bc

Ronggeng Pemikat

book_age16+
201
FOLLOW
1.5K
READ
drama
tragedy
serious
mystery
spiritual
like
intro-logo
Blurb

Narsih adalah seorang gadis dengan cerita kisah kelam sejak kematian orang tuanya. Kedamaian hidupnya terusik sejak ia menjalani kehidupan baru sebagai seorang ronggeng.

Pertemuannya dengan Pak Lurah Suwarno menjadi awal kepelikan hidupnya. Berbagai cerita pilu dan misterius mulai berdatangan silih berganti. Berikut potret ujian paling sublim dari sebuah persahabatan dan cinta.

chap-preview
Free preview
Kematian Orang Tua Narsih
Sore ini, semesta seolah bersedih untukku. Gumpalan awan hitam bergelayut, diiringi gemuruh petir tertahan. Meski air langit belum jua turun, pekatnya mendung seakan mewakili perasaanku. Suara tahlil menggema memenuhi rumah. Beberapa bapak-bapak sibuk mendirikan tenda depan rumah. Ada yang menggelar tikar, menata kursi-kursi plastik. Lainnya sibuk berkerumun untuk mengurus segala kebutuhan pemakaman. Mengukur kafan, membeli bunga, serta menggali tanah di makam. Begitu pun Ibu-ibu. Semua tengah wara-wiri dengan kesibukan masing-masing. Beruntung solidaritas warga kampung begitu kental. Tanpa diperintah, semua sudah siap dengan kesadarannya masing-masing. Sedang aku hanya terdiam di sini. Dalam ruang tengah. Menatap dua jasad yang telah terbujur ditutup kain jarik, dikelilingi para pelayat di ruang depan. Mereka adalah kedua orang tuaku, Pak Rekso dan Bu Martini. Wajah pucat keduanya terpampang jelas, memilukanku. Ingin rasa mengoyak tubuh mereka agar bangun kembali, menemaniku yang tengah dirundung kepedihan. Betapa pilu hati ini, harus kehilangan keduanya secara bersama dalam satu waktu. Bahkan, aku berharap ini hanya sekadar mimpi belaka. Daun pohon mangga yang berguguran di pelataran, seakan mewakili perasaan ini. Pasrah, namun sayang. Suara kepakkan sayap burung pun bersahutan dan berputar mengelilingi rumah, seperti turut bersedih mengiringi kedukaanku. Kulihat, tak banyak yang takziah, hanya belasan orang saja. Mungkin, mereka kasihan. Aku sadar betul tentang keadaan desaku. Tentang wabah yang meresahkan beberapa waktu lalu. Di depan rumah, masih berdiri tenda dan kain-kain hijau panjang untuk menutup pinggiran tenda. Aroma sabun dan kapur barus menguar menciptakan suasana duka. Air dari gentong sudah disiram dan menggenang di bawahnya; air bekas memandikan jenazah. Ditemani ibu-ibu yang merangkai roncean bunga panjang yang terdiri dari; mawar, melati, daun pandan, sedap malam, juga bunga kantil. Aku tersengguk di pojok ruang tengah. Beberapa ibu lain komat-kamit merapal bacaan yang entah apa, sembari menghitung biji jagung dalam wadah bakul plastik. Dari sini, aku bisa melihat jenazah mereka. Tenggorokanku bergetar-getar menahan isakan yang semakin tak tertahan, seperti ada yang mengganjal di dalamnya. Meski tanpa suara, air mataku tak henti menganak sungai. Ada rasa sakit di ulu hati seperti ditusuk benda tajam, perih. Nenek membaur di sampingku, mendekapku erat dengan tangisan pilunya. Ia benar-benar tak percaya harus mendapati kenyataan jika Martini, anak perempuan satu-satunya harus mendahuluinya menghadap Sang Kuasa. Padahal, selama ini justru ia yang sering sakit-sakitan. Jilbab kain lusuh yang dipakainya telah basah oleh air mata. Sesenggukan tanpa henti. Tubuh Nenek bergetar hebat, memelukku kian erat, membuatku terasa berat menopang fisiknya yang semakin melemas. *** Aku ingat, sebulan lalu, Ibu dan Ayah tiba-tiba mengalami penyakit yang beberapa bulan ini mewabah dan meresahkan desa. Penyakit kulit yang menewaskan hampir separuh penduduk desa. Tak pernah ada yang tahu dari mana asalnya. Seperti sebuah virus, tiba-tiba saja menyebar dan hampir mematikan dan melumpuhkan aktivitas warga. Waktu itu, saat senja. Ketika aku sedang sibuk melipat baju-baju cucian di depan televisi. Kudengar Ibu berteriak kencang, kudapati ia di kamar menggaruk tangan dan kakinya yang tiba-tiba melepuh. Kami sama-sama keheranan. Awalnya kami mengira itu sebab risiko pekerjaan Ibu sebagai buruh cuci, kulitnya seperti rontok dan berdarah. Ia terus bercericau, "Panaas ... periiih ...!" Kepanikanku bertambah, tatkala kulihat Ayah datang dari belanja barang dagangannya mengalami hal serupa, bahkan beliau lebih parah. Wajahnya memerah seakan kulit arinya terkelupas menyisakan daging dalam. Begitu mengerikan, layaknya zombi. Lelaki yang kukenal tangguh itu, tergolek lemah dengan erangan yang begitu menyayat. Tak hentinya ia mengusap dan menggaruk wajah, membuatnya semakin parah. “Buk, apa yang terjadi denganku?” Ia merebahkan diri di kursi panjang. Terus menggosok seluruh tubuhnya. Ibu bergegas ke luar kamar dan duduk di samping Ayah. Keduanya saling tatap tak percaya, sibuk dengan garukan pada tubuh masing-masing. Aku hanya bisa mengernyit menatap keadaan keduanya. Sungguh di luar nalar. "Narsih, ambilkan daun suruh sekalian direbus, Nduk!" Aku mengangguk cepat, gegas kuikuti perintah Ibu. Kupetik tanaman itu di belakang rumah yang tumbuh subur begitu saja, segera merebusnya dengan api besar agar cepat mendidih. Dalam wadah baskom, kubawa air rebusan ke kamar mandi, sesuai arahan Ibu. Aku pun tak tahu sebenarnya mau dipakai apa. Tanpa menunggu, ia segera berlari masuk dalam kamar mandi. Namun, jeritan Ibu mengejutkanku kembali, kudekati bilik pintu, gelisah memanggil dan bertanya apa yang terjadi padanya. "Ibu kenapa?" Aku benar-benar panik dan menarik kasar gagang pintu. "Jangaaan ...!" Ia malah membentak, menyuruhku menjauh. Ia ke luar dengan keadaan mengenaskan. Kulitnya menjadi gosong, seperti luka borok mengering. Menjijikkan. Sembari terus menggosok tak tertahan. Arahanku untuk menghentikan aktivitasnya malah membuatnya murka, serba salah. "Apa yang terjadi, Bu?" Aku menatap wajahnya yang kian rusak. Ngeri sekali. Saat tangan ini mencoba menyentuh, segera Ibu menepis dan mendelik tajam. “Jangan pernah coba menyentuh Ibu! Ibu nggak mau kamu mengalami ini juga!” Ia berpaling cepat, menunduk, menyembunyikan wajahnya dariku. Menggelengkan kepala dan pergi menjauh. Aku benar-benar khawatir, berpikiran yang tidak-tidak. Pekerjaan Ayah sebagai tukang sayur dan Ibu buruh cuci keliling, membuat mereka tak lepas interaksi dengan beberapa orang. Tak terelakkan jika harus tertular seperti ini. Apalagi penyebarannya begitu cepat melalui kulit ke kulit. Sejak saat itu, Ibu membatasi segala gerakku. Ia tak ingin aku mengalami hal yang sama. Aku merasa terasing untuk beberapa hari. Ibu membedakan alat makan, mandi dan benda-benda lain yang mungkin bisa menularkannya padaku. Bahkan, aku merasa tak berguna sebab tak bisa membantu lebih. Yang bisa kulakukan hanya menuruti perintah mereka, menjaga jarak, sesekali ke luar rumah untuk membeli beberapa kebutuhan. Kian hari keuangan semakin menipis, tetapi kebutuhan terus berjalan. Apalagi, kedua orang tuaku butuh perawatan tambahan. "Bu, izinkan Narsih bekerja. Kita butuh lebih banyak uang untuk memenuhi kebutuhan. Aku juga mau beli obat untuk kalian," kataku pada Ibu yang tergolek lemah di atas kasur. Ayah yang sedang rebahan di kursi panjang depan kamar, menolehkan pandang padaku, lalu menyahut. "Kamu mau kerja apa, Nduk? Nggak seharusnya kamu bekerja. Kamu belum cukup umur," tuturnya. "Narsih juga butuh sekolah, Pak. Mungkin untuk saat ini, Narsih mau berhenti dulu. Untuk merawat kalian. Tapi Narsih masih ingin punya pendidikan tinggi." Ibu hanya terdiam memandangku, tanpa bisa kusentuh. Ia tak pernah mengizinkanku dekat dengannya sejak mengalami penyakit itu. Kulihat buliran bening mulai merembes dari matanya yang membengkak, akibat kebanyakan digaruk. Ia terus terisak, seakan tak rela jika menggantikan tugas mereka. Kulihat wajah Ayah yang semakin memerah di balik pintu. Ia menunduk, menggaruk-garuk tubuhnya seperti monyet. Begitu pun Ibu. Sedih rasanya menatap kedua orang yang kusayangi seperti ini. Kulihat mereka cuma bisa pasrah. Aku terus meyakinkan agar memberiku izin. Akhirnya, anggukan keduanya membuatku tersenyum. Mulai itu juga, kuputuskan meneruskan pekerjaan Ibu jadi buruh cuci dengan memakai sarung tangan. Meski sedikit payah terus saja kujalani, maklum usiaku yang baru menginjak 17 tahun seharusnya ini bukan ranahku. Awalnya begitu terasa berat, namun terus kujalani demi baktiku pada orang tua. Beberapa tetangga yang menawarkan pekerjaan, agaknya hanya prihatin. Sering kali kudengar bisikan ibu-ibu saat mengobrol di depan rumah. Katanya kerjaanku tak bagus, banyak baju kotor masih bernoda. Namun, mereka tetap memperkerjakanku sebagai bentuk solidaritas. Bahkan sering kali mereka memberi lebih. Tak kupedulikan, yang penting aku bisa mendapat uang. Membeli minyak oles dan bedak dingin untuk sedikit meringankan penyakit orang tuaku. Meski tak ada perubahan akan sembuh, setidaknya ada ikhtiar memperlambat prosesnya. Sebab keduanya tak mau kubawa ke dokter meski sudah kubujuk setengah mati. Lambat laun, keadaan keduanya semakin parah. Apalagi Ayah. Ibu memutuskan mengirimku ke rumah Nenek. Awalnya aku menolak, tak tega meninggalkan mereka dengan kondisi seperti itu. Telapak kaki Ayah sampai tipis, ia tak sanggup lagi berjalan. Layaknya orang dengan penyakit diabetes, penuh borok dan luka menganga. Aku terus menolak dan memaksa tetap tinggal, yang kupikirkan hanya satu, bagaimana mereka bisa makan dan beraktivitas tanpa aku? Selama mereka sakit, akulah tangan dan kaki mereka. Yang selalu sigap dikala membutuhkan bantuan. Jika tak ada aku, bagaimana? Namun, Ibu tetap bersikukuh meyakinkanku bahwa mereka akan baik-baik saja. Nenek berjanji untuk mengirim uang tiap minggunya. Dengan begitu banyak pertimbangan, aku pun akhirnya pasrah mengikuti anjuran Ibu. Meski dengan perasaan yang begitu berat. *** Hidup di rumah Nenek beberapa hari saja, aku sudah tak tenang. Bukan karena tak kerasan, tetapi terus saja kepikiran nasib kedua orang tuaku. Apakah mereka baik-baik saja? Apa penyakitnya sudah membaik? Rentetan pertanyaan ini membuatku kian gelisah. Bahkan, aku hampir stres. “Sudahlah, Nduk. Percaya saja sama mereka. Kalo kamu seperti ini. Bisa-bisa kamu ikutan sakit juga. Apa kamu nggak kasihan sama Nenek?” tutur Nenek ketika mendapatiku melamun depan rumahnya. “Entahlah, Nek. Narsih merasa jadi anak yang nggak baik. Meninggalkan mereka di saat keduanya dalam keadaan sakit.” Kupeluk kedua kaki dengan berjongkok di atas amben bambu. “Kamu nggak salah, ini sudah jadi keinginan mereka. Martini melakukan ini sebab terlalu sayang padamu, demi kelangsungan hidupmu juga.” Nenek mulai mendekat, mengusap punggungku dan menguatkan. Memang benar adanya, aku tak salah. Tetapi, berjauhan dengan mereka adalah hal yang begitu sulit kuterima. Mungkin, aku harus belajar mandiri mulai saat ini. Toh, beberapa gadis dan pemuda di kampungku juga begitu. Ketika beranjak dewasa, semua akan merantau demi mencari kehidupan yang lebih layak. Ada saatnya aku juga begitu, nantinya. Suatu malam, aku bermimpi Ayah dan Ibu terlihat bahagia memakai baju ihram. Kulihat mereka akan berangkat menuju tanah suci, keduanya tersenyum dan menangis haru. Berpamit pergi sembari memelukku erat. Hatiku begitu nelangsa, seakan tiada pernah bertemu lagi. Aku pun terbangun dengan peluh membasahi tubuh, tenggorokanku tercekat, sedikit terisak. Aku terduduk linglung, mencerna mimpi yang kualami. Rasanya mimpi itu benar nyata adanya. Dari sini, ada perasaan takut dan mempunyai firasat buruk tentang mimpi itu. "Ada apa, Nduk?" Nenek bertanya saat menemukanku duduk terengah-engah. Aku menggeleng. "Mimpi buruk?" tambahnya. Kujawab dengan mengangguk tersenyum. "Ingat, mimpi itu hanya bunga tidur. Sudah tak perlu dipikirkan." Ia lantas menyodorkanku segelas air, kuteguk cepat dan kembali berbaring di sampingnya. ‘Semoga benar apa kata Nenek, Cuma sebatas mimpi' kataku dalam hati. Hanya dalam jangka waktu sebulan, kudengar kabar yang begitu menyayat hati. Kedua orang tuaku meninggal, menorehkan kesedihan berkepanjangan bagiku. Aku benar-benar terluka. Rupanya mimpi beberapa waktu lalu menjadi kenyataan. Begitu pun dengan Nenek. Ia hampir pingsan saat seorang tetangga Ibu datang tergopoh-gopoh memberitahu kabar itu pada kami. Bahkan, desa yang dulu begitu asri, perlahan ditinggalkan penduduk, demi menyelamatkan diri dari wabah yang merebak. Hingga kabar terakhir kudengar, hanya menyisakan puluhan warga yang masih setia bertahan, sebab tak tahu harus ke mana, sedang harta yang mereka punya hanya sebidang tanah dan kebun yang begitu sayang jika harus ditinggalkan. Aku benar-benar tak kuat lagi, ingin teriak. Ingin menyalahkan takdir pelik di usiaku yang baru menginjak belia ini. Bagaimana aku bisa hidup tanpa mereka? Apakah aku bisa melanjutkan pendidikanku?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

JIN PENGHUNI RUMAH KOSONG LEBIH PERKASA DARI SUAMIKU

read
4.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
9.3K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.5K
bc

My Secret Little Wife

read
84.6K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook