bc

Dikau

book_age12+
586
FOLLOW
1.9K
READ
sweet
humorous
lighthearted
spiritual
like
intro-logo
Blurb

Hana Asyima yang menempati sekolah barunya, mulai berbaur dengan lingkungan dan wajah asing. Ia diam-diam memerhatikan seorang Rin Aldini yang dinilainya unik.

Mereka bertemu, mulai mengenal sosok seseorang, mengaguminya, lalu mengenal rasa itu.

Mereka bertemu, bersaing, menyukai, lalu tak saling menyapa.

Mereka bertemu, saling mengakui, lalu hilang.

chap-preview
Free preview
Dia, Rin Aldini.
  “Rin Aldini.” Adalah namanya terpanggil saat ini dalam urutan presensi yang didengungkan sebuah suara. Orang itu membuat sebuah reaksi sebagai tanda ada dirinya. Terus dan masih kuperhatikan, bahkan jauh dari sebelum kemarin. Terbilang sudah hampir cukup lama. Seorang yang berfisik Adam dengan nama Hawa. Begitulah aku membuat kesan pertama tentangnya. Dan cukup aneh jika kusapa dia lebih dulu. Sangat tak memungkinkan, karena masih belum ada perkenalan resmi antaraku dan dia. Lagi pula ... kenapa aku harus menyapanya? Kata-kata orang itu tak cukup banyak, seseorang yang lumayan hemat dalam ujaran dan tindakan. Sebuah bentuk penjelmaan dari sederhana. Juga, bersisian duduk ia dengan seorang dari jenis yang berbeda. Ari, antonim dari seluruh dirinya—orang itu. Pun, suara orang itu memadati ruangan berlantai kayu rapat ini. Ia terlalu kontras dengan … Rin. Biar kupanggil begitu saja dulu. Segala sikap aktif sudah cukup mendeskripsikan seorang Ari. Bahkan, sulit membedakannya yang berteriak dan berbicara normal. Karena sejauh ini, aku masih memerhatikan. Masih merindukan sekolah lama sejauh aku berada. Sebuah awal yang membosankan ketika di sekolah baru ini, tempat asing. Walau Ratna, saudariku yang berada di kelas berbeda, sedikit mengurangi rasa canggung pada mulanya. Namun, hari ini sudah masing-masing kami berada di kelas. Aku dan dia berada di tingkat yang sama. Dulu, Ratna dan aku bersamaan saat masuk Sekolah Dasar. Dua puluh dua bulan adalah selisih umur kami. Dia sama saja sepertiku dalam pertumbuhan fisik. Dengan aku yang anak ketiga dari enam saudara. Sedikit melankolis, saudara tertua kami sudah bergelar almarhum saat aku belum ada. Kami sebagai saudara, tidak punya apa pun ingatan tentangnya. Kisah sekilas pun berakhir di sini. Kutelusuri lingkungan asing ini. Meneliti wajah-wajah yang baru beberapa hari bertukar tatap, karena yang bisa kulakukan hanyalah dengan itu. Sangat berkemungkinan besar mereka akan menjadi temanku untuk tiga tahun mendatang.   “Alsa.” Suara yang berpadu dengan senyuman ramah menyapaku. Sebagai sebuah interaksi, tangannya terulur. Dan aku tahu apa yang ingin ia maksudkan, sebuah perkenalan. Menyahut dengan senyum basa-basi, “Hana.” Ikut mengulurkan tanganku dan menjabat tangannya. Aku bukan tipe murah senyum. Lagi pula, semua orang di sini masih dalam lingkup asing. Mengobrol kecil. Bertanya hal-hal pada umumnya. Hingga kutahu, rumah Alsa dekat dengan sekolah, hanya beberapa menit saja. Ramah dan cantik untuk seukuran perempuan. Ia juga berhasil menjabat sebagai kenalan pertamaku di kelas ini. Kelas yang semula hanya terdiri dari para perempuan, kini telah disertai banyak laki-laki yang berdatangan satu per satu. Setengah dari jumlah kami—para perempuan— juga pindah ke kelas sebelah setelah nama mereka dipanggil. Menyebabkanku dan Ratna berada di kelas yang berbeda. Kelas satu yang adalah aku bagian darinya dibagi menjadi dua ruangan yang dibatasi sekat. Kelas Ratna tepat di sebelah ruanganku. Aku pada VII-A, sedang Ratna VII-B. Mulai lagi memerhatikan setiap orang. Bermacam-macam sifat bisa kutemui. Yang tak terbiasa dengan keterasingan, sedikit aku merasa canggung. Lebih banyak lagi, risih. Beberapa kali hanya tersenyum dan mengangguk, menanggapi perkataan Alsa yang tengah mencicil ceritanya. Sepertinya, menjadi pendengar yang baik cocok untukku hingga beberapa saat.   “Hai, Syim,” sapa sepotong suara setelah beberapa saat lonceng istirahat ribut kecil. Dan tentu aku mengenalnya. Laki-laki dengan tubuh berlebih muatan itu sudah berdiri setelah memangkas jaraknya.   “Hai, Fin,” sahutku dengan malas yang disengaja. Pipiku sudah tertempel di permukaan meja yang minim gelombang. Ternyata, teman satu SD-ku ini juga di kelas yang sama denganku. Bagaimana bisa aku baru menyadarinya. Selain dia, Ratna dan Aran, kami berempat di satu SD yang sama.   “Gimana?” tanyanya tanpa melibatkan basa-basi, lalu duduk di bangku yang lumayan berjarak denganku.   “Enggak seru. Enggak enak. Enggak biasa dan enggak-enggak lainnya,” aduku menunjukkan tumpukan kelesuan yang mungkin sudah menggunung sebagai ekspresi.   “Hahaha.” Tawanya mematik rasa kesal. “Ya wajarlah. Ini, ‘kan masih awal, nanti juga terbiasa kok.” Dan merangkap dengan rasa sebal. Mereka akan senang jika dibaurkan. “Teman baru?” bertanya lagi Alfin, kali ini mungkin untuk menerapkan basa-basi.   “Sudah.” Tanpa dijelaskan, ia pasti tahu ‘sudah’ yang kumaksud. Dan berakhir dengan kumpulan pertanyaan dan jawaban yang semakin lama, menjelma menjadi sebuah obrolan. Cukup layak untuk menghabiskan waktu. Semoga betah, aku. *** Masa semingguku sudah hilang. Akan dimulailah kegiatan belajar formal hari ini. Yang hanya kelulusan SD, apakah sekolah MTs ini pelajarannya bisa terserap olehku? Menjadikan diriku sebagai seorang yang datang paling awal dari yang lebih awal. Hanya mengambil waktu 15-20 menit dari setiap pagiku untuk menempuh jarak rumah-sekolah. Sudah menjadi kebanggan sendiri karena kata terlambat belum memasuki kamus hidupku. Mengamalkan duduk dan diam untuk menghabiskan waktu. Tak tahu apa yang ingin dan akan dilakukan. Melihat dan mengikuti gerak jarum jam dinding, bukankah suatu kegiatan juga? Mencari objek pandang di luar jendela, menampakkan bangunan yang terhampar di setiap pandang. Sebuah asrama untuk para perempuan dan juga laki-laki terpisah cukup jauh. Dan mushola dengan kubah mininya menjulang saat dilihat. Riadhul Ulum. Seperti namanya, Madrasah Tsanawiyah—jenjangku saat ini—yang tentu nuansa agamanya sedikit lebih kental. Akan cair jika ada mbak bahenol yang lewat, mungkin? Dua perdua teman sekelasku mulai menampakkan diri. Laki-laki dan perempuan yang dari maupun bukan dari asrama sudah merayapi area jalan menuju sekolah. Tak ada yang membuatku lebih tertarik dalam keingintahuan tentang mereka. Tidak cukup bermanfaat untuk saat ini. Beberapa saat, lonceng tanda masuk menggemakan bunyinya. Kulihat jam menunjukkan pukul 07.30. Jalan yang tadi terlihat ramai, kini sepi. Sudah bukan masanya untuk berkeliaran saat ini. Duduk pada kursi yang terdapat jendela di sampingnya. Selain papan tulis, jendela adalah hal yang kusukai untuk dipandang. Bukan itu, maksudku adalah apa yang ada di sisi luarnya. Ini juga hari pertama belajar. Aku sedikit suka dengan keformalan ini dibanding hari-hari sebelumnya. Hari-hari yang jenuh. Aku cukup menikmati saat-saat yang telah berlalu dalam menilai banyak hal. Hingga kemudian, seorang pria tua yang berjalan di koridor sudah terlihat, suara gesekan sepatu tuanya berjalan melintasi lantai papan. Suasana menghening.   “Assalamu’alaikum,” ucap pria tua itu di ambang pintu. Hanya ada satu pintu di kelas ini.   “Wa’alaikumsalam.” Serempak kami menjawab.   “Apa benar ini kelas 1-A?” tanyanya diselipi dengan gerakan memperbaiki kacamatanya yang sepertinya baik-baik saja. Apakah itu semacam simbol kode bagi mereka yang memakai kacamata? Sungguh, aku tak tahu.   “Iya, Pak,” sahut para penghuni kelas, yang kemudian masuk ia untuk segera memulai pelajaran. Membuka sebuah buku berumur itu tanpa ada perkenalan. Pria tua yang tak kuketahui namanya itu mulai menjelaskan pelajaran dari tempat duduknya. Tajwid. Sesekali ia melafalkan sepenggal ayat sebagai contoh. Suara laki-laki yang padanya diselubungi keriput itu, terdengar fasih ketika mengucapkan potongan ayat. Begitu juga pada tiap pelajaran setelahnya yang kulalui dengan rasa asing. Semua orang menghamburkan diri saat tiba waktu istirahat. Alsa mengajakku ke kantin sekolah setelah ia menolak tolakanku. Memilih mengiyakannya saja. Agar ia tahu bahwa aku tak biasa sarapan, kukatakan hal itu padanya sebagai antisipasi.  “Apa kau kelulusan SD?” tanya Alsa di sela mengunyahnya.   “Hm.” Dan aku mengangguk.   “Ah, pantas saja. Kau terlihat tak begitu mengerti pelajaran tadi,” katanya yang sudah kubenarkan dugaannya. Cara memulai obrolan yang bagus. Lain kali akan kulakukan hal yang serupa, itu pun jika ada lain kali. Setengah mengerti, aku bertanya, “Kenapa?” Alsa memaksa menelan rotinya yang belum dikunyah sempurna. “Tidak, mungkin akan sedikit sulit untukmu nanti,” tuturnya lagi. Sejauh ini, aku paham dengan sendirinya. “Nanti akan kuajarkan jika ada pelajaran yang sulit.” Dan menawarkan kebaikan. Hal seperti ini sepertinya tidak akan kulakukan di kemudian hari.   “Kau sendiri?” Dan aku bertanya ketika mulutnya sedang kosong.   “Aku kelulusan Ibtidaiyah di sini. Dan itu sekolah lamaku,” ungkapnya sembari menunjuk deretan kelas paling ujung dari area sekolah. Membuatku mengikuti arah tunjukannya. Oh, itu .... Beberapa hal sudah dijelaskan, aku baru saja tahu jika Ibtidaiyah itu sama saja dengan SD. Namun, lebih ke bidang agama. Itu kutahu dari seorang Alsa, si teman baruku.   “Bukan Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, di sini juga ada Aliyah-nya, loh,” cerca Alsa bersemangat dalam menjelaskan. Matanya yang berbinar terlihat lebih hidup. Menyimaknya seperti pelajaran yang diterangkan, hanya itu yang bisa kulakukan. Terima kasih Alsa. Ia akan kujadikan sebagai informanku tentang dunia dan lingkungan baru yang akan kulalui ini. Terlalu lebay-kah, aku? Dan benar yang seperti ia tawarkan, setiap pelajaran yang membuatku kesulitan, Alsa membantuku dengannya. Dan hanya untuk pelajaran agama saja. Untuk selainnya, aku masih bisa menyeimbangi.   “Rin Aldini.” Terpanggil lagi nama orang itu. Guru bergincu itulah yang memanggilnya. Mengarah pada deretan kursi perempuan pandangannya, sembari mencari sang pemilik nama. Tentu yang memerhatikannya akan mengulum senyum sepertiku. Ada bagian diriku yang tertarik saat mendengar nama itu. Selalu saja terenyak. Rasa ini sungguh sedikit dan bertambah banyak menjadi tak nyaman. Penasaran tanpa alasan.   “Rin itu bukan perempuan, Bu. Tapi laki-laki,” ujar Ari dengan dibubuhi tawa pada wajahnya. Maka kelas pun ramai dengan riuh tawa.   “Ah, benarkah? Maaf, Ibu tidak tahu. Namanya seperti perempuan,” sahut Bu Siska merasa bersalah. Kulihat wajah Rin, ada sedikit raut tak terima atas apa yang terjadi padanya. Raut sedikit yang benar-benar bisa terbaca jelas. Ketidaksenangan meliputi dia yang kini ... menoleh padaku karena gerak spontan. Dengan segera, kuputus tabrakan mata itu. Membuat gerak-gerikku tak nyaman saja. Lalu, pelajaran kembali berlanjut hingga tibalah waktu pulang. Selain jam kosong, mungkin inilah hal yang paling banyak disukai semua orang di sekolah.   “Tunggu aku, Hana.” Alsa memanggil. Kami sudah dekat, selain dalam pertemanan, juga tempat duduk. Ia masih mencari pulpennya yang belum juga ditemukan. Aku yang tadi berdiri di pintu, sedikit bergeser untuk memberi akses bagi mereka yang lewat. Belum sempat kuberseru pada Alsa untuk memberitahu pulpennya yang terlihat, sudut baju Rin yang lewat bersentuhan pada ujung bahuku. Mengalirkan rasa aneh, atau aku saja yang berlebihan dalam menanggapinya. Memikirkannya sejenak, hingga tepukan pelan pada bahu menyeretku dari dalam lamunan. Alsa sudah menemukan pulpennya. Memangnya, apa yang kupikirkan tadi? Dengan itu, aku benar-benar ingin segera pulang. To be Continued SyL Senin, 2 Maret 2020

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
188.2K
bc

DENTA

read
17.0K
bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.4K
bc

Head Over Heels

read
15.7K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.0K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook