Tamu tak diundang

1635 Words
Sudah tiga bulan Jonathan menjabat sebagai CEO di perusahaannya untuk menggantikan posisi papanya. Jonathan juga tak butuh waktu lama untuk beradaptasi dengan pekerjaan yang harus ia kerjakan setiap harinya. Tentu saja semua itu juga berkat asisten pribadinya—yang tak lain sahabatnya sendiri—Tegar. Tegar melakukan semua tugasnya dengan sangat baik. Bahkan ia bisa bekerja sama dengan Gresia, meskipun usia mereka saat ini terpaut 5 tahun. Gresia adalah seorang janda tak beranak. Meskipun usianya sudah kepala 3, tapi dia masih terlihat cantik, karena dia memang pandai merawat diri. Gaji seorang sekretaris cukup untuk membawanya ke salon setiap bulannya. Apalagi ia hanya membiayai hidup ibunya, karena ia sudah tak punya ayah maupun saudara lain. “Jo. Mata lo katarak ya?” ledek Tegar. Jonathan mengernyitkan dahinya. Benar-benar tak paham dengan maksud sahabat sekaligus asisten pribadinya. Apalagi mengatainya mengidap penyakit katarak. Padahal kondisi kedua matanya baik-baik saja. Kedua mata Jonathan bahkan bisa melihat dengan sangat jelas. Apalagi kalau melihat cewek cantik yang bening-bening dan bertubuh menggoda. Atau mungkin mata Tegar kali yang katarak. Bukan mata Jonathan. Saat ini mereka sedang makan siang bersama di sebuah restoran. Itu sudah menjadi rutinitas mereka setiap hari, karena Jonathan tidak ingin makan di kantin kantornya. Sudah jelas apa alasannya. Jonathan tak ingin menjadi pusat perhatian disana. Dimana semua mata menatap ke arahnya, membuatnya merasa tak nyaman dan mungkin bahkan menghilangkan selera makannya. “Kenapa lo tiba-tiba ngatain mata gue katarak?” tanyanya bingung. “Lo bilang sekretaris lo udah tua. Gak menggoda. Tapi nyatanya, dia masih cantik, seksi lagi.” “Itu menurut lo, bukan menurut gue. Gue masih suka yang seger-seger, bukan janda kayak si Gresia. Jangan bilang lo penyuka janda ya?” tebaknya. “Gue mah apa aja suka, asal mau gue ajak in the hoy,” ucap Tegar lalu tertawa. “Dasar! Otak lo ternyata sama aja. Otak lo kotor!” Tegar mengambil ponselnya dari saku celananya. Ia lalu membuka aplikasi galeri di ponselnya. Melihat foto yang beberapa hari lalu sengaja ia abadikan. Senyuman mulai merekah di kedua sudut bibirnya, hingga membuat Jonathan mengernyitkan dahinya sekali lagi. “Lo kenapa senyum-senyum sendiri? udah gak waras? Atau lo kesambet?” sindirnya. Tegar lalu menunjukkan layar ponselnya kepada Jonathan yang menampilkan foto wanita yang baru saja mereka bicarakan. Gresia nampak tengah tersenyum manis. Jonathan hanya menggelengkan kepalanya. Apalagi saat melihat kedua sudut bibir Tegar yang masih saja tersenyum. Bener-benar udah gila. Masa dia suka sama Janda. Udah gak ada lagi stok perawan apa? sampai mau ama janda. “Gue gak ingin lo ampe bikin ulah di kantor gue ya. Scandal hubungan dalam satu kantor, akan merusak kinerja lo. Gue gak mau sampai pekerjaan lo mulai terhambat dan merugikan perusahaan gue.” Nasehat seorang sahabat dan juga seorang atasan yang takut asistennya bikin ulah dan merugikan perusahaan keluarganya. Walaupun sebenarnya Jonathan tak ingin ikut campur soal urusan pribadi Tegar. Tapi, kali ini menyakut masa depan perusahaannya. “Lo tenang aja. Gue main aman. Sepertinya dia juga tertarik sama gue. Pucuk dicinta ulam pun tiba.” Berbicara sambil nyengir memperlihatkan deretan gigi-giginya yang putih. Membuat Jonathan berdecak. “Serah lo. Jangan ampe bunting aja. Lo siap tanggung jawab?” “Apa lo pernah denger gue buntingin anak orang? Gak ‘kan? Jadi lo tenang aja. Lagian gue juga belum apa-apain dia. Baru dalam tahap