Kelas seni lukis kedatangan seorang murid baru yang agak ajaib. Bukan agak, tapi benar-benar antimainstream. Orang normal menyebutnya oon, atau juga dodol. Itu semacam makanan dari kasta jenang yang rasanya lumer di mulut dan lengket. Mereka tidak mengerti bagaimana cara pikir anak itu. Dia akan menjawab apa yang orang tanya, namun dalam beberapa detik jawabannya akan melantur kemana-mana.
"Kok bisa pindah ke sini?" Cewek nyentrik di pojokan bertanya pada cowok nyeleneh itu. Arbi sebagai korban yang harus menjawab pertanyaan serupa itu hanya tersenyum, lantas mengedikkan bahu.
"Takdir mungkin." Arbi sudah menjatuhkan talak atas hidupnya. Lantaran hidupnya seperti lukisan aliran surealisme. Tidak bisa diartikan secara gamblang hingga melampau batas logika. Tidak tahu, ya! Dia sendiri jarang berlogika soal hidup. Dia hanya ingin menjalani hidup ini hingga maut menjemput. Meski kadang Arbi memberontak. Dia tidak tahu kenapa dia harus bertanya aneh-aneh. Kadang ibunya sampai pusing untuk menjawab pertanyaan Arbi kecil.
Orang tidak akan menyebutnya jenius, karena apa yang ditanyakan anak itu selalu saja aneh. Orang-orang terpaku pada tingkat kejeniusan seseorang berdasarkan logis tidaknya ucapan dan pemikiran. Sudahlah, Arbi hanya perlu menjalani hidupnya saat ini.
"Kamu suka lukisan surealis?"
"Tidak juga."
"Trus?"
"Bahkan saya sendiri tidak pernah tahu jenisnya. Saya hanya ingin melukis." Arbi kembali menggoreskan kuasnya di kanvas. Cewek nyentrik itu terganggu karena ucapan Arbi yang cenderung kaku dan juga formal.
"Cara ngomong kamu kaku banget!"
"Saya sudah hidup dengan fleksibel."
Cewek nyentrik itu ingin salto sekarang. Tidak bisa! Dia tidak akan pernah bisa berteman dengan makhluk seperti ini. Cara pikir dan juga cara bicaraya sangat berbeda dengan manusia normal. Oke, kita meletakkan nama normal untuk hal yang kontekstual. Anak seusianya menggunakan ragam santai ketika bicara dengan teman sebayanya.
Namun Arbi berbeda.
"Jam kelima nanti ada pembekalan buat pameran lukisan. Kamu datang juga, kan? Wajib, lho!" Cewek nyentrik itu berdiri, lalu berlalu. Ketika melewati punggung Arbi, iseng dia menoleh dan menatap lukisannya. Matanya melotot.
Tidak paham surealisme?!
Lalu lukisannya itu jenis apa?
Cewek nyentrik yang bahkan belum Arbi tahu namanya itu melengos kesal. Lukisan Arbi tentu saja masuk dalam jajaran aliran surealisme. Murid baru itu punya aura aneh ketika melukis. Caranya memegang kuas, caranya menatap kanvas, bahkan caranya menarik napas. Menghembusi bau cat yang sudah terhampar di palet.
"Apa melihat lukisan adalah keharusan?" Arbi menggumam sendiri. Tangannya masih sibuk berkutat dengan kuas. Dia tidak perlu ikut sosialisasi atau apapun itu. Meski dia senang juga. Persiapan pameran tentu saja akan memakan waktu lama. Project Work untuk pameran lukisan pasti membutuhkan persiapan. Jadi...
Selamat tinggal tugas!
Juga sekolah!
"Ini udah jam istirahat." Gita muncul tiba-tiba di belakang Arbi. Arbi menoleh dan mendapati sepupu cantiknya itu sedang duduk manis. Arbi dan Gita itu mirip sekali. Bedanya hanya dari mata. Mata Arbi lebih sipit. Orang akan sering menganggap mereka kakak adik.
"Saya tahu."
Gita meradang seketika.
"Mas, bisa nggak sih ngomong pake bahasa yang lebih akrab? Aku kayak lagi ngomong sama pejabat!"
"Saya sudah biasa seperti ini, Gita!"
"Mas...!"
"Saya ya saya, kamu ya kamu. Kalau saya harus jadi kamu, memangnya kamu mau jadi saya?"
Gita mendadak emosi.
"Mas Arbi selalu aja kaku! Orang sulit ngerti apa yang mas pikirin, tau! Makanya mas nggak punya temen akrab," keluh Gita khawatir. Arbi mengedikkan bahu.
"Terserah mereka. Mereka berhak untuk berteman sesuai dengan kriteria mereka."
Gita mulai kesal setengah mati.
"Budhe bilang katanya makin tua mas jadi makin menyebalkan."
"Bisa jadi," ucap Arbi cepat. Gita menatap wajah Arbi sekali lagi. Sesekali Gita menghembuskan napasnya gusar. Ada ya manusia individualis tapi malah menikmati kesendirian seperti ini? Sudah begitu tiap kali diajak bicara selalu saja tidak pernah nyambung. Dia selalu melompat dari topik sebelumnya, seperti sedang menciptakan alurnya sendiri.
Gita yakin, anggapan orang tentang Arbi itu salah! Arbi tidak bodoh, tidak oon, tidak aneh. Dia hanya tidak bisa dimengerti. Bahkan kalau Gita tidak salah, Arbi itu sebenarnya jenius. Hanya saja dia malas.
Dulu Arbi pernah ikut tes IQ. Namun dia tidak menjawab pertanyaannya. Dia malah menggambar. Gita tahu, Arbi tidak terlalu serius dengan banyak hal. Dia hanya tertarik pada sesuatu yang menurutnya menyenangkan.
"IQ mas berapa?"
"Sembilan puluh sembilan."
Gita melongo.
"Satu biji IQ itu akan mengubah digit IQ saya. Git, tahu kenapa manusia sibuk mengotak-ngotakkan IQ seseorang ketika masuk kelas akselerasi?"
Gita tahu, Arbi sudah mulai lagi. Gita menggeleng kencang.
"Karena otak-otak tahu rasanya enak, Git! Apalagi pakai nasi hangat."
Gita ingin menjambak rambut Arbi sekarang. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa lagi sekarang. Dia tidak bisa berinteraksi dengan kakak sepupunya ini. Walaupun usianya juga masih boncel, masih empat belas tahun. Dia jadi paling muda di kelasnya, namun Gita harus memanggil Arbi dengan sebutan mas. Ondo-usuk dalam tingkatan garis keturunan Jawa.
"Saya libur. Kamu tidak libur, Git?"
Gita menggeleng. Enak ya anak seni lukis sedang mengalami liburan. Liburan demi mempersiapkan pameran lukisan ini.
"Mas mau langsung balik ke asrama?"
"Iya, saya belum membereskan barang-barang."
Arbi berdiri, mengabaikan lukisan yang sejak tadi dia buat. Dia ingin kembali ke asrama. Gita melongo, mencoba memfoto lukisan milik sepupunya itu. Menguploadnya dengan caption "My Cousin's Dream".
Lukisan itu menggambarkan seorang anak yang sedang berlari tanpa kaki, sementara tebaran bunga terarah padanya. Aliran surealisme seperti biasanya. Gita menghembuskan napas. Arbi sama sekali tidak bodoh. Tidak.
***
Arbi sampai di pintu gerbang sekolah. Jarak sekolah ke asrama dekat sekali. Hanya dibatasi oleh jalan raya. Arbi melangkah cepat, hingga seseorang menghalangi jalannya. Di sebelah kanan sudah terparkir mobil hitam mengkilat. Beberapa orang berjas hitam berdiri di hadapan Arbi.
"Kalian ingin minta tanda tangan?" Pertanyaan itu sangat retorik dan juga tidak berdasar. Arbi mengedikkan bahu. Seorang dari mereka merogoh saku jas, lalu memperhatikan sebuah foto. Dia memandang foto itu, lalu menatap Arbi. Dia mengangguk mantap, lalu tiga orang lainnya membekap mulut Arbi.
Mereka membawa Arbi pergi paksa.
Dengan kata lain, Arbi diculik!!
Arbi diikat, dibekap, dan matanya juga ditutup. Mereka membawa Arbi pergi ke tempat yang bahkan belum Arbi ketahui. Mobil yang mengangkut mereka masih melaju. Beberapa jam kemudian mereka sampai. Orang-orang mencurigakan tadi menarik lengan Arbi dan mendorong tubuh cowok itu hingga terantuk beberapa kali. Ketika ikatan matanya dibuka, dia melongo.
"Kalian membawa saya untuk diajak liburan?" tanya Arbi cepat. Bangunan di depannya ini bukan gudang kumuh seperti di film-film soal penculikan. Bangunan di depannya malah sebuah villa besar, namun terlihat sepi. Tidak ada rumah penduduk di sekitarnya. Hanya ada lapangan yang luas dan juga jalanan sempit.
"Masuk!" Mereka membentak.
Kalau memang ini liburan, anggap saja begitu!
Arbi terpaksa menurut dan melangkah masuk ke dalam villa itu. Beberapa orang terlihat mondar-mandir di dalamnya. Terlihat seperti sebuah organisasi gelap, sindikat berbahaya macam mafia.
"Kami datang, tuan!" Mereka membawa Arbi masuk ke dalam sebuah ruangan besar. Pintunya saja berukir emas. Arbi menelan ludahnya gugup. Dia tidak tahu apa salahnya, tiba-tiba saja dia sudah diseret ke tempat ini.
Arbi berdiri di belakang seseorang. Seseorang yang Arbi duga usianya tidak terlalu tua. Malah mungkin seusia dirinya. Arbi menunggu orang itu berbalik. Ketika dia berbalik, keduanya melotot dengan ekspresi kaget.
"Siapa kamu?" Orang itu bertanya kaget. Arbi mengerutkan keningnya.
"Kenapa anda tanya saya siapa? Lalu kenapa anda membawa saya ke sini?"
Lelaki itu mengerjap sebentar.
"Harusnya kalian bawa yang cewek!" Cowok itu mengomel pada lelaki berjas itu. "Kalian nggak becus! Bisa-bisanya bawa dia!"
Arbi tidak paham apa yang cowok itu ucapkan. Dia melangkah ke arah cowok yang sedang murka itu.
"Kenapa saya dibawa ke sini?"
Cowok itu mengabaikan pertanyaan Arbi dan balik marah-marah pada lelaki berjas lainnya.
"g****k! Nggak bisa bedain mana cewek dan mana yang bukan! Wajahnya mirip, tapi dia cowok! Dia nggak punya t***k, sialan! Aku suruh kalian bawa Gita!"
Arbi terlonjak kaget.
"Gita? Kenapa anda sebut sepupu saya?"
Cowok itu menghentikan amarahnya. Dia menoleh ke arah Arbi dengan raut bengong. Sepupu? Jadi dia adalah sepupu Gita? Cowok yang sedang murka itu menghembuskan napas. Nenda nama cowok itu. Nenda adalah cowok yang sedang merencanakan sebuah kejahatan, namun karena kecerobohan orang suruhannya maka bukan Gita yang dia culik. Melainkan sepupunya.
"Jadi kamu sepupu Gita? Yang kemarin ngomong sama dia di telepon?" Nenda itu jenius. Daya ingatnya jauh lebih bagus daripada manusia pada umumnya. Dia juga sempat mendengar Gita bicara tentang betapa pentingnya cowok ini bagi Gita.
"Iya mungkin." Arbi menjawab tenang, hampir tanpa beban. Wajah datarnya itu jadi menyebalkan saat ini. Tidak ada rasa takut atau terancam yang nampak di wajahnya. Itu yang membuat Nenda jadi gemas sekarang. Dia seperti gagal balas dendam terhadap Gita.
"Ikat dia!"
Lalu setelah itu Arbi terikat sempurna di depan mereka. Arbi sama sekali tidak memberontak ataupun protes. Dia malah pasrah saja. Lagipula tidak akan ada yang mencemaskannya. Seisi sekolah tidak akan curiga karena sekarang memang sedang ada Project Work pameran. Murid seni lukis boleh tidak masuk sekolah, namun mereka harus mengirimkan minimal dua lukisan untuk dipajang di pameran nanti.
"Percuma kalian culik saya. Saya tidak menghasilkan apa-apa." Arbi berkata tenang. Dia terikat begitu saja dengan wajah santai.
Nenda melangkah ke arah mejanya, lalu menelpon seseorang. Sengaja meloadspeaker panggilannya. Tentu saja Gita yang sedang dia hubungi.
"Untuk apa kamu hubungi aku lagi, Nenda?" Gita berteriak kencang di sana.
"Tenang, Git! Aku juga males mau telepon kamu kalau emang nggak penting."
"Sejak kapan kita jadi ada urusan penting? Kita udah putus, ya!"
"Iya, tapi hubungan kamu dan sepupu kamu belum putus kan?"
Gita di sana menegang.
"Apa maksud kamu, Nenda?"
"Dia ada di sini."
"Nggak usah bohong kamu!"
Nenda beranjak mendekat ke arah Arbi. Arbi masih bersandar di kursinya dengan tubuh terikat. Dia menghembuskan napas ketika Nenda memberinya isyarat untuk bicara.
"Gita..."
"Arbiiiii??!!" Gita menjerit kencang.
"Iya, saya diculik. Tapi santai saja, tidak perlu telepon polisi. Saya tidak apa-apa, kok! Tidak ada yang bisa diambil dari saya."
"Bi...."
"Anggap saja saya lagi liburan!"
Nenda menjauhkan teleponnya dari Arbi. Ternyata selain salah culik, Nenda juga mendapatkan karma atas apa yang sudah dia perbuat. Nenda salah culik, terlebih lagi dia menculik seseorang yang....
"Nenda, ya? Boleh saya minta makan?"
Nenda melotot galak.
"Aku bakal bebasin dia asal kamu mau balikan sama aku." Nenda masih sibuk bicara dengan Gita. Gita menghembuskan napas kesal.
"Kamu ngancam aku?"
"Ya, bisa dibilang gitu."
"Sayangnya aku nggak mau!" Gita memutus teleponnya semena-mena. Arbi mengedikkan bahu. Nenda melongo, menatap cowok yang sedang terikat itu dengan wajah tak percaya.
"Lihat, kan? Percuma anda culik saya, Nenda. Saya tidak menguntungkan untuk anda." Arbi menguap. Dia lapar dan mengantuk.
"Diam kamu!" Nenda menggeram emosi. Dia menatap wajah Arbi dengan wajah kesal. Arbi merutuk kesal. Dia lapar.
"Saya benar-benar lapar."
***
Nenda tahu kalau cowok yang dia culik ini sangat merepotkan. Nenda menghela napas dan memperhatikan cowok yang sejak kemarin sudah berkeliling rumahnya. Beberapa orang mengawasinya. Berbagai alasan dia pakai untuk berjalan-jalan. Mulai dari ke kamar mandi, dia kram, lalu dia mengalami sindrom sesak napas karena tidak menghirup udara bebas.
Nenda tidak tahu sejak kapan dia sudah dibodohi oleh orang seperti ini!
Korban salah culiknya ternyata membawa sebuah sebutan karma untuknya. Bahkan Gita dengan senang hati mengiriminya Line. Dia mengirim sticker prihatin di sana, mengatakan kalau orang yang Nenda culik adalah kesalahan terbesar yang akan membuatnya menyesal.
"Saya suka sekali tinggal di sini." Perlahan Nenda disentakkan oleh sebuah suara yang kini membuatnya menoleh spontan.
Cowok itu – yang Nenda tahu namanya adalah Arbi sedang duduk terpekur dengan pembantunya. Ada tukang kebunnya, ada kokinya, duduk di sebelah Arbi. Mereka sedang main kartu. Nenda melotot tak percaya.
Dia benar-benar salah culik!
"Kenapa mas ada di sini?" Kokinya yang selalu mengintip dirinya yang sedang makan itu kali ini jadi lebih ramah. Biasanya dia akan ketakutan kalau Nenda memanggilnya untuk berkomentar soal masakan yang telah dia buat.
"Saya diculik."
Kokinya tertawa.
"Diculik kok mas malah senang gitu? Harusnya mas diikat."
Arbi mengangguk, lalu meletakkan kartu di depan mereka. Kali ini gilirannya.
"Saya sudah diikat kemarin. Ini bekasnya." Arbi menunjukkan bekas ikatan di pergelangan tangannya. Warnanya sudah merah karena terlalu kencang.
"Untuk apa tuan Nenda menculik mas?"
"Karena masalah dendam cinta."
Nenda menguping semua yang cowok oon itu katakan. Dia benar-benar ember. Nenda melongo. Tidak, tidak! Bisa gawat kalau Nenda melepaskan cowok itu. Bisa-bisa dia bocor dan menceritakan semuanya pada orang lain. Bagaimana kalau rekan bisnisnya tahu apa yang terjadi? Bisa malu dia nanti!
"Tuan Nenda memangnya punya pacar?"
"Iya, sepupu saya mantannya. Karena sepupu saya ogah balikan, akhirnya dia ingin menculik sepupu saya. Tapi om-om yang di sana salah culik."
Koki dan tukang kebunnya terbahak geli. Arbi masih fokus dengan kartu di tangannya.
"Kenapa mas nggak ingin kabur? Kan mas diculik."
Arbi menggeleng.
"Saya pikir, menyenangkan tinggal di sini. Jauh dari manusia yang selalu menatap saya seolah saya alien. Lagipula saya harus mencari inspirasi untuk lukisan baru. Saya kira mencari inspirasi di sini bukan hal yang buruk."
Nenda terusik ketika mendengarnya. Siapa yang akan menganggap cowok itu normal? Semua pasti akan mengerti bagaimana oon-nya cowok itu! Juga soal ember dan bocor mulutnya.
"Kamu! Jangan harap aku bakalan lepasin kamu!" Nenda berteriak kencang, membahana. Ketiga pasang mata yang sedang bermain kartu menoleh spontan, menatap orang yang sedang mereka bicarakan tengah berdiri di lantai dua. Dengan raut marah.
"Mohon bantuannya. Saya akan tinggal di sini untuk sementara waktu."
Nenda menyesali ucapannya setelah itu.
TBC