9

2354 Words
Author's POV Ami berkali-kali menelpon Liam tapi nomer Liam tidak bisa dihubungi. Ami dan teman-teman yang lain mulai panik. Mereka semua berpencar mencari Liam tapi tidak ada hasil. Ami sudah menghubungi mama dan papa mertuanya, barangkali Liam pulang ke rumah, meski sangat tidak masuk akal seorang Liam yang akan manggung tiba-tiba pulang ke rumah. Wiryawan dan Herlina malah jadi ikut khawatir. Meski Liam tidak menyukai perannya, tapi Ami tahu Liam tak akan bersikap kanak-kanak dengan kabur. Chandra, Seno dan Tio juga ikut kelabakan mencari Kris. Gara-gara Kris dan Liam yang tiba-tiba hilang mendadak, tim teater SMA Cakrawala tidak bisa tampil. Chan berinisiatif menghubungi nomer ayahnya Kris menggunakan hp Kris yang ia pegang. Kris tidak pulang ke rumahnya. Terdengar nada khawatir dari ayah Kris. Satria, Rangga dan Azril berusaha menghubungi teman-temannya yang juga mengenal Liam untuk menanyakan keberadaan Liam, tapi tak ada satupun yang tahu. Azril berinisiatif membuat postingan di media sosialnya tentang hilangnya Kris dan Liam. Berita ini langsung viral di i********: mengingat Liam adalah salah satu selebgram dengan jumlah follower jutaan. "Ya Allah kemana mereka, gue jadi khawatir gini. Pasti ada sesuatu. Liam nggak mungkin matiin hpnya." Wajah Ami terlihat pias. Dia tak tahan lagi. Air matanya mengalir. Teringat saat dirinya menginap di rumah Liam. Liam memeluknya begitu erat seakan itu adalah malam terakhir mereka bersama. Ternginang dalam benaknya akan tatapan Liam terakhir kali sebelum ia berlalu dari pandangannya, begitu berbinar dengan pendaran cinta. Teman-teman girl squad mencoba menguatkannya. Angela begitu mengkhawatirkan Kris. Dia menyalahkan dirinya. Mungkin saja Kris pergi tanpa kabar karena kecewa akan sikapnya. Tapi kenapa harus pergi bersama Liam. Satu jam kemudian seorang pria paruh baya mendekati kerumunan tim teater Cakrawala. "Bisa bicara dengan gurunya Kris?" Semua pandangan tertuju pada pria yang mengenakan setelan jas rapi dan berpenampilan necis. Meski tak lagi muda namun gurat ketampanan masih terlihat, mirip dengan wajah Kris. "Om..", Chan menoleh ke sosok tersebut diikuti Seno dan Tio. Pria bernama Baron Pradhipta itu bicara empat mata dengan Bu Syifa agak jauh dari kerumunan. Sesaat kemudian Bu Syifa memanggil Ami. Amiberjalan tergopoh-gopoh ke arahnya. "Ami, kuatkan dirimu ya. Sampaikan pada papanya Liam kalau Liam dan Kris sedang diculik oleh orang yang tak dikenal. Papanya Kris juga meminta nomer kontak papanya Liam." Ami menganga dan kaget bukan kepalang. Air matanya semakin deras. Dia hampir saja jatuh pingsan, untung Bu Syifa segera menahannya. "Jangan khawatir nak. Penculik itu sudah menghubungiku dan meminta tebusan. Aku akan menjemput Kris dan Liam. Tolong jangan libatkan polisi. Aku tak mau penculik itu melakukan sesuatu yang buruk terhadap Kris dan Liam." Baron bicara setenang mungkin meski pikirannya cemas tak karuan. Dia tak tahu siapa dalang penculikan itu. Musuh bisnisnya banyak. Penculik itu memintanya untuk melepas proyek bernilai trilyunan rupiah dan menyerahkan padanya. Dia akan tahu siapa dalang di balik penculikan ini setelah dia bertemu langsung dengan si penculik. Penculik itu memintanya untuk datang sendirian ke lokasi penyekapan tanpa pengawalan dari siapapun. Dia belum memberitahu di mana lokasi penculikan itu. Tanpa penculik itu tahu, Baron sudah meminta bantuan kerabat dekatnya yang seorang polisi untuk membantu mencari jejak di mana sang penculik menyekap Kris dan Liam. Dia telah menyerahkan semua kontak dan nama perusahaan dari orang-orang yang telah memusuhinya selama ini. *** Liam's POV Ya Allah aku dan Kris mau dibawa kemana. Sudah lumayan lama mobil ini melaju tapi tak berhenti juga. Bagaimana perasaan Ami dan kedua orangtuaku kalau tahu aku sedang disandera. Ami pasti sangat bersedih dan mengkhawatirkanku. Ternyata peran sebagai pengawal yang harus senantiasa menguntit Kris kemanapun dia pergi sekarang benar-benar terjadi di dunia nyata. Harusnya Kris yang dibawa, tapi aku malah ikut tertangkap juga. Beuh, disandera bersama seteru abadi itu sangat tidak menyenangkan. Mana aku ingin pipis. Gimana caranya ngasih tahu ke empat preman ini kalau aku sudah tidak tahan lagi. Tapi jika aku bicara, mereka tak segan untuk menarik pelatuk dan menembakku. Aku masih ingin hidup. Aku ingin membangun masa depanku bersama Ami. Aku ingin bersama Ami sampai kami punya anak dan cucu. Mungkin aku harus pura-pura terbatuk. "Ehm ehem ehemm..." Aku coba berdehem. "Kenapa tuh bocah?" Tanya salah seorang preman, kayaknya yang duduk di depan karena suaranya terdengar agak jauh. Sungguh tak enak, mataku masih tertutup kain. Mungkin begini rasanya menjadi tuna netra. Hanya mengandalkan indera pendengaran untuk meraba-raba apakah mobil berhenti, melaju, mengerem atau sesekali terdengar suara musik kpop. Wuih preman-preman bertampang cadas ini seleranya ternyata musik kpop, kirain sebangsa metalica atau minimal avenged sevenfold. Aku terbatuk sekali lagi. "Lo kenapa dari tadi ahak uhuk mulu?" Suaranya terdengar begitu dekat. Mungkin ini preman muda yang duduk di sebelahku. "A..aku... Pingin pipis." Jawabku akhirnya. "Lo mau nyoba kabur?" Bentak preman setengah tua yang sepertinya duduk di depan. Suaranya berat dan menggelegar. "Nggak, saya beneran ingin pipis. Udah nggak tahan." Aku mencoba sekuat mungkin menahan rasa ini. Sungguh lebih tak nyaman dibanding menahan sakit gigi. Eh aku belum pernah sakit gigi dink... Mobil berhenti sesaat kemudian. "Gue bakal tetep ngawal lo. Lo pipis di belakang pohon itu, di semak-semak. Gue tetap megangin lo takut lo kabur." Kata preman di sebelahku. "Aduh saya nggak bisa kalau pipis di semak-semak. Bisa nggak ya cari toilet sekitar sini?" Aku nggak bisa pipis di sembarang tempat. "Lo ini bawel banyak maunya. Lo laki-laki bukan perempuan, nggak perlu itu toilet-toiletan." Gertak preman yang sepertinya duduk di sebelah Kris. Suara terdengar agak jauh tapi lebih dekat dibanding suara preman yang duduk di depan. Kris tertawa cekikikan. "Kenapa lo ketawa? Lo ngetawain gue?" Preman yang tadi menggertakku sekarang gantian menggertak Kris. "Nggak, saya menertawakan temen saya. Dia memang kayak perempuan bang. Bukan laki-laki sejati." Jawaban Kris membuatku ingin meninjunya. Andai saja kami sedang tidak disandera, sudah kuhantam wajahnya. "Gue udah nikah. Gue laki-laki sejati. Lo tuh yang dipertanyakan." Balasku ketus. "Lo udah nikah tapi tinggal terpisah. Menyedihkan." Kris masih ingin mencari ribut rupanya. "Ngapain lo kepo urusan gue?" Aku balas lagi. "Diem kalian. Berisik.. Lo jadi pipis nggak?" Tanya seorang preman dengan juteknya. "Saya udah bilang nggak bisa pipis di tempat terbuka. Saya butuh air buat ngebersihin. Pipis kan najis, kalau nggak bersih nanti sholatnya nggak sah." Cecarku. "Cerewet amat lo kayak ustadz lagi ceramah." Ujar preman di sebelahku. "Itu di depan ada Mesjid. Sepi kayaknya. Lo pipis di toilet sana. Tetep dikawal jangan sampai lepas." Ucap seorang preman yang duduk di depan. Dengan mata tertutup seperti ini aku jadi lebih peka mendengar seksama karakter suara mereka. Kedua preman di depan suaranya lebih berat khas bapak-bapak, menyesuaikan dengan umur mereka yang udah 35 atau 40an, tapi tetap aja jahat nggak taubat-taubat. Suara preman di sebelahku yang paling bagus, berkarakter dan cukup lantang. Suara preman di sebelah Kris agak cempreng dengan logat sundanya yang kental. Sang preman membuka kain yang menutup mataku. Dia menuntunku menuju toilet Masjid dengan pisau kecil yang ia todongkan di perutku. Aku tak hafal daerah ini. Tapi udara yang mendadak menjadi lebih dingin dan terasa akrab membuatku menebak-nebak, kalau mungkin kami sudah memasuki kawasan Ciwidey. Aku pernah ke Ciwidey. Terakhir waktu honeymoon kemarin. Meski aku belum pernah mampir di Masjid ini atau mungkin aku lupa pernah melewatinya tapi aku akrab dengan dinginnya cuaca di Ciwidey. Seusai menuntaskan hasrat pipisku, si preman kembali mencengkeramku kuat dan menodongkan pisau ke perutku. Aku dituntun masuk ke dalam mobil. Sama sekali tak ada peluang untuk kabur. Mataku kembali ditutup kain. Akhirnya mobil berhenti juga. Bisa kudengar desisan cakram rem dan badanku sedikit terpental ke depan kala supir mengerem agak mendadak. Aku dan Kris dituntun keluar dari mobil lalu berjalan, tak tahu dibawa kemana. Aku bisa mendengar suara pintu terbuka. Kain penutup mataku dilepas. Kulihat Kris di sebelahku. Penutup matanya juga sudah dilepas. Kami dimasukkan ke dalam ruangan. Mereka mendudukkan kami dengan paksa. Dengan sigap mereka mengikat tangan dan kaki kami di kursi. Aku duduk di pojok kanan, Kris di pojok kiri, kami saling berhadapan dan bisa melihat kondisi masing-masing yang sama-sama saling terikat. "Ingat kalian jangan berteriak atau mencoba minta tolong. Kita ada di ruang tengah dan tetap mengawasi kalian. Kalau kalian sampai berteriak, kami nggak segan buat nembak kalian." Preman bertato besar di lengan melotot ke arah kami. Sepertinya hari sudah mulai menjelang petang. Mereka menyalakan lampu di ruangan ini. Selepas kepergian mereka, aku dan Kris saling berpandangan. Langsung kubuang muka. Dia membawa kesialan. Sungguh aku menyesal menuruti permintaan kak Sagha untuk mencarinya. Pergelangan tangan dan kakiku sudah mulai sakit karena tali ini begitu kuat mengikat. "Terus berusaha lepasin talinya. Cari peluang buat kabur." Ucap Kris setengah berbisik, aku masih bisa mendengar suaranya meski jarak kami tidak terlalu dekat. "Ya gue juga tahu. Dari tadi gue udah usaha, talinya kenceng banget." Balasku sewot. "Sorry lo jadi terlibat. Penculik ini ngincer gue, bukan lo." Ujar Kris lagi. Rasa-rasanya baru kali ini Kris bicara baik-baik padaku. "Ini bukan salah lo. Ya mungkin nasib gue aja yang apes. Nggak nyangka gue jadi pengawal lo beneran, nguntit kemanapun lo pergi." Balasku sekenanya. Kris terkekeh. Kugesekkan kedua tanganku untuk merenggangkan ikatan. Tanganku semakin sakit. Mungkin sudah memar atau malah berdarah. Ya Allah beri keajaiban. Semoga kami bisa lolos dari sini. "Ikatan talinya kuat banget." Gumamku. "Tetep usaha Liam, kalau ntar malem tali ini bisa lepas, kita bisa kabur saat mereka tidur." Ucap Kris. "Iya gue terus usaha. Aduh Ami pasti nangis-nangis khawatirin gue." Kris tersenyum, "yang udah nikah, inget bini mulu." "Ya iyalah. Masa inget cewek lain. Emang lo saking banyaknya cewek ampe nggak ada yang diinget." Kris menyeringai, "gue dulu emang playboy, pacar gue banyak. Tapi sekarang nggak. Gue cuma suka ama Angela." Aku tersenyum sinis, "yakin? Kasian Angela kalau dapet lo. Jam terbang lo udah tinggi. Angela yang polos bisa-bisa rusak karena lo." "Gue nggak serendah itu Liam. Gue dulu emang suka ganti-ganti pacar. Tapi nggak ada satupun yang gue bawa ke tempat tidur. Gue juga tahu batas. Apalagi gue calon atlet sepakbola profesional. Kesehatan nomer satu buat gue. Free s*x ama narkoba adalah hal yang gue hindari." Ada rasa terkejut juga mendengar pengakuannya. Dengan segala citra playboy dan badboy yang melekat pada Kris, aku pikir dia sudah sejauh itu. "Tapi lo bisa kena kasus narkoba ya?" Kris menghela napas, "itu mah gue dijebak. Gue nggak perlu cerita kronologisnya coz itu sangat menyakitkan buat gue. Yang jelas gue bukan pemakai apalagi pengedar." "Kalau minum?" Kunaikkan alisku. "Ya itu juga sedang gue minimalisir. Gue mau karir sepakbola gue panjang. Kesehatan itu aset utama. Selain main di sekolah, gue juga gabung di tim luar sekolah Liam." "Lo jadi aktor juga cocok, kalau misal karir sepakbola lo mandeg." Seringaiku. Kris tertawa, "gue lebih suka main bola. Lo sendiri nggak pingin terus main bola?" Aku bingung juga kalau harus memilih bidang apa yang akan aku tekuni untuk masa depanku. Bukan masa depanku, tapi masa depan kami, masa depanku bersama Amber. "Lo mah nggak usah bingung milih. Selebgram laris endorse kayak lo mah tinggal jalan-jalan aja keliling dunia, nggak perlu capek-capek main bola di lapangan." Kris tersenyum. "Emang lo main bola buat uang Kris?" "Pertama karena gue emang cinta sepakbola. Kedua karena gue belum minat bidang lain, jadi sepakbola ini bakal jadi sumber penghasilan gue juga nantinya. Bukannya nggak ada yang lebih nyenengin selain hobi yang menghasilkan?" Aku mengangguk. "Baguslah kalau lo udah mantep dengan masa depan lo. Gue emang tertarik dengan dunia online semacam youtube dan i********:. Tapi lo salah juga sih kalau ngira dapet uang dari sini tuh gampang. Gue mulai semua dari nol. Foto yang kita posting juga bukan sembarang foto. Sekali jepret bisa diulang-ulang cari yang bagus, video juga gitu, edit segala macem, nyari lokasi yang bagus. Bikin konsep yang menarik. Mesti nyari ide terus. Lulus sekolah nanti gue pingin kuliah nyambi bisnis juga. Gue udah nikah, mesti nafkahi istri gue juga." Kris tersenyum, "gimana rasanya nikah muda?" "Asik lah. Ami itu lebih dari sekedar istri, tapi juga teman terbaik gue. Dia seneng, gue ikut seneng, dia sedih gue ikut sedih, gue diculik dia pasti nangis-nangis." Aku mulai merindukan Ami dan mengkhawatirkannya. "Woi, brisik lo berdua." Ucap preman muda bersuara lantang sambil membuka pintu. Dia membawa kantong kresek, entah apa yang ada di dalam kantong itu. Dia mengeluarkan dua sterofoam box dan dua botol air mineral. Tahu aja dia kalau aku sudah sangat lapar sedari siang. "Nih kalian makan dulu. Kata pak Bos jangan ampe kalian kelaparan dan pingsan, nanti bisa-bisa nggak jadi dapet tebusan." "Gimana kita mau makan kalau tangan kita diikat?" Seruku. "Nanti gue bukain, tapi kaki kalian tetep diiket." Cecar sang preman. "Pak Bos lo namanya siapa?" Kris mengernyitkan dahi. "Lo pikir gue bakal ceroboh ngasih tahu nama bos gue?" Hardik sang preman. Preman tersebut membuka ikatan di tanganku lalu berganti membuka ikatan di tangan Kris. Dia menyodorkan box makanan untuk kami. Aku buka boxnya. Sudah ada sendoknya di dalam. Isinya nasi, ayam goreng, sambal dan lalapan. Enak juga menunya. "Lo tadi bilang minta tebusan? Lo minta ke orangtua gue?" Tanyaku sambil melirik preman muda itu. "Nggak, kita cuma ada urusan ama bokapnya Kris. Tapi nanti lo bakal dibebasin juga, nggak usah takut." Tanggapnya sinis. Selama makan, preman itu terus mengawasi kami. Dia sandarkan badannya di dinding dan menatapku dan Kris bergantian. Aku merasa risih juga ketika tatapan matanya awas menatapku dengan tajam. "Lo ganteng.." Celetuknya sambil terus mengawasiku. Makanan yang baru berjalan di tenggorokan serasa nyangkut di tengah-tengah dan membuatku tersedak. Semua orang tahu aku ganteng. Tanpa harus berkoar-koar dan berteriak ke segala penjuru dunia bahwa aku ganteng, semua juga mengakui. Bahkan mungkin semut yang berjalan pun akan berhenti sejenak dan terkesima menatap kegantenganku. Weleh narsis akut kamu Liam... Tapi mendengar seorang preman yang saat ini sedang menyekapku dan Kris lalu mengomentari wajahku yang ganteng dengan senyum di wajahnya, yang tak kutahu apa maknanya tapi senyum itu seperti senyum laki-laki yang terpesona pada kecantikan perempuan.. Membuatku deg-degan tak karuan memikirkan nasibku ke depan. Terdengar absurd dan weird? Bahkan aku dan Kris sempat berpandangan dengan tanda tanya. Dia mengalihkan pandangannya pada Kris, "lo juga ganteng." Giliran Kris yang bengong dan tak jadi menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Dia seperti merasakan kecemasan juga. Preman muda itu menatapku lagi, "tapi gue lebih suka lo. Muka lo imut, tipe gue banget." Dan makanan yang memenuhi rongga mulutku tersembur seketika. Oh maiii gooottttt... Kejutan apa lagi ini. Aku jadi ngeri dan takut sendiri. Bagaimana kalau dia? Tidak... Tidak... Tidak... Lindungi kami ya Allah... ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD