"s**t!" cicit gadis itu, tanpa sadar.
Siapa yang tidak kenal dengan Kalvin, si dosen kaku. Sosok berjiwa serius, sangat berbanding terbalik dengan wajahnya yang tampan dan menenangkan.
Kalvin tidak pernah main-main soal memberi hukuman. Ia seolah senantiasa punya kejutan untuk mengusik Zayda yang terkenal dengan tingkahnya yang tak kenal aturan.
***
"Kalau mau buat acara doa kabarin, Za. Kita-kita mau hadir," ujar teman-teman sekelas Zayda yang prihatin sekaligus tak tahan ingin mengejek Zayda yang tertimpa musibah.
"Sialan!" Zayda menghentakkan kakinya berulang kali. "Hidup gue kalau gak ada Kalvin di muka bumi udah pasti aman tentram dah. Bener-bener memang tu dosen!"
"Kebalik, Za," sanggah Fina. Kawan sebangku Zayda. "Hidup Pak Kalvin kalau gak ada lo yang damai. Gue kasian sama dia harus temu murid bebal kaya lo tiap hari," timpalnya.
"Lo tuh temennya siapasih?" dengus Zayda. "Lo harusnya belain gue, Fin."
"Belain lo enggak ada untungnya. Mending belain Pak Kalvin. Ganteng, berduit, single juga. Siapa tau gue bisa jadi sugar babynya." Fina cengengesan mengkhayal, di susul Clara yang ikut kompak dengan Fina.
Zayda berakting muntah mendengarnya. "Memang udah gila," dengusnya kesal karena punya teman bukannya membela dirinya malah berada di kubu lawan.
"Bagus, dong. Gue bisa dirawat sekaligus menikmati kebersamaan dengan Pak Dokter Kalvin Dirgantara." Clara semakin menjadi-jadi, terobsesi membuat Zayda bertambah emosi.
Tak tahan karena dikelilingi makhluk kurang waras di kelas, Zayda memutuskan pergi dengan hati kesal dan wajah tertekuk.
***
Rooftop adalah tempat pelarian terbaik versi Zayda. Menikmati semilir angin membuat isi kepalanya yang bergemuruh menjadi jauh lebih baik.
"Gepetto Elite V2?" ujar seseorang, memecah lamunan Zayda.
Kala gadis itu memutar balik tubuhnya, ia tak sengaja menabrak sosok yang baru saja bicara, membuat benda yang dipegang terhempas.
Buru-buru benda itu berpindah tangan. Diamati pria yang mengamankannya dengan seksama.
"Padahal rasanya jauh lebih pekat di mulut," terangnya. Mencicipi vape milik Zayda tanpa permisi. "Enakan juga Sofia from Shisha Sticks, Za," tambahnya seraya kembali menghisap untuk kedua kalinya.
Zayda sampai bingung hendak bereaksi apa. Kemunculan tiba-tiba Kalvin di atap bascampnya ini sungguh tidak terduga. Tidak sampai disitu, rokok elektrik Zayda juga mendadak direview oleh sang dosen.
"Pak?"
"Kalvin aja, saya lagi gak ngajar di kelas."
Orang aneh.
Adalah kata-kata yang pas menggambarkan Kalvin dan segala kejutan misteriusnya.
"Bapak ngapain ada di sini?" tanya Zayda, bibirnya sulit melontarkan kalimat selain itu. "Jangan bilang ngikutin saya?" tudingnya.
"Pertama, ini tempat umum, siapa saja boleh datang ke sini. Kedua, saya seringkali kemari tanpa kamu ketahui. Ketiga, suka-suka saya, Zayda." Kalvin bermonolog asal. "Saya mau kemana itu urusan saya."
Gadis itu mengerutkan keningnya, merasa aneh. Alasan yang tidak masuk diakal. Tak mau ambil pusing, Zayda memutuskan mengalah dan pergi mencari tempat lain.
"Siapa yang ijinin kamu pergi?" cegat Kalvin, menatap datar mahasiswinya. "Nggak sopan banget, beneran gak mau lulus?"
Ucapan itu membuat Zayda sontak kebingungan. "Bapak ada perlu sama saya?" tanyanya.
Kalvin menggeleng. "Di sini aja, kalau kamu balik nanti nyesel."
Hampir Zayda dibuat tertawa oleh bualan Kalvin. "Kenapa harus nyesel, Pak? Yang ada kalau di sini lama-lama bisa tertekan!"
"Dosen lagi keliling mendisiplinkan mahasiswi begajulan seperti kamu, Zayda." Kalvin mengumbar sebuah informasi penting. "Kalau mau dapat saksi dari pelanggaran-pelanggaran yang kamu lakukan, ya, terserah."
Apapun yang berkaitan dengan Kalvin tak dapat ditebak. Ia bisa tiba-tiba menyebalkan, tiba-tiba dingin nan menyeramkan, juga tiba-tiba perhatian tanpa alasan. Kesimpulan yang ditarik Zayda meski belum lama mengenal pria itu sebagai dosen baru dan termuda di kampusnya.
"Bapak gak mau saya dihukum sama dosen lain, tapi sendirinya suka banget hukum saya," sindir Zayda.
Tidak ada balasan dari Kalvin. Pria bertubuh tinggi dengan kemeja yang sengaja digulung itu hanya diam menikmati pemandangan langit dari atas gedung.
Zayda diam-diam melirik ke samping. Perawakan Kalvin yang kalem dan tak banyak bicara sangat bertolak belakang dengan profesinya. Entah sebenarnya Kalvin adalah sosok yang seperti apa, melihatnya dalam jarak sedekat ini membuat Zayda menjadi penasaran. Seketika benaknya teringat akan mimpi indahnya, kembali Zayda membayangkan lembutnya bibir sang dosen saat dia melumat, menyesap begitu lembut hingga menjadi semakin liar hingga membuat nafasnya terengah saling memburu.
"Saya gak suka dilihatin segitunya," tegur Kalvin, kepalanya menoleh membalas tatapan Zayda. Sontak membuat gadis itu tersentak kaget terjaga dari lamunannya.
Zayda memanyunkan bibirnya, jengah. "Bukannya orang ganteng harusnya udah terbiasa jadi pusat perhatian, ya?"
"Siapa yang ganteng?" tanya pria itu, memastikan ulang. Menaikkan sebelah alisnya dengan tersenyum tipis.
"Amit-amit, gak jadi!" Zayda tiba-tiba menarik ucapannya. Gadis itu membuang wajah ke arah lain agar sang dosen tidak melihat pipinya yang merona.
Kalvin tertawa kecil, hampir terdengar seperti lirihan. Zayda beruntung dapat menangkap momen singkat kebahagiaan itu dari seseorang yang dinilai jarang terlihat berinteraksi dengan orang lain.
"Bapak serius mau kasih saya nilai D?" Zayda bertanya mengenai ancaman Kalvin padanya. "Nanti saya gak lulus matkul Bapak dong."
Ditanggapi anggukan samar dari Kalvin. "Kecuali kalau kamu mau kasih tau alasan kenapa selalu tidur tiap kelas saya berlangsung. Saya bisa batalkan."
"Terus setelah tau?" Zayda justru penasaran mengapa Kalvin sangat ingin tahu motif prilaku buruknya. "Apa itu buat Bapak mau maafin saya?"
"Maybe," lirih Kalvin, mengangkat bahunya. "Saya dengarkan dulu, baru saya putuskan."
"Sayangnya saya gak biasa cerita ke sembarang orang, Pak." Zayda berbisik serak, nada bicaranya berubah pelan.
Kalvin menghela napas, kini berhadapan langsung dengan Zayda yang berada tepat di sebelahnya. "Okay. Saya tidak bisa memaksamu untuk bercerita," balasnya.
Zayda menunduk, mundur selangkah berniat meninggalkan Kalvin yang sejauh ini masih sangat asing baginya.
"Cukup tau kalau you are not alone, Zayda," ucap Kalvin menahan langkah kaki gadis itu.
"Saya mungkin orang asing, tapi cerita ke orang asing justru menjadi pilihan yang baik karena dia gak kenal siapa kamu," lanjutnya. "Mereka tidak akan menghakimi kamu, apa pun yang kamu katakan."
Zayda mendekat kembali ke posisi Kalvin berdiri. Keduanya beradu pandang, tubuh Zayda yang jauh lebih pendek dari Kalvin membuatnya sedikit mendongak.
"Bapak mau jadi pacar saya?" tanya Zayda, seringan kapas melontarkan tawaran yang membuat Kalvin tersedak asap vapenya.
Kalvin tergugu oleh pernyataan Zayda. Tidak ada balasan yang ia berikan karena memang sedari awal tujuannya bukanlah menjalin hubungan melainkan memberi bantuan.
"Maksud kamu?"
"Saya akan pikirkan untuk berbagi cerita ke Bapak kalau Bapak mau jadi pacar saya," desak Zayda, sekali ini dengan nada sedikit memaksa. "Gimana?"