BAB 9
Perlahan dia mengangkat dagu Nuria sehingga kedua netra Indah yang tengah berkaca-kaca itu kini bersirobok dengannya. “Aku suamimu. Jangan takut, aku akan menjagamu, hm?”
Suara baritonnya yang datar dan tatapan dalam itu tak serta merta bisa mengusir rasa takut pada hati Nuria yang berkelindan. Nuria hanya bisa mengangguk untuk menjawab kalimat yang diucapkan Juragan Arga—lelaki berusia 45 tahun yang kini sudah sah menjadi suaminya.
Acara tak dilanjutkan di rumah megah itu. Bahkan, Nuria tak diperkenalkan dengan siapa pun di sana. Juragan Arga hanya diiringi oleh ajudan dan beberapa orang anak buahnya. Tak ada satu pun keluarga yang dia kenalkan pada Nuria maupun pada Paman Nursam dan Bi Lela. Sungguh aneh.
Sebuah mobil berhias bunga-bunga sudah berada di depan gerbang. Mobil yang berbeda dengan yang digunakan untuk menjemput Nuria pagi tadi.
Tangan kekar itu mengulur pada Nuria. “Berpeganganlah, aku lihat kamu gemetar. Sudah makan?”
Suara Juragan Arga mengalihkan pandang Nuria sekilas. Wajah lelaki yang sudah matang itu berada tak begitu jauh darinya. Dia menatap uluran tangan itu. Juragan Arga mengangguk, tatapannya meyakinkan Nuria. Perlahan, jemari dinginnya menempel pada telapak tangan lebar itu.
Juragan Arga terkekeh menunjukkan deretan giginya yang tampak rapi. “Kamu dingin sekali, Nur. Jangan takut, aku suamimu.”
Lagi, dia ucapkan kalimat itu. Nuria seketika merasa malu. Dirinya benar-benar gugup dan takut. Apalagi lelaki yang ada di depannya itu begitu berkharisma, membuat dirinya tak mampu berbicara apa-apa.
Tenggorokannya yang terasa kering, membuat Nuria tak menjawab apa pun. Lagi-lagi, hanya anggukan sebagai tanda paham. Lalu, dia membiarkan telapak tangan lebar itu menggenggam jemarinya yang dingin, merambat kehangatan yang membuat rasa hatinya sedikit menjadi lebih nyaman.
“Suryadi! Tolong, tetap urus yang ada di sini. Saya pergi dulu ke tempat resepsi!” Terdengar suaranya memerintah. Dia menoleh sekilas pada ajudannya yang tampak masih mengenakan pakaian biasa.
“Baik, Juragan!” tukas Suryadi seraya mengangguk.
Kemudian, jemari Nuria ditarik perlahan. Juragan Arga mengajaknya menuju sebuah mobil yang sudah disediakan.
“Masuklah.” Dia membukakan pintu untuk Nuria yang berjalan sedikit pelan karena kain kebaya yang menjuntai panjang.
Nuria mengangguk. Dia pun melangkahkan kakinya, lalu duduk pada kursi yang terasa nyaman. Tanpa ia sangka, lelaki paruh baya itu berjongkok. Lalu dia melepas sepatunya yang memiliki hak tinggi dan merapikan kain kebayanya yang tak beraturan.
“Pakai lagi nanti di sana. Kakimu sepertinya tak terbiasa dengan heel setinggi ini. Biar nanti Suryadi siapkan yang lebih pendek dan nyaman.” Dia berbicara sendiri sambil melepas sandal yang Nuria kenakan. Sandal yang memang benar-benar menyiksanya.
Tanpa menunggu jawaban. Juragan Arga pun bangkit setelah menggosok sedikit telapak kaki Nuria yang terasa sangat dingin. Dia menutup pintu mobil perlahan, lalu berputar menuju ke pintu sebelahnya. Dia pun duduk dengan memandang lurus ke depan. Wajahnya tampak tenang, tetapi dia tak acuh lagi dengan keberadaan Nuria. Tak ada sentuhan, tak ada obrolan seperti yang tadi ditunjukkannya ketika di depan orang-orang. Nuria sesekali melirik, mencoba menerka apa yang ada dalam pikiran lelaki paruh baya yang duduk di sampingnya.
Acara resepsi digelar di perkebunan buah-buahan milik Juragan Arga. Entah berapa hektar luasnya. Deretan pohon mangga berjajar rapi, ada juga pohon jambu kristal, pohon jeruk, limau dan entah apa lagi. Acara sedikit unik, hanya ada tenda-tenda kecil bertebaran sebagai stand makanan.
Ada pelaminan dan sebuah panggung di tenda yang sedikit agak luas. Para pemain musik akustik sudah sejak tadi mengalunkan nada, membuat burung-burung yang bercicit di atas pohon sedikit menjauh. Kursi-kursi berderet rapi, mengelilingi meja bundar.
Suasana di sana terasa lebih sejuk. Memang, perkebunan itu sudah menuju ke arah pegunungan sanggabuana, di kaki gunungnya terdapat pesawahan yang terhampar dan juga kebun buah-buahan yang terbentang.
Setibanya di sana, Nuria langsung duduk di singgasana megah dan bersisian dengan Juragan Arga. Pernikahan ini sedikit aneh, di mana sejak tadi tak ada surat nikah yang ditanda tanganinya, tak ada sanak keluarga yang diperkenalkan padanya.
Namun, Nuria hanya memendam rasa penasaran itu dan tak berani bertanya. Dia hanya mengikuti seluruh rangkaian acara yang diadakan siang itu. Beberapa kali berganti pakaian, di mana sebuah tenda yang disediakan terpisah dan ternyata isinya adalah orang-orang MUA.
Paman Nursam dan Bi Lela tampak takjub menatap semua makanan beragam yang memenuhi setiap stand makanan. Para warga yang diundang pun tampak bersuka cita, mengambil makanan berulang dan ada juga yang memasukkannya ke dalam tas besar yang dibawa mereka.
“Biarin saja, Juragan Arga sudah kaya raya. Sesekali kita pengin ikut nyicip kekayaannya.” Seorang perempuan berbisik.
Bi Lela—yang tengah mengantri menu bakso di salah satu stand—hanya mengedik.
“Eh, ngomong-ngomong, ternyata Juragan Arga masih ganteng,ya? Tahu gitu, kemarin aku daftarin si Saskia buat jadi istrinya.” Perempuan dengan gamis marun sesekali menoleh pada dua sosok yang tengah menjadi raja dan ratu sehari.
Kali ini, yang mengantri sepertinya bukan orang-orang warga sekitar. Dilihat dari tampang dan gaya mereka, mungkin itu adalah kolega bisnis Juragan Arga.
“Bener, masih gagah banget, lah! Pantas saja ngumpet terus di rumahnya. Kalau keluar, bisa habis dikejar emak-emak! Saya juga kalau tahu dia secakep ini, mending minta cerai sama bapaknya anak-anak, jadi istri Juragan kayaknya enak,” celoteh yang lainnya.
“Masalahnya, emang Juragan mau? Dia, kan, pemilih kalau soal istri.” Perempuan yang lain menimpali.
“Iya, kalau gak pemilih, aku juga mau. Lebih cocoknya sama aku. Dia duda, aku janda.” Seorang menimpali.
Begitulah riuh obrolan mereka, lagi-lagi membicarakan Juragan Arga. Semua sama-sama terpesona oleh sosok yang menurut mereka begitu paripurna. Sayang sekali, bukan mereka yang beruntung mendapatkannya atau sekadar menjadikannya menantu, melainkan Nuria.
Bi Lela hanya sesekali mengedik mendengar obrolan para tamu undangan. Obrolan yang hampir serupa, terdengar dari setiap stand. Dia pun menghampiri Paman Nursam yang tengah duduk bersama Nirina dan Rudi. Mereka tengah menikmati es krim sambil mendengarkan lagu akustik.
“Bu, nanti aku mau pesta pernikahannya kayak gini.” Nirina melirik pada Bi Lela.
“Bilang sama Rudi, lah, Rin! Yang biayai pernikahan, kan, dari pihak suami.” Bi Lela menjawab dengan santai.
“Rud, ya? Please! Aku gak mau pesta pernikahan kita kalah megah dari Nuria.” Nirina cemberut.
Hatinya semakin panas melihat semua kemewahan yang Nuria dapatkan. Apalagi jika ingat dengan mas kawin yang tadi diberikan Juragan Arga untuk Nuria, uang tunai 100 juta dan emas batangan 50 gram. Belum lagi beberapa kotak berhiasan yang tadi diserahkan pada Nuria meskipun dia tak memakainya lagi.
“Hmm!” Rudi hanya berdeham.
Sejak tadi dia lebih banyak diam. Bagaimana tidak, rengekan Nirina membuatnya sakit kepala. Mana sanggup dia memberikan mahar lebih banyak daripada yang Juragan Arga berikan untuk Nuria? Setara pun berat sekali, rasanya.
Acara pun akhirnya usai. Nuria tak lagi ikut pulang ke kediaman paman dan bibinya. Juragan langsung memboyongnya ke rumah utama. Sementara itu, Suryadi-lah yang diutus untuk mengambil semua barang-barang Nuria yang masih tersimpan di sana.
Kaki Nuria yang terasa lelah, akhirnya untuk berpijak di ruang tengah rumah megah itu. Untuk sementara, dia tertegun melihat foto-foto keluarga yang terpampang di sana. Namun, pikirannya teralihkan pada tangisan bayi yang menggema mengisi seluruh ruangan. Dia mengedar pandang, ingin mengetahui bayi siapa yang tengah menangis itu.