pendekatan.” Jonathan menggelengkan kepalanya. Ia kenal siapa itu Tegar. Meskipun dia selalu melakukan free s*x, tapi tak pernah sekalipun Jonathan mendengar ataupun melihat ada wanita yang minta tanggungjawab kepada sahabatnya itu. “Apa gak ada wanita lain? Mungkin saja servis Gresia udah gak memuaskan. Secara diakan janda, usianya juga sudah tak lagi muda. Jangan sampai lo mainin dia, terus dia jebak lo, terus minta lo tanggung jawab.” Tegar menaikkan satu alisnya, “tak ada dalam kamus gue untuk tanggungjawab, karena kita sama-sama melakukan tanpa paksaan dan tak pakai perasaan. Anggap aja sama-sama butuh pelampiasan.” Jonathan hanya menggelengkan kepalanya. Ternyata sahabatnya ini tak kalah gilanya seperti dirinya. Sepulang dari kantor, seperti biasanya, Jonathan memilih untuk tinggal di apartemennya, karena baginya ia butuh privasi. Bukan berarti ia tak suka tinggal dengan kedua orang tuanya. Tapi, ia ingin mandiri. Jonathan terlihat lebih segar setelah membersihkan dirinya. Mengambil pakaian dari dalam lemari, lalu memakainya. Menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang. Lelah itu sudah pasti. Hari ini begitu banyak pekerjaan yang harus ia kerjakan, tentu saja dibantu Tegar dan Gresia. Bahkan ia belum lama ini memenangkan tender besar. Pria berwajah tampan yang digandrungi banyak para kaum hawa itu kini tengah menatap langit-langit kamarnya. Menerawang, mengingat kembali apa yang tadi ia bicarakan dengan Tegar. “Gue gak habis pikir. Apa yang Tegar melihat dari Gresia? Apa jangan-jangan dia memang suka yang tua-tua ya? janda lagi.” Jonathan mengubah posisinya menjadi duduk di tepi ranjang, saat mendengar suara bel berbunyi. Menebak-nebak siapa yang berkunjung ke apartemennya. Sungguh mengganggu, karena Jonathan sedang tak ingin diganggu hari ini. Mengumpat itu pasti. Tapi, Jonathan tetap beranjak berdiri, melangkah keluar dari kamar hanya untuk membuka pintu, menyambut tamu yang tak diundang. Jonathan tersentak, saat mendapat pelukan yang tak ia duga. Siapa lagi kalau bukan Dina pelakunya. “Aku kangen sama kamu, Jo.” Mengeratkan pelukan. Padahal semalam baru saja menghabiskan waktu bersama dengan Dava. Bahkan tadi pagi sudah menghabiskan waktunya bersama dengan Dava. Apa memang Dina itu piala bergilir? Entahlah. Jonathan melepas pelukan yang sangat membuatnya tak nyaman. Padahal dulu ia sangat bahagia saat Dina memeluknya se-erat itu, karena dengan begitu ia bisa merasakan kedua benda kenyal yang bentuknya tak kecil itu. “Ada apa kamu kesini?” tanyanya lalu masuk ke dalam. Meninggalkan Dina yang masih berdiri di depan pintu dengan mengerucutkan bibirnya. Tentu saja karena Jonathan tak menyuruhnya untuk masuk. Sikapnya bahkan menunjukkan tak suka dengan kedatangan Dina. Tapi, meskipun begitu Dina tetap melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen kekasihnya itu tanpa diminta sekalipun. “Memangnya kalau aku mau datang kesini harus ada alasan?” tanyanya lalu memeluk Jonathan dari belakang. Mencoba mencium bau maskulin sang kekasih yang tentu saja sangat ia rindukan. Selama menjabat sebagai CEO di perusahaan keluarganya, Jonathan sudah tak ada waktu untuk Dina, meskipun sekedar menghabiskan waktu saat weekend. Tentu saja Jonathan memang sengaja menghindar, mencari alasan. Hanya pekerjaan yang bisa dijadikan alasan untuknya, karena ia memang tak ingin bersama dengan Dina. “Aku kangen sama kamu, Jo. Aku nginep sini ya malam ini?” mengeratkan pelukannya. Jonathan menurunkan kedua tangan Dina yang memeluknya erat. Membalikkan tubuhnya menghadap sang kekasih. “Aku capek, Din. Aku lagi gak ingin diganggu. Aku juga lagi gak ingin ML sama kamu.” Dina mengernyitkan dahinya, “kamu udah bosen sama aku? atau kamu udah dapat kepuasan dari wanita lain?” Jonathan menggelengkan kepalanya. Memang kenyataannya seperti itu. Tiga bulan ini Jonathan memang sibuk dengan pekerjaannya. Apalagi dengan tender besar yang ia tangani saat ini. “Ayolah, Jo. Aku lagi pengen. Gak seperti biasanya kamu nolak saat aku ajak ML?” Mengernyitkan dahinya, menatap kedua mata Jonathan, berharap mendapatkan jawaban. Jonathan menghela nafas, “aku hanya tak ingin melakukan itu lagi. Kamu juga harus bisa menahan diri. Jangan seperti itu terus. Gak baik juga buat tubuh kamu.” Mencoba menasehati, padahal dirinya sendiri juga tak sanggup menahan diri lama-lama. Dina mendudukkan tubuhnya di sofa, “aku kemarin ketemu Jenny.” Jonathan membulatkan kedua matanya. Awas saja kalau sampai dia bongkar semuanya ke Dina! “Kenapa kamu kasih tau aku?” mencoba untuk tetap tenang. Tak ingin terpancing, yang mungkin akan membuat rencana yang sudah disusun hancur berantakan. “Jenny kan mantan kamu. Apa kamu gak kangen sama dia? Sudah berapa kali kamu tidur sama dia?” Jonathan menaikkan sebelah alisnya, “kamu gak lagi sakit ‘kan? Kenapa kamu malah tanya kayak gitu sama aku?” Mendudukkan tubuhnya di sebelah Dina, “hati kamu emang gak sakit?” tanyanya kemudian. Dina tersenyum sinis, “sakit! Aku udah kebal, Jo. Bukan hanya sekali, dua kali kamu duain aku. Tapi aku tetap diam, karena aku yakin, kamu akan kembali ke aku, karena yang kamu cintai hanya aku. Mereka hanya kamu jadikan pelampiasan sesaat.” Memeluk tubuh Jonathan erat, “kamu hanya cinta sama aku. Suatu saat, kamu akan kembali menjadi Jonathan yang dulu lagi,” lanjutnya. Jonathan menghela nafas, “kamu udah makan belum?” Dina menggelengkan kepalanya. “Kamu bisa masak gak? Aku lapar.” Dina kembali menggelengkan kepalanya. Untuk apa bisa masak, kalau ada yang siapin semuanya. Tinggal minta, semua pasti sudah siap dimeja makan. “Makan diluar aja. Makan malam romantis.” Mendongakkan wajahnya, mencium bibir sang kekasih. Karena sudah sangat lapar, Jonathan hanya mampu menganggukkan kepalanya. “Aku janji, kalau kita udah nikah, aku akan belajar memasak,” lanjut Dina. Menikah? Mungkinkah itu terjadi? Jonathan beranjak dari duduknya, melangkah menuju kamar untuk mengambil jaket dan kunci motor. Lagi males pakai mobil, kangen pakai motor. “Pakai motor aja ya. Lagi males bawa mobil,” ucapnya setelah keluar dari kamar. Dina mengangguk, “aku juga kangen bonceng motor kamu. Udah lama juga kita gak jalan-jalan pakai motor.” “Kita pergi sekarang, aku sudah lapar.” Sengaja mengalihkan pembicaraan, karena tidak ingin mengingat kembali kemesraannya dengan Dina dulu. Saat mengingat itu, rasa sakit di hati kembali muncul. Ingin memaki tapi tidak sanggup. Bukan karena masih sayang, tapi entah mengapa melihat kedua mata Dina, seakan kembali membuatnya bimbang. “Kita mau makan dimana?” Dina bergelayut manja di lengan Jonathan. “Terserah kamu, yang penting aku bisa segera isi perut aku.” Jonathan dan Dina lalu melenggang keluar dari apartemen dan menuju lift. Dina merangkul lengan Jonathan, "Jo, aku senang deh, kamu mau mengajak aku makan malam. Sudah lama kita gak makan malam berdua kayak gini." Jonathan hanya diam. Pintu lift terbuka. Mereka lalu masuk ke dalam lift. Saat didalam lift, Dina tak melepaskan rangkulannya pada lengan Jonathan. Hingga membuat Jonathan merasa risih. Dina mengecup pipi Jonathan, "aku mencintaimu, Jo," ucapnya dengan senyuman di wajahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD