Ponselku bergetar di siang ini. Sebuah nomer yang tidak aku kenal, karenanya aku abaikan. Pekerjaanku terlalu banyak untuk aku menjawab sebuah panggilan yang tidak aku kenal. Tapi si penelpon ini sepertinya pantang menyerah menelponku.
Tak lama kemudian, ada sebuah pesan w******p masuk, hmm masih dari nomer telpon yang sama dengan si unknown caller tadi. Aku tidak mau baca dan balas, hanya sekilas melihat dari pop up message. Dante Saksono? Sepertinya aku pernah dengar nama ini, tapi di mana ya?
Aku kembali tenggelam dalam kesibukanku, bahkan lupa pada jam makan siang yang sudah terlewat satu jam lalu. Nindi tadi mengajakku makan siang, tapi aku belum bisa meninggalkan dokumen-dokumen yang harus aku periksa ini. Sebentar lagi aku akan mengambil cuti panjang, biar bisa bulan madu agak lama.
Tapi tiba-tiba kembali ponselku menjerit minta perhatian. Kali ini mau tidak mau harus aku jawab karena yang menelpon adalah Mas Reino. Panggilan video pula.
“Reinaaa… itu kenapa tadi telpon dari Dante gak dijawab??”
“Ya Allah… Mas Reino apa-apaan sih? Bukannya ucap salam malah langsung ngomel-ngomel. Salam dulu!” Bentakku pada Mas Reino.
“Haiiish siiiaaap adikku yang galak. Assalamualaikum Reina Adikusumo yang cantik, baik hati, rajin menabung dan tidak sombooong….” Mas Reino berucap salam tapi sengaja menyindirku.
“Nah gitu dong. Waalaikumusalam kakakku yang gantengnya tak terkalahkan siapapun. Dante siapa sih?” Tanyaku.
“Dante Saksono! Teman kuliahku yang naksir kamu sampai tergila-gila gitu tapi kamu cuekin aja. Ingat gak?”
Aku memicingkan mata, coba mengingat nama itu.
“Yang nembak kamu pas acara ulang tahun mama dulu itu loh Na…” Mas Reino coba mengingatkan.
“Aaaah aku ingat kalau yang itu. Gimana bisa lupa? Bisa-bisanya di depan banyak orang dia nembak aku pakai mic lagi. Ditaruh mana mukaku coba?” Aku teringat sosok lelaki tampan bertubuh tinggi atletis seperti Mas Reino yang pantang menyerah mengejarku.
“Mukamu kan masih tetap ada di tempatnya Na!”
“Apa sih Mas? Gak lucu kalik ah. Emang kenapa si Dante?”
“Tadi aku ketemu dia, terus dia masih penasaran ama kamu tuh Na. Waktu aku bilang kalau kamu bentar lagi ada yang melamar, dia protes loh.”
“Lah kenapa protes?” Tanyaku heran.
“Kenapa kamu gak ama dia aja sih? Dante tuh suka banget ama kamu loh Na.”
“Aah enggak Mas, Dante itu bukannya agak emosional gitu kan? Labil kaya abg, yang ada malah cemburu tingkat tinggi. Dulu kami pacaran aja enggak, tapi dia berasa aku tuh milik dia Mas. Malesin.”
“Heeumm gitu ya. Jadi tertutup kemungkinan dong ya buat Dante?”
“Iya Mas. Aku gak mau aah ama Dante, lagian kasian ntar yang jadi istrinya tuh kalau dia gak berubah sifatnya. Cemburu itu boleh, bagus malah, tapi ya harus masuk akal dong.”
“Na, ngomong-ngomong soal cemburu, kamu benar-benar udah cek Si Alan dan masa lalunya? Mantan pacarnya?”
Keningku berkerut karena Mas Reino yang tiba-tiba saja tanya tentang mantan pacar Mas Alan. Duuh kenapa sih kakakku ini bernafsu banget untuk memisahkan kami?
“Mas Alan pernah bilang kalau mantannya hanya satu kok.” Jawabku yakin.
“Reina, kalau si Si Alan ini berani-beraninya menyakiti kamu, aku pastikan dia akan menyesal seumur hidup menyesalinya.” Mas Reino menutup panggilan video itu.
Sebenarnya sudah berkali-kali Mas Reino mengingatkanku akan masa lalu Mas Alan. Sedikit banyak ini cukup mempengaruhiku. Tapi setahuku, Mas Alan itu baik dan jujur. Masalahnya hanya satu, dia tidak suka kalau privasinya diganggu. Jadi aku yang harus tahu diri.
***
“Na, kamu beneran mau terima lamaran keluarga Si Alan itu?” Sekali lagi Mas Reino coba memastikan padaku, padahal besok adalah lamaran dari keluarga Mas Alan, sempat-sempatnya Mas Reino ingin mematahkan pilihanku.
“Ya ampun Mas, bentar lagi kan lamaran dari keluarga Mas Alan, kenapa juga sih Mas Reino gak terima Mas Alan sebagai calon suami pilihanku? Maa… Mas Reino nih.” Aku coba minta pertolongan mama.
“Reino, mbok ya udah toh. Kalau Alan ini memang pilihan Reina ya kita hormati. Justru kamu sebagai kakaknya harus melindungi sampai dia resmi menjadi istri Alan, bukannya malah membuat dia bimbang.”
“Mah, niatanku melindungi Reina. Aku hanya tidak mau Reina mengalami hal yang sama seperti mama. Reina terlalu baik, terlalu sempurna untuk disia-siakan mah. Seperti mama yang sudah mengabdikan diri ke papa tapi nyatanya masih saja lelaki tua itu mencari kesenangan dari perempuan murahan di luaran sana!”
Masih saja Mas Reino geram pada kelakuan papa kepada mama. Aku maklum, karena Mas Reino dulu sangat mengagumi papa. Sehingga saat tahu papa berkhianat, itu sangat menyakiti hatinya.
“Reino, lelaki tua itu tetaplah papamu, ada setengah darahnya mengalir di tubuhmu. Jadi kamu tetap harus hormat pada papamu! Lagipulaapakah kamu tahu sesuatu yang mama dan Reina tidak tahu?” Tanya mama dengan nada tegas. Sebagai seorang pebisnis, tentu mama mempunyai feeling yang kuat tentang sesuatu hal yang dirasa mencurigakan.
“Tidak kok mah, dulu mungkin iya, tapi seharusnya sudah beres. Aku cuma berharap Reina bahagia, karena kamu berhak untuk itu Na. Jika ada lelaki lain yang pantas untuk Reina, aku berharap Reina lebih memilih lelaki lain itu dibanding lelaki munafik yang menutupi kebusukan hatinya dengan kebaikan semu.”
“Kamu masih saja ingin menyodorkan Dante ke Reina ya? Kata Reina, Dante itu emosinya labil seperti abg.”
“Mah, tidak hanya Dante yang suka pada Reina, tapi masih ada lelaki lain yang juga suka pada Reina dan selalu berharap padanya. Sayangnya dia berbuat kesalahan dan takut mengakui kesalahannya itu. Ya sudah Na, jika memang kamu tetap berniat menikahi Si Alan itu, jaga hatimu baik-baik. Jangan berikan hatimu seratus persen padanya.”
Pembicaraan kami malam ini ditutup dengan kepergian Mas Reino yang tampak tidak puas dengan keputusanku untuk tetap melanjutkan hubungan dengan Mas Alan. Aku dan mama bertatapan dan kami sama-sama mengedikkan bahu tanda tidak tahu.
***
Hari ini acara lamaran dari keluarga Mas Alan. Tidak banyak yang datang, hanya keluarga inti ditambah om dan tante dari keluarganya. Tapi yang aku heran ada seorang perempuan yang sekira seumuran dengan Mas Alan yang melihat ke arah Mas Alan dengan wajah sedih, tatapan matanya nampak sendu.
Kami sempat berkenalan, namanya Khamila Astuti. Sebuah nama yang indah. Ternyata Khamila adalah anak tetangga salah satu saudara Mas Alan di kampung yang diasuh sejak kecil sebagai anak pancingan. Sejak SMA mereka satu sekolah karena hanya selisih umur satu tahun membuat Khamila dan Mas Alan dekat. Itu diceritakan oleh Mama Rina, calon mertuaku. Mungkin beliau melihat aku yang menatap tidak suka pada kedekatan Mas Alan dan Khamila.
Aah pantas saja mereka dekat. Mendengar penjelasan dari Mama Rina, membuat hatiku sedikit tenang. Tapi tidak dengan Mas Reino. Duduknya gelisah dan blingsatan. Tatapan mata tajam Mas Reino selalu ke arah Mas Alan dan Khamila. Aku semakin yakin kalau Mas Reino tahu sesuatu yang aku tidak tahu.
“Na, kamu lihat perempuan yang bernama Khamila itu? Kamu tahu siapa dia?” Mas Reino berbisik seakan takut ketahuan sedang menggosipkan orang lain.
“Tahu Mas.” Kemudian, aku menceritakan sama persis apa yang dikatakan Mama Rina padaku tentang Khamila.
“Tapi Na, ada satu hal yang tidak diceritakan oleh calon mertuamu itu. Calon mertuamu itu berkata benar, tapi tidak sepenuhnya jujur.” Kenapa pula sih Mas Reino malah mengajak teka-teki saat ini?
“Maksudmu apa sih Mas? Bilang aja langsung terus terang.”
Mas Reino menarik nafas panjang sebelum berkata, “Seperti yang kamu bilang dulu bahwa Alan hanya punya satu mantan pacar. Khamila ini adalah mantan pacarnya. Mereka dekat dari SMU dan menjalin hubungan serius saat kuliah. Mereka baru putus, saat calon bapak mertuamu itu bilang kepada Alan bahwa Alan dijodohkan denganmu. Itu yang membuatku dari dulu bilang apakah kamu yakin pada lelaki ini? Setahuku mereka masih berhubungan dengan mengatasnamakan mereka masih saudara.”
Aku melihat ke arah Mas Reino, tidak terkejut dengan hal ini.
“Mas, kemarin itu Mas Alan tiba-tiba mengirimkan pesan padaku. Dia bilang katanya dia tidak mau nantinya kehidupan rumah tangga kami direcoki oleh orang lain. Apakah Mas Reino melakukan sesuatu pada Mas Alan?” Tanyaku, tiba-tiba teringat pada pesan w******p Mas Alan.
Bagaimanapun juga, surga seorang istri ada pada suami. Surga seorang anak lelaki ada pada ibunya. Aku tidak mau, rumah tanggaku direcoki oleh Mas Reino yang memang protektif padaku. Kalau mama, aku yakin akan dengan besar hati melepasku dan menjadi istri Mas Alan.
Buktinya, mama tidak memaksaku untuk menempati rumah mewah yang dihadiahkan mama padaku sebagai hadiah pernikahan. Mas Alan sudah punya rumah, memang tidak mewah ataupun besar tapi katanya rumah itu adalah hasil keringatnya yang akan dia tinggali bersama anak istrinya. Kebahagiaan sebuah kehidupan rumah tangga tidak berdasar dari kemewahan rumah yang ditinggali melainkan dari dalam rumah itu. Seorang istri yang patuh pada suami, mampu membuat suami merasa nyaman dan selalu tersenyum, anak-anak yang sholeh dan hormat pada orang tuanya.
Tentu saja aku melambung mendengar hal ini. Ternyata Mas Alan sudah mempersiapkan rumah untuk kami tinggali. Istri mana sih yang tidak terbang ke langit ke tujuh jika suami sudah mempersiapkan sedemikian rupa demi kenyamanan dan kebahagiaan rumah tangga?
“Iya, tapi aku cuma bilang aku tidak mau adikku tersakiti. Gitu doang kok Na, kenapa pula jadi cowok kok cemen gitu sih?”
“Mas! Kumohon, nantinya kalau aku sudah resmi menikah, jangan campuri urusan rumah tanggaku ya.” Pintaku pada Mas Reino, yang dibalas dengan tatapan mata tidak percaya dari mata tajamnya.
Mas Reino menghela nafas, tidak menjawab apapun, tanda bahwa dia tidak setuju, walau aku tahu dia pasti akan mengikuti permintaanku ini.
Tapi ini adalah kesalahan terbesarku, karena tidak mempercayai apa yang dikatakan oleh Mas Reino. Mataku terlalu buta, dibutakan oleh cintaku pada Mas Alan. Ternyata, cintaku hanya sepihak saja, bertepuk sebelah tangan.
***