Pertemuan Tanpa Janji
Langit sore berwarna abu-abu pucat ketika Aruna tiba di depan gedung itu.
Tinggi, dingin, megah — seperti tak pernah mengundang siapa pun untuk benar-benar masuk ke dalam.
Tapi di balik pintu itu, ada seseorang yang harus ia temui. Seseorang yang, bahkan sebelum bertemu, sudah terasa begitu jauh.
Aruna menarik napas panjang.
Tangannya gemetar sedikit, entah karena gugup atau karena beban aneh yang ia rasakan sejak menerima pekerjaan ini.
Ia menunduk, merapikan rambutnya yang tergerai seadanya, lalu menatap refleksi dirinya di pintu kaca.
Bukan seorang dokter hari ini, Aruna.
Hanya seorang... teman.
Pintu terbuka otomatis dengan desis halus.
Di dalam, aroma steril bercampur dengan wangi kopi basi menusuk hidung.
Seorang pria berdiri membelakanginya di ujung ruangan — tinggi, kurus, seolah sebagian dirinya telah ditinggalkan oleh dunia.
Darren Arya Mahendra.
Nama yang begitu sering disebut dalam berkas-berkas rahasia itu.
Nama yang kini terdengar lebih seperti sebuah luka daripada identitas.
"Siapa kamu?"
Suara Darren terdengar datar, tidak ramah.
Ia tidak berbalik, hanya melirik Aruna sekilas dengan mata penuh kecurigaan.
Aruna tersenyum kecil, meski hatinya mengerut.
"Aku Aruna," jawabnya pelan.
"Ayahmu mengirimku."
Ada keheningan yang berat menggantung di antara mereka.
Darren mengerutkan kening, seolah setiap kata yang keluar dari mulut orang asing adalah racun.
"Aku tidak butuh siapapun."
Kalimat itu keluar seperti dentuman.
Tajam. Dingin.
Aruna menunduk sedikit, menerima penolakan itu tanpa protes.
Ia sudah diberi tahu — Darren bukan seseorang yang akan membukakan pintunya dengan mudah.
Tapi Aruna mengenal rasa takut.
Dia tahu betapa sunyinya hidup di balik dinding yang tak seorang pun berani dekati.
"Aku tahu," katanya, masih dengan suara tenang.
"Aku juga tidak datang untuk memaksamu."
Untuk sesaat, mata Darren tampak goyah.
Tapi kemudian, ia membalikkan badan dan berjalan menjauh, seolah kehadiran Aruna tak lebih dari bayangan yang akan segera menghilang.
Aruna berdiri di sana, mematung.
Di balik ketegaran matanya, ia berbisik dalam hati — kepada Darren, kepada dirinya sendiri:
"Mungkin... kita berdua sama-sama terluka.
Mungkin... itu sebabnya aku tetap di sini."