bc

Analogi Senja

book_age12+
77
FOLLOW
1K
READ
drama
sweet
bxg
city
office/work place
colleagues to lovers
gorgeous
naive
selfish
stubborn
like
intro-logo
Blurb

Tanah bukanlah hanya pijakan hidup, tetapi bagi Raka Jiwa Perwira (30 Tahun) sebuah daerah di Pamijahan, Bogor adalah tempat yang penuh kenangan. tempat yang telah memberinya nafas kehidupan, lagi. Ketika tanah itu hendak diusik, rasanya akan sama seperti mencoba mengubur diri dan segala yang ada di bentala.

Terlebih sebagai seorang aktivis lingkungan, ia merasa memiliki tanggung jawab akan sebuah kelestarian alam. Gawatnya rencana penghancuran ekosistem itu hendak dilakukan oleh orang yang dipercaya oleh Raka sendiri, yakni Hendra Atmaja, seorang politisi yang berkarir di kementerian.

Raka mengalami tekanan dan berbagai teror ketika bersikap berlawanan dengan keputusan para politisi itu. Beruntung, ada Senja Utari seorang gadis cantik yang mencintai Raka dengan seutuhnya. Meski Senja merupakan anak pengusaha pemilik bisnis yang akan menghancurkan tanah di Bogor, bernama Bambang Yudha. Perasaannya terhadap Raka amatlah murni.

Ia melihat Raka sebagai seorang yang jernih, sejernih mata air yang mengaliri sungai dan menghidupi perasaan Senja. Lantas apakah Raka yang seorang diri berhasil melawan hegemoni para politisi dengan berbagai teror dan ancaman? Bagaimana pula kisah hubungan asmara Raka dengan Senja? Bagaimana pula Raka melawan hegemoni seorang Bambang Yudha, pengusaha sekaligus ayah dari Senja? Cinta ataukah realitas kehidupan yang harus dipilih oleh Raka?

chap-preview
Free preview
Membuka Cerita
Hidup adalah persoalan mengisi ruang hampa dengan cerita. Di baliknya, terselip sudut mata orang-orang yang pergi dan datang begitu saja. Sebagian meninggalkan bahagia, sebagian lagi mengecap duka. Tidakkah kita ingin bertanya tentang makna, “untuk apa mereka ada?” atau semua berlalu begitu saja tanpa pernah menjejakkan rasa yang pantas kita jadikan sebagai kisah menuju senja.  Derit pintu berdecit. Bersamanya terdengar beberapa derap langkah kaki gontai menaiki satu dua anak tangga. Hari ini waktu terasa berjalan begitu pelan, dari satu detik menuju detik lainnya, seolah ikut menapaki tangga-tangga kehidupan. Sambil duduk di lantai dua sebuah coffee shop di Jakarta Selatan, aku memandang keluar jendela. Mencoba menikmati segalanya, sesekali memejamkan mata sambil menghembuskan nafas kesegaran. Tidak ada yang segar memang dari peliknya udara kota metropolitan ini. Barangkali di belahan bentala, Jakarta adalah kota yang memiliki tingkat pencemaran udara tertinggi, tetapi semuanya tetap merasa nyaman dengan kondisi kehidupan seperti ini. Kendaraan berlalu lalang begitu ramainya, menyebarkan emisi yang menghidupi anak cucu mereka. Kematian memburu pada setiap detak manusia berjalan, tetapi tidak ada tragedi yang paling memilukan dibanding hidup di tengah himpitan racun udara. Ah, manusia kota. Melalui muka jendela pula kudapati sibuknya orang-orang pada perjalanan melakukan aktifitasnya. Sibuk, betapa sibuknya kehidupan ini. Aku seolah sudah terlambat 10 tahun menyadari bahwa manusia memang ditakdirkan untuk menjalani kesibukan, tentang apapun itu. Kesibukan pula yang membawaku ke tempat ini, berjalan sendiri, meniti getir sampai pada muara perjalanan yang tak berkesudahan. Sore ini aku ditemani dengan secangkir latte hangat di depan meja, mengambil tempat di sudut dekat jendela, duduk manis bersandar pada sofa merah yang kontras dengan pakaian hitamku. Aku sendiri. Mencoba mengakrabkan diri dengan lantunan lagu folk era 60-an dari dari The Head and The Heart, Daughter, Bon Iver, Joan Baez serta buku Ernest Hemingway di genggaman. Tidak hanya membaca, di sela titik menuju koma sampai pada titik berikutnya aku turut menggumamkan senandung Down in The Valley yang dinyanyikan oleh The Head and The Heart, “I am on my way, I am on my way”, gumamku. Sambil terus menggumam dan membaca dalam kesetiaan, aku menunggu datangnya senja bersama lintasan waktu yang menggunggah ingatan akan kelamnya perjalanan hidup. Tidak hanya senja sore yang aku nantikan, tetapi ada seseorang yang berjanji melakukan pertemuan di sini, namanya juga serupa dengan waktu sore di kala mentari sedang hangat-hangatnya mencumbui ujung barat bumi, Senja. Aku dan Senja berencana bertemu untuk membahas masa depan pekerjaan mengenai ekspedisi literasi nusantara yang kami gulirkan guna meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia di berbagai pelosok daerah. Hari ini entah mengapa agaknya sedikit membahagiakan dan membuatku bersemangat untuk menantikan segala perkembangan yang ada. Bukan hanya kabar mengenai pekerjaan sebetulnya, satu yang kunanti, pertemuan dengannya membuat diri ini merasa berarti.   Berbeda dengan gambaran buncahan kebahagiaan hari ini. Lima tahun lalu ketika peristiwa itu terjadi, aku seolah kehilangan cara memandang dunia. Aku lupa bahwa di tengah rasa sakit atas pengkhianatan yang benar-benar membuat tersungkur dan terjerembab, ada mereka yang menyayangiku. Mereka adalah bagian paling berpengaruh dalam hidup ini, di kala penantian panjang menemukan siapa diriku kembali.    Dalam rentang waktu yang demikian panjang tersebut, aku kemudian berhasil menggali arti kehidupan kembali sejak bertemu dengan Senja. Entah ini rasa cinta, sekedar suka ataukah sebatas mengagumi. Tetapi aku tidak mau terlalu gegabah mengidentifikasi gejolak di dalam hati. Aku takut, sungguh takut dan masih tak bisa terlepas dari rasa membenci pada diri sendiri. Aku tak ingin terulang lagi pada kehilangan, karena itu hingga kini tak ada cinta kudapatkan. Tanpa mendapatkan, kita tak kan pernah merasa kehilangan. Jika bisa dibicarakan, ingin rasanya aku sedikit memekikkan suara, tentang betapa dalamnya luka yang kurasakan dari guratan kehidupan. Walaupun perlahan mulai tertutupi dan dirasa telah sediakala menerima hati kembali, tapi sesekali rasa itu masih terkenang, menghujam setiap legam batin jiwaku. Barangkali inilah alasan epos kerajaan jaman dahulu dan pada kisah sejarah yang kita kenal selalu diceritakan tentang kematian tragis seorang pengkhianat akibat perbuatannya. Cerita mengenai Louis XVI, seorang Raja Prancis dari Dinasti Bourbon, merupakan salah satu contoh hukuman mati dalam peristiwa pengkhianatan yang aku suka. Ia adalah seorang raja sebuah bangsa besar di barat sana. Tetapi kekuasaan absolut tembok kerajaan tak mampu membendung kehendak rakyat atas hukuman mati kepada rajanya. Ya, Louis XVI dieksekusi mati oleh rakyatnya sendiri, atas dasar ketidakmampuannya memimpin Prancis. Sungguh peristiwa tragis. Di atas kekuasaan nyatanya masih ada yang lebih berkuasa, sayang sekali di era demokrasi modern seperti sekarang kita sebagai rakyat justru kehilangan essensi dari kekuasaan. Kelihatannya mereka yang menyelewengkan kekuasaan telah belajar dari sejarah. Hingga betapapun kesalahan mereka buat atas khianat terhadap bangsanya, tetap saja sistem negara tidak menghendaki hukuman ditimpakan kepada pemilik kuasa. Seperti di negeri ini misalnya. Sedangkan pada tutur keagamaan, perilaku mendua dari sang Dzat tunggal yang termasuk dalam kategori sebuah pengkhianatan merupakan salah satu dosa tidak terampuni. Rasanya tak asing jika kita mendengar berbagai azab ditimpakan kepada segolongan umat manusia atas hukuman karena telah berpaling dari apa yang sudah diberikan. Memang aku rasakan, betapa menyakitkannya pengkhianatan. Pantas lah jika Tuhan dapat begitu murka dengan tak pernah memaafkan siapapun makhluk yang mendua dari-Nya. Semua atas dalih kesetiaan, jika tak mampu setia, maka usahlah menikmati kebaikan. Pun begitu dengan refleksi kehidupan seorang manusia sepertiku. Segala hal baik telah diberikan, semua yang ada pada diri ini juga telah dipersembahkan. Namun balasan yang datang adalah sumpah serapah dan akal busuk untuk menyelamatkan hidupnya sendiri. Pada sisi yang berbeda, kebaikan hanyalah bunga mawar di padang ilalang. Tersamarkan antara lekatnya hijau dedaunan dan semerbaknya hembusan angin yang menerbangkan bunga-bunga ilalang menuju peraduan. Sementara, si mawar tetaplah dalam kesendirian, hingga datang seseorang memetiknya dengan cinta kasih. Walaupun dalam genggaman, duri-duri pelindung di tangkai bunga itu merobek kulit serta jemarinya. Pemetik tak berputus asa, Ia ingin menikmati keindahan mawar meski luka di tangannya terasa perih menyayat. Baginya, tiada bunga lain yang sanggup menggantikan harumnya kelopak mawar, apalagi bersama angin, di sore hari, kala cakrawala mulai letih menyinari langit biru.  Aku sesungguhnya tidak pernah membayangkan masuk dalam kehidupan seseorang yang kemudian mengkhianatiku. Di awal kami saling mengenal, aku yang mengangkatnya dari timbunan sampah dan bangkai stigma. Namun, setelah bersih segalanya, ia menghempaskan diriku begitu saja, menggantikan dirinya menjadi timbunan sampah tempatnya meringkuk di masa silam. Dahulu aku mencintainya, sangat mencintainya, tapi rasa cinta yang seharusnya membahagiakan, bisa jadi kini berubah menjadi sebuah penyesalan. Entah karena apa aku tak pernah habis fikir, atau mungkin ini bagian dari skenario Tuhan, hingga aku harus merasakan pahitnya ditinggalkan. Bukan. Bukan diriku yang tidak mampu mempertahankan, segalanya sudah aku upayakan agar dapat bertahan. Tetapi keinginannya tak pernah bisa dibendung, kemudian menjadi pisau paling menyakitkan yang membelah urat nadi harapan. Aku pun sadar, tak bisa menyalahkan dirinya seorang diri, aku turut andil dalam perpisahan. Namun yang terbesar adalah andil Tuhan, memisahkan kami untuk sekedar bermaksud memberikan pelajaran mengenai betapa kehidupan terkadang tidak seperti apa yang kita harapkan.  

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.3K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.4K
bc

DENTA

read
17.0K
bc

Head Over Heels

read
15.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook