Arbi menatap dua lukisannya yang sudah jadi. Dari sudut manapun lukisan itu tampak seperti dua buah lukisan dengan inspirasi sama. Objek yang sama. Tentu saja Arbi tahu kalau memang itu yang dia lakukan. Lukisan pertama terinspirasi dari ketakutan Nenda soal petir, lalu lukisan kedua adalah gambar kucing dan seorang anak lelaki. Kucing itu memakai mahkota seperti raja.
Arbi merasa kalau kucing dalam lukisan itu sudah menyindir seseorang. Cowok kaya yang sedang terpekur karena bingung.
"Lukisan saya sudah jadi. Terima kasih, mas Nenda!"
Nenda terusik mendengar panggilan baru untuknya. Dia tidak tahu sejak kapan namanya sudah berubah jadi menyebalkan seperti itu. Arbi membungkus lukisannya agar tidak berdebu.
"Saya sudah banyak merepotkan. Terima kasih sekali lagi."
Nenda berdehem sekilas.
"Lalu mau kamu kirim ke sekolah gitu?"
Arbi menggeleng pelan. Tidak mungkin dia mengirim lukisan itu. Dia harus mengirimkannya sendiri ke sekolah. Andaikan dikirim via pos pun pastinya ada alamat pengirim. Nenda pasti akan melarangnya.
"Jadi, mau kamu apa?" Nenda bertanya sekali lagi.
"Saya harus kembali ke sekolah, setidaknya sampai pameran selesai."
Nenda menaikkan alisnya.
"Saya tahu kalau mas tidak akan membebaskan saya. Saya tahu diri, saya diculik di sini. Jadi saya harus kembali jadi tawanan, setidaknya sampai Gita mau kembali ke pelukan mas Nenda."
Nenda yakin kalau cowok di depannya ini memang bebal dan oon setengah mati. Ada ya orang diculik tapi dia tetap konsisten untuk tinggal di rumah penculiknya begitu?
"Lalu?"
"Saya ingin membalas budi pada mas Nenda."
Kali ini Nenda tertarik. Balas budi berarti mendapatkan sesuatu yang sebanding dengan usahanya selama ini. Nenda sudah melakukan banyak hal terhadap Arbi, dengan tujuan agar cowok itu tetap hidup. Arbi diberi makan, nebeng belajar juga, lalu dibiayai untuk melukis. Penculik mana yang sebaik dirinya, coba?
"Apa yang bisa kamu berikan?"
"Saya bisa mengajari mas Nenda untuk move on dari Gita."
Nenda bukan cowok bodoh yang percaya pada janji klise seperti itu. Move on terhadap Gita? Bahkan dia sudah lupa soal Gita. Dia tidak ingat soal Gita karena perhatiannya sudah teralihkan karena kerusuhan cowok oon yang ajaib ini.
"Kenapa?"
"Sebagai balas budi saya, saya ingin membuat mas Nenda bangkit dari Gita. Gita bukan tipe orang yang akan mengulangi kesalahannya. Dia keras kepala, mas."
"Jadi kamu anggap aku sebagai sebuah kesalahan?"
Arbi tahu, dia sudah salah bicara. Lantas karena dia sudah bingung mau bicara apa, akhirnya cowok absurd itu menghembuskan napas berat.
"Saya hanya ingin membantu mas Nenda untuk move on."
"Baik banget. Kenapa?"
"Karena mas sudah berbaik hati untuk merawat saya selama ada di sini." Arbi menjawab datar. Perlahan Nenda menelisik wajah yang sedang bicara ini. Bahkan ketika hampir dua minggu lebih dia berada di sini, Nenda masih belum bisa menebak apa yang sedang dia pikirkan.
"Apa yang bisa kamu ajarkan?" Sejujurnya, Nenda hanya penasaran. Dia tahu kalau mendengarkan cowok absurd ini bicara sama dengan menjerumuskan dirinya sendiri.
"Kepribadian mas yang harus diubah."
NGACA!!
Kalau memang dia tahu, harusnya dia sadar soal itu. Ini sama saja dengan masuk rumah sakit jiwa, tapi dokternya juga gila. Itu tidak lucu sama sekali! Nenda melongo, bersiap melepaskan amarahnya. Dua minggu lebih dia diuji. Kesabarannya diuji. Pak Gito dan yang lain seolah senang-senang saja dengan perubahannya.
Dia memang sudah berubah.
Nenda yang biasanya hanya pribadi yang kaku. Melangkah dan menyendiri di ruang kerjanya, mengawasi perkembangan perusahaannya via online. Lalu setelah itu dia bisa memerintahkan pembantunya untuk menyiapkan keperluannya seperti makan, lalu baju ganti dan yang lain. Bahkan dia tidak pernah bertegur sapa dengan pembantunya kalau memang tidak penting.
Namun sekarang?
"Kenapa aku harus belajar kepribadian ke cowok yang bahkan tumpul soal kepribadiannya sendiri?"
Arbi mengabaikan sindiran Nenda.
"Mas Nenda terlalu kaku."
"Dan kamu terlalu datar!!"
"Mas Nenda harus belajar lebih fleksibel dan tidak terikat oleh peraturan."
"Kamu seenaknya!"
"Mas Nenda bisa cepat tua kalau terlalu serius dan kaku. Gita mungkin bisa menganggap mas Nenda terlalu kaku dan membosankan."
Nenda sudah tidak tahan lagi untuk mengumpat. Mengatakan hal baik pada Arbi sama sekali tidak akan pernah direspon baik olehnya. Jadi percuma saja Nenda mencoba menjaga hati Arbi dari ucapan pedas. Dihujat saja anak itu tetap datar.
"Kamu ngomong kayak gitu nggak ngaca apa kalau hidupmu itu juga kaku dan membosankan?!" Nenda murka. Arbi menatapnya datar, tidak takut sama sekali.
"Paling tidak saya lebih luwes daripada mas Nenda." Arbi memuji dirinya sendiri. Dia sering tersenyum ketika berhadapan dengan ibu dan ayahnya. Pada Gita juga dia sangat ramah, banyak senyum. Hanya pada orang asinglah Arbi agak kurang bisa menyesuaikan diri.
Kurang bisa?
Lalu bagaimana dengan pak koki dan seluruh pembantu Nenda itu?
Nenda menatap wajah Arbi dengan raut gemas setengah mampus. Arbi yang ditatap seperti itu tidak paham apa yang sedang Nenda ucapkan. Arbi menanggapinya dengan santai.
"Mas Nenda tahu kenapa kita harus berinteraksi dengan orang-orang?" Nah!
Arbi kembali mengalihkan topik seenak jidat kembali. Nenda memijat pelipisnya gemas. Sudah cukup! Dia tidak tahan kalau harus berdekatan dengan makhluk aneh ini lebih lama. Nenda berdiri, bersiap kembali ke kamarnya hingga didengarnya suara Arbi menginterupsi.
"Mas Nenda, saya serius soal mengajari kepribadian pada mas Nenda."
Nenda dilanda gemas akut berkepanjangan. Bahkan menjelang malam pun Arbi masih mengganggunya soal mengajari kepribadian itu. Nenda tahu kalau dia sudah memilih lawan yang salah. Lantas karena sudah tidak tahan lagi dengan celoteh Arbi soal itu, Nenda menyanggupi.
Jadi, di sinilah dia sekarang.
Mendengarkan apapun yang muncul dari bibir Arbi. Dia siap mendengarkan apapun meski hatinya memberontak tidak terima.
"Mas coba lebih banyak senyum." Arbi memberikan saran yang pertama. Nenda mencoba melebarkan bibirnya, namun seringaian yang muncul di sana. Arbi berdehem sekilas, lalu kembali menggeleng.
"Itu senyuman Nenek Serigala di cerita si Kecil Bertudung Merah."
Nenda sudah dilanda kesal. Namun dia masih saja mencoba untuk tersenyum meski harus gagal. Bahkan cowok absurd itu dengan seenaknya menarik kedua pipi Nenda agar tersenyum makin lebar.
"Wajah mas Nenda memang kaku. Saya tidak bisa menyalahkan kalau memang akhirnya sulit untuk tersenyum."
Nenda makin murka.
"Coba mas Nenda pakai sabun cuci muka yang membuat wajah tidak kaku." Ucapan Arbi jadi terdengar seperti sebuah iklan sabun muka. Nenda mendengus seketika.
"Contohin!"
Arbi memijat pipinya sebentar, lalu dalam beberapa detik dia tersenyum. Manis sekali. Nenda melongo. Jadi cowok absurd ini bisa tersenyum seperti itu? Bahkan senyumnya manis sekali. Mata sipitnya terlihat makin kecil, dikombinasi dengan pipinya yang naik dan bibirnya yang melebar.
Lalu dalam beberapa detik wajah itu kembali datar.
Nenda merinding.
Cowok absurd di depannya ini jadi mirip psikopat. Nenda menggaruk tengkuknya, tidak tahu harus merespon seperti apa.
"Saya melakukan ini ketika orang-orang marah pada saya."
Nenda makin merinding.
"Saya tahu kalau senyuman ini tidak tulus dan hanya sekedar akting. Karena itu...." Jeda sekilas dalam ucapan Arbi, dilanjutkan dengan sebuah kalimat yang membuat Nenda makin ngeri. "Saya sendiri juga tidak tahu apa bisa menjadi pribadi yang baik. Maafkan saya, saya sudah sok tahu hingga harus mengajari mas Nenda soal kepribadian."
Tatapan mata Nenda menggelap. Kalau memang membunuh itu legal, maka dia tidak akan mengenal orang bernama Arbi ini. Mungkin cowok ini sudah ditemukan dalam kondisi yang mengenaskan. Terbunuh sejak lama.
Nenda memijat pelipisnya lagi. Ketika matanya menoleh, dia mendapati Arbi sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Cowok absurd itu tampak sedang berpikir. Entah apa yang dia pikirkan, Arbi tidak ingin tahu. Sungguh, Arbi tidak ingin tahu!
Mungkin, Nenda memang harus melepaskan cowok ini. Ditahan di sini lebih lama juga tidak akan pernah ada gunanya selain membuat masalah.
"Kamu nggak pengen keluar dari sini?" Nenda basa-basi. Arbi membuka matanya, menoleh ke arah Nenda dengan raut bingung.
"Mas ingin jalan-jalan? Ingin ditemani?"
Nenda melotot bengis. Dia tidak tahu bagaimana cara cowok absurd ini mengambil kesimpulan. Setahunya Arbi memang bukan tipe orang yang bisa diajak bicara normal. Imajinasi dan pemikiran cowok absurd itu terlalu klise, semu dan abstrak hingga sulit ditebak.
"Aku pengen lepasin kamu."
"Saya dibebaskan dari acara penculikan ini? Kenapa?" Arbi bertanya cepat. Nenda tidak tahu bagaimana cara cowok absurd ini hidup. Dia malah menanyakan alasan untuk hal baik, tapi untuk hal yang buruk dia malah santai saja.
"Penculikan ini bukan acara!" Nenda jadi gahar. Dia tidak tahu bagaimana caranya untuk bertahan lebih lama. Dia sering mengumpat sendiri ketika tidak sengaja melihat Arbi yang berulah di kebun belakang. Cowok absurd itu senang sekali membuat hal-hal aneh. Tanaman serut di taman belakang dia sulap menjadi bentuk wanita seksi.
Tidak masalah, tentu saja tidak masalah! Namun entah kenapa wanita seksi dengan d**a besar itu juga memiliki p***s di selangkangannya. Nenda jadi kacau setengah mampus. Lalu dia perintahkan tukang kebunnya untuk memangkas bagian p***s itu.
Arbi tidak marah, namun keesokan harinya dia kembali berulah.
"Kamu harus kembali ke sekolah! Ingat, kamu nggak boleh cerita apapun soal kejadian di sini! Ngerti?" Nenda mengancam.
Arbi mengerjap.
"Lalu saya jawab apa kalau ditanya 'Kamu dua mingguan ini kemana aja?' gitu?" tanyanya cepat. Nenda mendengus tak peduli.
"Terserah mau jawab apa, asal jangan bilang kalau kamu udah diculik dan disekap di sini!" Nenda hanya sedang malu. Malu karena acara penculikannya tidak setragis di TV. Acara penculikannya malah berakhir pada rasa kesalnya.
"Baik, saya akan mengatakan kalau saya diikat saja."
Nenda ingin menendang cowok ini sekarang kalau boleh!
"Inget, aku bakalan ngawasin kamu! Jadi jangan harap kamu bisa bebas ngomong dan cerita ke orang soal kejadian dua minggu ini!"
Arbi mengangguk.
"Iya, saya tahu! Terima kasih, dan maaf merepotkan!"
Keesokan harinya ketika pagi-pagi buta, Arbi dibangunkan paksa. Tangannya diikat, matanya ditutup. Seseorang menggendongnya ke mobil. Lalu mobil melaju, meninggalkan tempat itu. Lamat-lamat, Arbi mencium bau parfum Nenda tadi ketika seseorang menggendongnya. Arbi menduga, cowok yang menggendongnya adalah Nenda.
Indera penciuman Arbi tajam sekali, kok!
Namun ketika dia dilemparkan ke dalam mobil, dia tidak mencium bau itu lagi. Nenda tidak ikut mengantarkannya pulang.
***
Pameran anak seni lukis berlangsung hari ini. Arbi berkeliaran sejak tadi. Gita datang ke lapaknya dan terperangah kaget melihat lukisan Arbi.
"Mas lukis Nenda?" tanya cewek itu shock.
"Ya, dia jadi inspirasi saya, Git!"
"Mas jadi akrab sama Nenda?" Gita masih tidak bisa menyembunyikan rasa kegetnya.
"Tidak juga, Git!"
"Trus kok Nenda mau gitu jadi objek yang mas nistakan?" Gita tahu kalau Nenda bukan tipe orang yang senang ketika privasinya dikulik seenak jidat.
"Mungkin dia sudah berubah, Git!"
Gita menggeleng kencang. Tidak mungkin Nenda berubah secepat itu. Perlahan Gita menatap Arbi. Kalau Arbi yang berhadapan dengan Nenda, mungkin semuanya bisa saja terjadi.
"Maaf, apa adik yang melukis ini?" Seorang bapak bertopi rajut tiba-tiba muncul di samping mereka. Gita tersenyum lalu mundur. Dia memberikan waktu pada Arbi dan calon pembeli itu.
"Iya, saya yang melukisnya."
"Dua-duanya?"
Arbi mengangguk.
"Bisa adik ceritakan soal apa ini?"
Arbi sudah biasa menceritakan makna lukisannya. Namun kali ini dia bingung harus menceritakan dari mana. Kenapa penikmat lukisan ini tidak menginterpretasi lukisannya sesuai apa yang dia pikirkan saja? Kenapa pembuatnya yang harus menjelaskan? Manja, ih!
"Dua-duanya hanya soal kisah seorang teman. Seorang teman yang meski punya banyak kelebihan, namun dia tetap punya ketakutan."
"Boleh saya beli yang ada petirnya? Saya tertarik dengan yang itu."
Keraguan mulai menelusup dalam hati Arbi. Lalu dalam beberapa detik, Arbi tersenyum. Senyum yang selama ini dia pelajari seorang diri. Senyum ketika merasa bersalah. Calon pembeli itu akhirnya harus rela mendapatkan lukisan yang satunya.
"Kok nggak jadi dijual?!" Gita terkejut. Acara mengupingnya sukses tadi. Pembeli itu menawar lukisan Arbi degan harga yang fantastis.
"Saya jadi ragu, Git! Saya urung menjual lukisan ini. Saya melihat jiwa seseorang dalam lukisan ini."
"Cowok yang di lukisan itu si Nenda, kan mas?"
Arbi mengangguk pelan.
"Gita tahu?"
"Karena kebiasaan Nenda itu pakai jam tangan di sebelah kanan."
Arbi menghembuskan napas. Ketika matanya disibukkan dengan fokus cowok dalam lukisannya, hidungnya mencium sebuah aroma. Gita berbalik dan pergi lebih dulu. Gita mengatakan kalau pacar barunya sedang menunggu di luar gedung. Arbi menoleh spontan dan mendapati seseorang sedang berdiri di sebelahnya.
"Mas Nenda?"
Nenda tergagap gugup.
"Mas Nenda datang juga?" tanya Arbi sekali lagi.
"Kan aku udah bilang kalau aku bakalan ngawasin kamu!"
Arbi kembali menatap lukisannya. Lalu tangannya menunjuk lukisan itu dalam diam. Nenda terusik untuk tidak menoleh ke arah Arbi, memindai wajah cowok absurd ini.
"Saya memberi mas Nenda lukisan ini."
Nenda bengong.
"Kenapa?" Nenda terkejut dengan ucapan Arbi. Meski hatinya senang sekali. Ketika melihat lukisan itu, Nenda ingin sekali memilikinya. Namun waktu itu Arbi mengatakan kalau lukisan tersebut untuk dijual di pameran. Sekarang ini Nenda sengaja datang untuk membelinya, dan ternyata nasibnya mujur.
Lukisan itu belum dibeli orang.
Terlebih lagi, Arbi memberikannya langsung padanya tanpa dia minta.
"Serius?!"
Arbi mengangguk.
"Saya harus menyerahkan lukisan ini pada orang yang berhak." Arbi meletakkan tanda sold di lukisan itu. Lalu bibirnya kembali bergerak, membuat Nenda makin gemas dibuatnya.
"Mas Nenda kalau tidak punya urusan segera pergi saja. Mas jadi pusat perhatian sekarang." Arbi berlalu dengan wajah datar. Nenda melongo. Lihat itu, Nenda! Lihat itu! Secepat itukah seseorang mengubah sifatnya? Bahkan hanya dalam hitungan detik?
Nenda mencoba menyusul Arbi. Ketika dilihatnya cowok absurd itu sedang bicara dengan cewek-cewek, Nenda memutuskan untuk menghampiri. Nenda tidak tahu kalau Arbi juga bisa dikelilingi cewek seperti itu. Padahal kalau Nenda tahu, cewek-cewek itu adalah teman-teman Gita. Gita sedang memperkenalkan sepupunya sekarang. Sekaligus memperkenalkan pacarnya.
"Nenda?!" Gita terkejut melihat Nenda. Nenda juga tidak kalah kaget, namun mendengus ketika melihat cowok di sebelah Gita.
"Kita harus bicara!" Gita menarik lengan Arbi, lalu mengisyaratkan Nenda untuk mengikuti mereka. Mereka bertiga berkumpul di belakang gedung.
"Kenapa kamu datang ke sini?" Suara Gita naik. Arbi bungkam. Nenda menatap Arbi yang juga sedang malas bicara sepertinya.
"Lihat pameran."
"Nggak usah bohong, Nenda!"
"Itu memang faktanya!"
Arbi jadi obat nyamuk di antara mereka. Lantas karena sudah bingung harus bereaksi seperti apa, akhirnya cowok absurd itu menyahut pelan. Namun sahutannya membuat dua orang itu melotot tak terima.
"Kalian mau balikan? Aku bisa bantuin kalian bersatu lagi kalau kalian memang masih saling cinta." Arbi itu... bodoh!
"Aku nggak gila, ya mas mau balikan sama dia!" Gita marah, menunjuk wajah Nenda emosi. "Aku udah punya pacar baru, dan aku sayang sama dia!"
"Aku juga nggak sudi balikan sama cewek kayak kamu!" Kali ini Nenda bereaksi. Nenda sungguh-sungguh tidak ingin melakukannya. Entah kenapa.
TBC
Kenapa cerita ini jadi absurd? Entahlah... tapi jangan salahin aku kalau nanti di tengah-tengah konfliknya jadi makin absurd.
<jC/g