bc

Good Bye, My Self

book_age16+
7
FOLLOW
1K
READ
student
drama
tragedy
bxg
humorous
highschool
secrets
self discover
school
discipline
like
intro-logo
Blurb

Aku telah membunuh diriku sendiri!

Bukan ragaku, melainkan aku telah berhasil membunuh karakterku yang tak berguna, keluar dari zona nyaman dan berani mencari jati diriku yang entah dimana.

Good Bye, My Self!

*****

Aaaaaaarrgggghhh!

Teriakku pada sang langit, berharap langit akan mengirimkan ku seseorang yang baik demi menebus waktu yang telah ku lalui tanpa kehangatan sebuah keluarga. Kini, aku berada di titik terlelah ku! Kata orang 17 tahun itu manis, tapi kenapa aku merasakannya lebih pahit dari sebuah empedu?!

Alamanda shyberlina.

*****

Sebuah kisah perjuangan seorang gadis korban broken home untuk menjaga fitrahnya, meski tanpa perhatian orang tuanya. Apapun ia tempuh demi mewujudkan sebuah mimpinya. Menghadapi tekanan dan tuntutan dari sekitar tanpa dukungan bukankah hal yang sangat tak mudah, bukan?

Alamanda shyberlina, gadis introvert, kehancuran rumah tangga yang di alami orang tuanya membuatnya menjadi gadis yang menutup diri dan takut dengan dunia dimana ia tinggali saat ini, setiap hari ia harus berperang hebat dengan dirinya sendiri demi menemukan jati dirinya yang terkubur entah dimana dan mewujudkan semua mimpinya. Gemerlapan dunia kawula muda pun harus ia lawan demi masa depan yang ia impikan.

chap-preview
Free preview
PATAHAN PENSIL
Pk! Pk! Pk! Suara langkah kaki yang ku pacu dengan cepat, terdengar berderu dengan desahan nafasku yang sangat berantakan, aku lelah namun aku harus terus berlari, aku tak mau ketinggalan jam ujian akhir sekolahku. Suara kebisingan sepatuku terdengar memenuhi koridor yang ku lalui, suasana sekolah di pagi ini terdengar sangat sunyi tak seperti biasanya yang masih ramai dengan hiruk pikuk keramaian para siswa. Deg! Langkah kakiku terhenti tepat di ruangan yang menjadi tempat ujianku selama 3 hari kedepan ini. Meski dengan penuh keraguan dan kecemasan aku tetap memberanikan diri mengetuk pintu yang saat ini sedang tertutup rapat. Meski rapat, ternyata pintu itu tidak terkunci sehingga aku dengan mudah membukanya. "Maafkan aku, Bu! Aku terlambat!" Hanya itu yang bisa ku katakan kepada seorang wanita berseragam dan berhijab warna coklat muda itu. Aku menunduk kala melihat semua tatapan mata para peserta ujian mengarah kepadaku. "Duduklah! Ujian belum di mulai!" Seru wanita cantik yang menjadi penjaga ujian di kelas ini hari ini. Aku menunduk mencari bangku kosong yang sekiranya adalah tempat dudukku. Sebelum aku duduk, aku melihat nomor bangku lalu aku cocokkan dengan nomor ujian yang ku genggam. 'Ini dia!' deru ku dalam hati sembari perlahan duduk di kursi berwarna khas coklat itu. Setelah aku duduk dengan tenang dan rapi tiba-tiba pengawas laki-laki masuk dengan membawa 2 amplop coklat berisi lembar ujian yang masih tertutup rapat dan tersegel. Perlahan demi perlahan kedua pengawas itu membagikan soal beserta lembar jawaban kepada para peserta ujian. Aku menantinya dengan sabar dan dengan penuh percaya diri. "Kamu! Yang baru saja datang!" Seru pengawas berkerudung itu. "Iya, Bu!" Ucap ku sambil mengangkat tanganku. "Cepat letakkan semua barang yang kamu bawa ke tempat yang di sediakan, di meja hanya boleh ada pensil dan penghapus!" Imbuhnya. Aku baru menyadari jika hanya aku yang masih memangku tasku, sebelum aku meletakkannya di belakang aku baru tersadar jika kotak pensilku tidak ada, mungkin terjatuh saat aku berlarian tadi. Seketika aku dihujani kepanikan, namun aku juga tak berani berbicara atau meminta bantuan kepada pengawas, aku merasa sangat ketakutan. Aku meletakkan tas yang ku bawa ke belakang kelas tanpa membawa kembali pensil ataupun penghapus ke meja. Aku menunduk pasrah, aku tak tahu dengan apa yang harus aku lakukan sekarang. Lembar jawaban dan soal sudah ada di tanganku sedangkan tanganku masih kosong tanpa alat tulis satupun. Aku melihat teman yang ada di depanku membawa 2 buah pensil, 1 penghapus dan 1 serutan pensil. Aku mencolek tubuh belakangnya berharap ia mau menolongku saat ini. "Apa?" Bisiknya tanpa menoleh ke belakang. "Aku kehilangan kotak pensilku, maukah kau meminjamkan salah satu pensilmu untukku?" Bisikku mendekat ke arahnya. Setelah mengatakan hal itu, gadis di depanku tak merespon semua yang ku katakan padanya. Ia terlihat sibuk dengan lembar ujiannya. Baiklah, itu artinya dia tak akan meminjamkannya. Tiba-tiba, aku merasa seseorang menendang kursiku dari belakang. "Apa ada masalah?" Tanya Rana, temanku juga yang saat ini bangku ujiannya tepat di belakangku. "Aku kehilangan kotak pensilku!" Bisikku. "Apakah Badriyah tak meminjamkannya padamu, bukankah dia membawa 2 pensil?" Tanya Rana. "Kurasa dia tak mau meminjamkannya." Jawabku. Setelah itu aku tak mendengar Rana bersuara lagi. Ku pikir Rana juga mengabaikanku. Namun aku merasa Rana sibuk di belakangku sehingga memancing rasa penasaranku. Dengan sembunyi-sembunyi aku melirik ke arah Rana, "Ya Allah, Rana!" Gumamku dalam hati. Seketika mataku di penuhi oleh embun saat melihat apa yang saat ini Rana lakukan. Rana mematahkan pensilnya menjadi dua bagian dengan tangannya yang putih bersih dan lembut. Bukanlah hal yang rahasia jika Rana memiliki kulit terputih dan terbersih di kelasku. Setelah berhasil mematahkan pensilnya, ia melancipkannya dengan gunting yang ia temukan di bangkunya, mungkin milik anak lain yang tertinggal. Aku melihat dia benar-benar sangat fokus dan bersusah payah melancipkan patahan pensil itu dengan gunting yang tak lagi tajam itu. "Ini, pakailah!" Ucapnya mataku sambil menyodorkan pensil itu di lengan kananku. Meski tak sesempurna milik anak lainnya, aku sangat bersyukur dengan adanya patahan pensil milik Rana ini, karenanya aku bisa melalui ujianku dengan lancar. "Rana, adakah soal yang tak bisa kau jawab?" Bisikku padanya. "Aku akan membantumu!" "Tak usah, lagian kita beda paket! Gak lulus pun bukan masalah besar bagiku karena aku akan menikah!" Jawabnya dengan santai. Rana Anjani, gadis cantik dan terkenal nakal dan pemberani di sekolah, dia juga terkenal suka melawan dan tak takut kepada siapapun juga, ia juga sering membohongi neneknya dan mencuri uang pamannya. Namun dibalik semua itu dia adalah gadis yang baik dan tulus. Semua yang ia lakukan juga mempunyai alasan yang kuat karena tak akan pernah ada asap tanpa ada api. Aku tak bisa membayangkan apa jadinya aku yang introvert ini di kemudian hari tanpa patahan pensil yang sudah tak berbentuk darinya. Terimakasih Rana karena patahan pensilmu mampu memberi keajaiban di duniaku. ***** Aku tak menyangka di hari ujian pertamaku aku harus datang terlambat meski aku telah mempersiapkan semuanya sedari pagi buta. Tuk! Tuk! Perlahan aku mengetuk pintu rumah Ayahku, aku menyadari jika ini masih sangat pagi dan wajar saja jika pintu rumah masih terkunci, aku harus mengetuknya secara perlahan untuk membangunkan penghuni rumah tanpa membuatnya terkejut. Semenjak Ayahku menikah dengan wanita pilihannya pasca bercerai dengan ibuku cukup lama. Aku lebih memilih tinggal bersama nenek dan kakekku di rumah lama, sedangkan Ayah dan istrinya yang tak lain adalah ibu tiriku pindah tinggal di kontrakan yang tak jauh dari rumah Kakek dan nenek ku. Butuh waktu sekitar 10 menit untuk berjalan kaki kesana. Klek! Seorang wanita berambut panjang yang masih lusuh membuka pintu dengan matanya yang masih sayup. "Ayah mana, Bu?" Tanyaku kepada wanita yang beberapa tahun yang lalu dinikahi oleh ayahku. "Ayahmu keluar kota, di ajak temannya. Memangnya ada apa Manda?!" Ucapnya, suaranya masih terdengar parau karena ia belum sepenuhnya bangun dan sadar. Wajahku seketika menatap lesu dan kecewa, "Hari ini aku ujian, aku mau minta antar Ayah, Bu!" "Kan biasanya juga kamu jalan kaki, toh sekolahmu juga dekat!" Imbuhnya. "Saat ujian ini, kita pindah ke sekolah yang lebih besar, Bu! Ini ujian akhir sekolah penentuan lulus atau tidaknya kita." Jelas ku sekenanya. Aku sekolah di sekolah menengah pertama yang sangat kecil karena aku mencari sekolah yang sangat murah agar aku bisa sekolah. Padahal nilai ujianku saat SD sangat tinggi dan diterima masuk ke SMP NEGERI terfavorit di kotaku namun alasan biaya aku harus mengubur semua mimpiku karena saat itu, masuk sekolah Negeri belum di tanggung oleh pemerintah atau alias gratis. Kekokohanku dalam menuntut ilmupun di tentang kuat oleh semua keluargaku. "Buat apa sekolah tinggi-tinggi, tempatnya wanita itu di dapur!" Kalimat itulah yang sering terdengar telingaku. Aku hanya berpikir, biarlah masa laluku kelam dan gagal namun aku masih bisa mengukir masa depanku sedari saat ini. Jika dengan sekolah adalah langkah pertama yang harus ku ambil untuk mengukirnya. Maka apapun itu aku akan terus memperjuangkan pendidikanku. Saat itu aku mengendap-endap mengambil buku telepon saku dari laci lemari nenekku dan aku membawa beberapa koin dan berlari ke sebuah wartel yang tak jauh dari rumah. Perlahan aku membuka lembar demi lembar nama dan nomer telepon yang tertulis disana. Akhirnya aku menemukan nomer tanteku yang sedang mengadu nasib di ibukota. Aku memohon kepadanya dan menangis. Aku utarakan keinginanku untuk melanjutkan sekolahku. Saat itu ia hanya mengirimiku uang 200 ribu lewat pos. Mau gak mau hanya dengan uang segitu aku harus bisa sekolah dna akhirnya aku menemukan sekolah kecil yang saat ini menjadi sekolahku. Murid di kelasku juga sangat sedikit dan hanya sekitar 20 orang. Sehingga tak heran jika ada ujian akhir sekolah seperti ini sekolahku akan menumpang ke sekolah yang lebih besar agar para muridnya bisa mengikuti ujian. Meski sangat kecil dan murah, sekolah ini memiliki guru dan tatanan usaha yang terlatih dan mereka juga adalah guru dari sekolah besar yang ikhlas meluangkan waktunya untuk mengajar di sekolah yang teruntuk masyarakat kecil ini. "Ayuk ikut ibu ke wartel buat nelpon ayahmu!" Seru ibu seketika sambil membenarkan rambut dan pakaiannya secara asal. Terlihat kepanikan di wajahnya saat mendengar aku hendak ujian di sekolah yang cukup jauh. Kita beriringan berlarian kecil menuju wartel yang tak jauh dari rumah. Ternyata wartelnya tutup, kita berlarian lagi menuju telepon umum koin yang di arah berlawanan. Beberapa menit aku menunggu ibu terlihat serius berbicara dari orang dari seberang telepon. Tak lama ia menghampiriku dan berkata, "Pergilah ke pamanmu dan minta antar sama dia, katakan padanya jika ayahmu sedang ada urusan di luar kota." Ucap Ibu memberi solusi padaku. Aku segera berlari ke kedai pamanku yang tak jauh dari rumah, namun membutuhkan waktu 15 menit dengan berjalan agar sampai ke sana. Sesampai di sana aku melihat paman sedang sibuk menata barang dagangannya. Aku memberanikan diri untuk mendekatinya dan meminta bantuan padanya. "Paman, hari ini aku ujian, tolong antarkan aku ke sekolah!" Ucap ku hati-hati. Pamanku terdiam, tak lama dari itu ia menggelengkan kepalanya. Deg! Apakah ini sebuah penolakan? "Minta antar sama Ayahmu saja!" Ternyata benar aku di tolak. "Iya tapi ayahku sedang ada di luar kota, Paman!"ucapku memelas. "Ayahmu saja ninggalin kamu waktu kamu ujian masak aku harus memperjuangkan kamu!" Aku merasa tertampar dengan ucapan yang terlontar dengan jelas dari bibir pamanku padahal ayahku tidak tahu jika hari ini aku ujian di sekolah yang berbeda. Tanpa berkata apa-apa lagi, aku membalikkan tubuhku dan kembali melangkah bersama tangisku yang mulai pecah' meski aku sudah bersusah payah menahannya. Ku lirik jam yang ada di tanganku, ku rasa aku tak memiliki cukup waktu untuk pulang ke rumah. Dengan uang yang sangat pas-pasan aku memberanikan diri menaiki angkutan umum, meski ku tau resikonya nanti aku tak bisa jajan di kantin untuk mengisi perut kosongmu. ***** Ujian berjalan lancar meski ada sedikit insiden tentang patahan pensil itu. Di bawah terik matahari, aku berjalan sambil meremas perutku yang mulai keroncongan. Aku juga tak memiliki cukup uang untuk menaiki angkutan umum. Kurasa aku bisa berjalan kaki meski membutuhkan waktu sekitar 1 jam lebih. Aku telah menghafal jalannya tak masalah bagiku jika harus berjalan meski membutuhkan waktu yang lama. "Manda!!!!" Teriak seseorang yang tak asing bagiku. Aku menoleh ke arahnya, ternyata Rana tak sendiri. Ia bersama 19 teman kelas kita. "Ini, makanlah!" Ucap Rana menyodorkan roti seharga 500 perak padaku. Aku tak berhenti mengucapkan syukur atas itu, akhirnya aku bisa mengisi perut kosongku yang mulai terasa perih. "Kalian mau apa?" Tanya ku pada ke 18 anak yang lain. "Kurasa aku membutuhkan udara segar dan lebih baik berjalan sama-sama sampai ke sekolah SMP kita!" Ucap Sholeh. Mereka tahu jika aku sembunyi-sembunyi pulang dengan berjalan kaki, dan mereka semua memutuskan untuk menemaniku berjalan sampai sekolah kita yang tak jauh dari rumahku. Canda tawa teman-temanku mengiringi setiap langkah kaki yang kita tapaki di bawah sinar matahari yang sangat menyengat. Suara mereka mampu menebus hariku yang hampir rusak tadi pagi.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
188.4K
bc

Head Over Heels

read
15.7K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.5K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.5K
bc

DENTA

read
17.0K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook