Kepala Dewi sudah mengeluarkan hawa-hawa panas sejak tadi. Dahinya berkerut dalam dan berbagai coretan sudah bertebaran di atas mejanya. Sambil menatap tajam pada buku satu soal di depannya, Dewi memainkkan pulpennya di tangan kanan.
“Astaga,” erangnya frustasi. “Kenapa Ya, Tuhan?” teriaknya. “Kenapa x selalu menghilang dari peredaran bumi matematika ini?”
Sontak saja teriakannya itu membuat teman satu kelas Dewi menoleh ke arahnya dengan berbagai jenis tatapan. Ada yang mendengus geli. Ada yang menggeleng tak habis pikir. Banyak pula yang mengangguk samar seolah memiliki pemikiran yang sama dengan gadis itu.
“Dan elo, X,” ujar Dewi sambil melingkari huruf kedua puluh empat dalam abjad tersebut tebal-tebal dengan pulpen tinta kesayangannya. “Kalo nggak mau menetap di matematika, nggak usah muncul di sini. Ngerepotin gue aja buat nyari-nyari elo.” Dewi menggerutu kesal.
Anye menghela napas di sampingnya. “Cuma mukjizat Tuhan yang bisa ngebuat elo berkahir di jurusan ini,” kata Anye. “Udah tahu otak elo nggak nyampe, kenapa harus ngambil jurusan ini, Maemunah?”
“Hm,” gumam Dewi lemah. Lalu ia kembali menekuni soal yang ada di depannya. Tiga hari lagi sudah mulai ujian tengah semester, ia harus mempersiapkan diri sebaik mungkin. Meskipun Dewi tidak begitu yakin akan lulus dari kalkulus kali ini, karena selain kemampuannya yang tidak mumpuni, Dewi sudah pernah terlambat satu kali di kelas Pak Richard.
Satu kali terlambat.
Dewi mendengus kalau mengingat kejadian itu lagi. Banyak hal yang disesalinya, tapi yang paling mengganggu batinnyanya adalah kenapa Pak Richard, dosen berkepala botak itu tidak mengerti sama sekali kalau di Indonesia ini waktu lebih lentur daripada karet. Bisa dibilang kalau waktu di negeri tempat berproduksinya komodo ini selentur tubuh Monkey D. Luffy. Tokoh utama dalam manga karangan Eiichiro Oda tersebut memiliki tubuh karet yang bisa memanjang sesuka hatinya. Persis seperti orang-orang yang memundur-mundurkan waktu semerdeka pikirannya.
“Sebenarnya gue masih penasaran,” kata Anye lagi. “Apa yang ngebuat elo bisa ngambil jurusan matematika? Padahal elo suka gambar dan bagus banget di sana.”
“Gue mau jadi pemograman tadinya.”
“Hah?”
“Bahasa pemograman itu pada dasarnya adalah matematika. Alogoritma dan sejenisnya.”
Kening Anye sudah keriting, tapi ia tetap bergeming karena Dewi kembali melanjutkan ucapnnya.
“Jadi gue mau belajar.”
“Kenapa nggak langsung ambil pemograman?”
“Karena di novelnya Dan Brown, tokohnya seorang ahli matematika,” jawab Dewi.
Anye mendengus. Tentu saja. Memangnya siapa lagi yang bisa mempengaruhi otak Dewi kalau bukan penulis-penulis yang entah bertebaran di mana saja. Sahabatnya ini adalah salah satu orang yang sangat suka membaca fiksi. Apa saja, selain buku ensiklopedia dan buku ilmu pengetahuan lainnya akan dilahap oleh Dewi.
“Yes, finally.” Dewi bersorak senang. Lagi-lagi membuat semua kepala menoleh ke arahnya. “Akhirnya setelah satu setengah jam, gue bisa nemuin x.”
“Dapet berapa nilai x-nya?” tanya Anye.
“Tiga koma nol tujuh.”
“Tiga koma nol empat,” balas Anye.
“Kok nol empat?” tanya Dewi.
“Hitungan elo salah.”
Dewi melongo.
“Ini harusnya elo turunin pake rumus, yang ini baru langsung,” terang Anye sambil melingkari sesuatu di atas kertas Dewi.
“U aksen v per …..”
“Stop,” Dewi langsung memotong perkataan Anye. “Gue nyerah. Kepala gue udah mau keluar tanduk, gue mau ke kantin dulu.”
Hanya saja tepat setelah dia berkata seperti itu, ponselnya bergetar oleh sebuah notifikasi yang masuk. Melihat nama pengirim chat tersebut muncul di layar handphone-nya membuat Dewi menghela napas lelah.
-Gedung E, lantai 3, ruang 21. Ambilin absen gue.-
“Dewa sialan,” umpat Dewi saat membaca sebaris pesan masuk tersebut. Malas menatap nama Dewa di telepon genggamnya lama-lama, Dewi kembali memasukkan benda pipih tersebut ke dalam kantong celana, tapi langsung batal karena ponselnya kembali bergetar.
-Lo bisa milih nggak pergi, terus jelasin soal mobil gue di kantor polisi.-
Rupanya Dewa sudah mengetahui titik lemahnya.
“Prasetyo sialan,” pekik Dewi. Sekali lagi membuat seluruh pasang mata kembali terarah kepadanya.
“Elo ngumpatin bapak sendiri?” tanya Adi, sang kosma. “Nggak baik, Dew,” ujarnya. “Orang yang udah tenang di alam sana, nggak boleh diumpatin.”
Dewi langsung menatap Adi tajam. “Elo juga sialan, Kusuma,” katanya menyebutkan nama keluarga Adi dengan kekesalan yang memuncak.
Setelah menarik napasnya berkali-kali, Dewi mengambil tasnya dan memasukkan semua peralatannya ke dalam benda tersebut.
“Mau ke mana, Lo?” tanya Anye. “Kita belum kelar belaja.”
“Mau bayar utang,” jawab Dewi jengkel dan melangkah ke luar kelasnya.
*