bc

ALAFU, (BUKAN) I LOVE YOU

book_age18+
4
FOLLOW
1K
READ
like
intro-logo
Blurb

"Alafu," kata Jiddan.

"I love you too," sahut Almeera.

"Alafu, Adek, bukan I love you," kata Jiddan menjelaskan.

"Oh..." Hanya itu respon Almeera seraya mengangguk-anggukan kepalanya.

Tak lama kemudian Almeera menggakat kepalanya dan menatap tepat pada mata Jiddan. Kemudia berkata, "I love you," seraya tersenyum.

Jiddan terdiam sejenak lalu menundukkan kepalanya hingga mulutnya sejajar dengan telinga Almeera. "I love you too."

Setelah mengatakan hal demikian Jiddan mengangkat kepalanya dan membalas tatapan Almeera tepat dimatanya pula diiringi senyuman paling manis yang dimilikinya sehingga membuat Almeera menundukkan kepala.

"Mas!" Protes Almeera kemudian seraya memukul lengan Jiddan

chap-preview
Free preview
1. Sihir Aura Jiddan (SAJ)
Brumm brumm brumm Cit.... Hore... "Wah lumayan juga tuh mainnya," gumamku. "Segitu lumayan doang? Yang serunya kayak apa?" Tanya orang disampingku. Jiddan namanya. Dia cowok tapi lebih cerewet dari aku yang cewek. "Iyalah itu mah masih standar. Kayak gak pernah liat aku yang main aja." Jawabku. "Iya juga sih. Kamu kan tak terkalahkan." Kali ini dia ngomong gitu sambil melirik ke arahku meski sekilas. Dari tadi mah cuma ngeliat keramaian arena di depan sana doang. Oh iya, maksud dari arena disini tuh arena balap liar yaa. Gimana kita bisa disini ya karena kadang aku jadi pemain alias peserta balapan. "Woi Almeera Mirah! Gak main lu?" Yang barusan nanya itu namanya Aldo. Pencetus nama panggilan Mirah dari namaku, Almeera. "Males! Gak ada yang seru." Kenyataannya emang gitu. Dari tadi di arena isinya cuma pemula. Mereka mah mainnya masih standar aja. Gak tau deh pada kemana pemain pro nya. "Ah gak asik lu mah. Padahal banyak yang kece di bawah. Banyak yang unyu-unyu gemes-gemes juga tau." Masih aja dia usaha ngajakin aku turun. Kalo aku turun artinya aku main. Dan aku males main. "Dan sejak kapan aku seneng sama daun muda?" Males banget sama bocah-bocah kaya gitu. "Oh iya lu kan seneng nya om om ya. Yang banyak duitnya." Masih aja nyerocos lu, Do. Ngomong gitu lagi gua tendang juga lu. Emang Aldo nih seneng banget bikin kesel. "Eh tapi, lu emang gak pernah keliatan jalan sama cowok sih. Jangan-jangan emang gak doyan batang. Wah bahaya nih, serem!" Dengan muka sok bergidik takut Aldo ngomong gitu. "Wah kayaknya lu perlu ditendang deh, Do. Mulut lu juga perlu dipasang saringan deh." Santai aja aku ngomong gitu. Dengan nada antusias juga pastinya. "Saringan? Buat apaan? Apanya yang mau disaring?" Emang dasar bloon si Aldo. "Kok bisa si Al, kamu punya temen kaya gitu?" Jiddan bertanya heran setelah sebelumnya lebih memilih diam. Jiddan mah gitu bawelnya cuma sama aku doang, kalo sama yang lain lebih banyak diamnya. "Emang dia temenku ya?" Mengangkat kedua bahu seraya menelengkan kepala. "Kejam bener deh lu, Mirah. Masa Aldo yang paling ganteng sejagat raya ini gak dianggap." Dikira cakep kali ya mukanya dia, bibir dimonyong-moyongin, alis digerakin, padahal mah gak banget. Meski harus diakui bahwa wajahnya lumayan. "Lu juga, gua kirain patung. Diem-diem bae sih." Aldo lanjutin ucapannya seraya menunjuk Jiddan. Respon Jiddan? Ya diem bae dia mah. "J, kita pergi aja yuk. Udah gak mood lagi aku." Aku ajak Jiddan pergi. Aku genggam aja pergelangan tangannya dan aku tarik ke arah motor Jiddan di perkirakan. "Woi... Mirah jangan pergi dulu. Mirah... Mirah... Mirah..." Meski sayup teriakan Aldo masih dapat aku dengar dari jarak yang lumayan ini, padahal orangnya udah gak keliatan. Dengan lembut, tangan kiri Jiddan ngambil ujung sweater di tanganku yang tadi menggenggam tangannya. "Ini lepas dulu ya," katanya lembut. "Kamu perempuan. Kamu cantik. Lain kali, jangan sembarangan menggenggam orang lain. Kamu terlalu mahal untuk diperlakukan sembarangan." Lanjutnya kemudian. "Maaf." Dengan mendudukan kepala aku hanya mampu menjawab demikian. Aku tahu, sangat malahan, maksud dari ucapannya itu. Artinya aku gak boleh boleh menyentuh orang lain sembarangan, apalagi lawan jenis. Sekalipun hanya pegangan tangan, hal itu tetap tidak diperbolekan. Sebelumnya Jiddan pernah mengatakan bahwa lebih baik menggenggam bara api dari pada memegang yang bukan muhrimnya. "Iya dimaafkan. Ingat itu selalu ya, jangan dilupakan lagi." Jiddan memang sangat baik. Begitu pemaaf. Sepanjang aku mengenalnya, tidak pernah sekalipun aku melihatnya meninggikan suara. Apalagi ketika bersamaku. "Sekarang kita pulang ya." Lanjut Jiddan kemudian. "Mau mampir kemana dulu atau makan? Dari siang pasti kamu belum makan kan?" Masih sempet kamu Jiddan buat bujuk aku makan. Memang Jiddan itu paling pinter membujuk orang. Tanpa banyak cakap dan dia dia bisa membuat lawan bicaranya menuruti apa yang dikatakannya. Entah sihir apa yang dimilikinya. "Nasi goreng," cicit aku lirih menjawabnya. Segera saja Jiddan memakaikan helm pada kepalaku. Sedari tadi meminta maaf aku masih menundukkan kepala. Jiddan memiliki aura tersendiri yang membuatku sangat sulit untuk menolaknya. Dengan membonceng motor berdua, kami membelah jalanan malam yang tak pernah sepi. Suara bising kendaraan menjadi melodi yang mengantarkan kita menuju tempat tujuan. Aku bukan orang yang suka menaiki sepeda motor karena aku tidak suka mendengarkan keributan lara pengendara motor. Tapi ketika bersama Jiddan justru aku lebih menyukai duduk dibelakang boncengan motornya. Apalagi ketika bersama dibawah kerlipan bintang, sekalipun tanpa obrolan, kita tak pernah dalam dalam kecanggungan. Yang ada hanya kenyamanan. Aku selalu menikmati setiap detik bersamanya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
9.3K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.1K
bc

My Secret Little Wife

read
84.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.5K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook