"Selamat, kalian telah menjadi pasangan menikah. Van, aku bahagia sekali karena bukan Tari yang kamu nikahi," kata Rendi begitu ijab kabul berakhir.
Evan menatap Rendi tak senang. Meskipun begitu, tangannya tetap terulur menyambut tangan lelaki berambut cepak itu. Evan lalu merangkul pundak Ivy, menarik tubuh wanita itu mendekat padanya kemudian berbisik, "Setelah ini, lihat saja apa yang akan terjadi padamu."
Ivy merasakan tubuhnya menggigil seperti diguyur air es di malam yang dingin.
Ivy menggeleng mencoba menepis ketakutannya. Tidak, tidak. Aku tak boleh takut. Pasti ada jalan untuk kabur, Vy. Katanya dalam hati.
"Suamiku." Ia memberanikan diri memandang Evan yang menatapnya tajam. "Aku mau berkeliling dulu, ingin berkenalan dengan para undangan."
Evan menatap penuh curiga. Namun, ia tak bisa berbuat banyak saat melihat Ivy bergegas meninggalkannya karena Rendi terus mengajaknya mengobrol.
Ivy segera masuk ke dalam kamar di mana ia dirias tadi, menutup pintunya, lalu duduk di ranjang dengan benak berkecamuk. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Ivy memukul-mukul kepalanya, wajahnya terlihat begitu panik.
Bagaimana ini? Bagaimana? Ivy terus memukul-mukul kepalanya dengan wajah semakin panik. Senyumnya tiba-tiba terkembang saat mata beningnya tertuju pada tas ransel yang mengembung. Segera disambarnya cepat, lalu dengan tak sabar mengeluarkan ponsel keluaran terbaru.
"Halo," ucapnya begitu tersambung.
"Ya, Tik. Ada apa?" Seperti biasa, suara sahabatnya terdengar ramah.
"Tolong aku, Li. Evan ... Evan ... mantanmu itu sudah gila. Aku dan dia ... aku ... panjang ceritanya, Li. Kamu bisa ke rumah Evan sekarang, tidak?" tanyanya dengan jantung berdegup kencang.
Ivy berharap sekali Liana mau menyanggupi permintaannya, lalu membawa ia pergi dari tempat ini. Ia terlalu takut untuk keluar sendirian. Bagaimana kalau Evan menghadang langkahnya?
Ivy menarik napas saat mendengar suara tak asing. Huh! Kenapa ada lelaki jutek itu, sih! Rutuknya dalam hati.
"Loadspeaker." ucap suara di seberang sana.
Ivy menyentak napas. Ah, masa bodoh dengan lelaki jutek itu. Putus Ivy lalu kembali berkata. Membayangkan yang telah terjadi, membuat jantungnya semakin cepat bertalu.
"Li, segera datang ke rumah Evan sekarang, ya? Mantanmu itu sudah gila. Dia ...." Ivy langsung menghentikan ucapannya saat kembali mendengar suara si lelaki jutek, Danu, suami sahabatnya yang entah apa alasannya, terlihat begitu tak menyukainya.
"Apa temanmu itu sudah gila?"
Ivy mengernyit. Menyebalkan sekali lelaki itu mengatainya gila. Ivy mendengkus sebal. Ah, sudahlah tak usah dipikir, masa bodoh dengan Danu jutek itu! Tangannya refleks meraba d**a saat telinganya mendengar suara tawa Evan dan beberapa temannya.
Ivy menarik napas dalam. "Li ... tolong aku! Aku tidak mau menikah dengan makhluk menyeramkan itu! Ke sini sekarang, Li. Cepat ke sini!" Ivy menggeleng cepat. Bodoh. Ia bahkan sudah menikah dengan Evan si lelaki pemarah.
Ivy menatap ke arah pintu yang tertutup rapat. Pikirannya tak bisa tenang walaupun ia telah mencoba membayangkan yang indah-indah semisal ia berhasil kabur. Wajahnya banjir oleh keringat padahal ruangan ini menggunakan AC.
"Halo."
Mata Ivy membulat saat mendengar suara Danu. Jemari lentiknya sigap menekan simbol telepon warna biru. Ia masih ingat jelas wajah Danu yang menatapnya sinis dan perkataannya yang tak mengenakkan padahal ia sudah meminta maaf karena mengajak istrinya yang baru keguguran keluar. Lebih baik matikan saja.
Bagaimana ini? Bagaimana? Ivy menggeleng-geleng saat membayangkan wajah kesal Evan. Mata gadis itu berkaca-kaca. Evan pasti akan memberi perhitungan setelah ini. Ia harus bisa kabur. Harus.
Ivy menatap sekeliling kamar. Saat tatapannya tertuju pada ransel yang mengembung di sampingnya, segera ia raih. Wajah pucat itu perlahan mulai bersinar. Senyum yang membuat wajahnya semakin elok dipandang itu merekah lebar.
A-ha! Seperti ada bohlam yang menyala benderang dalam otaknya. Ivy girang bukan main.
Bergegas ia tanggalkan gaun pengantin lalu menggantinya dengan baju tanpa lengan juga jins panjang cokelat s**u. Setelah itu, dikenakannya kostum boneka kelinci. Kenapa tadi tak terpikir mengenakannya? Seharusnya, pernikahan konyol tadi tak pernah terjadi.
Pelan, Ivy membuka pintu kamar. Lalu kepalanya menyembul perlahan. Sepertinya aman.
***
Ivy keluar dari mobil lalu setengah berlari menuju rumah sahabatnya. Ia ketuk pintu yang yang tertutup itu dengan tak sabar. Jantungnya berdetak kencang. Matanya mengembun. Rasanya, ia ingin menangis. Saat ini, ia benar-benar butuh teman mengobrol. Pada siapa lagi kalau bukan pada Liana? Ia tak mungkin curhat pada Yana, sahabat dekatnya yang lain karena jam segini gadis itu sedang kuliah. Begitu pulang kuliah, sahabatnya itu akan kerja paruh waktu.
"Tik, ada apaa?" tanya Liana setelah membuka pintu. Tangannya segera meraih tangan Ivy lalu menarik menuju sofa di mana suaminya sedang menyeruput teh.
"Mau minum?" Liana memandang Ivy yang tampak begitu sedih. Lalu tatapannya beralih pada sang suami yang mengernyit heran. Liana mengedikkan bahu tanda ia pun tak mengerti yang sebenarnya terjadi.
Ivy duduk di sofa tak jauh dari Danu dan mulai terisak. Ia menarik tangan Liana hingga gadis itu duduk di sampingnya.
"Li ... aku tak tahu gimana cara menjelaskannya. Tapi ... tapi ... aku baru saja tertimpa musibah besar. Sangat besar, Li. Aku dan Evan baru saja menikah. Menikah, Li!"
Uhuk!
Ivy melotot saat melihat Danu menyemburkan minumannya.
Liana menatap Ivy dengan wajah penasaran. Menikah? Bagaimana bisa? Ia tahu sahabatnya tak kenal Evan dan begitu pun sebaliknya. Jadi, bagaimana bisa menikah? Jadi, yang diucapkan Ivy ditelepon beberapa jam lalu bukan bualan?
Ivy menggenggam tangan Liana, sesekali ia menyeka wajahnya yang basah. "Aku ... niatku hanya ingin membalaskan sakit hatimu dulu, Li. Lalu ... calon istrinya pergi. Lalu ... aku dipaksa menikah dengan Evan si lelaki jutek itu!"
Uhuuk!
Ivy terisak. Ia lalu melotot saat melihat Danu kembali menyemburkan tehnya. Cowok itu terbatuk-batuk. Lalu terpingkal-pingkal. Ivy menatapnya semakin tak suka.
"Katakan pada temanmu, Li. Apa dia tak punya otak? Bagaimana bisa ... haha ... bukannya kamu pernah bilang temanmu lulusan luar negri? Kenapa tak menggunakan otaknya dulu sebelum bertindak?"
"Mas Danu!" kata Liana sambil melotot. Sang suami langsung menanggapinya dengan mengacungkan ibu jari. Ivy menyentak napas kesal.
"Apa sih, Mas?! Aku tau mas tak pernah menyukaiku! Tapi aku sedang sangat sedih! Bisakah hanya diam saja?!" ucap Ivy sambil melotot. Wajahnya cemberut. Danu akhirnya berdiri, lalu melangkah keluar setelah sebelumnya mengecup kening Liana.
"Aku cari makanan dulu, Li. Katakan pada temanmu, harus berani tanggung jawab."
Liana menatap kepergian suaminya lalu menarik napas dalam. Ia tahu sahabatnya ini selalu tak pernah berpikir panjang, tapi menikah dengan lelaki asing yang adalah mantanya ... Liana benar-benar tak menyangka.
"Bagaimana ini Li, bagaimana? Sepertinya, mantanmu itu benar-benar marah padaku."
Liana memandang Ivy cukup lama. Merasa kesal, namun juga kasihan. Lagian, siapa juga yang menyuruh membalaskan sakit hatinya? Toh, itu sudah lama berlalu.
"Itulah kenapa Islam melarang balas dendam, Tik."
"Kenapa kamu malah menyalahkan ku, Li?! Aku berniat membalaskan sakit hatimu, tau!" Ivy menyentak tangan Liana, wajahnya terlihat sangat kesal. Bukannya dihibur, ia malah disalahkan. Sebal, pokoknya.
"Bukan menyalahkan. Aku hanya memberi tahu, Tik. Aku sudah lama memaafkan Evan."
Ivy menyentak napas. "Lalu bagaimana denganku sekarang? Aku baru saja menikah, Li. Kalau sampai Kak Reyhan tahu ... aku bisa mati!"
Liana mengangguk, dipandangnya Ivy. Ia sebenarnya merasa kasihan, namun tak bisa berbuat banyak. Baik ia maupun Yana tahu betul Reyhan begitu cemburuan. Ia tak yakin kalau sampai Reyhan tahu, hubungan sahabatnya dan lelaki itu akan tetap baik-baik saja.
"Hadapi dengan kepala dingin, Tik."
Ivy terisak semakin keras.
"Bagaimana bisa menghadapi dengan kepala dingin? Yang ada, kepalaku seperti hendak meledak. Membayangkan aku dipaksa nikah, membuatku kesal setengah mati, Li!" ucap Ivy berapi-api.
"Kamu yang salah, Tik."
Ivy menepuk-nepuk kepalanya. Liana memilih membisu, tangannya mengusap bahu Ivy perlahan.
"Yang sabar."
"Rasanya aku ingin menangis, Li," desis Ivy.
"Kamu sudah menangis sejak tadi."
"Li, aku kesal sekali. Bisa-bisanya cowok itu memaksaku meni--"
"Kamu yang salah, Tik," potong Liana cepat.
"Mantanmu itu sangat mengerikan, Li! Saat menatapku, ia seperti singa. Benar-benar sangat menakutkan!"
Liana mengembuskan napas, mencoba sabar menghadapi sikap sahabatnya.
"Tentu Evan sangat marah, Tik. Kamu menghancurkan pernikahannya."
Ivy langsung memandangnya kesal. Liana menarik napas panjang, lagi-lagi mencoba bersikap sabar walau sebenarnya ia juga sangat kesal.
*Jangan lupa tap love biar selalu dapat notif UP. Btw ada yang nyadar gak kalau cerita ini lanjutan cerbung Suamiku Seperti Batu?