bc

Meretas Luka

book_age18+
1.1K
FOLLOW
4.3K
READ
love-triangle
badgirl
drama
bxg
heavy
city
friendship
virgin
like
intro-logo
Blurb

Ada beberapa adegan 21+ bijaklah dalam memilih bacaan. Hanya untuk hiburan semata. Terima kasih!

Kisah romansa Kalila yang tak semulus karirnya. Sekian lama dia menaruh hati pada Byantara Ganendra, sahabatnya sendiri, namun, Byan seolah ingin membantu Kalila mengubur cinta itu terhadapnya. Kemudian Kalila mengalihkan perasaannya dengan berpacaran dengan Arlon, tapi Arlon malah berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Lalu Kalila menerima Arsenio, tapi di sini masalah malah semakin runyam.

Kira-kira serunyam dan serumit apa?

Seperti apa

chap-preview
Free preview
Bab 1
Arlon semakin rapat merangkul pinggul Kalila menuju mobil yang terparkir di depan gedung hotel. Pria itu kemudian membukakan pintu untuk sang kekasih. Kalila masuk dan duduk dengan anggun. Sabuk pengaman sudah terpasang begitu Arlon duduk di sebelahnya. Langit semakin gelap, udara malam pun semakin dingin.  Sayang sekali wanita itu tidak membawa baju hangat, bahkan gaunnya terlalu terbuka sehingga udara makin terasa menusuk pori kulitnya.  Arlon kemudian menoleh pada wanita yang sudah bersandar di sandaran jok mobil. “Pulang?” tanyanya. Kalila mengangguk. “Aku capek, besok pagi ada pemotretan,” ucapnya sembari  memijat tengkuk leher.  Arlon ikut mengangguk seraya memutar setir. Sesekali dia menoleh pada Kalila. Jam digital di atas dashboard menunjukkan pukul sepuluh. Entah mungkin pesta berakhir tengah malam. Beruntung Kalila mengajaknya pulang, jika tidak dia akan terjebak di tempat itu.    “Aku mampir supermarket dulu, ya.” Arlon mengedarkan pandangan, beberapa supermarket yang dia temui sudah tutup. Dia pun kembali melajukan mobilnya.  “Udah malam,” ucap Kalila. “Kamu harus cari yang dua puluh empat jam,” usul wanita itu. Kalila sudah sangat lelah sehingga mengatakan kalimat itu saja dengan mata yang setengah terbuka.  Arlon setuju dengan usul Kalila. Dia terus mengedarkan pandangan sembari tetap fokus pada kemudinya.  Setelah menemukan supermarket yang masih terbuka, dia segera menginjak rem, lalu menoleh pada Kalila yang sedang terlelap. Entah kenapa rasa bersalah terkadang hadir menghantui pikiran Arlon.   Cukup lama pria itu menatap keteduhan dari wajah Kalila. Arlon kemudian melepas jas abu-abu miliknya, lalu dia menyelimuti kekasihnya itu. “Sayang,” ucapnya pelan sembari mengelus pipi Kalila. “Aku mampir ke supermarket dulu ya.”  Kalila mengangguk dengan mata yang masih terpejam. “Jangan lama,” gumamnya sembari menggerakkan kepala.  “Iya, kamu mau nitip sesuatu?” tanya Arlon lembut. Kalila kemudian menggelengkan kepala. Arlon lalu mundur perlahan dan turun dari mobil. Dia berjalan dengan langkah yang lebar. Kemudian berdiri di depan pintu, lalu mendorongnya cukup keras.  Antrian di depan kasir cukup panjang. Dia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh. Sebagian pekerja sudah mulai merapikan bagian depan dengan menarik rolling door untuk menutupi permukaan kaca supermarket.  Arlon kembali dan segera masuk ke dalam mobil, sementara Kalila sudah terbangun dengan lampu mobil yang sudah menyala. Pria itu kemudian meletakkan kantong kresek di tengah-tengah di antara dia dan Kalila.  Kalila merasa penasaran dengan apa yang Arlon beli. Dia kemudian mengacungkan dus kecil berwarna biru tua. “Ini apa?” tanya Kalila dengan kening mengkerut. Arlon menoleh dan segera mengamankan alat kontrasepsi berbentuk karet itu dari tangan Kalila dengan kasar. Dia salah tingkah, hingga hampir saja hilang keseimbangan dalam mengemudi.   Kalila terperangah menatap kekasihnya dengan sejuta tanda tanya di kepala. Dia kemudian memiringkan wajahnya dan berkata, “Itu punya siapa?” tanyanya.  Arlon tergemap, hingga bingung menjawab. Dia hanya bisa menarik napas dan pura-pura memperhatikan jalan.  “Punya kamu?” tebak Kalila.  Arlon mengernyit. “Mm …,” Dia menoleh sekilas. “Buu-bukan, Sayang.” Dia membuang napas dengan kasar. “Masa punyaku,” desahnya. “Aku mau maen sama siapa, kamu ‘kan nggak mau,” dengkusnya sembari memperhatikan jalan.  “Terus itu punya siapa?” Kalila terus mendesak. “Punya … punya abangku.” Lagi-lagi Arlon tak dapat menyembunyikan kegugupannya.   “Dia udah nikah?” desak Kalila lagi. Pertanyaan Kalila meraup habis oksigen di dalam mobilnya, Arlon sibuk membuka jendela mobil. “Abang sepupuku, Sayang,” ucapnya sembari melongok ke luar jendela.  Kalila tercenung. Dia menatap Arlon cukup lama, entah kenapa dia merasa Arlon menyembunyikan sesuatu darinya.  Menyadari perubahan sikap Kalila, Arlon segera menghentikan mobilnya, kemudian menoleh, “Kamu nggak percaya?” tanyanya. "Sayang, itu beneran punya abang sepupuku,” ucap Arlon.   Kalila kemudian tersenyum. Sebenarnya dia tidak ingin menuduh, apalagi melihat Arlon seperti ini. Namun, dia juga tidak ingin mempercayai pria itu begitu saja.  “Biar aku telepon kakak sepupuku,” ucap Arlon kemudian, dia segera merogoh ponsel. Namun, Kalila menahan tangannya.  "Nggak usah,” gumam Kalila.  "Apa itu artinya kamu percaya?" tanya Arlon memastikan, kepercayaan Kalila adalah nomor satu baginya.  Kalila  bergeming, sebenarnya bisa saja dia berbohong dengan mengatakan kalau dia percaya, hanya saja dia tidak suka menyenangkan pasangan dengan kebohongan.  Arlon menghela napas. Dia segera melonggarkan dasi birunya. Saat ini Arlon merasa kepanasan seolah api neraka hendak melahapnya. Dia kembali melajukan mobilnya.  Kini hanya ada hening menemani perjalanan mereka. Sementara Kalila sibuk dengan pikiran-pikiran buruk tentang Arlon.  Setelah cukup lama melintas di bawah langit gelap. Kini Arlon menghentikan mobilnya di depan rumah Kalila.  “Kamu mau mampir?” tanya Kalila seraya melepas sabuk pengaman. Arlon pura-pura menatap arlojinya. “Nggak enak ah, udah malam.”  Kalila mengangguk. “Kalau begitu sampai ketemu lagi, ya.”  Arlon pun membalas anggukan Kalila sembari mengulas senyum, lalu dia membelai puncak kepala kekasihnya itu. “Selamat bobo ya, Sayang. Oh iya soal tadi, kamu harus percaya sama aku.”  Saat Arlon hendak mendaratkan kecupan, Kalila segera menjauh. "Nggak enak dilihat mang Kardi," kilahnya. Wanita itu, kemudian dia mengayun kaki lalu turun dari mobil Arlon. Setelah itu dia melambaikan tangan.  Arlon tersenyum sembari mengangkat telapak tangannya ke udara, sesaat sebelum Kalila menutup pintu mobilnya.  Arlon menurunkan kaca jendela mobilnya, dia terus menatap pemilik punggung mulus yang semakin menjauh dari pandangannya. Lalu dia mengangguk ramah pada satpam yang sedang menutup pagar rumah Kalila. “Mari, Mang.”  “Hati-hati, Mas Arlon,” kata Mang Kardi sembari mengangguk takzim.  Mobil Arlon berlalu seiring dengan otak liarnya yang sudah berkelana sejak dia memutuskan untuk mengunjungi Amira malam ini. Namun, saat menatap jasnya yang teronggok di atas jok bekas duduk Kalila, dosa itu kembali menyelimuti hatinya.  Manusia memang memiliki dua sisi pemikiran antara baik dan buruk. Terkadang hal buruk lebih menguasai jika ada kesempatan, termasuk apa yang sedang Arlon lakukan saat ini. Kesempatan tidur bersama Amira berawal saat Arlon mengantar Amira pulang, Arlon yang basah kuyup karena hujan, terpaksa harus berteduh di apartemen Amira. Membetulkan mobil memang bukan keahliannya, tapi Arlon tetap saja mencoba, meski hujan terus turun membasahinya. Tanpa pikir panjang Arlon memenuhi permintaan Amira dan kejadian itu berlalu begitu saja. Arlon mengusap kasar wajahnya. Kejadian itu terjadi dua bulan yang lalu, dan kini Amira berhasil menjeratnya. Wanita itu telah memberinya candu yang mendalam.    Kini Arlon berdiri di depan pintu apartemen Amira. Dengan menenteng kantong kresek berisi dua bungkus samyang instan kesukaan Amira dan entah sejak kapan Arlon pun jadi menyukainya, minuman bersoda dan rokok. Dia pun baru tahu ternyata Amira juga perokok. Wanita itu pernah mengatakan, “merokok yang paling enak itu setelah bercinta”.  Arlon tersenyum saat melihat Amira berdiri di depan pintu yang sudah terbuka. Lingerie hitam berenda membalut tubuh indahnya. Senyumnya mengembang saat Arlon mendekatkan bibir ke telinganya. “Are you ready, Honey?”  Sedikit mengedikkan bahu,  lantaran bisikan Arlon berhasil membuat darahnya mendesir membangkitkan gairah ke seluruh tubuhnya. Apa yang baru saja Arlon lakukan berhasil membentuk gelenyar rindu yang sudah membuncah. Amira kemudian menarik tangan pria itu, dan segera menutup pintu apartemennya.  Sementara itu, Kalila merasakan kegusaran tengah menyelimuti hatinya. Resah berhasil merajai jiwanya. Dia lalu bangkit dari tempat tidur. Kemudian membuka pintu yang mengarah ke balkon.  Balkon Kalila menyatu dengan balkon rumah tetangga. Hanya terhalang pagar besi setinggi pinggang. Dia kemudian mengangkat kaki jenjangnya dan meloncat ke balkon rumah tersebut.  Angin malam bukan halangan, meski awan hitam tengah menyelimuti bulan. Namun, Kalila tak menghiraukannya, dia seolah lupa kalau ini adalah tengah malam. Kalila berjalan ke pintu kamar sang pemilik rumah, mengganggu tetangga di waktu malam adalah kebiasaan buruknya.  "By," desisnya seraya mengetuk pintu. "By, buka dong." Kalila terus mengetuk pintu kaca yang tertutup gorden coklat itu dengan telapak tangannya.  Seorang pria berjalan gontai ke arah pintu. Dia memutar kunci dan membuka pintu tersebut. "Astaga!" Bahunya kemudian turun. "Apa sih, La?" dengkusnya seraya berbalik dan kembali ke tempat tidur. "Gue besok ada meeting," imbuh Byan seraya membaringkan kembali tubuhnya di ranjang.  Kalila mengikuti Byan dan menjatuhkan diri di atas ranjang hingga tubuhnya memental. Dia kemudian berbaring dan melipat tangannya di perut. "By, kalau gue bilang si Arlon selingkuh, lo percaya nggak?"  "Percaya," gumam Byan malas. Dia memang tak ubahnya tempat sampah yang selalu menampung semua masalah wanita itu.  "Hah serius?" Kalila segera berbalik dan meletakkan dagunya di rahang pria yang kini sedang tidur membelakanginya.  "Kalau lu masih nyimpen kepercayaan sama cowok player kayak dia, ya udah nggak usah nanya gue," ucap Byan  seraya berbalik.  Jantung Kalila tiba-tiba bertabuh saat wajahnya dan wajah Byan begitu dekat. Dagu yang tadinya menekan rahang Byan, kini mengambang di udara. Mata mereka saling tatap cukup lama, seolah tengah menyelami perasaan masing-masing.  Jantung Byan tak kalah berisik. Semoga Kalila tak menyadarinya. Byan ingin sekali bisa terus sedekat ini dengan wanita itu. Namun, sepertinya itu tidak akan pernah terjadi, Kalila segera menegakkan tubuhnya dan duduk di depan Byan dengan kaki yang dilipat.  “By, gue nggak bisa tidur,” ucap Kalila dengan bibir yang mengerucut.  Byan mendengkus, dia pun bangkit dan melihat jam di atas mejanya. Waktu menunjukkan pukul setengah satu pagi. “Hah?” Kedua matanya membola. Cuma Kalila satu-satunya wanita yang tak tahu malu yang berani mengganggunya di jam rawan seperti ini. Kalila tersenyum kering. “Sorry, By. Sumpah, bibir gue gatel pengen cerita,” ucapnya.  “Astaga!” Byan mengusap kasar wajahnya. Kalila memang selalu merepotkannya, seolah-olah akan mati besok, sehingga wanita itu tak bisa menunda apa yang sedang dirasakannya.  “By, lo pernah nyimpen kondom?” tanyanya frontal. Dia kemudian tersenyum kering saat pria itu membelalakkan mata padanya. “Kira-kira kalau cowok nyimpen kek gituan buat apa, By?” “Lu kira buat apa coba?” Byan mengedikkan dagunya.   Kalila menghela napas, sepertinya pertanyaan yang dia lontarkan, salah. Rasanya Kalila kesulitan menelan liurnya sendiri. “By, gue nemu kondom di kantong kresek Aron,” ucapnya.  “Hah?” Byan benar-benar tak dapat menyembunyikan lagi keterkejutannya. “Kalau lu sampai maen sama si Arlon, gue--” Byan menunjuk dadanya sendiri dengan kasar. “Nggak sudi lagi sahabatan sama elu,” pekiknya keras. Byan memang tinggal sendiri, sehingga dia bebas teriak-teriak di kamarnya.  “Amit-amit.” Kalila memukul-mukul kepalanya sendiri. “Tadi kita habis dari nikahan si Anggi, dan pulangnya dia minta mampir ke Supermarket, dan gue nemu itu.” “Njir!”  “Kenapa, By? Kalila meraih tangan Byan dan menggoyang-goyangkannya. “Kira-kira apa yang lo pikirin soal ini?” .  Byan terperangah. Debaran itu membuat napasnya terasa berat. “Dia ngomong apa?” Perlahan Kalila menjauhkan tangannya dari tangan Byan. “Dia ngomong itu punya kakak sepupunya.” “Terus lu percaya?” Kalila menggelengkan kepala.  “Bagus. Cowok kayak gitu, emang nggak pantas dipercaya.” “Tapi, By--” “Kalau lu masih mau belain dia, silakan,” ucap Byan kecewa.  Kali ini Kalila ada di antara dua pilihan, sepertinya dia salah cerita ini sama Byan, siapa tahu Arlon memang benar. Bukankah dia dan Arlon bertahan selama dua tahun, kalau memang Arlon tukang main perempuan, kenapa Arlon tak lakukan ini sejak dulu? “Lu masih mau di sini?” tanya Byan.  Kalila menarik napas, dia tampak merengut, percaya sahabatnya atau percaya kekasihnya.  Byan merasa tak enak hati lantaran sudah bersikap seperti itu pada Kalila. “Gue hargai kalau lu memang sayang banget sama cowok lu.” Byan kemudian tersenyum. “Lu berhak kok sama pilihan lu sendiri, entah itu percaya dia atau lebih percaya diri lu sendiri.” Kalila tercenung. Byan tak menyebut kalau Kalila harus percaya pada Byan. Sepertinya Kalila salah, karena Byan hanya sedang mencoba menyadarkannya.  “Gue ngantuk, La.” Byan kemudian merebahkan tubuhnya. “Gue baru tidur setengah dua belas, La.” Kalila tergemap, dia merasa bersalah lantaran mengganggu jam istirahat Byan. Namun, bukannya pergi Kalila malah ikut membaringkan tubuhnya di sebelah Byan. Membuat Byan segera menoleh dan menatap wanita itu. Kenapa Kalila malah semakin menahan Byan untuk terjebak dalam situasi seperti ini.  “Malam ini gue tidur di sini, ya,” ucap Kalila sembari menoleh pada Byan.  Byan tercenung. Apa yang harus dia katakan, menolak Kalila sama dengan mengajaknya untuk berperang. Sementara kalau dia tetap biarkan Kalila di sini, ini lebih dari sebuah malapetaka. Mungkin setelah ini bumi akan berguncang sama seperti jiwanya yang berguncang lantaran terjebak di dunia friendzone bersama Kalila.  Byan masih menatap Kalila yang kini memejamkan mata di sebelahnya. “Lu beneran tidur, La?” Kalila tak menyahut, hanya ada napasnya yang berembus pelan sekali. Kedamaian itu hanya jadi bayangan bagi Byan. Perlahan dia bangkit dan menarik selimut yang tertindih kaki Kalila. Lalu dia menyelimuti wanita itu hingga setengah badannya.  Byan kemudian mengambil bantalnya dan tidur di atas sofa yang tak jauh dari tempat ranjangnya berada. Kalila adalah sahabatnya, dia tidak ingin sesuatu terjadi pada wanita itu, sebisa mungkin dia akan selalu melindungi Kalila dari siapapun termasuk dari dirinya sendiri. 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
9.4K
bc

My Secret Little Wife

read
85.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook