bc

Stay With Me

book_age18+
982
FOLLOW
3.7K
READ
drama
sweet
like
intro-logo
Blurb

Agatha Maura Wijaya berkerja di Kafe dari pukul 8 pagi hingga 5 sore demi memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sudah hampir 5 tahun ia merasakan kesepian, semenjak kedua orangtuanya pergi meninggalkannya begitu saja.

Sifatnya yang dingin membuat semua lelaki enggan mendekatinya. Kebahagiaan yang tak pernah ia rasakan merupakan salah satu akibat Maura acuh akan yang namanya Cinta.

Namun, ada dua pria tiba-tiba memporak-porandakan hidup Maura yang perlahan membuat gadis itu berubah. Ia perlahan mulai percaya jika Cinta adalah sumber dari kebahagiaan yang telah lama ingin ia rasakan.

Tapi, akankah Maura mendapatkan kebahagiaannya? Ketika ia tak sengaja mencintai salah satu dari pria yang memasuki kehidupannya itu? pria yang seharusnya tak berhak ia cintai.

Atau dia akan memilih pria satunya lagi yang telah lebih dulu mencintainya?

Ikuti kisahnya! Dan kau akan tau, bagaimana rasanya ketika mencintai seseorang yang telah menjadi milik oranglain dan bagaimana rasanya saat mengabaikan cinta yang seharusnya membahagiakan.

~Stay with me

chap-preview
Free preview
Namanya Maura.
"Semua orang berhak untuk jatuh cinta, berhak untuk bahagia, dan berhak untuk saling melengkapi." Seperti malam-malam minggu yang telah lalu, Maura masih bergelut dengan pekerjaannya sebagai pelayan di sebuah kafe ternama di bilangan ibu kota. Semakin larut, semakin banyak pula orang-orang yang datang untuk menghabiskan waktu dan uang mereka. Setiap malam minggu, kafe memang selalu ramai pengunjung. Mulai dari, para pasangan yang dimabuk asmara maupun sekumpulan anak-anak muda yang hanya sekedar nongkrong. Kafe berlantai dua ini memiliki interior rustic dan homey yang sangat bagus. Untuk ruangannya, keseluruhannya didominasi oleh warna putih dan warna-warna monokrom. Ada yang istimewa dari kafe ini, yakni sebuah pohon besar yang tumbuh tepat di tengah ruangan. Pohon tersebut dikelilingi oleh lampu-lampu unik sehingga menambah kesan sejuk dan tidak melupakan unsur artistiknya. Sesekali Maura menarik napasnya lelah, kakinya pegal karena terus mondar-mandir mendatangi setiap meja untuk menghantarkan pesanan. Wanita berumur 23 tahun itu melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, jarum pendeknya sudah menunjukkan pukul 11 malam. Satu jam lagi jam kerjanya habis dan ia bisa pulang ke rumah untuk beristirahat. Kafe ini buka 24 jam dan memakai aturan sif untuk sistem kerjanya dan Maura kerap kali mendapat giliran di malam minggu yang membuat seluruh tubuhnya pegal. Maura tersenyum pada salah satu pengunjung yang baru saja ia hidangkan dua gelas espresso ke mejanya. Setelahnya, Maura kembali berjalan untuk menyambut pengunjung lainnya yang baru saja datang. Maura sedikit kaget karena pengunjung yang baru datang itu adalah temannya sendiri, Diandra. Gadis berwajah blasteran itu tampak cantik dibalut gaun satin berwarna merah selutut dengan rambut gelombang pirangnya dan tubuh yang sintal menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum lelaki untuk memiliki wanita itu. Contohnya saja, pria yang saat ini melingkarkan tangannya di pinggang Diandra dengan sangat posesif. Sejenak Maura terdiam di tempatnya, mencoba membunuh perasaan iri dengan segala yang Diandra punya. Kekayaan, fisik yang sempurna, keluarga yang harmonis dan pendamping yang sempurna. Semuanya dimiliki Diandra, wanita itu hidup dalam kebahagiaan. Sangat berbanding terbalik dengan hidup Maura yang cukup sulit, ia harus bekerja banting tulang untuk menghidupi dirinya. Maura tidak punya waktu untuk bersenang-senang atau pun menjalin hubungan dengan seseorang. Lagi pula, Maura rasa cinta itu adalah sebuah hal yang bodoh dan ia sama sekali tidak percaya dengan sesuatu yang berhubungan dengan cinta. Tidak ada cinta di hatinya, Maura tidak akan membiarkan itu tumbuh di hatinya. “Ra, masih ada meja yang kosong kan?” tanya Diandra yang sontak langsung membuat lamunan Maura buyar. “Masih, ayo biar gue antar.” Maura berbalik dan melangkah menghantarkan kedua sejoli itu ke sebuah meja yang letaknya paling sudut. Maura berdiri tepat di depan meja, menunggu mereka duduk sebelum akhirnya memberikan buku menu. “Mau pesan apa?” “Kamu mau makan apa sayang atau kopi mungkin?” tanya Diandra seraya membuka buku menu di tangannya. Maura tidak mengenal pria itu, Diandra tidak pernah membawanya ke rumah. Bicara soal rumah, Maura menumpang hidup di rumah wanita itu. Diandra menolong dirinya karena saat itu posisi hidup Maura benar-benar di tepi jurang. Mungkin kalau tidak ada Diandra, ia akan hidup terlantar di jalan. Seharusnya ia mengucapkan banyak terinai kasih. “Long black satu,” kata pria itu. Diandra masih berpikir, melihat-lihat daftar menu yang tersedia di kafe ini sebelum menjawab. “Caramel latte aja deh, Ra.” “Makanannya?” tanya Maura, setelah menulis dua pesanan yang kedua orang itu sebutkan tadi. “Aku enggak.” “Tiramisu cake aja satu.” Maura telah selesai mencatat pesanan mereka. Wanita itu kemudian berbalik, berjalan ke arah bar dan menaruh bon pemesanan ke atas meja. Menunggu sebentar, Maura memandangi kedua sejoli itu, mereka sangat mesra sekali. Tapi, ngomong-ngomong sejak kapan Diandra menjalin hubungan dengan pria bertubuh atletis itu? “Ra anter! Malah bengong!” kejut Ardi yang sontak kembali membuyarkan lamunan Maura. Maura sangat heran, kenapa otaknya selalu saja memikirkan tentang kehidupan orang lain? Membanding-bandingkan dengan hidupnya, hingga merasa kesal karena berpikir jika Tuhan tidak adil terhadapnya. Maura menghantarkan lima gelas cappucino panas ke salah satu meja yang terletak di lantai dua. Setelah sampai, Maura segera menaruh satu persatu minuman tersebut ke meja yang ditempati 5 orang pemuda. Salah satu dari mereka menyeletuk. “Mbak-mbaknya cantik ya?” Maura tak menghiraukan, sudah biasa baginya mendapat pujian seperti itu dari para pengunjung. Padahal saat Maura melihat dirinya di cermin, ia sama sekali tidak cocok untuk dibilang cantik. Bahkan, ia kalah cantiknya dari Diandra. “Iya, matanya cantik lagi,” timpal pemuda berambut gondrong. “Mbak, boleh kenalan gak?” tanya pemuda satunya yang berbadan sedikit gemuk. Maura tersenyum seraya membungkuk ke arah mereka. “Silakan dinikmati kopinya mas,” ujarnya tak acuh lalu kemudian melangkah pergi. Turun dari lantai dua, menuju meja bar ia mengambil pesanan untuk meja Diandra. Maura tak melihat sosok Diandra di sana, hanya kekasihnya yang duduk sambil bermain ponsel. Mungkin wanita itu sedang ke toilet, Muara lantas mengosongkan nampannya dan berbalik. Namun, ketika Maura hendak melangkah ia tersandung dengan kakinya sendiri. Ketika badan Maura hampir menyentuh lantai, seseorang dengan sigap menarik wanita itu dengan tangannya. Maura terdiam, teriakkan halus dia tenggorokannya hampir saja lolos. “Kamu enggak apa-apa?” Kedua mata Maura membulat ketika ia menyadari tangan yang melingkar di pinggangnya saat ini adalah tangan pria itu. Keduanya sangat dekat, dengan tubuh Maura yang menempel pada pria itu. Wajah mereka hampir bersentuhan, kalau saja Maura tak menahan tangan kirinya di depan d**a pria bermanik coklat terang itu. Napas Maura berpacu, ia nyaris terjatuh kalau pria ini tidak menolongnya. Wanita itu buru-buru menenggakkan tubuhnya kembali, tetapi gelang tali di tangannya tersangkut di salah satu kancing kemeja pria itu. “Aduh gimana ini?” Pria itu pun sama bingungnya, tetapi ia lantas menyuruh Maura untuk tenang dan biar ia mencoba melepaskan tali benang gelang itu. “Biar saya aja,” katanya. Maura tak mampu menahan rasa malunya, pengunjung kafe juga telah melihat kejadian beberapa detik lalu. Tapi, untung ia tak menyentuh lantai keramik yang bisa saja merenggut gigi-gigi depannya. Maura mencoba melihat keberadaan Diandra yang sepertinya belum kembali dari toilet. Kalau saja Diandra melihat apa yang terjadi, mungkin saja ia akan tidur di kolong jembatan malam ini. Mengapa bisa terjatuh sih? Memalukan sekali. “Oke udah,” ucap pria itu setelah berhasil melepaskan tali gelang yang hampir memutuskan kancing kemejanya. “Maafkan saya dan terima kasih.” Pria itu hanya mengangguk dengan bibir tersenyum. “Kalau begitu saya permisi.” Maura berbalik dan melangkah dan Diandra sudah kembali dari toiletnya. Kaki jenjangnya terlihat menuruni satu persatu anak tangga. Tidak hanya cantik dan memiliki banyak uang, Diandra adalah orang yang baik. Meski ia sedikit menjengkelkan saat ia berubah tegas, tetapi ia selalu bisa membuat Maura tak merasa rendah diri meskipun dirinya hanya sebagai pembantu di rumahnya. Maura masih berlanjut melayani beberapa pengunjung lagi sebelum jarum jam menunjukkan tepat pukul 12 malam. Maura akhirnya bisa sedikit bernapas lega, sekarang ia akan mengganti pakaian kerjanya dan bergegas pulang ke rumah. Setelah mengganti pakaiannya di ruang ganti khusus karyawan, ia menyempatkan dirinya untuk berpamitan pada Ardi. Pemuda yang usianya setahun lebih mudah dibanding Maura. “Ardi gue duluan ya.” “Yoi, hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa lo bisa kabari gue.” “Sip.” Maura melangkahkan kakinya keluar dari kafe, kepalnya mendongak sedikit memperhatikan langit yang mulai mendung. Sialnya, Maura tidak membawa payung. Tapi, tidak apa-apa. Kakinya masih kuat berlari kencang agar bisa sampai ke rumah sebelum hujan turun. Jarak rumah lumayan cukup jauh, pada tengah malam ini tidak ada lagi angkutan umum maupun bis kota yang bisa mengantarkannya pulang. Wanita itu menyeberangi jalan raya yang masih ada beberapa kendaraan bermotor yang berlalu lalang. Untuk sampai ke rumah, Maura harus berjalan lurus sedikit jauh untuk menemukan belokan jalan yang akan menghantarkannya ke perumahan elite. Setelah berjalan selama 15 menit, Maura lalu berbelok dan indranya bisa melihat langsung rumah-rumah yang berjejer megah. Jika sanggup membeli rumah di sini, berarti kau orang yang sangat kaya. Begitulah kira-kira pikiran Maura ketika berkhayal memiliki rumah mewah di sini. Mustahil sekali. Punya rumah yang sederhana sepertinya sudah cukup. Toh, yang tinggal juga dirinya seorang. Untuk sampai ke pos penjagaan, Maura harus terlebih dahulu berjalan sebentar setelah melewati dua tembok besar yang bertuliskan perumahan elite ini. Pohon demi pohon yang tumbuh di pinggiran jalan ia lewati sebelum akhirnya sampai pos keamanan. Di sana ia melihat Pak Kardi menikmati kopinya pada sebuah bangku kecil. “Malam pak, masih kuat?” “Masih dong neng,” katanya penuh semangat. “Loh pak Karim mana? Kok gak kelihatan?” tanyanya saat menyadari salah satu penjaga yang suka bercanda ria itu tidak terlihat. “Oh, lagi di kamar mandi neng.” “Saya kira gak masuk hari ini.” Maura sangat suka berbincang sejenak bersama mereka, bebannya jadi terasa sedikit ringan. “Wih neng Ara, udah pulang.” “Eh iya Pak.” Orang yang Maura tanya tiba-tiba muncul, pria yang sudah berkeluarga itu masih segar terlihat di matanya. Sudah biasa bagi Pak Karim dan Pak Pardi bergadang setiap malam untuk menjaga rumah-rumah orang kaya di sini, agar tidur mereka bisa nyenyak. Sangat sulit mencari uang memang, terlebih kedua orang itu telah berkeluarga dan kewajibannya pun kian bertambah. Kalau tidak bekerja, bisa-bisa mereka tidak makan. “Ara pamit dulu ya, besok kita ketemu lagi.” “Oh iya neng, tidur yang nyenyak. Besok kerja lagi!” seru Karim. “Siap pak!” Maura kembali berjalan, ia harus kembali melangkahkan kakinya demi sampai di rumah. Ada 20 rumah yang harus ia lewati sebelum sampai ke rumah Diandra. Satu persatu rumah ia hitung sampai kemudian ia sampai di rumah megah berlantai dua dengan warna putih yang mendominasi. Rumah di sini hampir sama keseluruhan dalam bentuk, hanya saja ada beberapa yang dimodifikasi oleh sang pemilik. “Akhirnya aku bisa tidur,” desah Maura lelah. Rasanya ia ingin melompat saja dari pagar ini dan langsung masuk ke dalam kamar. Matanya juga tak lagi mampu ia buka kelopaknya, bahkan ia menutup pintu pagar dengan mata sedikit terpejam. Kalau memikirkan besok ia harus bekerja lagi, rasanya ia ingin matinya. Kenapa hidupnya sangat sulit, Maura juga ingin merasakan seperti Diandra tak perlu repot-repot bekerja. Diandra bisa membeli apa yang dia mau dari duit yang selalu diberi oleh kedua orang tuanya. Maura tak punya siapa pun, ia tidak tahu keberadaan orang tuanya. Sebaiknya ia sekarang tidur saja, tidak ada gunanya memikirkan orang yang tidak memikirkannya. Besok ia harus kembali bekerja, membanting tulang-tulangnya lagi untuk mendapatkan uang. TBC

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

T E A R S

read
312.6K
bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.1K
bc

My Boss And His Past (Indonesia)

read
236.6K
bc

TERSESAT RINDU

read
333.2K
bc

CUTE PUMPKIN & THE BADBOY ( INDONESIA )

read
112.3K
bc

CEO Pengganti

read
71.2K
bc

BILLION BUCKS SEASON 2 (COMPLETE)

read
334.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook