"A—aduh, pelan Cal, hidung gue cuma satu, kalau patah diganti apa nanti?"
"Ini udah pelan Kak Ar," menahan kesal karena ocehan Arya sedari ia bantu obati luka-luka pria itu, Calya berusaha fokus. "Selesai!" Serunya yang tampak puas dengan hasil kerjanya. Sebelum kemudian membereskan peralatan yang tadi digunakan untuk mengobati Arya ke kotak P3K.
Di seberang sofa lainnya, tampak Hasta yang duduk dengan menumpu kedua lengannya di atas paha. Awalnya, dia yang ingin mengobati, tapi Arya merajuk dan memilih Calya.
"Jadi, ada apa sama kalian berdua?" Menaikan satu alis mata, Arya bersedekap tangan dengan memicing tajam penuh kecurigaan.
Berdecak, Hasta menegakkan posisi duduknya. "Nggak ada apa-apa, gue cuma bantu Calya."
"Bantu ngapain sampai dia tidur di kamar lo?" Sudut bibir Arya tertarik membentuk seringai menyebalkan. "Si Bastian perlu dapat kejutan di pagi buta, kayaknya seru, kalau gue kasih tau."
"Eh, Kak, jangan kasih tau Kak Bas." Calya panik, gadis itu menggoyang-goyangkan lengan Arya dengan raut khawatir. Jika Kakaknya itu sampai tau, selain mendapat ceramah panjang yang bisa membuat sakit telinga, Calya juga pasti akan diadukan pada Mamanya. Bisa-bisa, dia tak lagi mendapat kebebasan. "Kak Ar nggak asyik ah, mainnya adu-aduan."
"Ya daripada adu ayam nanti kena gerebek? Mending adu yang lain."
"Ar," peringat Hasta.
"Ape?"
"Omongan lo."
"Kenapa sama omongan gue?"
"Jangan aneh-aneh."
"Dih, orang biasa aja. Pikiran lo aja yang kejauhan Has. Hayo ... Kemana pikirannya?"
Berdecak, Hasta mengabaikan godaan Arya padanya. "Gue sama Calya nggak aneh-aneh. Dia datang ke sini dalam kondisi mabuk. Kalau pulang terlalu berbahaya. Jadi, gue minta buat menginap. Ya tentu aja dengan gue yang tidur di tempat lain."
"Kenapa harus nginap? Kalau lo khawatir Calya pulang sendiri karena kobam, ya lo anterin lah, bukannya diminta nginep. Ih ... Hasta mulai nakal ya? Udah suruh-suruh anak gadis nginap."
Hasta tercenung, mengacak rambut, ia merasa tertohok ucapan Arya. Benar, seharusnya ia antar Calya pulang. Bukannya meminta gadis itu menginap di tempatnya. Tapi ... Pikirannya yang tengah semrawut karena desakan sang Mama soal memiliki pasangan, di tambah rasa lelah yang mendera tubuh membuatnya tak bisa berpikir banyak.
"Ekhm!" Berdeham untuk menarik atensi dua pria yang merupakan sahabat sang Kakak, Calya yang sejak tadi diam dan menjadi pendengar, akhirnya angkat bicara. "Kalau harus anterin aku dulu, kasihan Kak Hasta, Kak Ar. Udah dini hari dan pasti capek mau istirahat."
Memiringkan posisi duduknya agar bisa menatap Calya lebih jelas, Arya menyandarkan salah satu lengannya di atas sandaran sofa. "Lo sering gini? Ck! Bahaya Cal, untung yang lo datengin Hasta yang orangnya lurus kayak senar gitar. Kalau pria lain gimana? Tau-tau punya buntut lo nanti."
"Kayak Kak Ar gitu maksudnya?"
"Iya, eh—nggak! Enak aja. Gue juga anak baik. Udah tampan, dermawan, suka pesugihan—eh, maksudnya kasih pertolongan."
Calya tak bisa menahan semburan tawanya mendengar ocehan Arya. Sementara Hasta hanya bisa menggelengkan kepala.
"Ar, lo jangan kebiasaan nyusup ke sini. Apalagi ikut tidur di kasur gue. Kalau ada yang liat, mereka bisa salah paham."
"Iya betul, Kak Ar nggak boleh tidur sama Kak Hasta." Melenyapkan tawa dalam hitungan detik, Calya merubah raut wajahnya menjadi serius. Dia tak suka, sekalipun itu Arya, kalau sampai tidur di tempat yang sama dengan Hasta. Yang boleh hanya dirinya. Nanti, di masa depan.
Membrengut sebal, Arya hanya bisa menggerutu.
"Aku ... Pulang aja kalau begitu." Tak ingin memperumit keadaan, Calya bangkit dari duduknya, "Kak Has, aku izin ke kamar lagi ya? Mau ambil tas sama barang lainnya yang ketinggalan di sana."
"Nanti aja Cal, sarapan dulu. Aku buatkan se—"
"Nggak usah Kak," menggelengkan kepala, Calya mengibaskan tangan di depan wajah dengan senyuman paksa. Sejujurnya, ia masih ingin berlama-lama di dekat Hasta, tapi sekarang, kondisinya sudah berbeda. Terlebih, ada sosok Arya yang Calya takutkan akan mengadu pada Bastian atas sikapnya yang keluyuran di tengah malam dengan kondisi mabuk.
Mengela napas, Hasta akhirnya tak lagi memaksa. "Yasudah, hati-hati, ini masih terlalu pagi."
Usai mengangguk penuh semangat, Calya segera berderap ke lantai atas menuju kamar Hasta untuk mengambil barang-barangnya.
Tak butuh waktu lama, dia sudah kembali. Masih dengan pakaian milik Hasta yang melekat ditubuhnya. "Kak bajunya—"
"Nggak apa-apa, pake aja."
Mengucap terima kasih, Calya kembali berpamitan, diantar Hasta hingga menaiki mobilnya, gadis itu akhirnya beranjak pergi dari kafe yang sekaligus menjadi tempat tinggal Hasta.
Sepeninggal Calya, Hasta kembali masuk ke dalam dan mendudukkan diri di tempatnya tadi.
"Duh, abis kena gebuk badan gue lemes." Seloroh Arya dengan tangan yang mengelus-elus perut.
Hasta yang melihat kode dari sahabatnya itu hanya mendengkus, sebelum kemudian menepuk lutut dan bangkit dari duduknya yang belum lama di tempati. "Gue bikin sarapan dulu."
Dengan wajah terkejut yang terlalu dibuat-buat, Arya memasang ekspresi tak enak hati, "ya ampun Has, gue nggak mau bikin lo repot. Tapi ... Kalau tetap maksa, gue bisa apa?"
Menggumam sekenanya, Hasta berlalu pergi, meninggalkan Arya yang merekahkan cengiran.
Setelah berkutat beberapa lama di dapur, Hasta akhirnya selesai membuat sarapan. Memanggil Arya yang dengan cepat mendudukkan diri di atas kursi bar, mereka menikmati sarapan bersama di meja pantry.
"Lo beneran nggak ada sesuatu sama Calya?"
Mengisi gelasnya yang sudah kosong, Hasta mengela napas usai mendapat pertanyaan dari Arya yang sepertinya masih belum percaya padanya. "Nggak ada, udah gue bilang, Calya itu udah gue anggap layaknya adik."
"Tapi lo tau kan, Calya menganggap lo bukan seorang Kakak seperti Bastian, tapi seorang pria yang dicinta?" Manikan satu alis mata, Arya mengangkat sudut bibirnya menjadi seringai, "ayolah, nggak mungkin lo nggak tau. Sekali pun tingkat kepekaan lo sama hal-hal yang berbau romantis sama payahnya dengan Bastian. Tapi gue yakin, lo dari dulu sadar, kalau Calya menyimpan rasa sama lo."
"Ck! Nggak usah dibahas. Apalagi kalau ada Bastian, posisi gue jadi canggung."
"Ck! Orang Bastian aja tau kok, adeknya dari dulu naksir sahabatnya." Menyugar rambut, Arya masih mencecar Hasta dan tak berminat melepaskan begitu saja. "Kalau dulu sih, gue kira Calya cuma sekadar naksir lo karena cinta ala remaja aja. Mungkin itu kagum yang dianggap cinta. Tapi sekarang, setelah bertahun-tahun dan tatapannya ke lo masih sama, gue jadi yakin, kalau perasannya itu nggak main-main."
Mengela napas panjang, Hasta tiba-tiba kehilangan selera makannya, "Ar, Calya itu adik sahabat gue sendiri."
"Ya, terus? Nggak ada salahnya kan sama status itu?"
"Tentu ada, selain itu, perasaan gue ke Calya benar-benar sebatas rasa sayang kakak sama adiknya."
"Elah, sekarang sih boleh ala-ala adek-kakak, tapi gue yakin, nggak mustahil perasaan lo berbelok ke hal yang lebih intim."
Mengedikkan bahu tak acuh, Hasta memilih melanjutkan sarapannya, "terserah lo," tutupnya kemudian.
***
"Dari mana?"
"Astaga!" Calya tak bisa menutupi rasa terkejutnya, saat baru saja menutup pintu rumah, sosok Bastian sudah bersedekap tangan dengan tatapan penuh selidik padanya. "K—Kak Bas?"
"Jadi begini kelakuan kamu kalau Mama sama Papa nggak ada? Keluyuran dan baru balik pagi-pagi?"
"Ck! Apa sih? Kak Bas pagi-pagi jangan rusak mood."
Mengabaikan protes sang adik, Bastian menjatuhkan pandangan pada penampilan Calya yang tampak janggal dimatanya. "Kenapa penampilan kamu kayak gini?" Mengerutkan kening, Bastian maju dan mendekatkan diri pada Calya yang refleks mundur, entah karena risih, atau takut pada raut wajah sang Kakak yang dipenuhi kecurigaan.
"Ih, Kak Bas ngapain ngendus-ngendus kayak gitu? Iya tau, aku belum mandi jadi nggak usah—"
"Baju yang kamu pake aromanya familiar."
DEG!
Meneguk ludah kelu, Calya berusaha mengendapkan rasa gugupnya. "A—apaan sih Kak? Bau pengharum baju yang mirip kan hal wajar. Secara, pengharum baju di jual bebas dan bisa dibeli sama siapa aja. M—memangnya, Kak Hasta aja yang punya?"
"Kok kamu tau aku kepikiran aromanya sama kayak yang biasa Hasta pakai?"
Mampus!
Astaga Cal ... Lo harusnya berusaha bikin nggak curiga, tapi ini apa? Dengan suka rela bongkar kecurigaan Kakak lo sendiri? Akh! Si*l!
"B—bukan," menggeleng panik, Calya berusaha menyusun alasan. Sayang, pikirannya tengah buntu.
Dengan keringat dingin yang membasahi punggung, Calya kesulitan melepaskan diri dari interogasi Bastian.
"Kak Bas ngapain di rumah? Sejak kapan? Kok nggak bilang-bilang? Baru datang apa udah menginap dari semalam?"
Mendengkus, Bastian memicingkan mata, "kamu mau mengalihkan pembicaraan ya? Jangan harap Kakak—"
"Pa?" Suara lembut yang tertangkap pendengaran membuat ucapan Bastian terinterupsi. Menolehkan wajah, pria itu merekahkan senyuman, mendapati istri cantiknya tengah menuju kearahnya.
"Mbak Wening!" Bak mendapat angin segar, Calya menghambur pada sang kakak ipar yang sudah berjasa melepaskannya dari jerat interogasi Bastian.
Wening nyaris terjengkang karena mendapat tubrukan tiba-tiba dari Calya yang kini tengah memeluknya erat. Hal yang kemudian membuat Bastian memperingatkan adiknya agar berhati-hati.
"Mbak dari kapan di rumah?" Melepaskan pelukan, Calya menggelayut manja di salah satu lengan Wening.
"Dari semalam, Mbak sama kakak kamu abis makan malam di luar, terus mobil tiba-tiba mogok. Karena jaraknya nggak terlalu jauh dari rumah Mama-Papa, kita akhirnya putuskan kemari karena Nana juga udah rewel. Baru tau kalau Mama-Papa di luar kota pas di sini."
Ber—oh panjang, Calya menganggukkan kepalanya. "Terus nginep?"
"Iya, kami putuskan buat menginap."
"Nana mana Mbak?"
"Masih tidur, jadi Mbak tinggal buat bikin sarapan."
"Wah, pas banget aku udah lapar, kangen juga masakannya Mbak Wening."
"Yaudah, ayo sarapan sama-sama."
"Aku mau mandi dulu, Mbak." Melepas lilitan tangannya dilengan Wening, Calya berderap cepat menuju lantai atas, menulikan pendengaran dari panggilan Bastian yang kesal karena pembicaraan mereka belum selesai.
"Kamu kenapa Pa? Pagi-pagi mukanya kusut begitu?" Wening mengulurkan tangan kanannya, mengelus lembut kerutan dikening Bastian.
"Kesel sama Calya, dia manfaatin kedatangan kamu tadi. Padahal aku belum selesai bicara."
Tersenyum kecil, Wening menggenggam tangan Bastian, "nanti bisa dibicarakan lagi, tapi jangan terlalu keras, yang ada Calya menghindar."
"Kalau nggak gitu, nanti dia makin seenaknya. Nggak peduli sudah sedewasa apa dia sekarang dalam hal usia, buatku, masih tetap adik kecil yang perlu dijaga."
Mengangguk, Wening mengelus punggung tangan Bastian dengan ibu jarinya, berusaha menyalurkan ketenangan pada sang suami yang tengah uring-uringan. "Baiklah, tapi sekarang sarapan dulu ya. Baru nanti lanjut bicara. Aku sudah buatkan teh hangat, abis ini mau cek Nana, takutnya sudah bangun."
Membalas senyuman sang istri, Bastian menurut saat digiring menuju meja makan.
Sementara itu, di dalam kamar. Alih-alih menyeret langkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Calya justru tengah rebah di atas tempat tidur dengan posisi terlentang dan memandangi langit-langit kamar.
Gawat! Dia yakin, sang kakak tak akan melepaskannya begitu saja. Jadi, sedari sekarang, dia harus menyiapkan alasan agar memangkas kecurigaan yang masih bercokol dikepala Bastian.
Suara ponsel yang menandakan adanya pesan masuk mengoyak lamunan Calya. Meraba-raba untuk mencari tasnya yang berada di samping tubuh, gadis itu kemudian merogoh dan mengambil benda pipih yang tersimpan di sana.
Kening Calya mengernyit, mendapati nama Arya yang tertera sebagai pengirim pesan.
Menggigit bibir bawah, rasa was-was seketika merongrong. Apa mungkin, pria itu pun masih menuntut penjelasan akan keberadaannya di tempat Hasta tadi? Astaga ... Kenapa sama saja seperti kakaknya yang menyebalkan?! Dasar duo kepo!
Menekan tanda pesan untuk membukanya, raut khawatir Calya berubah terkejut dalam hitungan detik. Matanya terbelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya.
"Apa-apaan nih?!" Bangkit dari posisi berbaringnya menjadi duduk dengan posisi tegap. Calya masih memelototi layar ponselnya yang tengah memperlihatkan pesan dari Arya. Membacanya berulang-ulang dengan gigi bergemeletuk dan genggaman tangan pada benda pipih itu kian mengencang.
[Calon laki lo mau kencan nanti siang di restoran xxxxxx ƪ(˘⌣˘)ʃ]
Itu pesan yang Arya kirimkan, dan berhasil membuat Calya segera menghubungi pria itu.
Tak menunggu waktu lama, telepon dari Calya akhirnya diangkat.
"Ha—"
"Maksud Kak Ar apa? Kencan? Memangnya sejak kapan Kak Hasta punya pacar? Kok aku nggak tau?! Kak Bas juga nggak pernah bahas! Kenapa nggak ada yang kasih tau kalau Kak Hasta udah punya pacar!"
"Wow, wow, wow, Cal, tenang, tarik bulu ketek coba? Eh, maksudnya, tarik napas biar tenang."
"Aku nggak akan bisa tenang sebelum dapat penjelasan! Ini maksudnya apa?! Kak Ar jangan bohong ya?!"
"Duh, Cal, ngapain gue bohong? Dosa gue udah banyak, nggak berminat buat ditambah lagi."
"Ya, terus?"
"Ya makanya tenang dulu elah, gue kapan jelasinnya digas mulu dari tadi."
Menggumamkan permintaan maaf, Calya berusaha menenangkan diri, meski perasaannya tengah carut-marut.
"Jadi, lo rela nggak, semisal Hasta kencan sama cewek lain?"
"YA, NGGAKLAH!"
"Astaga ... Kuping gue. Ck! Lo abis sarapan toa goreng bumbu asam manis ya? Kenceng mulu ngomongnya."
"Kak Ar ...." Rengek Calya yang tengah tak berminat menanggapi candaan Arya.
"Iye, iye, sabar elah! Gini, kalau emang lo nggak rela, Hasta kencan sama cewek lain. Gue punya tugas buat lo."
"Apaan?"
Calya mendengarkan baik-baik semua kata yang Arya ucapkan dari seberang sambungan. Sesekali kepala gadis itu mengangguk sebagai tanda mengerti, meski pria itu tak akan bisa melihatnya.
Setelah Arya selesai menjelaskan dan mengatakan rencananya, Calya akhirnya angkat bicara. "Baik, akan aku lakukan." Apa pun, demi menjauhkan Hasta dari jamahan para wanita lainnya di luar sana.