bc

My Adorable Girlfriend

book_age12+
845
FOLLOW
5.4K
READ
possessive
age gap
second chance
mate
powerful
CEO
sweet
city
love at the first sight
like
intro-logo
Blurb

Berawal dari pandangan pertama yang tak sengaja, Damian langsung memiliki keinginan sekaligus rasa penasaran terhadap Dasha.

Untuk memenuhi keinginannya, Damian harus sedikit berjuang karena ternyata Dasha adalah tipe perempuan yang lumayan susah untuk didekati.

Namun semuanya berubah ketika satu hal besar terjadi, yang memaksa Dasha untuk tinggal satu atap dengan Damian.

Di sana, ada banyak hal yang terjadi hingga pandangan Dasha ke Damian perlahan berbeda, perasaan Damian tampaknya terbalas.

Hanya saja, bayangan masa lalu masih menghantui Damian, hal yang harusnya tak boleh ia rasakan lagi karena sudah ada Dasha di hatinya. Tapi, semua hanya sebatas sugesti untuk dirinya, karena nyatanya, ketika perempuan itu datang, dunia Damian seolah di balikkan begitu saja.

Kesalahpahaman dan kecemburuan menjadi asal dari pertengkaran yang hebat sampai Damian dan Dasha berpisah.

Hingga satu kejadian yang amat sangat tak terduga dan tak di nanti menimpa Dasha, membuatnya hampir meninggalkan dunia, barulah Damian sadar akan perasaannya sebenarnya.

Tapi, apa Dasha masih bersedia kembali ke Damian? Lalu bagaimana dengan perempuan yang faktanya masih berarti untuk Damian? Apakah Damian akan tegas dengan dirinya sendiri?

chap-preview
Free preview
Our First Meet
Hujan baru reda, menyisakan genangan air yang mengalir ke hilir, aroma segar yang menguar menjadi daya tarik sendiri bagi penikmat hujan. Di suatu apartemen sederhana, perempuan berkuncir kuda dengan celemek di badannya berkacak pinggang menatap perempuan lain yang masih terlelap dalam tidurnya. "Dasha? Hey, sampai kapan kau akan tidur? Kau lupa hari ini ada seminar di sekolahmu?" Tanya perempuan berkuncir kuda itu, ia Laura. Dasha, perempuan yang sebenarnya tidak tidur itu membuka matanya, ia menghela nafas. "Aku tidak sekolah hari ini," ujarnya menatap langit-langit kamarnya. Laura berdecak, ia melepaskan apronnya dan meletakkannya diatas meja belajar Dasha, ia kemudian duduk dipinggir ranjang gadis itu. "Kenapa? Teman-temanmu lagi?" Dasha melirik Laura sebentar sebelum tertawa pelan. "Teman?" Dengusnya. "Hey it's ok to haven't a friend, kau punya aku, 'kan?" ujar Laura sedikit menaikkan nada suaranya. "Dasha, jangan terpengaruh dengan mereka, kau akan tamat dalam beberapa bulan lagi, ayolah kau pasti bisa," sambungnya menyemangati Dasha, perempuan yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri. "Hari ini ada seminar, kami tidak akan belajar, jadi lebih baik aku di rumah saja, lalu sorenya bekerja," ujar Dasha tersenyum menatap Laura. "Nope, tidak boleh! Seminar itu penting, lagipula dari sana kau bisa mendapatkan banyak informasi tentang bagaimana membangun sebuah perusahaan, Itu impian kita, kan?" Seru Laura bersemangat, membuat Dasha terkekeh pelan. "Bangun sebuah perusahaan juga butuh modal, Laura," ucapnya seraya bangkit duduk. "Aku tahu, tapi tidak ada yang tidak mungkin, kan? Jadi sekarang, ayo cepat, kau harus berangkat sekarang," kata Laura seraya menepuk tangannya sekali. "Seragamku saja belum kusetrika." Dasha masih enggan. "Oh wait." Laura berjalan keluar kamar, tak lama kemudian ia masuk kembali sembari memamerkan satu set seragam sekolah yang sudah rapi. "Ta-da! Aku menyetrikanya tadi, sekarang bersiaplah, lalu sarapan." Ia menaruh seragam Dasha keatas ranjangnya. Dasha melirik jam dinding, sebentar lagi seminar itu dimulai, ia pasti akan telat, namun semangatnya Laura tak boleh ia patahkan, lagipula perempuan itu sudah menyetrikan seragamnya sampai serapi itu, pasti membutuhkan waktu yang cukup lama. "Okey," jawab Dasha akhirnya. "Okey, good girl!" Laura mengacak rambut Dasha lalu keluar dari sana. Dasha bangkit dengan malas, ia sama sekali tak berniat masuk sekolah hari ini. Namun, kadang ia teringat kalau ia termasuk murid beruntung karena mendapat beasiswa, jadi ia harus tetap semangat karena banyak diluar sana orang-orang yang ingin sekolah namun tidak bisa karena terkendala ekonomi. Dasha adalah seorang gadis yang tidak memiliki orang tua, tidak bisa dikatakan kalau orang tuanya sudah meninggal, hanya saja ia tumbuh di panti asuhan, ia tak mengenal orang tuanya. Sampai saat ia berada di 3rd junior high school, tiba-tiba panti asuhan yang ia tempati, digusur oleh oknum tak bertanggung jawab, dari sanalah Dasha mulai menghidupi dirinya sendiri, bekerja dan belajar sampai ia bertemu dengan Laura di suatu malam, dari sana mereka semakin dekat hingga Laura meminta Dasha untuk tinggal bersamanya. "Dasha?! Kau sudah selesai? Aku harus pergi sekarang," teriak Laura dari luar kamar. "Sudah!" Dasha balas berteriak sembari membuka pintu kamar. "Kau sudah mau pergi?" tanyanya ketika melihat Laura sudah tampak rapi. "Ya, kau sarapan dulu lalu kunci pintu, ok?" Ujarnya dan diangguki oleh Dasha. Laura bekerja sebagai akuntan di sebuah perusahaan, bukan perusahaan yang besar jadi gaji yang diterima Laura hanya cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari mereka. Dasha juga bekerja, ia hanya bekerja dari jam empat sore sampai delapan malam sebagai waitress di Cosmic Latte, sebuah càfe yang letaknya cukup jauh dari gedung apartemen mereka. Dasha menyantap sarapannya dengan cepat, empat menit lagi ia harus sampai ke sekolahnya atau ia akan diberi hukuman karena peraturan sangat ketat disana. *** Di sebuah hotel mewah berbintang lima, seorang pria tampan sedang mengikat dasi di bawah kerah kemeja putihnya, ia tampak serius memasangnya sampai beberapa detik kemudian, dasi itu terpasang sempurna di tubuhya. Ia adalah Damian Declavroix, pemilik dari D&Dco yang tersohor, salah satu pengusaha muda terkemuka yang tentunya diidolakan banyak kaum hawa. Usia Damian yang baru menginjak 25 tahun dan sudah mampu menggenggam kesejahteraan jutaan orang itu tergolong hal yang luar biasa, tak heran banyak pengusaha lainnya yang menjodohkan anak gadis mereka pada Damian. Suara ketukan terdengar dari pintu, Damian sudah bisa menebaknya, siapa lagi kalau bukan asisten pribadinya, Adrian, pria yang lebih tua darinya itu memiliki kepribadian yang kurang lebih sama dengannya-hanya saja Adrian lebih cheerful, hal itu lah yang membuat Damian yang serba mengatur semuanya dengan dirinya sendiri tiba-tiba membutuhkan seorang asisten untuk membantunya mengelola seluruh aset miliknya. Pintu kemudian terbuka, Adrian muncul mengenakan jas yang terlihat pas di tubuhnya. "Sudah selesai, Damian?" "Hm," gumam Damian memakai jasnya. "Apa aku harus menghadiri undangan itu? Banyak rumor beredar, kalau siswa disana tidak terlalu sopan, lebih mementingkan diri sendiri dan mengataskan yang memiliki uang, orang-orang seperti itu tidak pantas disukai, rasanya juga malas memberi pengetahuan karena nantinya akan memberi dampak negatif," tuturnya pelan. Adrian tersenyum miring, ia juga berpikiran hal yang sama, hanya saja .... "Tidak semua yang seperti itu, Damian, beberapa dari mereka ada siswa yang memiliki sikap yang bagus, khususnya penerima beasiswa." "Tapi, pasti bukan hanya penerima beasiswa saja yang akan hadir di seminar itu," tukas Damian, logikanya memang benar. "Semoga saja aku tidak menyesal menghadirinya." Adrian tertawa kali ini. "Semoga saja. Anggap saja kau sedang berderma ilmu," katanya dan diangguki setuju oleh Damian. "Ok, kita berangkat sekarang," ujarnya berbalik badan, keluar lebih dulu dari kamar sebelum diikuti Adrian dari belakang. *** Dasha tiba di sekolah beberapa menit setelah ia keluar dari apartemen, ia terlambat! Padahal ia sudah berlari beberapa kali untuk mempersempit waktu, dan ternyata itu juga belum cukup. Untungnya, bukan hanya Dasha yang terlambat, ada satu siswa lainnya yang tiba bersamaan dengannya. Siswa itu dan Dasha memasuki aula bersamaan juga, namun yang ditahan dan dilarang masuk hanyalah Dasha, kaum elit memiliki hak lebih disini, hal yang dibenci para penerima beasiswa. "Dasha, kau lagi?" Dia adalah Helena, seorang guru yang entah kenapa sangat anti dengan Dasha, ia selalu memprotes apa-apa saja yang dilakukan oleh Dasha. "Penerima beasiswa harusnya tahu diri, setidaknya selalu tepat waktu. Apa kau mau beasiswamu dicabut? Sudah dua kali aku memergokimu telat waktu," ujar Helena dengan tangan terlipat di d**a menatap Dasha. "Maaf, miss," sahut Dasha setelahnya. Dasha tak bisa memprotes apapun karena ia sadar ia salah, tapi kalaupun ia benar, tetap saja tak bisa diprotes karena yang 'seperti dia' diabaikan. "Dan juga, sepertinya aku sudah mengatakan padamu, lebih tepatnya mengingatkan kalau para murid perempuan harusnya memakai kaus kaki panjang, kau lupa?" Dasha ingat, tentu saja. Tapi, yang mengkritik kaus kakinya hanya Helena saja, guru lain biasa saja, karena kaus kaki pun tidak dituntut yang macam-macam oleh pihak sekolah, dan selain itu, Dasha sayang mengeluarkan uangnya hanya untuk kaus kaki sedangkan kaus kaki lamanya masih sangat bagus. "Maaf, miss." Dasha hanya menjawab hal yang sama. "Sekarang, lari memutari lapangan dua kali, cepat," perintah Helena dan diangguki Dasha. Helena tak kunjung beranjak dari sana sebelum Dasha menyelesaikan hukumannya, ia menatap Dasha yang berlari kecil dengan alis mengerut tak suka, ia akui ia iri dengan salah satu murid perempuannya itu, Dasha terlahir begitu cantik, semua yang ada pada Dasha diinginkan olehnya, sebab itu lah Helena suka sekali mengkritik Dasha, Helena juga tak menghiraukan dirinya yang seorang guru, selama kritikannya dapat dinalar, maka bisa-bisa saja, lagipula merasa iri adalah sesuatu yang biasa, bukan? Lihatlah sekarang, kaki jenjang Dasha terlihat sangat cantik ketika berjalan maupun berlari, siapa yang tidak suka kaki indah seperti itu? Helena bahkan mengeluarkan banyak uang untuk memiliki tubuh seperti itu. Dengan cantiknya, Dasha memang tak sadar memikat beberapa pria di sekolahnya, namun tentu para pria itu tidak ada yang mendekati Dasha karena label 'tidak mampu' di punggungnya, lagipula mereka tak mau berurusan dengan Yuna, kepala geng yang sangat membenci Dasha. Sekolah ini memang memiliki reputasi buruk untuk sikap para muridnya, Dasha bahkan harus mati-matian bersikap tidak acuh kalau ia mau bertahan, ada begitu banyak orang yang tidak suka dirinya padahal ia tidak pernah melakukan kejahatan. Namun, walaupun mereka semua tidak suka padanya, mereka sering mencaci atau menghinanya, mereka tak pernah main fisik karena kalau itu terjadi, Dasha-lah yang akan menang dengan mudah sebab ia menguasai teknik bela diri. Dua kali putaran sudah selesai, keringat membanjiri wajah Dasha, ia kembali lalu mengambil ransel yang ia letakkan di sebuah bangku dan memakainya disebelah bahunya. "Sekarang masuklah," ujar Helena sebelum membuang muka dan berjalan menjauh dari sana. Dasha mengipasi dirinya sendiri dengan tangannya, ia takkan protes selama memang dirinya yang bersalah, hitung-hitung ia olahrga pagi juga. Dasha mengambil kursi yang berada paling belakang dan tidak ada orang disana, hanya dirinya sendirian karena siswa lainnya menyerbu bangku paling depan agar bisa melihat seorang pengusaha muda yang rumornya penuh pesona itu. Dasha menyiapkan alat tulisnya, supaya ketika Laura bertanya apa yang ia dapatkan dari sekolah hari ini, ia akan menjawab sejujurnya dengan melampirkan bukti. Laura memang seketat itu menjaga agar Dasha tak malas-malasan dalam belajar. *** Kedatangan Damian disambut antusias, salah satu hal yang predictable. Pria itu duduk disana, di single sofa di sebelah kursi milik kepala sekolah dan di depannya sudah ada seorang MC yang akan mengatur jalannya acara. Ketika acara itu dimulai, mata Damian tak sengaja melihat dua siswi perempuan yang datangnya sedikit telat, anehnya yang satu diijinkan masuk dan satunya tidak. Damian tersenyum tipis, sangat tidak adil. Damian jadi penasaran bagaimana nasib siswa yang mundur tadi, apa ia dihukum? Lalu, apa dia tidak jadi ikut seminar ini? Pertanyaan Damian terjawab selang beberapa menit kemudian ketika Dasha masuk dengan keringat yang masih mengucur dari keningnya, sebelum kemudian menyekanya dan duduk di kursi paling belakang. Damian sejenak terpaku, namun ia segera menggelengkan kepalanya dan kembali fokus ke MC. Melihat Dasha, mengingatkan Damian tentang satu perempuan yang dulu sempat bertahta di hatinya, cinta pertamanya tapi hubungan mereka kandas dua tahun yang lalu. Ah tapi tidak, Damian tidak boleh mengingat itu lagi. Ia harus profesional saat ini. *** Dasha menatap acara itu dengan mata malas. Awalnya ia memang tertarik, namun karena mood yang berantakan, semuanya jadi tampak membosankan. Sampai beberapa jam kemudian ketika sesi tanya jawab dimulai. Dasha mencoba menulis apa-apa saja yang tadi didengarnya dengan dahi mengernyit dalam, mungkin orang lain akan berpikir kalau ia sedang berpikir karena pintar, padahal berpikir untuk mengada-ada. "Baiklah, ada yang ingin bertanya?" Tepat setelah MC selesai berbicara, banyak tangan terangkat termasuk Dasha, namun ia sama sekali tidak dilirik, sang MC terus mengarahkan matanya ke arah para siswa yang duduknya didepan saja. Tapi baguslah, Dasha hanya mencari perhatian saja, karena kalau ia diam saja di belakang, siswa lain pasti akan menggosipinya tentang penerima beasiswa yang pasif. Kemudian, setelah pertanyaan pertama dijawab oleh Damian, MC bersuara dengan nyaring untuk pertanyaan kedua dan kali ini Dasha tidak mengangkat tangannya. Setelah sesi tanya jawab berakhir, mata Dasha yang terus menatap ke depan, tak sengaja bertatapan dengan sepasang mata biru milik Damian, ia awalnya kaget sebelum buru-buru mengalihkan tatapannya ke arah lain, tetapi kemudian ia merutuki kebodohannya karena sudah berperilaku tak sopan. Ketika seminar akan berakhir, satu persatu siswa mulai bubar hingga akhirnya tak ada siswa lagi di dalam ruangan besar itu. Dasha yang terakhir kali keluar menyita perhatian Damian. Pria itu kemudian menatap ke kepala sekolah lalu bertanya. "Dia, yang baru saja keluar, apakah penerima beasiswa?" tanyanya langsung. Kepala sekolah awalnya berekspresi seolah ia kesulitan berbicara, namun pertanyaan dari Damian jelas tak bisa ia hiraukan begitu saja. "Benar, Damian Declavroix," jawabnya. "Dia Dasha Milkova, salah satu siswa pintar di sekolah ini." Damian mengangguk paham. Benar, seperti yang sudah ia perkirakan. Setelah bersalaman dengan guru lainnya, Kepala sekolah mengantar Damian dan juga Adrian yang berjalan di belakang mereka ke parkiran sekolah. Para siswa yang sebagian belum pulang memenuhi koridor, namun mereka langsung menepi ketika mengetahui ada kepala sekolah dan Damian di belakang yang hendak berlalu. Para siswa yang berdiri di kiri merasa beruntung karena bisa melihat wajah Damian dari dekat, dan memang benar-benar tampan! Damian dengan dirinya yang mencoba ramah selalu tersenyum kecil ketika mereka menyapa, namun tiba-tiba senyumnya hilang saat matanya bersitatap dengan mata beriris cokelat itu, sesuatu seolah mengguncang dadanya hingga ia langsung mengalihkan tatapannya. Sedangkan si pemilik iris cokelat, Dasha hanya merasa heran dan sedikit tak suka sebenarnya karena senyumnya tidak dibalas sama sekali. "Tunggu." Ucapan itu membuat suara yang tadinya riuh perlahan senyap. Adrian yang berdiri di belakang Damian dan kepala sekolah juga heran kenapa Damian berseru seperti itu. Damian sendiri berbalik, membuat semua orang terheran. Dasha mengerjap, Damian menatap ke arahnya dengan mata yang menyala, pria itu juga berjalan ke arahnya hingga benar-benar berhenti tepat di depan tubuhnya. Semua orang menatap ke arah Dasha, berbagai ekspresi dari mereka benar-benar tak bisa Dasha tangkap karena ia sekarang sangat fokus dengan Damian. "Kau ... siapa namamu?" Telapak tangan Dasha terasa basah karena keringat, ia gugup. "D--Dasha Milkova," jawabnya menelan ludahnya setelahnya. Tepat setelah Dasha menjawab pertanyaannya, Damian langsung berbalik lalu melanjutkan langkahnya dengan kepala sekolah dan Adrian. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
92.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.3K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook