Nadhif Sultonulazhar mendapat desakan dari berbagai sisi untuk menikah saat usianya menginjak dua puluh tujuh tahun. Entah itu keluarga, teman, bahkan kedua orang tuanya terus saja bertanya perihal kapan dirinya akan mengkhitbah seorang perempuan. Namun, selama ini dia belum menemukan sosok yang bisa mengisi petak hatinya yang kosong. Lagipula baginya, menikah bukanlah ajang cepat siapa yang dapat. Menikah adalah komitmen dan ibadah seumur hidup. Lalu, tiba-tiba saja dia dipertemukan dengan seorang gadis mungil berwajah lugu di sebuah halte bus saat derasnya hujan sedang menyentak bumi. Seorang gadis yang tak diketahui namanya berhasil membuat Azhar jatuh cinta pada pandangan pertama. Entah kenapa semenjak pertemuan itu, takdir seolah menyeret keduanya untuk sering bertemu. Namun, siapa sangka kalau ada sekat besar di antara keduanya yang membentang luas tanpa bisa didobrak? Entahlah, Azhar bimbang harus mengikuti ingin hatinya atau justru membunuh perasaannya.
Hidup Humaira Sakhifah semula baik-baik saja. Dia menikmati kehidupannya sebagai gadis enam belas tahun yang menggantungkan diri di jalanan. Dia hidup bebas dengan dunia luar. Sampai pada suatu hari, dunia Maira jungkir balik saat seorang lelaki bernama Muhammad Zainal Rifie terlibat kecelakaan dengannya. Empat tahun Maira koma di rumah sakit, dan selama itu yang mengurus segala keperluannya adalah Zainal dan keluarga lelaki itu. Ketika Maira sudah bangun, yang dia lihat bukan lagi gadis remaja yang tampak dekil terkena polusi dan sengatan matahari, namun justru sosok perempuan dewasa yang memukau. Maira sudah berubah. Tak hanya fisik, hidupnya pun ikut berubah. Rupanya keluarga Zainal adalah pemilik salah satu pondok pesantren di Jakarta. Dan tentunya, Maira harus terjebak dengan aturan-aturan gila nun mengekang yang membuatnya frustrasi. Lalu tiba-tiba saja, Zainal mengajukan khitbah atas dirinya. Maira menolak, namun hal itu tidak membuat Zainal mindur sedikit pun. Tidak ada pilihan lain yang bisa Maira pilih selain menerimanya. Dia sendiri takut jika keluarga Zainal menagih semua biaya perawatan atas dirinya. Maka, dengan sangat terpaksa Maira menerima pernikahan itu tanpa cinta. Zainal sangat lembut, penuh cinta, dan penyabar. Berbanding terbalik dengan dirinya. Namun, hal itu tidak membuat Maira luluh dengan mudahnya. Maira tetap keras kepala. Layaknya batu yang akan terkikis jika terus menerus terkena air, hati Maira pun perlahan terbuka. Dia mulai menerima cinta Zainal. Akan tetapi, di saat Maira percaya akan cinta dan memiliki, semuanya tiba-tiba saja berubah. Kenyataan pahit itu datang dan membuat Maira makin tidak percaya pada takdir Tuhan.
Kita bertemu, saling berbagi cerita lantas saling meninggalkan. Memang, kadang takdir selucu itu. Saat kita sama sekali tak pernah menduga untuk saling mengenal, takdir dengan caranya membunuh waktu dengan pertemuan singkat. Saat kita tak pernah menyangka akan dapat berbagi kisah satu sama lain, dengan bantuan takdir akhirnya kita dapat saling percaya untuk bertukar memori sekilas. Dan saat kita enggan untuk berbagi jarak, dengan egonya takdir memisahkan kita layaknya planet lain yang memisahkan matahari dengan pluto. Mungkin, kilas takdirlah yang menjadi titik akhir kisah singkat ini.
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.