bc

SWEET WEDDING WITHOUT PACARAN

book_age12+
709
FOLLOW
4.4K
READ
friends to lovers
arranged marriage
dominant
sensitive
drama
sweet
bxg
like
intro-logo
Blurb

Silviana Gunarsih adalah seorang wanita single berusia 23 tahun, belum memiliki pekerjaan dan baru saja lulus kuliah serta tidak pernah pacaran. Silvi percaya bahwa tidak ada cinta sebelum pernikahan. Beberapa kali melangsungkan ta’’aruf dengan lelaki karena sering ditanya Bundanya kapan akan segera menikah tetapi mengalami kegagalan—belum jodoh. Suatu hari, saat sedang di kafe untuk bertemu Firda—sahabatnya, bertemu dengan ikhwan keren yang mengajaknya menikah.

Ragata Damar Laksana, 24 tahun, ikhwan keren yang baru setahun menjadi guru honor. Berniat menikah karena sudah merasa sanggup dan ingin menyenangkan hati ibundanya yang selalu mendesak ketiga anak lelakinya—yang belum menikah untuk segera mencari pujaan hati karena dirasa sudah sanggup untuk menikah dari segi umur maupun materi. Jatuh cinta pada pandangan pertama pada Silvi dan memberanikan diri melamar walau aslinya merupakan lelaki kalem, pemalu dan tidak banyak bicara.

Apakah Silvi akan menerima lamaran Damar? Bagaimana proses mereka sebelum dan sesudah pernikahan? Temukan jawabannya di buku ini yang akan membuat pembacanya baper, terharu dan senyum-senyum sendiri. Simak juga perjalanan cinta kedua kakak lelaki Damar dalam mencari jodoh mereka. Karena hakikatnya, tidak ada cinta sejati sebelum pernikahan. Semoga Allah selalu melindungiku dan kalian dari nafsu duniawi dan godaan setan yang terkutuk. Aamiin.

chap-preview
Free preview
PERTEMUAN
Bunda bilang pacaran itu seperti mie instan yang bumbunya dimakan dulu. Awalnya enak, endingnya eneg.  ~anonim~ Matahari telah meninggi dan sinarnya telah menyinari bumi sejak tadi. Penghuni bumi pun telah beraksi dan mulai asyik sendiri. Mereka mulai mengerjakan aktivitasnya masing-masing dan larut dalam kesibukannya tersebut. Namun, hal itu tidak berlaku untuk seorang gadis yang tengah terlelap dengan nyenyak di balik selimut tebalnya. Suara pintu yang terbuka sedikit mengusiknya. Dengan malas ditariknya selimutnya lebih ke atas sehingga menutupi hampir seluruh bagian wajahnya. Mata gadis itu pun mulai berkerut saat seberkah cahaya dari gorden jendela kamarnya yang dibuka memberinya kejutan dan stimulus untuk membuka mata. Walaupun sebenarnya itu sia-sia karena gaya tarik rasa kantuk yang berbanding terbalik dengan minimnya keinginannya untuk bangun. Gadis itu kembali menautkan alisnya yang cukup tebal ketika dia mendengar suara langkah kaki yang mendekat ke ranjangnya. “Bun, masih ngantuk!” ujar gadis itu masih dengan mata terpejam sempurna. Plakk. Bunda mendaratkan pukulan kecil pengusir setan malas di tubuh gadis itu membuat gadis itu mau tidak mau melenguh kecil. “Ini sudah jam delapan lewat, bangun!” suruh Bunda, kali ini dia menarik-narik kecil kaki gadis itu sehingga memaksa gadis itu mulai membuka matanya. “Kalau masih belum bangun juga, Bunda siram lho!” ancam Bunda. Ancaman Bunda sangat ampuh, gadis itu seketika bangun dan mulai memposisikan tubuhnya untuk duduk walaupun agak linglung karena terlalu mendadak. “Cepatlah bangun! Meski pengangguran, setidaknya anak perempuan itu harus bangun pagi,” nasehat Bunda. “Aku sudah bangun pagi, Bun,” sanggah gadis itu. “Iya, tetapi tidur lagi,” imbuh Bunda membuat gadis itu tersenyum malu-malu. “Ngantuk, Bun,” kata gadis itu beralasan. “Cepatlah bangun, mandi lalu sarapan,” suruh Bunda lalu mulai menarik dan melipat selimut gadis itu. “Silvi bukan anak kecil lagi, Bun,” keluh gadis itu seraya bangun dan mengambil selimut yang sedang Bunda lipat. Bunda tersenyum kecil. Diberikannya selimut itu pada gadis itu, sementara dirinya keluar dari kamar gadis itu. Tak lama kemudian Bunda kembali dengan membawa beberapa tumpukan undangan. “Nih!” Bunda memamerkan undangan dalam genggamannya. Gadis itu menoleh sebentar lalu menarik napas lemah. “Undangan lagi? Duh, bulan ini termasuk bulan baik buat nikah ya, Bun? Banyak amat yang nikah,” keluh gadis itu dengan nada sedikit kesal—bukan karena banyak yang nikah tetapi karena dia pasti akan segera mendapatkan pertanyaan yang sama dari Bundanya. “Iya, ini bulan baik untuk menikah,” jawab Bunda tegas. “Jadi, kamu kapan nikah?” akhirnya pertanyaan terhorror sejak zaman purba itu meluncur juga untuk kesekian kalinya. Gadis itu hanya diam saja, enggan memberikan jawaban. “Jadi, sudah ada calon belum?” tanya Bunda seraya merapatkan tubuhnya pada anak perempuannya. “Mau Bunda jodohin?” kata Bunda memberi penawaran. Gadis muda itu seketika menggeleng tegas. “Aku bisa cari jodoh sendiri, Bun,” tolak gadis itu. “Jodoh kok dicari, ya didatangilah. Usaha,” omel Bunda. “Pokoknya ogah dijodohin.” Gadis itu bersikukuh. Bunda menghela napas panjang, sedikit kecewa tetapi enggan memaksa. “Padahal Bunda sudah ingin menimang cucu. Tetangga sebelah saja cucunya sudah tiga.” Bunda memelas membuat gadis itu sedikit merasa berdosa. “Bunda kan sudah punya satu cucu? Afifa, anak dari buah cinta mas Roni dan mbak Hanum itu bukan?” kata gadis itu setengah menyindir. Bunda hanya menarik ke atas sedikit pipinya, memberikan sebuah senyuman kecil. “Itu kan cucu dari masmu, bukan darimu,” sanggah Bunda. “Tetap saja itu cucu Bunda,” kata gadis itu menskakmat Bunda. Bunda sedikit menekuk wajahnya, wanita berusia sekitar empat puluh lima tahun itu hanya duduk di ranjang gadis itu. Perdebatan mereka sepertinya telah berakhir dan dimenangkan oleh gadis itu. Tiba-tiba sebuah dering handphone terdengar, sebuah panggilan masuk datang. Gadis itu mengambil handphone miliknya yang diletakkan di meja dekat ranjangnya. “Siapa?” tanya Bunda penasaran. Gadis itu hanya tersenyum tipis. “Firda, Bun.” Bunda hanya membentuk sudut”O” lalu beranjak pergi dari kamar anak perempuannya. Sepertinya Bunda ingin memberikan privasi bagi gadis itu. “Assalamu’alaikum, ukhti.” Gadis itu memulai pembicaraan. “Wa’alaikum salam, ukhti.” sahut Firda di seberang sana. “Jadi ketemu?” tanya Firda langsung ke inti pertanyaan, enggan berbasa-basi. “Insyaallah jadi,” jawab gadis itu. “Sudah siapkah dirimu?” tanya Firda lagi. “Sudah, tinggal mandi dan sarapan lalu pergi!” jawab gadis itu yang kemudian langsung disambut dengusan kesal dari Firda. “Itu mah bukan siap, nggak siap sama sekali itu malah!” Gadis itu hanya tertawa cekikikan mendengar keluhan Firda. “Sabarlah, orang sabar disayang Allah dan Rasul-Nya!” kata gadis itu menasehati. “Aamiin, kuy-lah, siap-siap sana!” suruh Firda. “Okey.” Gadis itu mengiyakan. Gadis itu meletakkan handphone-nya kembali dan bergegas ke kamar mandi. Hari ini dia memiliki janji bertemu dengan Firda, sahabatnya sejak kuliah. Gadis itu bernama Silviana Gunarsih, dipanggil Silvi. Bulan Maret tahun ini, usianya memasuki dua puluh tiga tahun, masih single dan belum memiliki pekerjaan tetap alias pengangguran. Saat ini masih menumpang di rumah orangtuanya dengan membayar sewa kamar dan uang makan sebesar lima ratus ribu rupiah setiap bulan. Silvi merupakan anak kandung tetapi mulai menjadi seperti anak kos sejak menolak dijodohkan dengan anak pak RT dua tahun lalu. Silvi tidak sepenuhnya pengangguran, dia memiliki pekerjaan sampingan sebagai penjual baju dan hijab  online sejak tiga tahun lalu. Usahanya lumayan maju dan dirintis berdua dengan Firda. Mereka melakukan sistem bagi hasil karena modal usahanya hasil dari patungan bersama. Selain sebagai pemilik, Silvi juga merangkap sebagai kurir jika pemesannya masih di lingkup kota sehingga bisa menghemat ongkos jasa pengiriman. Sedangkan Firda hanya sebagai pemodal saja karena sudah menikah dan memiliki anak satu. Jadi, Silvi yang lebih fokus mengerjakan usaha online shop tersebut. *** Silvi berjalan terburu, berhenti sejenak untuk memperbaiki letak kerudungnya lalu memasuki pintu sebuah kafe. Kepalanya celingak-celinguk begitu masuk, mencari sosok Firda. Seketika dia melambaikan tangan dan tersenyum senang saat berhasil menemukan Firda. Gadis itu pun menghampiri Firda dan duduk di kursi depan Firda. “Lama, deh,” keluh Firda begitu Silvi telah duduk. “Sorry, tadi sepeda motorku ngambek,” ujar Silvi sembari mengatubkan kedua tangannya depan d**a sebagai wujud rasa penyesalan darinya. Firda menautkan kedua aliasnya. “Lagi? Jual aja sih tuh sepeda motor!” Silvi hanya tersenyum tipis mendengar pernyataan Firda. “Kalau kujual, aku mengantar pesanan pakai apa? Kalau kamu kan enak, ada suami. Tinggal minta antar, beres!” Firda hanya tersenyum malu mendengar kata-kata sahabatnya yang sedikit merasa iri dengannya. “Makanya buruan nikah,” saran Firda setengah menggoda Silvi. “Kamu ini, memangnya nikah semudah itu?” Silvi menyandarkan dirinya di sandaran kursi. “Bukan nikahnya sih yang sulit, nyari calonnya yang susah!” Silvi menghela napas ringan. Firda mengambil jus jambunya dan menyeruputnya sedikit. “Kamu sih kelamaan jomblo, jadinya susah nikahnya!” Silvi berdecak kecil. “Aku memang sengaja jomblo dari dulu. Kan kamu tahu sendiri aku ogah pacaran. Soalnya Bunda bilang-.” “Pacaran itu ibarat makan mie instan yang bumbunya dimakan dulu. Awalnya enak, endingnya eneg. Kamu mau bilang gitu lagi kan?” sambung Firda memotong kata-kata Silvi. Silvi pun hanya menaik-turunkan kepalanya mengiyakan ucapan Firda. “Pinter, tuh tahu,” kata Silvi lantas tertawa renyah membuat Firda pun seketika ikut tertawa. “Kamu nggak ada niat ta’aruf, Sil?’ tanya Firda. Silvi menggeleng. “Ogah,” jawab Silvi sembari mulai membuka buku menu, hendak memesan. “Masih trauma soal bang Gius?” tebak Firda ragu-ragu, wanita beranak satu itu memelankan suaranya di dua kata terakhir. Silvi hanya tersenyum getir mendengar pernyataan Firda. Gadis itu menghembuskan napas berat dari hidungnya. “Nggak trauma, sih!” Silvi menggantung kalimatnya. “Hanya saja itu ta’aruf  tersingkat dalam hidupku,” kata Silvi melanjutkan. “Ah, sudahlah! Mau singkat atau nggak, kalau bukan jodoh pasti nggak mungkin nyatu.” Firda mencoba memberikan hiburan dengan caranya sendiri. “Jodohmu pasti sedang otw.” Firda menimpali. Silvi tergelak mendengar pernyataan Firda. “Aamiin, semoga saja dia nggak tiba-tiba datang terus ngajak nikah,” sahut Silvi yang langsung disambut gelak tawa Firda. “Ada-ada saja kamu!” “Ehm, ehm.” Suara deheman dua kali itu membuat Silvi dan Firda menoleh secara otomatis ke arah kanan. Keduanya seketika ternganga saat melihat seorang lelaki dengan wajah yang termasuk dalam kategori tampan berdiri di samping Silvi. Lelaki itu berperawakan tinggi, tegap dan sedikit kurus. Otot rahangnya tegas, badannya cukup atletis dan pembawaannya kalem. Lelaki itu juga mengenakan pakaian Taqwa berwarna krem dan celana kain berwarna hitam. “Assalamu’alaikum,” sapanya. “Wa’alaikum salam,” jawab Silvi dan Firda bersamaan. “Nama saya Damar!” kata lelaki itu memperkenalkan dirinya tanpa diminta. “Ah, saya Firda dan dia Silvi!” sahut Firda berinisiatif menjawab karena melihat Silvi hanya diam saja. “Ada apa ya mas Damar?” tanya Firda sambil sengaja melemparkan senyuman pada Silvi untuk menggodanya. Damar mengarahkan pandangannya sebentar pada Silvi lalu menundukkan wajahnya. “Dek Silvi, boleh minta alamatnya tidak?” tanyanya dengan nada tegas tetapi terdengar halus dan lembut. “Heh?” Hanya satu kata itu yang mampu Silvi keluarkan. Masih tidak percaya dengan apa yang sedang dia alami saat ini. “Memangnya kenapa tanya alamat Silvi mas Damar? Mau melamar?” goda Firda. Damar hanya tersipu lalu mengangguk. “Iya, saya hendak melamar dek Silvi jika bersedia,” jawab Damar tegas membuat Firda dan Silvi hanya terpaku diam. Dia sudah gila? Batin Silvi bicara.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

TERSESAT RINDU

read
333.2K
bc

The Prince Meet The Princess

read
181.7K
bc

Wedding Organizer

read
46.6K
bc

MANTAN TERINDAH

read
6.8K
bc

DIA, SI PREMAN KAMPUSKU ( INDONESIA )

read
470.8K
bc

Secret Marriage

read
942.6K
bc

Crazy Maid ( INDONESIA )

read
206.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook