bc

SPECTRAL : Who will you trust ?

book_age16+
13
FOLLOW
1K
READ
others
superhero
twisted
straight
male lead
swordsman/swordswoman
high-tech world
supernature earth
special ability
alien contact
like
intro-logo
Blurb

Seorang pemuda lahir dari keluarga bermasalah di pedesaan terpencil. Dia mendapatkan warisan kekuatan super yang luar biasa. Latar belakang masa kecil yang buruk, membentuk karakter temperamental yang tumbuh perlahan hingga kegelapan menyelimuti hatinya.

Perjalanan panjang ia lalui bersama penjahat super yang berniat menguasai dunia. Di tengah perjalanannya, sebuah dorongan hati nurani berusaha membawanya menuju jalan kebaikan. Bagimana akhir dari perjalanan manusia super itu?

Akankah hati nuraninya sanggup menghapus kegelapan yang menyelimutinya. Ikuti perjalanan selengkapnya, ekslusif di novel ini.

chap-preview
Free preview
BAB I
Bumi, 5 November 2208. Di sebuah ladang gandum, seorang pria tengah mengelap traktor yang telah dicuci. Pria separuh baya itu memikirkan kondisi anak semata wayangnya yang sedang berulang tahun. Hal yang membuat pikirannya tak karuan ketika di usia anaknya yang menginjak delapan tahun, anaknya tak kunjung berbicara dengan lancar. “Sayang. Ini, aku bawakan kopi untukmu.” Datang seorang wanita membawa baki dengan secangkir kopi hangat di atasnya. “Kulihat, kau sedang banyak pikiran. Ada apa?” tanya wanita itu. Pria separuh baya di depannya tak menggubris ucapan wanita itu. Dia hanya menatapnya dengan tatapan kosong. Raut wajahnya menyimpan beribu pesan yang menunjukkan kekhawatiran. “Apa, ini semua tentang dia?” celetuk wanita itu. Pria separuh baya mengangguk. “Sayang. Aku tak tahu lagi harus bagaimana. Apa dia tak kunjung bicara padamu?” Wanita itu mengangguk. “Masih seperti dulu.” Pria yang tengah duduk itu berdiri. Matanya menatap tajam ke depan seraya berjalan dengan tergesa-gesa. “Sayang. Kau mau ke mana?” celetuk istrinya cemas. Pria itu tak menggubris suara istrinya. Dia tetap berjalan seraya membawa secangkir kopi yang ada di tangan kanannya. Melihat tingkah aneh suaminya, wanita itu berlari mengejar sang suami. Wanita itu melalui pintu yang lain untuk menemui anaknya. Dia menyadari, sikap yang ditunjukkan suaminya itu bermaksud untuk menyakiti anak mereka. “Anakku. Kau bersembunyi di mana?” Wanita itu cemas mencari ke setiap sudut ruangan dapur. “Oh, ternyata kau di sini.” Dia memeluk anaknya yang bersembunyi di bawah meja makan. Anak itu meringkuk ketakutan mendengar suara langkah kaki ayahnya dari kejauhan. Dia juga merasakan emosi yang meluap-luap tengah menyelimuti ayahnya meskipun dirinya belum melihatnya secara langsung. “Aku akan menjagamu. Tenang saja.” Ibunya mengecup kening anaknya sembari memeluknya. Sang anak tiba-tiba saja kejang-kejang ketika ayahnya mendobrak pintu utama. “Nak, kau kenapa.” Ibunya panik sembari menepuk-nepuk pipi anaknya. “Ashley. Lepaskan dia!” bentak ayah anak itu. Ashley menoleh. “Tidak. Aku tak akan membiarkanmu menyiksanya.” Dia kekeh enggan melepaskan pelukan pada anaknya. “Dayton. Apa yang ingin kau lakukan pada anak kita.” Pelukan Ashley semakin erat pada anaknya. Dayton yang terselimuti api amarah membuatnya menyiram kopi panas ke arah istri dan anaknya. Puas melihat kedua anggota keluarganya menjerit kepanasan, pria itu pergi meninggalkan mereka berdua. Mendengar kegaduhan yang terjadi di dapur membuat adik Ashley yang bernama Tamara berlari dari lantai atas. “Ashley, apa yang terjadi!” Wanita itu berteriak saat menuruni anak tangga. Dia berlari menjemput saudarinya “Apa ini ulah Dayton?” ucap Tamara. Sejenak, Ashley menahan panasnya air kopi yang mengenai kakinya. “Temperamentalnya kambuh lagi. Dia hendak menyakati anakku.” Tamara menoleh ke keponakannya. Wanita itu berusaha menenangkan keponakannya yang kejang-kejang. Melalui ilmu yang dia pelajari selama menjadi seorang perawat, Tamara dengan mudah menanganinya. “Nah, Ashley. Sekrang dia sudah mulai tenang,” ujar Tamara. “Terimakasih, Tamara.” Ashley kembali memeluk anaknya yang sudah kembali normal. “Sehat-sehat kau, Nak. Mommy selalu menyayangimu.” Dia mengecup kening anaknya. Anak itu hanya diam menatap ibu dan bibinya. Seolah, pria kecil itu tengah mempelajari hal-hal yang dilakukan orang-orang di depannya. “M-momy.” Kata pertama yang terucap dari bocah berusia delapan tahun itu. Mendengar ucapan anaknya. Reaksi terkejut tak menyangka terpancar dari wajah Ashley dan Tamara. Mata mereka terbelalak mengetahui anak itu bisa berbicara. Spontan, kedua wanita itu memeluk anak yang duduk dengan wajah kebingungan. “Bibi tahu, kau pasti akan berbicara, cepat atau lambat,” celetuk Tamara. “B-bibi?” ucap anak itu. Tamara melepas pelukannya. Dia menggenggam kedua pipi anak itu. Matanya berkaca-kaca terharu mendengar ucapan anak itu saat memanggilnya. “Ya, benar, Sayang. Aku, bibi Tamara.” Wanita itu memainkan tangannya untuk memperkenalkan diri. “T-tam-mara.” Pria kecil itu berusaha mengeja nama bibinya. Tamara mengangguk bahagia. “Ya. Benar, kau sudah melakukannya dengan baik, Sayang.” Dia kembali memeluk pria kecil di depannya. “Hei Ashley.” Wanita itu menoleh ke saudarinya. “Kurasa, kejang-kejang yang dia alami bagian dari proses adaptasi otaknya.” Tamara mencoba menjelaskan apa yang dia ketahui selama menjadi seorang perawat. Ashley tersenyum bahagia. Air matanya menetes mengetahui anaknya sudah mulai berbicara. Tanpa basa-basi, wanita itu memeluk Tamara sebagai ungkapan terimakasih serta rasa bahagianya. “Ini kado terindah di hari ulang tahunya, Tamara. Aku senang Ben sudah bisa bicara.” Ashley meminta pendapat adiknya untuk menyampaikan kabar ini pada suaminya. Namun, dengan berbagai pertimbangan, Tamara melarangnya untuk sementara waktu, mengingat Dayton sangat temperamental. Wanita itu mengkhawatirkan kondisi Ben jika terburu-buru menyampaikan kabar itu pada kakak iparnya. Beberapa bulan setelah ulang tahun Ben yang ke-8. Ben mulai di daftarkan ke sekolah dasar yang tak jauh dari lokasi rumahnya. Hari-harinya selama bersekolah tidak berjalan dengan mulus. Terlambatnya pertumbuhan yang ia alami membuatnya sering dirundung oleh teman-temannya. Ben kecil yang malang. Dia sering dicaci oleh anak-anak seusianya lantaran pria itu kesulitan berbicara. Sikap-sikap yang ditunjukkan oleh teman-temannya membuat hati kecil Ben dipenuhi luka. Sifat tempramental yang diwariskan dari ayahnya sedikit demi sedikit mulai tumbuh di hatinya. Pria itu menyimpan dendam dengan teman-temannya yang seringkali menyakiti bukan hanya melalui ucapan, tetapi fisiknya. Sebagai seorang siswa sekolah dasar, tindakan teman-temannya terlalu berlebihan padanya. Hal itu pernah membuat Ben jatuh sakit lantaran pria itu berurusan dengan anak seorang pengusaha yang menyewa orang khusus untuk menyakiti Ben kecil. Hari itu, Ben pulang ke rumahnya bersama sahabatnya, Dave. Pipinya memar setelah habis-habisan dipukul beberapa orang dewasa sewaan orangtua salah satu teman Ben. Darah mengering menempel di hampir semua area wajahya. Seragamnya lusuh dengan robekan-robekan kecil di beberapa sisinya. Sepatunya hilang sebelah setelah dilemparkan salah seorang pria dewasa yang turut memukulinya. Ben kecil pulang ke rumah dengan perasaan cemas dan takut pada ayahnya. Berjalan berpangku tangan di belakang tubuhnya. Pria kecil itu menundukkan pandangan ketika membuka pintu depan rumahnya. “Ayah, Mommy aku pulang!” seru Ben saat memasuki rumahnya. “Hei, Dave. Masuklah!” Ben melambaikan tangannya. “T-tidak Ben. Aku takut dengan ayahmu. Lebih baik, aku pulang.” Dave berbalik arah untuk pulang ke rumahnya. “Dave. Itukah kau. Ada apa denganmu?” sapa ayah Ben. Sialnya, Dave yang enggan ketahuan oleh ayah Ben harus berpapasan langsung dengan orangnya. “Hei, kenapa dengan wajahmu?” tanya ayah Ben penasaran. Dave turut serta dihajar orang-orang yang memukuli Ben. Kejadian itu terjadi ketika mereka dicegah di sebuah jalan yang sepi di tepi hutan. Kala itu, sepeda mereka di tabrak menggunakan sepeda motor hingga keduanya terjatuh. Tak sampai di sana, pria-pria dewasa itu menghajar Dave lantaran ikut campur membela Ben yang sedang dipukul habis-habisan. “Ben!” Mendengar ayahnya berteriak, membuat Ben tersentak. “Apa yang kau lakukan!” Ayah Ben mendekatinya. Wajahnya memerah seakan terbakar amarah. “Kurang ajar. Anak ini selalu saja buat masalah!” ucapnya dalam hati seraya menggerak-gerakkan bibirnya. “Apa yang kau buat dengan temanmu, Dave! Memalukan.” Dayton tak ada habisnya memarahi Ben. Dave terkejut mendengar amarah ayah Ben, dirinya tak sempat menjelaskan sesuatu yang menimpanya setelah ayah Ben dengan keras menutup pintu rumahnya. “Dave, pulanglah! Akan aku tangani anak ini.” Teriakkan ayah Ben membuatnya berlari kalang kabut untuk mengambil sepedanya. Di dalam rumah, ayah Ben menarik tubuh anaknya membawanya ke ladang. “Ayah. Apa yang akan kau lakukan.” Ben merintih kesakitan saat kedua tangannya ditarik paksa. “Sini cepat ikut!” Dayton bersikeras membawanya. Di depan sumur tua yang biasa digunakan untuk mencuci traktor, Dayton mengikat anaknya pada sebuah tiang. Dia mengguyur beberapa air membuat Ben merintih kesakitan. Luka-luka yang masih terbuka di kulit-kulitnya terasa perih tatkala bersentuhan dengan air dingin. Meskipun Ben acapkali memohon ampun padanya, Dayton bersikeras tetap menghukum Ben. Tindakan Dayton tak sampai di situ. Sesekali, dirinya memukul Ben hingga kesakitan. Hal itu ia lakukan untuk memberikan efek jera pada anaknya, meskipun tindakannya salah. Tak lama kemudian, datang Ashley berlari menghampiri mereka berdua. “Dayton! Hentikan.” Wanita itu berteriak meminta suaminya menghentikan aksinya. Mendengar suara istrinya, Dayton pergi meninggalkan Ben yang menggigil kedinginan. Ibunya dengan segera menghampiri Ben memeluknya agar kembali hangat. “Sudah, sudah, Ben. Kini kau ada dipelukan Mommy, jangan menangis, ya ….” Ashley terus menghibur Ben yang kesakitan. Dari situ, Ben menyadari tindakan ayahnya sangat kelewatan padanya. Dirinya dapat merasakan pergerakan ayahnya yang tengah bersembunyi di gudang gandum. “Mommy. A-aku t-takut dengan Ayah.” Ben meringkuk dalam pelukan ibunya. Ibunya mengusap-usap rambut hitamnya yang lepek. “Nanti, Mommy akan berbicara dengan Ayahmu, ya ….” Dia menatap mata anaknya yang menangis. “Sekarang, Mommy antar kamu ke rumah, ya … di sana ada Bibi Tamara yang akan mengobati luka-lukamu.” Wanita itu melepas pelukan anaknya. Mereka berjalan kembali ke rumah untuk mengirim Ben pada bibinya. Selama mereka berjalan, Ben memberitahukan posisi ayahnya pada ibunya. Hal itu membuat Ashley terkejut, lantaran, apa yang diucapkan anaknya benar. Tak perlu berkeliling mencari suaminya yang sering menghilang, dia hanya mendatangi gudang penyimpanan gandum sesuai seperti apa yang dikatakan Ben. Wanita itu menyadari, ada sesuatu yang tidak beres dengan anaknya. “Ah, mungkin hanya kebetulan saja,” ucapnya dalam hati. Selepas berbicara dengan suaminya, Ashley kembali ke rumah untuk menemui Ben. Di rumah, Ben tengah beristirahat. Pria kecil itu tertidur dengan beberapa plester dan perban menempel di sebagian tubuhnya. “Apa yang membuatnya begini, Tamara. Apa dia menceritakannya padamu?” tanya Ashley yang baru saja membuka pintu kamar Ben. Tamara menghampiri saudarinya. Wajahnya merengut sembari bersiap memeluk saudarinya. “Aku kasihan dengannya. Dia baru saja dirundung oleh teman-temannya. Sekolah itu, kurasa tidak siap menerimanya.” Tamara meneteskan air mata saat menjelaskan apa yang menimpa Ben. Ashley terkejut mendengarnya. Dia menempelkan tangannya ke bibir. “Ben. Malangnya dirimu.” “Ini kelewatan.” Pandangan Ashley tiba-tiba menajam. Amarahnya datang tak terima dengan apa yang menimpa Ben. “Mereka harus tahu ini semua.” Dia melepas pelukan Tamara. Wanita itu pergi mengambil telepon rumah untuk menghubungi bagian sekolah. Selama menelpon pihak konseling sekolah, wanita itu merasa kesal karena mereka yang merundung anaknya begitu dilindungi. Anak-anak orang kaya itu seperti mendapat hak istimewa di sekolah itu. Laporan-laporan orang tua korban anak-anak itu tak pernah sampai pada kepala sekolah lantaran pihak konseling menutup-nutupinya. Tak sampai di situ, Ashley semakin kesal ketika pihak sekolah justru menyalahkan anaknya yang menjadi penyebab dirinya dirundung teman-temannya. Atas beberapa alasan yang dia dengar melalui telepon, Ashley memutuskan untuk memindahkan sekolah Ben ke tempat lain yang lebih bisa menerima anaknya. Beberapa hari, wanita itu mengurus berkas-berkas kepindahan seraya melaporkan tindakan anak-anak orang kaya yang menyakiti anaknya. Di ruang kepala sekolah, dia mulai berbincang dengan kepala sekolah. “Tuan, Cliff. Saya sebagai wali murid Benjamin Sanders merasa kecewa dengan perlakuan anak-anak orang kaya itu.” Dengan nada tinggi Ashley meluapkan kekesalannya. “Maafkan kami, Nyonya Sanders.” Kepala sekolah Cliff berusaha menenangkan wanita di depannya. “Tapi. Itu bukan kewenangan saya jika saya belum menerima laporan dari pihak Konseling. Apa Anda sudah melaporkan ke sana sebelumnya?” ucap pria tua itu. Ashley menghela nafas beratnya. Wanita itu mencoba tetap tenang agar tidak terbawa emosi. “Sudah, Pak. Tapi, mereka menyalahkan anak saya yang sebenarnya menjadi korban.” Air matanya menetes tatkala menjelaskannya di depan kepala sekolah Cliff. Kelapa Sekolah Cliff meletakkan kedua tangannya di meja. “Maafkan kami, Nyonya. Tapi, sekolah memiliki prosedur untuk melaporkan tindakan mereka. Saya tak bisa berbuat banyak untuk itu.” Dia memberikan penjelasan pada Ashley untuk sedikit menenangkannya. Sementara itu, di rumah, Ben terkejut tatkala ibunya memberi kabar jika dirinya harus berpindah sekolah. “Bagaimana dengan teman-temanku, Bu?” celetuk Ben. Kesal mendengar ocehan Ben membuat Ashley secara tak sengaja membentaknya. “Kau tidak punya teman, BEN!” Mata Ben berkaca-kaca mendengar ucapan ibunya. Dia bergegas pergi meninggalkan rumah. Pria kecil itu berlari menuju ke rumah sahabatnya, Dave. Tiba di rumah Dave, Ben disambut oleh orangtua temannya itu. “Siang, Nyonya Grey, apa Dave ada di rumah?” sapa Ben. Ibu Dave meliriknya dengan sinis. “Tidak ada!” jawabnya ketus. “Oh, iya satu lagi, Ben. Jangan pernah bermain dengan anakku lagi.” Tangannya menunjuk-nunjuk wajah Ben membuat wajahnya mengerut ketakutan. “Kau itu pembawa pengaruh buruk bagi anakku. Mulai sekarang, pergi dari sini dan jangan pernah temui anakku lagi.” Ibu Dave dengan nada tinggi mengusir Ben. Ben sempat melirik ke atas. Dari balik jendela, Dave melihatnya dengan wajah sedih karena tidak bisa membantu Ben. Kata-kata yang dilontarakn Nyonya Grey membuat hati Ben terluka. Pria itu lantas pergi meninggalkan rumah keluarga Grey ke tempat yang dirasa aman baginya. Di bawah kolong jembatan, Ben duduk merenungi apa yang dialaminya selama ini. Terlalu berat bagi bocah sembilan tahun untuk merasakan kerasnya kehidupan di usia muda. Pria kecil itu memikirkan tindakan orang-orang di sekitarnya yang dirasa enggan menerima keadaannya.  ---

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Scandal Para Ipar

read
693.4K
bc

JIN PENGHUNI RUMAH KOSONG LEBIH PERKASA DARI SUAMIKU

read
4.1K
bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
860.2K
bc

Menantu Dewa Naga

read
176.8K
bc

Marriage Aggreement

read
80.7K
bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
623.8K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook