bc

Dear, Ustadz

book_age12+
2.2K
FOLLOW
11.1K
READ
others
badgirl
tomboy
self-improved
inspirational
sweet
heavy
serious
first love
spiritual
like
intro-logo
Blurb

Hidup Humaira Sakhifah semula baik-baik saja. Dia menikmati kehidupannya sebagai gadis enam belas tahun yang menggantungkan diri di jalanan. Dia hidup bebas dengan dunia luar. Sampai pada suatu hari, dunia Maira jungkir balik saat seorang lelaki bernama Muhammad Zainal Rifie terlibat kecelakaan dengannya. Empat tahun Maira koma di rumah sakit, dan selama itu yang mengurus segala keperluannya adalah Zainal dan keluarga lelaki itu.

Ketika Maira sudah bangun, yang dia lihat bukan lagi gadis remaja yang tampak dekil terkena polusi dan sengatan matahari, namun justru sosok perempuan dewasa yang memukau. Maira sudah berubah. Tak hanya fisik, hidupnya pun ikut berubah. Rupanya keluarga Zainal adalah pemilik salah satu pondok pesantren di Jakarta. Dan tentunya, Maira harus terjebak dengan aturan-aturan gila nun mengekang yang membuatnya frustrasi. Lalu tiba-tiba saja, Zainal mengajukan khitbah atas dirinya. Maira menolak, namun hal itu tidak membuat Zainal mindur sedikit pun.

Tidak ada pilihan lain yang bisa Maira pilih selain menerimanya. Dia sendiri takut jika keluarga Zainal menagih semua biaya perawatan atas dirinya. Maka, dengan sangat terpaksa Maira menerima pernikahan itu tanpa cinta.

Zainal sangat lembut, penuh cinta, dan penyabar. Berbanding terbalik dengan dirinya. Namun, hal itu tidak membuat Maira luluh dengan mudahnya. Maira tetap keras kepala.

Layaknya batu yang akan terkikis jika terus menerus terkena air, hati Maira pun perlahan terbuka. Dia mulai menerima cinta Zainal. Akan tetapi, di saat Maira percaya akan cinta dan memiliki, semuanya tiba-tiba saja berubah. Kenyataan pahit itu datang dan membuat Maira makin tidak percaya pada takdir Tuhan.

chap-preview
Free preview
PROLOG
Dear, Ustadz *** Maira langsung menepis tangan Zainal begitu menyentuh kepalanya. Tatapan bola hitamnya mengabut, seolah hendak menghajar lelaki yang kini berdiri di samping duduknya tersebut. Mulutnya tak juga bersuara, atau barangkali mengeluarkan decakan. Dia hanya diam, mengunci mulut rapat. "Saya bawakan makan malam. Sejak pagi kamu belum makan 'kan?" tanya Zainal dengan segaris senyum yang mencolok di antara wajahnya. Belum ada jawaban. Melihat Maira yang tak kunjung menatapnya, Zainal beralih dari posisi. Ambil duduk di samping Maira yang kini menyandar pada kepala ranjang sambil memeluk kedua kakinya. "Kamu tahu, Ummah sudah masak untuk kamu. Spesial untuk menantu katanya. Kamu nggak mau cobain dulu?" Bukannya menjawab, Maira justru menarik diri lebih jauh dari lelaki di sampingnya itu. Membentang jarak, mengabaikan keberadaan Zainal yang sudah dari lima belas menit lalu di ruangan itu, membangun dunianya sendiri lewat angan-angan. Entah apa yang kini dipikirkan gadis berwajah bulat itu. Dia lebih menikmati kesendiriannya sejak siang, daripada diganggu oleh Zainal yang seenak hati keluar-masuk ruangan. Zainal mengisi dadanya dengan pasokan oksigen lantas kembali menetralkan suaranya. Dia tidak boleh marah, sabar adalah kunci dari seseorang untuk memperoleh kemenangan. Dan mungkin ini adalah ujian pertama pernikahannya. "Saya suapin, ya?" Tangannya mengambil nampan di atas meja, menyendokkan nasi serta lauk secukupnya. Ditatapnya Maira yang masih menjauh, lalu lelaki itu berdiri dan menggeret kursi tepat di depan Maira. "Gue nggak mau." Hanya itu. Sesingkat itu Maira menanggapi ucapan Zainal yang sudah ia dengar sejak tadi. Tiga kata yang bahkan diucapkan dengan nada malas sudah mampu membuat seberkas hati Zainal lega. Setidaknya, gadis ini masih mau menjawabnya. "Penderita maag sudah banyak, kamu juga mau jadi salah satu dari mereka?" Maira menolehkan kepala, "Lo coba nakut-nakutin gue?" "Saya serius, Maira." Hening. Ruangan sepetak itu kembali senyap. Maira tak menjawab, tak juga menanggapi ucapan Zainal. Yang dilakukannya hanya memandangi kondisi luar yang tengah gerimis dari kaca jendela. Beberapa jenak ia menghela napas dua-tiga kali. Inilah yang ia tak suka saat ada Zainal. Lelaki itu pasti akan memperhatikannya tanpa jeda. Ampun, rasanya dia ingin mengusir Zainal kalau saja ia tak ingat ini adalah kamar lelaki itu. "Maira, saya juga belum makan sejak tadi." "Urusannya sama gue? Kalo lo mau makan, tinggal makan, apa susahnya?" Zainal tersenyum lalu menyentuh puncak kepala Maira yang sayangnya kembali mendapat tangkisan. Bahkan kini gadis itu melotot tajam, mengubah rautnya menjadi tiga kali lebih ditekuk dari sebelumnya. "Seorang suami makan jika istri sudah makan. Apa yang suami makan, harus sesuai dengan apa yang sudah ia berikan pada istrinya. Begitu juga saya. Saya hanya akan makan jika kamu sudah makan, Maira," jelasnya. Maira menegakkan duduknya. "Peraturan macam itu nggak berlaku di sini. Gue makan apa enggak, nggak usah lo pikirin. Itu hak gue dan nggak seharusnya lo ikut campur." Zainal justru terkekeh ringan. "Peraturan itu bukan saya yang buat, Maira. Jadi nggak sembarangan bisa berlaku atau tidak untuk kamu atau orang lain." Dengan frustrasi, Maira mengacak rambutnya kasar. "Bisa nggak sih, berhenti ceramah di sini? Gue males dengernya. Simpan suara lo buat isi kajian besok pagi, daripada ngomong ke sana-sini dan ujungnya sia-sia." Kembali lagi lelaki pemilik rambut hitam legam itu tersenyum. "Kalau gitu saya yang balik bertanya. Bisa kamu ubah gaya bicara ke saya, yang lebih sopan?" "Kalo emang lo nggak suka gue yang begini, ceraiin gue aja." Zainal beristighfar tiga kali mendengar ucapan gadis itu. "Pernikahan bukan untuk main-main. Saya sudah mengikat janji di depan orang tua saya dan saksi kamu, itu artinya saya sudah bersumpah di hadapan Allah kalau saya akan bertanggung jawab atas kamu. Bagi saya, Maira, menikah hanya untuk satu kali." Bola mata Maira terputar jengah. Daripada mendengar deretan ceramah dari lelaki itu lebih panjang lagi, dia memilih menarik nampan yang dipegang Zainal agar dia cepat pergi. Menyudahi perdebatan di antara keduanya. "Gue makan kalau lo udah keluar," ucapnya. Walau berat hati, Zainal tetap bangkit dari duduknya sembari mengulas senyum. "Oh iya, kamu sudah sholat Isya'?" Itu lagi, itu lagi. Batin gadis tersebut. "Udah." Jawaban Maira yang sejujurnya hanyalah pernyataan palsu, membuat sang suami tersenyum lega. Entahlah, kenapa Maira sanggup membohongi Zainal, padahal yang di atas lebih tahu segala hal. Ibadah hanya untuk dirinya sendiri, bukan untuk suami atau orang lain. Astaghfirullah haladzim .... ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
11.4K
bc

My Secret Little Wife

read
93.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.5K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook