"Jangan berani-berani kabur dari sini!"
Kiran terkejut dengan suara tajam dan melengking wanita paruh baya yang merupakan bibinya sendiri. Dia menoleh ke belakang dan menemukan bibinya, Ivana, tengah memergokinya di depan pintu masuk rumah, lalu bergegas menghampirinya dengan langkah marah.
Kopernya ditarik dan dilempar sembarang melewati pintu dan seluruh isinya berhamburan. Kiran yang baru saja berniat kabur dari rumah karena dijodohkan sepihak oleh bibinya dengan pria tak dikenal, hanya bisa terkejut. Dia tahu bagaimanapun dia melawan sang bibi, dia pasti kalah.
"Bibi, biarkan aku pergi dari sini." Kiran mengikuti bibinya dan menatap tas pakaiannya dengan sedih. "Aku tidak ingin dijodohkan!"
Wajah Ivana membengkak karena marah. "Kamu anak tidak tahu diuntung! Mau berapa lama lagi kamu jadi benalu di keluarga ini, hah? Apa kamu tidak bisa membuat bibimu senang satu kali saja?"
Benalu?
Sebelum Kiran bisa mencerna kata-kata kasar tersebut, sang bibi meledak lagi, "Ini baik untukmu! Aku mengatur perjodohan ini karena keluarga kaya itu bisa membantu keuangan kita! Dia bisa membayar utang diambil paman bodohmu itu! Dua keluarga sudah setuju, bahkan calon pasanganmu juga. Mengapa kamu harus keras kepala?"
"Tapi, Bibi—"
"Kamu tahu keuangan keluarga kita saat ini menipis dan kami sangat membutuhkan uang itu," potong sang bibi. "Kamu pikir biaya sekolahmu didapatkan dari langit begitu saja? Memberimu makan dan minum setiap hari, darimana uang itu? Setidaknya kamu harus meringankan bebanku."
Semua perkataan itu seperti mengulik kembali rasa dendam yang sengaja Kiran kubur di dalam hatinya. Sepuluh tahun yang lalu, dia datang dalam keluarga sang bibi, setelah kematian orang tuanya dalam kecelakaan. Pada awalnya mereka sangat baik dan ramah, namun tanpa dia ketahui, ternyata mereka diam-diam mengambil semua uang kompensasi kecelakaan milik keluarganya dan juga mengambil uang pensiunan sang ayah dengan alasan untuk menyekolahkannya.
Tapi itu semua omong kosong! Tidak ada sekolah! Tidak ada biaya ayahnya yang bisa dinikmati Kiran sama sekali! Semua harta itu dirampas oleh serigala busuk tua ini! Harta warisan itu lenyap seperti asap tipis di udara.
Mana mungkin Kiran bisa tahan dengan semua ketidakadilan di keluarga ini? Dan sekarang mereka bahkan berani semena-mena menjodohkannya secara sepihak?
"Bibi, apakah kamu lupa bahwa semua uang terakhir peninggalan ayahku telah kamu ambil? Sekolah? Biaya hidup? Aku bekerja paruh waktu bahkan untuk menghidupi kebutuhanku sendiri. Di mana hakku atas uang itu? Sekarang kamu berkata bahwa uang ayahku telah habis untuk pendidikanku? Aku bahkan tidak bisa pergi ke universitas karena uang itu telah lenyap tak bersisa!" Kiran menatap sang bibi tidak percaya. Ini adalah pertama kalinya dia bisa melampiaskan kemarahannya.
Wajah Ivana segera berubah menjadi biru karena amarah.
"Kamu masih mau beralasan? Uang ayahmu tidak sebanyak itu untuk menghidupimu selama sepuluh tahun! Apalagi untuk pergi ke universitas! Jangan bermimpi! Sekarang ketika kamu dewasa, utang biaya mengurusmu sepuluh tahun yang aku berikan seharusnya kamu bayar dengan lunas!" Sang bibi berteriak tak kalah keras. "Dengarkan aku, pernikahan akan tetap terjadi bahkan jika kamu mati. Kamu akan bahagia hidup dengannya dan kamu bisa membayar biaya hidupmu selama tinggal di rumah ini."
"Tidak, Bibi. Aku tidak akan menikahinya! Bagaimana aku bisa menikah dengan orang yang tidak aku cintai?" kata Kiran bersikeras.
Ivana mendengus. "Cinta katamu? Anak muda ini bicara tentang cinta-cinta saja, apakah cinta bisa membuatmu kenyang? Kamu belum bertemu dengannya, jadi kamu belum melihat seperti apa dia. Dia adalah lelaki tampan yang kaya raya, setelah kamu menikah dengannya, dia mungkin cepat atau lambat akan mati. Kamu tidak akan menderita. Setidaknya kamu akan mendapatkan sedikit harta mereka di tanganmu. Kamu mengerti?"
Apa? Mati?
Apa calon suaminya akan dibunuh ketika mereka menikah?
Koper kembali ditarik kasar dari tangan Kiran, kali ini Ivana membawanya ke kamar dan dilempar ke dalam begitu saja. Dia menatap Kiran. "Keluarganya telah putus asa menjodohkan lelaki itu, namun tidak seorang pun yang menerimanya karena tubuhnya sangat lemah dan bisa mati kapan pun."
Kiran, "..."
Wanita itu melanjutkan, "Aku hanya berpikir, bukankah kalian sangat serasi; anak yatim piatu yang malang dan lelaki penyakitan yang hampir mati?"
Kiran tidak bisa lagi mendengar ini. Selain memanfaatkan dirinya, sang bibi bahkan ingin memanfaatkan orang lain yang akan menjadi jodohnya dan berniat menguras kekayaannya.
Wanita ini benar-benar iblis.
"Begini, kita butuh uang ini jadi kamu akan menikah dengannya dan mengurusnya. Tidak ada bantahan lagi, Kiran. Pernikahan akan diadakan seminggu dari sekarang, maka kamu punya waktu lama untuk menghabiskan waktu dengan Richie. Aku tidak ingin melihat kamu tidak sopan padanya atau bersikap kasar, apakah kamu mengerti? Sekarang aku ingin kamu pergi ke kamarmu dan menelepon anak baik itu dan mengatur kencan dengannya untuk besok."
Richie? Jadi namanya adalah Richie?
"Bibi, aku tidak bisa dan ..."
"Kamu tidak bisa protes sekarang. Pernikahan telah diatur," sang bibi menyela. Lalu menyerahkan selembar kertas berisi nomor telepon. "Ini adalah nomor telepon calon suamimu, hubungi dia dan berkenalanlah dengannya."
Sebelum Kiran sempat mengajukan protes lagi, Ivana mendorongnya masuk dan membanting pintu, membuat tembok di sekitarnya bergetar.
"Ini tidak adil!"
Kiran berteriak ke bantalnya; dia baru saja berhasil mengumpulkan biaya untuk kuliahnya sendiri, ini seharusnya menjadi hari yang membahagiakan. Baru saja dia berniat menyingkirkan masa remaja yang sangat dia benci, dan kabur dari sini, tapi sekarang dia tahu dia harus menghabiskan sisa hidupnya bersama lelaki tak dikenalnya.
Terlebih lagi, calon suaminya itu akan mati?
Kiran mendapati dirinya menjadi begitu marah hingga air mata mulai mengalir dari matanya. Dia baru berusia dua puluh tahun saat ini dan dua tahun setelah lulus dia harus bekerja paruh waktu di beberapa tempat untuk mengumpulkan biaya pendidikannya. Sekarang, bukan hanya Kiran terancam gagal untuk kuliah, tapi dia bahkan akan menikah dengan lelaki yang tidak dikenal?
Sial!
Setelah Kiran sedikit tenang, dia mengambil ponselnya dan memutar nomor yang telah dicatat sang bibi di sebuah kertas. Menimbang nomor itu sebentar sebelum akhirnya mendesah. Bibinya adalah orang yang keras kepala, jika dia tidak menghubunginya maka sang bibi akan melakukannya, itu sudah pasti.
Kiran tidak ingin membuat masalah lebih buruk, selain menuruti sang bibi. Akhirnya, dia membuat panggilan. Dia tidak menunggu lama sampai mendengar seorang lelaki menjawab telepon dengan suara tegas.
"Siapa ini?"
"Hm, aku ..." Kiran menggigit bibirnya. "Apakah ini Richie? Aku adalah Kirane Zivanya."
Lelaki itu terdiam sebentar sebelum bertanya, "Ada hal penting yang ingin kamu katakan pada Tuan Richie? Dia tidak bisa menerima teleponmu saat ini. Aku akan menyampaikan pesanmu untuknya, aku asisten pribadinya."
Kiran melirik jam dinding dan melihat jarum pendek berada di angka dua.
"Maaf, untuk menelepon di waktu yang sibuk. Mungkin aku akan menghubunginya lagi nanti."
"Apa kamu sedang ingin membicarakan bisnis penting dengan Tuan Richie?"
Bisnis?
Benar, layaknya drama televisi, pernikahan yang terjadi karena perjodohan hanya semata-mata juga didasarkan oleh bisnis. Keluarga kaya akan mencari wanita dari status kekayaan tinggi demi meneruskan keturunan yang baik yang nantinya akan mewarisi hak perusahaan dan membuat turunan yang diinginkan.
Tetapi, Kiran merasa sangat aneh. Dia tidak berasal dari keluarga kaya saat ini—hanya kelas ekonomi menengah. Setelah kematian kedua orang tuanya, bisnis yang dibangun sang ayah puluhan tahun lalu akhirnya jatuh ke tangan bibinya yang serakah. Itu bahkan bangkrut sebelum bisa dikelola selama dua tahun. Semuanya dikarenakan pamannya yang tukang berjudi, hanya menggunakan hartanya sebagai investasi uang yang merugikan.
Dalam kebangkrutan itu, bibinya yang awalnya bersikap manis dan baik hati seperti semut penjilat, merubah sikapnya secara drastis. Seolah-olah kebaikan yang pernah dia lakukan sebelumnya tidak pernah ada di dunia ini, dan segalanya berbanding terbalik dengan kehidupan masa lalunya. Belum lagi Kiran harus menghadapi dua sepupunya yang egois dan sering sekali mencari masalah dengannya.
Terdengar suara batuk ringan yang menyadarkan Kiran dari pikirannya sendiri. Karena suara lelaki di seberangnya terdengar tegas, entah bagaimana Kiran merasakan aura dingin seperti permusuhan yang nyata darinya.
"Aku ingin bertemu dengan Richie. Bibiku memberikan nomor ini padaku untuk alasan perjodohan," kata Kiran akhirnya.
"Oh." Lelaki itu nampaknya menyadari situasinya dan menjelaskan, "Kalau begitu, aku akan segera mengatur waktu pertemuannya. Aku akan memberimu kabar, Nona Kirane."
Sebelum telepon dimatikan, Kiran menghentikannya, "Tunggu dulu. Aku ingin bertanya, mengapa dia menerima dijodohkan dengan cara seperti ini? Apakah dia tidak perlu tahu latar belakang keluargaku dulu?"
Paman dan bibinya hanya orang serakah yang punya banyak bisnis busuk dan memiliki utang di mana pun. Selama sepuluh tahun, mereka hampir pindah rumah beberapa kali karena menghindari penagih utang. Baru setengah bulan lalu, pamannya kembali tersandung utang dengan bunga besar, dan membuat keluarga ini kelimpungan. Dua anaknya yang sedang bersekolah sampai harus ditegur pihak sekolah karena menunggak bayaran dan terancam dikeluarkan.
Orang kaya mana yang secara cuma-cuma ingin menikahkan anak mereka dengan keluarga seperti ini?
"Pernikahan sudah diatur oleh kepala keluarga. Apa pun yang menjadi pertimbangan mereka, itu pasti bagus untuk Tuan Richie." Asisten itu berkata dengan nada yang tenang.
"Tapi ini adalah dunia modern dan orang yang masih memikirkan tentang perjodohan itu kuno."
Tidak ada jawaban dari seberang, seolah-olah lelaki itu sengaja untuk tidak menjawab.
Kiran jadi bertanya-tanya, apakah pria bernama Richie itu memang terlalu putus asa mendapatkan pasangan sehingga dia tidak menolak sedikitpun. Dia kaya dan tampan, jika bibinya berkata benar, Kiran mungkin akan mendapatkan sebagian warisan hartanya.
Tetapi, Kiran tidak senang dengan fakta itu, dia tidak menginginkan harta apa pun. Bahkan jika harta itu jatuh ke tangannya, dia tidak sudi memberikannya pada sang bibi dengan mudah.
"Pukul lima sore besok, ada jadwal kosong. Aku telah mengatur tempat. Alamatnya akan kukirim lewat pesan."
"Ah?" Kiran linglung.
"Ada hal yang lain lagi? Aku harus kembali bekerja," kata asisten lelaki itu.
"Tidak."
"Baik, jangan terlambat untuk besok, Nona Kirane."
Sambungan itu terputus.
Kiran menatap ponselnya dengan bingung. Baru saja dia tidak merasa seperti baru saja membicarakan tentang janji temu, tapi seperti seorang pegawai yang sedang diberi tugas oleh atasannya.
Apa-apaan ini?
Kiran tidak bisa memikirkan apa pun lagi selain penderitaan hidupnya selama ini. Pikiran malang itu bahkan tidak hilang dari kepalanya sampai keesokan harinya. Karena Kiran tidak bisa melanjutkan kuliah, di pagi hari dia bekerja sebagai guru di pre-school, sore hari dia akan menjadi guru les privat, lalu di malam hari, dia bekerja di sebuah loket kereta api.
Hari ini dia bebas pada pukul empat. Dia mandi singkat dan mengganti pakaiannya dengan gaun sederhana selutut berwarna merah dan knit blazer abu-abu yang tipis dan tua. Dia juga memakai sepasang sneakers merah yang senada dengan gaunnya, membiarkan rambutnya digelung ponytail, lalu siap pergi menunggu bus di halte untuk mengantarnya ke tempat janjian.
Dikatakan di pesan, tempat pertemuan mereka adalah sebuah restoran yang terdekat dari tempat kerja Kiran berada. Dia tahu tempat itu karena restoran tersebut satu-satunya tempat yang biasa dikunjungi orang kaya, cukup bergengsi dan mahal. Tentu saja, bagi konglomerat mengadakan pertemuan di tempat seperti itu sudah biasa.
Tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Kiran menyingkir karena mobil itu menghalanginya dari pandangan di halte bus, tapi mobil itu juga maju mengikutinya lagi. Kiran berniat bergeser lagi, sampai kemudian seseorang keluar dari sana.
Itu adalah seorang pria dengan pakaian tiga lapis yang rapi. Kacamata yang membingkai matanya membuatnya nampak anggun dan berpendidikan. Pria itu rupanya menghampiri Kiran.
"Apakah kamu yang bernama Kirane Zivanya?"
Kiran menoleh ke kanan kiri, dan hanya ada dia di sana dan pria itu juga menyebutkan namanya.
"Siapa kamu?" tanya Kiran, mencengkeram tali tasnya agak takut.
Wajah pria itu sangat tenang, tanpa ada senyum dia berkata, "Aku adalah asisten Tuan Richie. Namaku adalah William Feivel. Aku di sini untuk menjemputmu."
Kiran tidak bisa percaya begitu saja pada orang asing dan dia tidak segera menjawab. Kakinya mundur selangkah.
"Nona Kirane, kita sudah berbicara lewat telepon sebelumnya. Masuklah. Aku bisa membuktikan bahwa aku benar-benar asisten Tuan Richie." William berkata lagi karena menyadari perubahan ekspresi Kiran.
"Maaf. Aku hanya sedikit waspada. Dan kamu bisa memanggilku Kiran saja."
Wajah William tidak berubah, dia membuka pintu. "Baiklah. Silakan masuk, Nona Kiran."
Diperlakukan seperti ini adalah hal yang pernah dialami Kiran sepuluh tahun yang lalu. Dulu, dia adalah nona muda yang manja dan ceria, tidak pernah mengalami kesulitan dan penderitaan. Sejak orang tuanya meninggal, dia hanya tahu bagaimana bekerja keras dan meraup uang banyak. Kiran sangat miskin. Meskipun keluarga bibinya tidak dalam strata rendah di masyarakat, tapi mereka menganggap Kiran sama seperti pembantu. Setelah sepuluh tahun, Kiran sama sekali lupa rasanya diperlakukan sebagai majikan.
Perlahan-lahan dia masuk. Di sebelahnya, hanya kursi kosong dengan beberapa dokumen di atasnya, dengan aroma lembut yang keluar dari mobil, Kiran sedikit rileks.
Dari arah depan, William mengulurkan ponsel yang sedang melakukan panggilan. "Tuan Richie ingin bicara denganmu."
Kiran meraih ponsel dengan gugup. "Halo?"
Setelah beberapa detik, sebuah suara lembut terdengar di telinganya, "Maaf, membuatmu takut, Nona Kirane."
Ketika suara itu masuk ke telinganya, itu sangat enak didengar, tipis seperti kapas yang tidak memiliki beban berat. Ringan dan halus.
Kiran agak terpana dengan suara itu sesaat, kemudian dia merasakan sedikit rasa tenang yang akrab.
"Kamu mendengarku, Nona?"
Kiran terkejut. "Ah? Panggil saja aku Kiran."
"Lalu kamu bisa memanggilku Richie. Jika kamu menghubungiku sebelumnya, itu artinya kamu sudah tahu apa yang terjadi," katanya.
Terdengar suara batuk rendah beberapa kali yang tidak bagus, yang berusaha ditutupi, namun masih bisa terdengar olehnya. Kiran sedikit mengernyit. Dia ingat bahwa bibinya berkata calon suaminya ini sakit-sakitan dan lemah, jadi itu tidak bohong?
Kiran tiba-tiba murung. "Aku ingin bertanya padamu, kenapa kamu menerima perjodohan ini?"
"Kenapa kamu bertanya?"
"Bukankah ini aneh?" Kiran tiba-tiba teringat kekesalannya. "Jika tiba-tiba kamu dijodohkan dengan orang yang tidak kamu kenal, bagaimana kamu bisa menerimanya begitu saja? Bagaimana jika aku menikahimu hanya dengan maksud yang buruk? Apakah kamu tidak takut?"
Berbicara apa yang ada di pikirannya adalah kebiasaan Kiran. Selama sepuluh tahun, dia selalu bisa membalas sepupu-sepupu nakalnya yang terus berusaha mengganggunya dan berakhir dihukum oleh sang bibi. Tapi Kiran tidak pernah takut karena itu dan selalu berusaha melawan agar tidak terus diinjak-injak oleh dua bersaudara itu.
Pada akhirnya setelah sekian lama menanggung penderitaan itu, Kiran bisa mengumpulkan uang untuk pergi dari rumah sang bibi dan sekarang inilah yang terjadi.
Bibinya mungkin sudah membaca maksudnya dan berniat menahannya di sini sampai mati.
"Setidaknya kamu bisa melihat latar belakang keluargaku dulu untuk melihat apa itu baik untukmu atau tidak. Orang tuamu pasti tidak akan memberikan jodoh yang sembarangan untuk putra dewa sepertimu, 'kan?"
Laki-laki di seberangnya tidak berkata beberapa saat, namun tiba-tiba terdengar suara tertawa yang lembut, diiringi sedikit batuk ringan.
"Bagaimana jika begini, kita bisa bertemu dulu untuk melihat apakah kita memiliki kecocokan atau tidak. Jika kita tidak cocok, maka kita bisa menjadi teman," jawab lelaki itu dengan suara menenangkan.
Untuk sesaat, Kiran merasa sangat kasihan dengan lelaki malang itu. Hidupnya bahkan lebih menderita daripada dirinya. Dalam keadaan lemahnya, entah sudah berapa wanita yang menolak dijodohkan olehnya dan mungkin memandangnya dengan buruk, lebih parah menghinanya.
"Namaku adalah Richard Krasinski. Kamu bisa memanggilku Richie."
"Huh?"
"Kupikir kamu pasti sudah tahu namaku dari bibimu, aku hanya ingin memperkenalkan diri secara langsung." Terdengar napas lemah di telinga Kiran, entah bagaimana dia merasa bahwa seseorang yang ada di seberang panggilan tengah berada di sampingnya saat ini.
Kiran tidak bisa membalas kalimatnya sama sekali, bimbang dan linglung.
"Orang tua terbiasa dengan sikap otoriter mereka pada anak-anak." Richie berkata lagi. "Mengapa kita tidak bertemu dulu hanya untuk menyenangkan mereka?"
Kiran menemukan bahwa lelaki ini mungkin telah mengalami rasa lelah luar biasa lebih dari dirinya.
Terdengar suara batuk lagi, kali ini lebih lama dari sebelumnya.
"Apa kamu baik-baik saja untuk pergi hari ini? Sepertinya penyakitmu cukup buruk."
Saat Kiran berbicara, suara batuk masih terdengar, tetapi Richie pasti telah mendengarnya karena dia segera menjawab, "Maaf, membuatmu merasa tidak nyaman. Aku hanya sedikit flu hari ini."
Percakapan di telepon sangat sempit untuk membahas banyak hal, maka Kiran tidak mau mengorek terlalu banyak. Dia bisa mengukur lelaki itu langsung jika mereka bertemu nanti. Dan tidak akan menyinggungnya secara tidak langsung.
"Pekerjaanku belum selesai, aku mungkin akan datang sangat terlambat. Bisakah kamu menunggu sebentar?" tanya lelaki itu lagi.
Saat ini masih lima belas menit lagi sampai pertemuan mereka. Tidak masalah untuk menunggu. Kiran tidak punya banyak kegiatan setelah ini.
"Aku akan menunggumu."
"Jika terlalu lama, kamu bisa meminta William untuk mengantarmu pulang." Richie terbatuk lagi, suaranya berubah serak dan lemah setelah itu. "Aku akan menyelesaikannya secepat mungkin."
"Baiklah, lebih baik kamu simpan energimu. Kamu bisa minum air jahe hangat untuk melegakan tenggorokan," usul Kiran.
"Terima kasih atas perhatianmu. Sampai bertemu nanti."
"Mn."
Ketika sambungan terputus, Kiran menatap layar ponselnya cukup lama dan pikirannya bercabang.
Saat itu pula mobil telah sampai di basemen sebuah restoran besar. William membawanya masuk ke dalam lift dan bersikap seperti pembimbing jalan.
Sikap tubuh William sangat stabil dan kokoh, daripada asisten dia lebih cocok disebut sebagai bos. Wajahnya juga berpendidikan, sehingga Kiran punya pemikiran bahwa lelaki ini cocok jika menjadi seorang profesor di sebuah universitas dan jika dia memiliki profesor setampan dan sependiam ini, semua mahasiswa pasti akan betah berada di kelas. Memikirkan itu membuat dia tertawa tanpa sadar.
Lift itu dengan cepat mencapai lantai lima. Kiran baru saja keluar dan disuguhkan dengan banquet indah yang sedang didekorasi dengan banyak bunga yang cantik. Dia kemudian berjalan ke sebuah lorong yang panjang dan masuk dalam satu kamar pribadi. Di tengah-tengah ruangan terdapat meja mewah dengan lilin-lilin yang hidup, lampu kristal menggantung di atas dan pemandangan di luar jendela gemerlap dan luar biasa.
Selera orang kaya selalu membuat Kiran jengkel.
Setelah duduk di kursi empuk berlapis warna emas, pelayan datang menghampirinya. Dia tidak terlalu lapar saat ini dan hanya memesan minuman jahe hangat supaya dihidangkan saat Richie datang. Kiran tidak tahu kenapa dia melakukan ini, mungkin karena dia merasa kasihan dengan lelaki itu. Terlebih minuman yang dipesan itu sebenarnya tidak ada dalam menu, tapi karena restoran mengutamakan kenyamanan pelanggàn dan bahannya tidak sulit, restoran bisa membuatkannya untuk Kiran.
Sambil menunggu Richie, mata Kiran tidak berhenti mengagumi interior ruang pribadi itu. Restoran yang memiliki ruang pribadi jelas hanya tempat yang sanggup dipesan orang kaya. Sayang sekali, Kiran hanya memakai gaun merah sederhana dan tua. Dia merasa sedikit salah tempat.
Kasta mereka benar-benar begitu jauh.
Seperti kata Richie lewat telepon, dia datang terlambat, tapi ternyata itu hanya tiga menit.
Tiba-tiba pintu ruang pribadi itu terbuka lagi, dan kali ini yang datang adalah seorang pria tinggi dan ramping. Wajahnya sangat tenang dan hangat. Sangat tampan dan memiliki aura halus yang menyenangkan. Kulitnya putih pucat, matanya tipis dan tajam. Dengan alis yang tebal, matanya terlihat seperti menyala dengan bola mata yang berselaput bening, seperti mata orang asing. Dia berjalan begitu lambat, tapi stabil, di tengah itu semua, pandangan matanya mengarah pada Kiran.
Mungkinkah ini yang bernama Richie?
Melihat William langsung menyambutnya, Kiran tidak salah menduga bahwa ini memang calon suaminya.
Kiran benar-benar terpana. Lelaki ini jauh lebih tampan dari yang dia bisa bayangkan. Rambutnya tidak panjang dan pendek, dengan poni yang disisir ke belakang dengan rapi dan jambang yang tipis di dekat telinga. Meskipun fiturnya nampak lemah dan rapuh, wajahnya merupakan tipe yang disukai Kiran. Beberapa kali Kiran mencuri pandang ke arahnya, sampai lelaki itu tiba di dekatnya. Kemudian William menarik kursi dan Richie duduk tanpa masalah.
Begitu cahaya lampu menerangi fitur lelaki itu secara lebih jelas, nampak ada rasa dingin dari pandangan matanya.
"Apakah aku membuatmu menunggu lama?" tanya Richie lembut.
"Tidak terlalu lama," jawab Kiran jujur.
William berbisik ke telinga Richie tiba-tiba, dan lelaki itu mengangguk.
Setelahnya Richie terus menatap ke depan dan ekspresinya sangat santai. Tetapi entah bagaimana, pandangannya tidak fokus dan jauh menembus ke belakang Kiran. Dia menatap Kiran, tapi seolah-olah dia tidak benar-benar menatapnya.
"Mengapa kamu belum memesan apa pun?" tanya Richie.
Sebelum Kiran sempat menjawab, pintu terbuka dan pelayan datang dengan sebuah nampan yang berisi dua gelas cangkir. Salah satu cangkir itu bukan air biasa, memiliki tampilan warna agak keruh namun aromanya segera terhirup siapa pun.
"Siapa yang memesan air jahe ini?" Pelayan itu bertanya.
"Ah, berikan itu padanya," kata Kiran menunjuk Richie, dan segelas teh susù yang lain diberikan pada Kiran.
Melihat minuman jahe hangat di depannya, Richie terdiam dan keningnya mengerut.
"Aku mendengarmu terus batuk saat di telepon, jadi aku memesan ini untukmu." Kiran menjelaskan dengan malu.
Sekilas, Kiran menangkap ekspresi dingin yang melintas di mata Richie. Tapi itu sangat sementara dan jika tidak ada yang benar-benar memerhatikan, seseorang tidak akan menyadarinya. Hanya saja, Kiran merasa sedikit tidak nyaman dengan itu.
Lelaki ini; bahasa tubuh, ucapan dan tidak tanduknya sangat lembut, namun ada rasa dingin di setiap hal yang dia lakukan. Seperti ada rasa permusuhan yang dalam, dan tidak bisa dilihat dengan sembarangan. Ini menimbulkan perasaan yang tidak nyaman. Tetapi Kiran berharap ini hanya dugaannya saja.
Lagi-lagi, dia melihat William membisikkan sesuatu di telinga Richie dan ekspresi lelaki itu agak mengendur sedikit. Dia kembali menatap Kiran dengan matanya yang terbilang cukup unik.
"Terima kasih atas perhatianmu, Kiran. Jadi, bisakah kita membicarakan bisnis sekarang?"
Dan pandangan itu lagi-lagi memiliki jenis aura dingin yang tak dikenal.
tbc.