bc

IF I DIE YOUNG

book_age12+
242
FOLLOW
1K
READ
family
badgirl
brave
dare to love and hate
tragedy
twisted
no-couple
abuse
selfish
stubborn
like
intro-logo
Blurb

Sereceh Spongebob yang berhenti tertawa karena kotak suaranya diambil, Renata Simons juga kehilangan tawanya saat dokter memvonisnya mengidap kanker otak stadium empat. Enam bulan adalah prediksi untuk sisa hidupnya. Itu bahkan bukan waktu yang cukup untuk menyelesaikan tahun pertamanya di SMA.

Renata terpuruk. Walau sudah begitu sejak lama. Semua karena Amanda Simons, kakaknya. Renata kehilangan cinta orang tuanya dan merasa diperlakukan tidak adil karena kehadiran Amanda. Itu sebabnya, Renata selalu berdoa agar keluarga Simons hanya memiliki satu anak. Tuhan mengabulkan. Sayangnya, salah sasaran. Bukan Amanda yang akan dilenyapkan, tetapi dia.

Hidup tidak pernah sesuai dengan apa yang manusia rencanakan. Satu per satu, rahasia di keluarga itu terbuka. Renata harus berjuang untuk menghadapi kematian dan kebenaran menyakitkan. Semua itu, demi satu tujuan, meraih happy ending, sama seperti apa yang Izrail bisikkan padanya sejak dulu.

chap-preview
Free preview
PROLOG
PROLOG Mengapa Tuhan menyembunyikan kematian? Pertanyaan itu tidak pernah terlintas di pikiranku selama 15 tahun hidupku. Bagiku, setiap hari adalah kehidupan di mana tak perlu cemas untuk terus melakukan apa yang aku mau. Terlebih, usia yang masih belia serta pikiran akan dunia telah membuatku merasa akan terus hidup hingga seribu tahun. Aku tidak bodoh. Aku tahu mengenai kematian dan kenyataan bahwa setiap makhluk bernyawa pasti akan mati. Berita tentang kematian juga adalah hal biasa yang sering ditemui dalam kehidupanku. Aku pernah mendengar bagaimana tetanggaku meninggal dunia di usianya yang ketiga puluh tahun. Kematian yang menyakitkan, kecelakaan. Aku juga pernah mendengar bayi kecil mungil berusia dua bulan meninggal dunia karena tak sengaja jatuh dari gendongan ibunya. Aku turut merasa iba mendengar itu, tetapi hanya sebatas itu. Kenapa? Karena kematian itu bukan kematianku. Tanpa munafik, semua perasaan iba dan sedih itu hanya datang lalu pergi dalam sekejap mata. Kematian bukanlah hal yang terlintas di pikiranku meski hidupku sebenarnya tak semudah yang orang lain pikirkan. Walau berasal dari keluarga yang bisa dibilang kaya, nyatanya itu bukan jaminan untuk bahagia. Tidak. Orang tuaku bukanlah penggila kerja yang membiarkan anak-anak mereka tumbuh tanpa pengawasan. Mereka masih peduli dengan menanyakan bagaimana hidupku selama sepekan, apa saja yang sudah aku lakukan dan meninjau nilai-nilai pelajaranku di hari Sabtu. Sayangnya, kegiatan yang terdengar menyenangkan menjadi seperti neraka karena kehadirannya, seseorang yang dipanggil dengan sebutan 'Kakak'. Amanda Simons, 18 tahun, berjenis kelamin perempuan, adalah kakakku. Juga, orang yang paling aku benci di dunia ini. Jika saja Jin Aladdin itu memang benar-benar ada, aku ingin meminta satu permintaan. Aku berharap bahwa anak dari keluarga Simons hanya satu. Dengan begitu, aku akan menjadi satu-satunya. Ungkapan bahwa menjadi adik akan lebih dibela, seperti yang sering kali terdengar di telinga, nyatanya salah besar. Orang tuaku selalu memprioritaskan Amanda. Kakakku itu telah merebut semua hal dariku. Tidak hanya kasih sayang orang tuaku, tetapi semua yang membahagiakanku. Sejak kecil aku sudah merasa bahwa orang tuaku memperlakukan kami secara tidak adil. Kebanyakan mainan, baju-baju dan barang-barangku adalah bekas milik Amanda. Di sana tertulis jelas nama Amanda, walau akulah pemilik dari barang-barang itu. Setiap kali aku meminta dibelikan, orang tuaku selalu beralasan bahwa barang bekas Amanda itu masih bagus dan layak digunakan. Padahal, menurutku semua barang bekas Amanda itu seharusnya sudah dimuseumkan. Ketidakadilan orang tuaku juga terlihat dari pemilihan sekolah. Amanda dimasukkan ke sekolah-sekolah berkualitas yang membutuhkan Supir untuk mengantarnya dikarenakan jaraknya yang jauh. Dia juga harus mengikuti banyak kursus yang membantunya untuk menjadi primadona di bidang Akademik dan Non-akademik. Dasar serakah. Sejak SD, Amanda memang selalu juara kelas. Dia juga memiliki bakat menari yang mumpuni. Postur tubuhnya yang tinggi, langsing dan berkulit putih itu telah menjadikannya seorang penari yang tidak hanya terkenal karena bakatnya, tetapi juga paras menawannya. Tidak heran jika dia bahkan terpilih sebagai duta sekolah selama tiga tahun berturut-turut. Amanda adalah anak kesayangan orang tuaku. Setiap kali ada pertemuan keluarga, pembicaraan mereka selalu tentang Amanda. Prestasi-prestasinya, kegiatannya atau bahkan hubungan asmaranya. Serakah, ketika di sekolah, Amanda juga menjadi murid kesayangan guru. Kini aku menyesal karena merengek-rengek dan belajar mati-matian hanya untuk bisa satu sekolah dengannya. Faktanya, Amanda seperti Matahari sedangkan aku bayangannya. "Kamu adik Amanda, kan?" Suatu pagi yang cerah seorang kakak kelas tampan yang sudah aku taksir berbulan-bulan menegurku yang meski berkulit hitam gelap ini tetap tidak kelihatan. "Iy-iya, Kak," jawabku dengan gugup. Jantungku rasanya mau copot karena dia menatap langsung ke arah bola mataku yang bulat. "Dia sudah punya pacar belum? Bisa minta nomer handphonenya nggak?" tanyanya yang seketika mematahkan semua organ dalam di tubuhku. "Please," mohonnya dengan tatapan memelas yang tidak mudah untuk diabaikan. "Kenapa nggak langsung minta aja ke orangnya, Kak?" tanyaku heran. "Malu, dia cantik banget. Lihat? Apalah aku dibanding cowok-cowok lain, ya kan?" jawabnya dengan rendah hati. "Tolong aku ya," mohonnya lagi. Kali ini dia memberikan seulas senyuman manis yang menyegarkan. Aku yang memang lemah pada senyuman Cogan[1] pada akhirnya memberikan apa yang dia mau. Walau sangat menyesal keesokan harinya. Kakak kelas itu selalu datang ke kelas, memberikan banyak barang yang dia titipkan untuk diberikan pada Amanda. Tragisnya, dia tak pernah memberiku hadiah walau cuma sekali, hanya sekadar ucapan terima kasih. Dia lupa bahwa aku manusia yang juga makan nasi, bukan kata-kata. Amanda selalu saja merebut siapapun cowok yang aku taksir. Bisa dibilang, semua cowok yang aku taksir malah jatuh cinta padanya. Ironis karena kebanyakan dari mereka justru mendapat penolakan dari Amanda. Tak ada satu pun yang Amanda terima, dijadikan gebetan pun tidak. Dia memang sesombong itu. Kebencianku pada Amanda terus merangkak naik dan tumbuh dengan subur. Karena itu selalu aku balas tingkah sombongnya dengan kesombongan pula. Setiap kali dia mencoba baik padaku, aku tak pernah mau menerima kebaikannya itu. Lebih baik aku menderita daripada harus merendahkan harga diriku. Namun perempuan tak peka itu selalu saja mencoba mendekat. Walau aku selalu memberikan sekat dan menjaga jarak dengannya. Bahkan, menghindarinya adalah kegiatan rutinku setiap hari. Tentu itu tidaklah mudah. Apalagi kami tinggal di satu rumah. Seperti lelucon, Tuhan menjawab doa-doa yang aku panjatkan selama ini. Namun dengan kenyataan yang terbilang sangat menyakitkan. "Renata terdiagnosa penyakit kanker otak stadium empat, Pak," ucap dokter yang seketika membuat Mama terpekik dan nyaris pingsan. Aku yang turut mendengar itu hanya membeku sementara Amanda memegang kuat kedua tanganku. "Apa Renata bisa selamat, Dok?" tanya Papa yang berusaha untuk tetap tegar dan sadar. Dokter mengulas senyum penuh kesedihan. "Kemoterapi dan operasi mungkin bisa sedikit membuatnya bertahan, Pak. Namun berdasarkan perkiraan kami, masa hidupnya hanya tinggal enam bulan lagi. Maaf," jawab Dokter yang membuatku seketika ingin menampar diriku agar terbangun dari mimpi buruk ini. "Oh tidak," lenguh Mama sebelum akhirnya jatuh pingsan dan terpaksa digotong Papa keluar dari ruangan. Amanda menangis. Kakak perempuanku itu bahkan memelukku dengan erat. Jika biasanya aku akan segera menepis pelukannya, hari ini aku hanya diam saja. Tak ada lagi sisa tenaga yang aku punya. Urat-urat sarafku seakan telah putus. Kini, aku tahu mengapa Tuhan menyembunyikan kematian manusia. Karena jika manusia tahu kapan dan bagaimana akan mati, dia tak akan mampu menanggungnya. Seperti halnya dengan aku sekarang. Seperti Spongebob yang kotak suaranya diambil, aku tak lagi bisa tertawa setelah hari itu. Hari di mana aku dibawa ke rumah sakit karena pingsan di jalan dan harus menerima kenyataan yang menyakitkan. Sekarang, aku hanya dirundung kesedihan. Karena di masa depan, yang menungguku hanya kematian. [1] Cowok Ganteng.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Sacred Lotus [Indonesia]

read
50.0K
bc

Satu Jam Saja

read
593.3K
bc

Mrs. Rivera

read
45.3K
bc

Dependencia

read
186.4K
bc

Married With My Childhood Friend

read
43.7K
bc

A Piece of Pain || Indonesia

read
87.4K
bc

OLIVIA

read
29.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook