus. Mama memaksaku ke dokter ahli gizi dan psikolog. Butuh waktu bagiku untuk bisa menanamkan pola pikir bahwa sehat itu bukanlah kurus, tapi berat ideal dan cukup olahraga akan membuatku bisa menjaga kesehatan. Selama ini kalau di rumah atau ke kantor, aku selalu menutupi bagian atas tubuh dan lenganku. Mungkin, ini juga yang membuat Mas Alan terpukau. Lenganku sekarang menjadi lebih berisi dan terbentuk walau tentu tidak berotot layaknya atlit binaraga. “Mas Alan, ini beneran kita mau mampir ke rumah Khamila buat ngejemput dia?” Tanya Rocky sebelum kami berangkat. Aku merasa Rocky ingin menyelamatkanku, aah dia memang adik ipar yang baik. “Yang sopan panggil dia Oky! Khamila lebih tua darimu juga kakak sepupumu.” Bukannya menjawab pertanyaan Rocky, Mas Alan malah mengomeli adiknya itu agar memanggil Khamila dengan sopan. TIba-tiba saja ada rasa perih menyergap. Aku cemburu! Bahkan, secara fisik tidak ada kehadirannya pun, mampu membuat Mas Alan terpikir akan dirinya. “Elah, gue kan cuma nanya keleeus. Berhubung papa dan mama ikut di mobil Mas Alan, jadi biar gue aja yang jemput Khamila. Gak usah khawatir gue bakal nyasar ya, ada maps, ada waze juga. Lagian elu kan harus memperkenalkan Reina sebagai istri elu, Mas. Ntar dikira bini elu dua loh, kasian kakak ipar gue yang cantik dan baik hati ini kalau elu kacangin. Soal Khamila, biar jadi urusan gue dah. Gue cabut dulu, sampai ketemu nanti di gedung.” Rocky melangkah menuju mobil yang dia bawa dari kampung, tapi belum juga masuk ke mobilnya, dia tergopoh kembali ke mama papa dan mencium punggung tangan keduanya. “Mas Alan, jaga baik-baik Reina. Dia terlalu berharga untuk elu abaikan. Apalagi di pesta ntar, gue yakin banyak mata lelaki nakal yang melihat ke Reina. Sampai ketemu di gedung ya kakak ipar!” Rocky yang mempunyai karakter berbeda jauh dengan Mas Alan dia tengil dan lucu, ramah, bahkan sampai mengedipkan mata padaku, mirip Abdi saat kami masih di bangku SMA. Dia menepuk pundak Mas Alan saat berkata untuk menjagaku, membuatku tersipu sekaligus sedih karena bukanlah suamiku sendiri yang memperlakukanku sangat manis. Terima kasih untuk Rocky yang sadar diri menjauhkan kakaknya dari Khamila. Sepanjang perjalanan tadi, di mobil, kami hanya berbicara seperlunya saja. Mama Rina dan Papa Alan juga tahu diri dengan tidak banyak bertanya. Di gedung, aku sengaja memegang erat lengan Mas Alan agar dia tidak tiba-tiba menghilang dariku dan bertemu Khamila diam-diam.Beberapa pasang mata melihat ke arah kami dan berbisik. Aku merasa asing di pesta ini. Yang hadir kebanyakan adalah relasi atau saudara dari keluarga Mas Alan. Mama Rina dan Papa Alan menuju ke meja saudara. Aku masih menempel di lengan Mas Alan, terserah dia mau merasa risih atau tidak denganku. Aku sungguh tidak pernah merasa nyaman jika harus berada di keramaian dengan rentang waktu lama. “Ini loh bude, istrinya Mas Alan atau kakak iparku yang super cantik itu.” Tiba-tiba suara Rocky terdengar. Dia membawa seorang perempuan paruh baya, mungkin seumuran mama, yang penasaran denganku. Aku mencium punggung tangan perempuan itu karena Mas Alan menciumnya. Bahkan aku sedikit memaksa dengan mencium pipinya kanan dan kiri. “Oalaaah iki toh bojone Alan (ini toh istrinya Alan). Ayu banget! Lah bude kira kamu tuh nikahnya sama Khamila loh, karena kalian ke mana-mana berdua mulu.” Walau memasang wajah datar, tapi telingaku siaga satu mendengar informasi yang disampaikan oleh bude ini. “Nah iya kan bude, apa Ocky bilang tadi kalau mbak iparku ini cuantiknya gak ketulungan, baik hati pula. Semoga aja sabar ya bude ngadepin Mas Alan yang kadang suka ajaib.” Malah Rocky yang memberiku pujian. Aku sampai tersipu dengan pujiannya. Aku melirik ke arah Mas Alan, dia nampak biasa saja. “Kamu ini loh Ky kalau ngomong mbok ya yang bener toh. Ya wis, anterin bude ke bapak ibumu. Nduk, bude ke sana dulu ya, kalian yang rukun-rukun, jangan berantem.” Bude tadi diantar Rocky ke meja papa dan mama. “Kamu kalau mau makan duluan aja, aku mau ke toilet.” Pamit Mas Alan mendadak membuatku kesal karena tidak ada yang aku kenal di pesta ini. Inginnya memanggil Rocky untuk menemaniku tapi dia sedang menemani para orang tua. Sepertinya bocah itu kesayangan ibu-ibu. Mungkin dia merasa aku perhatikan, dia melihat ke arahku dan berikan senyum pasta gigi. Aah sudahlah, aku akan ambil cemilan dan menyingkir ke samping. Ternyata, di halaman samping ada beberapa orang yang mencari udara segar. Sebagian besar menyalakan rokok padahal untuk apa mereka membakar uang dan mengasapi paru-paru sendiri? Aku mengunyah kudapan, coba menikmati rasanya sambil berusaha mengenyahkan godaan di kepala yang memintaku untuk tambah dan memuntahkannya saat tiba di rumah nanti. Huuft… enyahlah ajakan sesat! Aku butuh mencari udara segar, di sini yang ada malah polusi udara karena asap rokok. Tiba-tiba mataku menangkap dua sosok tubuh yang sedang berdiri berhadapan. Sepasang anak Adam, yang aku sangat mengenal mereka! Mas Alan dan Khamila. Jemari Mas Alan mengusap air mata di sudut mata Khamila, entah kenapa dia menangis. Apakah hanya sandiwara saja agar Mas Alan terenyuh? Saat melihat Khamila kemudian mencium punggung tangan Mas Alan, sudut hatiku terasa sangat nyeri, bagai ada sembilu tajam yang mengiris kemudian ditetesi oleh air garam! Berlebihankah? Tidak! Tapi aku paksakan untuk tetap menatap ke arah keduanya. Mataku semakin panas saat kemudian Mas Alan menggandeng mesra Khamila dan masuk ke gedung. Tapi, tak lama kemudian, Khamila menuju ke toilet yang tidak jauh dari tempatku berdiri. Kupikir ini saat yang tepat untuk memberinya sedikit peringatan agar dia menjauhi Mas Alan. Memikirkan itu, aku bergegas juga ke toilet. Ada dua kubikel kosong, aku segera masuk dan berpura buang air kecil. Saat mendengar suara pintu kubikel sebelah yang terbuka, aku ikutan membuka pintu. Khamila sedang mencuci tangannya. Aku tahu ini hal yang membahayakan pernikahanku, tapi aku harus mencobanya kan? Siapa tahu dia akan merasa tersentuh jika pembicaraan antar dua perempuan di toilet ini dilakukan dari hati ke hati. “Hei Mbak Khamila…” Sapaku dengan nada kubuat semanis mungkin. Tidak hanya suara, tapi juga kuberikan senyum manis - walau palsu dan dipaksakan tentu saja. Dia tampak terkejut melihatku tiba-tiba ada di sebelahnya. Dengan anggun, aku juga mencuci tangan. “Eeh.. haa hai Reina. Wah kebeneran ya kita ketemu di sini, di toilet.” Aku bisa merasakan suaranya bergetar. Mungkinkah dia takut padaku? Tapi aku kan bukan hantu, kakiku masih menjejak tanah kok, dan aku masih bernyawa! “Iya.” Jawabku singkat. Aku harus segera merangkai kata yang pantas aku ucapkan padanya. Aku melihat perempuan yang sebaya umurnya dengan Mas Alan ini dengan seksama. Coba menelisik apa kelebihannya dibanding diriku. Tapi aku tidak berhasil menemukannya. Sudah aku bilang tadi, bukannya sombong, tapi aku merasa bahwa aku jauh segalanya dibanding Khamila. Aku jauh lebih muda, aku lebih cantik, mungkin juga lebih pintar dan yang pasti, aku lebih kaya dibanding dia. Tapi ternyata semua itu tidak ada artinya dibanding yang dimiliki oleh perempuan ini. Hati Mas Alan semua sudah diisi penuh oleh nama perempuan ini. Wajahnya lembut dan keibuan, sederhana dan juga sepertinya sabar. Apakah aku tidak punya tiga hal itu? Kupikir, aku memiliki tiga sifat itu kok, walau mungkin tidak sedominan Khamila. “Mbak, maaf bolehkah aku meminta satu hal dari Mbak Khamila? Sebagai sesama perempuan?” Tembakku, tanpa basa basi. Aku tidak suka membuang waktu untuk berbasa-basi dengan perempuan yang bersaing denganku mendapatkan perhatian dari suami sahku! Wajahnya kaget, tapi dia bisa segera mengatasi keterkejutannya itu. Heem, dia pintar juga menjaga emosinya! “Kalau aku bisa memberikannya, aku akan berikan. Apa itu?” Tanyanya dengan senyum yang manis dan tampak tulus. Aku menarik nafas panjang sebelum berucap, “Tolong jauhi suamiku, Mas Alan. Aku tahu kalian dulu pernah dekat, pernah pacaran. Tapi itu dulu, sekarang, akulah istri sah Mas Alan dengan kata lain aku adalah pemilik sah Mas Alan. Tolong jangan jadi pelakor, Mbak.” Anak panah sudah kulepaskan, sepertinya tepat sasaran jika melihat wajah manis Khamila yang memucat. Matanya membola, aku tahu dia pasti terkejut karena aku tiba-tiba meminta hal itu. “Begitu menurutmu? Kalaupun aku bisa menjauhi Mas Alan, tapi aku tidak yakin dia bisa hidup jauh dariku, Reina. Lebih baik, kamu pikirkan lagi apa permintaanmu. Oh iya, sebelum menuduhku sebagai pelakor, kenapa tidak kamu lihat di cermin, siapakah pelakor yang sesungguhnya? Siapa yang hadir lebih dulu di hati Mas Alan, aku atau kamu? Cobalah berpikir dulu sebelum berucap!" Usai berkata itu, Khamila meninggalkanku dan menuju ruang resepsi. Aku tidak menyangka dia berani membalas perkataanku. Apa maksud dari ucapannya tadi? Benarkah aku seorang pelakor? Jadi, akulah orang ketiga yang hadir pada hubungan mereka? Iya aku tahu aku hadir belakangan tapi kan setelah mereka putus. Lagipula apa maksudnya dengan berkata Mas Alan tidak bisa hidup jauh darinya? Apakah mereka…? Aku melangkah, hatiku tak tenang, aku berniat kembali ke taman sambil memikirkan hal yang telah dikatakan Khamila. Mataku kembali memanas. Aku menunduk, mencari selembar tisu dari tas pesta yang aku bawa. Tiba-tiba ada sebuah saputangan terulur di depan mataku. Harum parfum ini… Kepalaku mendunga, aku mendesah saat melihat siapa pemilik sapu tangan ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD