bc

DEAR TWO

book_age12+
120
FOLLOW
1.1K
READ
arrogant
student
kicking
straight
icy
ambitious
expert
male lead
school
slice of life
like
intro-logo
Blurb

Muda dan berbakat. Pelatih basket mana yang tidak menginginkan Noah dalam tim mereka? Apalagi sejak ia menjadi MVP dalam kejuaran nasional tahun lalu. Wajahnya yang menjadi cover majalah olahraga populer, membuatnya menjadi selebriti di kalangan peminat olahraga, khususnya basket.

Apakah Noah menyukai perhatian itu?

Ya, dia menyukainya. Noah adalah orang yang benci dipandang rendah, dan dibandingkan semua hal, dia paling membenci kekalahan. Hal itu membuat Noah terkesan arogan dan banyak orang yang salah paham terhadapnya.

Itulah Diaz Noah Arakha

Sementara itu, Igris Mahesa, namanya mulai dikenal beberapa bulan setelah Noah muncul di pertandingan basket pertamanya waktu SMP. Publik mulai membanding-bandingkan Noah dan Igris, tentang bagaimana Igris mewakili orang-orang berbadan kecil yang sering disepelekan dalam olahraga basket. Igris tak kalah hebat dari Noah dan sifatnya yang ramah membuatnya menjadi lebih mudah disukai.

Lalu, bagaimana jika dua orang yang saling bertolak belakang itu dipertemukan dalam satu tim basket di SMA?

DISCLAIMER: "Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan."

chap-preview
Free preview
Diaz Noah Arakha
Beeeeeepppp!!! Buzzer tanda berakhirnya pertandingan berbunyi tepat setelah Noah berhasil memasukkan 3 poin terakhir dari tengah lapangan. Meski begitu, skor yang berhasil dikumpulkan tim-nya masih tetap tertinggal. Mereka, tim basket SMP Pelita, sudah kalah. Pertandingan berakhir dengan skor 83 – 65, untuk kemenangan tim SMP Jaya. Mendadak lutut Noah terasa lemas, ia jatuh terduduk di lapangan basket itu. Pundaknya masih naik-turun dan nafasnya mulai terasa berat. Aneh. Noah sama sekali tak merasakan sensasi ini selama 4 kuarter pertandingan tadi. Namun, setelah semuanya berakhir, tulang dan otot sampai ke sendi-sendinya seolah meleleh. Rasa lelah segera menggerogoti dirinya. Ia memutar pandangannya ke sekeliling, rekan-rekan satu tim juga terlihat kehilangan tenaga mereka. Sang Kapten, Hadi, menangis sambil menekan handuk dengan erat di depan wajahnya, pundaknya bergetar. Tak jauh di belakang Noah, ada juga anak SMP berseragam tim basket SMP Pelita yang telentang di atas lantai vinyl lapangan dengan kedua telapak tangan menutupi wajahnya. Di sisi lain, ada yang duduk tertunduk di bench dengan air mata yang tampak menetes satu per satu ke atas lantai. Mereka semua sudah bermain basket bersama-sama selama kurang lebih 3 tahun ini, demi bisa mencapai podium tertinggi di kancah nasional. Noah gagal di tahun pertama dan keduanya, tahun ketiga ini adalah harapan terakhirnya untuk bisa menang. Dan ternyata, ia tetap tak diizinkan untuk mencicipi nikmatnya berdiri di podium itu. Sesuatu bergulir di pipi Noah, melewati bibirnya dan terasa asin. Tapi bukan, itu bukan keringat. Bulir demi bulir air lainnya juga menyusul. Genangan air di kelopak matanya akhirnya meluap, menganak sungai di pipinya hingga kemudian jatuh menetes dari ujung dagunya, membasahi lantai lapangan itu. Noah menengadah dan menatap langit-langit yang menyilaukan matanya sambil bergumam: “Ah… s**l… aku ingin menang.” - - - Sekitar 10 menit lagi bus yang akan membawa tim SMP Jaya beserta staff akan meninggalkan Gedung Olahraga (GOR) tempat pertandingan final hari itu dilaksanakan. Igris menggunakan waktu itu untuk pergi ke toilet yang berada di dekat parkiran GOR. Tepat saat ia masuk ke toilet yang kebetulan sedang sepi, ia mendengar suara seseorang dari dalam salah satu cubicle toilet. Igris mengenali suara itu, ia adalah orang yang baru saja merebut penghargaan MVP dan hanya mengucapkan terima kasih singkat lalu menolak seluruh wawancara dari media olahraga yang meliput final Kejuaraan Nasional basket tingkat SMP kali ini, Diaz Noah Arakha. “… Iya, sudah selesai…” suaranya terdengar parau. “…Tidak bisa, aku capek…” kata suara itu lagi. “Ya sudah, terserah Ayah saja.” Lawan bicaranya terdengar sangat marah hingga suara hardikannya terdengar cukup jelas meski tidak menggunakan speaker. “…Tidak berguna! Kau sama saja seperti ibumu!” Kira-kira itulah yang dikatakan lelaki yang barusan dipanggil “Ayah” itu. “Iya…,” suara Noah dari dalam cubicle kamar mandi itu pun terdengar semakin muram, “…mungkin Ayah benar. Sepertinya aku memang tidak berbakat… aku akan berhenti main basket.” Igris tak tahu kenapa bibirnya jadi merenggang lebar saat mendengar kalimat terakhir Noah. Sosok yang baru saja menjadi lawannya di lapangan basket tadi, yang terus berlari meski rekan-rekannya nyaris menyerah, yang berhasil mencetak 47 poin dari total 65 poin yang didapatkan SMP Pelita, si panser yang nyaris tak bisa dihentikan itu sekarang bilang mau berhenti?! Igris nyaris gagal mencegah dirinya untuk tak mendobrak pintu cubicle dimana Noah berada, untungnya di saat yang tepat pintu toilet terbuka dan ada 3 orang pengunjung GOR yang masuk sambil mengobrol. Igris pun refleks masuk ke cubicle toilet di paling ujung. “Kubilang juga apa, kalian nggak bakal nyesal nemanin aku nonton final kali ini,” kata salah satu dari pengunjung GOR itu, memulai obrolan mereka kembali “Gila. Si Noah itu dikasi makan apa sama orang tuanya, ya?” “Dia itu mesin, mesin! Mana ada manusia bisa begitu. Larinya cepat dan dribble[1]-nya itu loh, benar-benar mempermalukan orang yang menjaganya.” “Dengan badan setinggi itu, lompatannya juga tinggi. Dia seperti terbang di antara yang lainnya.” “Sayang tim-nya lemah banget. Rasanya seperti 1 vs 5. Makanya mereka kalah.” “Tapi dia dapat MVP loh.” “Tetap saja… rasanya pasti beda. Sudah berjuang mati-matian, tapi tetap kalah. Apalah artinya gelar individu tanpa kemenangan tim.” “Parah sih, ya. Kasihan. Teman satu tim-nya sama sekali nggak bisa mengimbangi permainannya. Coba kalau dia gabung di SMP Jaya, beeeugh… OP[2] banget tuh pasti.” “Iya. Itu pemain No. 6 punya SMP Jaya, siapa tuh namanya…?” “Igris.” “Benar, Igris. Padahal badannya kecil, tapi lincahnya kayak tikus, dan tembakannya selalu akurat.” “Bayangin kalau mereka berdua ada dalam satu tim.” Krieeek. Pintu cubicle terbuka dan menghentikan obrolan 3 orang yang tadi. Perhatian mereka langsung tertuju pada Noah yang tanpa mengatakan apa-apa mencuci tangannya di westafel lalu melangkah keluar dari toilet begitu saja. “Hei, kurasa tadi dia dengar obrolan kita,” kata salah seorang dari mereka. “Tapi kita nggak bicara buruk tentang dia, kan.” “Kurasa kita malah memujinya, tapi kenapa mukanya masam begitu?” “Sombong banget, dasar bocah. Langsung besar kepala karena jadi MVP.” “Ehm.” Kali ini perhatian mereka bertiga kembali teralihkan dari pintu toilet yang baru ditinggalkan Noah tadi. Mereka menoleh ke arah cubicle paling ujung dan menemukan Igris sedang tersenyum kaku di sana. “Waduh… kenapa dia juga di sini?” Mereka pun berbisik satu sama lain. “Ah… terima kasih sudah menonton hari ini.” Igris mencoba mengatakan sesuatu untuk mencairkan suasana. Ia lalu buru-buru mencuci tangannya dan ketika lewat di hadapan mereka untuk menuju ke pintu keluar, Igris mengangguk kepada ketiga orang itu satu per satu sebagai gesture sopan terhadap orang yang lebih tua. - - - “Oh, sudah pulang?” Noah mendapatkan sapaan basa-basi dari kakak laki-lakinya, Raka, saat ia baru saja turun dari ojek yang ia tumpangi dari sekolah tadi. Setelah meninggalkan GOR, bus mereka kembali ke sekolah. Pelatih SMP Pelita ingin sedikit menghibur anak-anak didiknya, jadi ia mengajak tim yang baru saja menjadi Runner Up di Kejuaraan Nasional itu untuk makan bakso di warung dekat sekolah. Ia memberi kata-kata motivasi dan nasehat yang lumayan berhasil membuat anak-anak Pelita mengesampingkan rasa kesal dan sesal kekalahan tadi, lalu mengisi hati mereka dengan rasa bangga sebagai tim basket SMP terbaik kedua di seluruh negeri. “Kenapa mukamu begitu? Kalah?” tanya Raka lagi. Noah menghela napas sambil membuka sepatunya lalu masuk ke rumah begitu saja. “Hei, kamu itu kalah di final loh. Kamu boleh bangga, ngapain muka ditekuk begitu kayak ada yang mati aja.” “Aku masih bisa ngerti kalau Ayah dan Bunda nggak datang mendukungku di pertandingan. Tapi kamu?” Akhirnya Noah ngomel. “Ya maaf, aku baru saja pulang dari acara di rumah temanku.” “Ah… sudahlah. Malas.” Noah berbalik dan langsung menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua. Ia melempar duffel bag berwarna biru gelap miliknya ke atas tempat tidur sebelum kemudian melemparkan dirinya sendiri tepat di sebelah tas itu. Rasanya ia masih bisa mendengar gemuruh suara penonton di GOR tadi, suara dribble bola, suara peluit wasit, teriakan pelatih, dan buzzer akhir pertandingan. Noah sangat menyukai basket. Tapi ia benci kekalahan. Dan ia kalah bukan karena tak mampu, makanya rasa kesal yang membuatnya sesak itu masih belum bisa hilang. Ia jadi ingin menyalahkan semua orang. Tiga orang yang berkomentar sesukanya tanpa tahu apa-apa di toilet tadi, Kapten Hadi yang berkali-kali gagal menembak, Yandri yang tidak mahir dribble dan selalu membuat turnover[3], Dimas yang terlalu cepat lelah, Galuh yang malas defense[4], Igris yang terlalu hebat bermain basket, lalu keluarganya yang tak pernah mendukung minatnya. Noah sangat kesal hingga matanya kembali terasa seperti tersengat sesuatu dan membuat air mata kembali menggenang, mengaburkan pandangannya. Ayah Noah adalah seorang profesor yang juga merupakan pemilik sebuah kampus swasta, ia ingin Noah menjadi seorang akademisi. Dibandingkan Raka, nilai-nilai Noah jauh lebih baik, akibatnya ia menganggap Raka sudah tak ada harapan dan membiarkan anak sulungnya itu melakukan apapun yang ia mau. Sebagai gantinya, ia meletakkan semua beban di pundak Noah. Tapi Noah tidak menginginkan itu, ia malah mencurahkan seluruh perhatiannya pada basket dan mengabaikan keinginan ayahnya. Sedangkan ibunda Noah adalah seorang pemilik gym khusus wanita yang cukup populer di kota itu, meski ia mendukung apapun yang ingin dilakukan Noah, tapi wanita itu hampir tak punya waktu untuk anak-anaknya. Selama Noah bermain basket di SMP dan mengikuti berbagai pertandingan yang cukup bergengsi, tak pernah sekalipun mereka datang menonton. Tidak juga Raka. “Diaz Noah Arakha…!” Pintu menjeblak terbuka bersamaan dengan munculnya seorang gadis berambut ikal sebahu bernama Calisa Aqila, atau yang biasa dipanggil Lisa, tetangga Noah sejak hampir dua dekade terakhir. Mereka sudah seperti satu keluarga besar. Bahkan katanya saat lahir dulu, semua perlengkapan bayi yang digunakan Lisa adalah milik Noah. Mungkin itu sebabnya Lisa jadi berjiwa tomboy sampai sekarang – entahlah apa itu ada hubungannya. Lisa melompat ke tempat tidur dengan antusias. “Aku mencarimu setelah pertandingan tadi, padahal aku mau ngajak foto bareng sama teman-temanku. Kamu malah pulang duluan tanpa ngomong sama aku. Teman-temanku menuduhku pembohong, katanya aku pura-pura kenal sama kamu.” “Ck! Kalah juga, ngapain datang?” gerutu Noah sambil mendecak kesal. “Hei, kamu itu MVP loh. Pemain terbaik level anak SMP. Sekarang nggak bakal ada anak sekolah yang main basket yang nggak kenal kamu. Bangga sedikit kenapa sih?” “Kalah tetap saja kalah.” Noah yang duduk bersila di atas tempat tidur itu kini tertunduk sambil menggerak-gerakkan telunjuknya mengikuti pola sprei. Lisa sudah hafal betul sifat Noah yang ini. Satu-satunya cara adalah dengan mengalihkan perhatian Noah hingga ia lupa pada kekalahan hari ini. “Sudah lupakan saja. Sudah berakhir, kan? Nggak ada gunanya disesali. Ambil hikmahnya lalu fokus ke pertandingan berikutnya.” Lisa menopangkan lengannya di bahu Noah sambil mengeluarkan kalimat pamungkas. “OK? Basket SMA pasti lebih menyenangkan. Kudengar kamu dapat beasiswa masuk SMA Cendana. Sekolah itu banyak menghasilkan atlet-atlet berbakat loh. Katanya kalau masuk Cendana dan lolos ke jurusan khusus olahraga, jalan untuk menjadi atlet pro sudah terbuka lebar. Aku juga akan menyusulmu ke Cendana tahun depan. Lihat saja.” Lisa mengepalkan tinjunya penuh tekad dan semangat. Akhirnya Noah menghempas napas untuk melepaskan segala hal yang membuatnya sesak sejak tadi. Selain karena ia menyadari kata-kata Lisa yang bijak, ia juga sadar bahwa gadis yang usianya lebih muda setahun darinya itu cukup bekerja keras untuk menghiburnya. “Jangan sok bijak kamu ya, anak kecil juga.” Noah memiting leher Lisa lalu mengulek kepalanya dengan kepalan tangan. “Aw! Aw! Aw! Sakit tahu?!” Lisa melepaskan diri dan langsung meninju lengan Noah sekuat tenaga. “Tahun depan aku sudah jadi anak SMA. Kamu juga cuma lebih tua setahun, nggak usah sok ngatain orang anak kecil.” “Hooo… sudah berani melawan, ya. Mau aku poles lagi ubun-ubunmu pakai tinju?” Lisa dengan sigap bangun untuk menghindari Noah dan langsung melompat turun dari tempat tidur sambil memekik tertawa. “Sudah merasa baikan? Bilang apa sama Dek Lisa yang cantik?” katanya lagi saat ia sudah berada di mulut pintu kamar. Noah melempar bantal ke arahnya sambil setengah berteriak, “Terima kasih!” Lisa bersembunyi ke balik daun pintu sebelum kembali menjulurkan kepalanya. “Kalau gitu, besok jemput aku di sekolah dan biarkan aku memamerkanmu pada teman-teman sekolahku dan kamu harus menemani mereka foto bareng.” “Gila ya, mana peduli mereka sama MVP basket tingkat SMP. Artis juga bukan.” “Lihat saja besok kalau nggak percaya,” sahut Lisa sambil mulai menutup pintu kamar. “Aku pulang jam 2 siang ya, jangan lupa.” Suaranya masih terdengar dari balik pintu sebelum akhirnya kamar itu kembali hening. Namun, perasaan Noah sudah jauh lebih ringan. Memang selama ini hanya Lisa saja, orang yang paling memahaminya. Jika tidak ada Lisa yang selalu menemani, Noah pasti sudah lama kehilangan semangatnya menekuni sesuatu, seperti basket ataupun pelajaran sekolah. Andai saja Tante Yanti, ibunya Lisa, mau menukar Lisa dengan Raka, pasti setidaknya tempat ini bisa disebut rumah. ___ ___ ___ ___ ___ [1] Dribble: Menggiring bola dalam olahraga basket [2] Overpowered: Istilah yang digunakan untuk menyatakan bahwa seseorang terlalu kuat untuk dihadapi, hingga terkesan tidak adil bagi lawan-lawannya. [3] Turnover: Situasi perpindahan bola di dalam permainan basket, yang disebabkan karena kesalahan pemain. [4] Defense: Melakukan pertahanan saat lawan sedang menyerang.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Perceraian Membawa Berkah

read
17.3K
bc

KUBUAT KAU MENGEMIS CINTAKU

read
60.1K
bc

Marriage Aggreement

read
80.8K
bc

Anak Rahasia Suamiku

read
3.4K
bc

TETANGGA SOK KAYA

read
51.5K
bc

Menantu Dewa Naga

read
177.0K
bc

Scandal Para Ipar

read
693.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook