bc

Kunci Hati

book_age12+
207
FOLLOW
1K
READ
drama
tragedy
sweet
humorous
like
intro-logo
Blurb

Cimoy adalah gadis yang tidak dengan mudah percaya pada laki-laki. Baginya tidak ada pria yang benar-benar menetap dalam hidupnya.

Dan disaat dia menemukan kekasih yang benar - benar mencintainya, laki-laki itu justru meninggal dunia. Sama seperti ayahnya yang meninggal saat usianya masih 15 tahun.

Cimoy akhirnya mengunci hatinya rapat - rapat. Bahkan disaat usianya sudah cukup matang untuk menikah. Diwaktu yang sama, datanglah seseorang ke hidupnya yang tidak lain adalah kembaran dari mantan kekasihnya sendiri. Akankah pria itu mampu meluluhkan hati seorang Cimoy?

chap-preview
Free preview
Cinta Pertama
"Moy, ada telepon dari om kamu," ucap salah satu guru memberi kabar. Menghampiri saat sedang membaca buku di ruang kelas. Selama beberapa hari kedepan kelas akan terus kosong karena Ujian Nasional baru saja berlalu. "Moy, nanti om jemput ya? Papa masuk Rumah Sakit lagi," ujar Om Luham dari seberang sana. "Iya, om," jawabku singkat. Meski bukan untuk pertama kalinya aku mendengar kabar buruk bahwa papa sedang rawat inap di Rumah Sakit. Tetapi, tetap saja rasanya ada secuil sesak dalam d**a. Aku mengembalikan telepon genggam dari wali kelas yang tadi meminjami. "Sudah, Moy? kok cepat sekali?" tanyanya. "Om cuma bilang nanti pulang sekolah jemput saya, bu," jawabku. Tidak lama setelah telepon itu, Om Luham menjemput dengan mobil hitam. Tetapi bukan miliknya melainkan milik taksi online yang dipesannya melalui aplikasi. Aku berjalan menuju gerbang sekolah. Melewati rerumputan hijau yang sangat luas. Rasanya kalau selama seminggu berlari berkeliling sebanyak tiga kali saja, tubuh ini akan tinggal tulang belulang. Saking luasnya. "Cimooy!" teriak Om Luhan yang baru saja keluar dari mobil hitam itu. Menyambut dengan senyuman dari bibirnya yang tipis. Dia adalah satu-satunya keluarga yang kami miliki. Adik kandung papa. Bahkan tidak jarang dia sering menjadi wali untuk mewakili papa yang tidak bisa hadir. Usianya masih muda, hanya berbeda sepuluh tahun dariku. Tentu saja masih melajang. Tunggu mapan dulu ─katanya. "Mau langsung ke Rumah Sakit atau pulang dulu?" tanyanya lagi saat di perjalanan. "Cimoy mau ganti baju dulu, Om," jawabku. Aku bergegas untuk mengganti seragam sekolah. Tidak lupa juga menyiapkan beberapa baju mama dan beberapa lauk pauk yang tadi sempat dimasaknya. Ku lihat ada Note Book berwarna hitam di atas nakas. Buku yang biasa mama gunakan untuk menulis puisi. Ku putuskan untuk membawa Note Book itu, barangkali mama ingin menulis sebait dua bait puisi. Aku duduk sejenak di tepian kamar tidur mereka. Ada poster foto mama dan papa ditembok putih itu. Saat itu orang tuaku masih belum sesusah saat ini. Hidup kami tidak begitu mewah, namun kami serba berkecukupan. Papa bahkan bersikeras agar aku melanjutkan pendidikan di sekolah terbaik. Namun entah alasan apa yang membuat papa dan mama untuk memasukanku ke home schooling saat masih sekolah dasar. Aku lebih suka menghabiskan waktu sendiri. Entah mengapa rasanya saat sendiri fokusku lebih teratur. Tok.. Tok.. suara ketukan pintu terdengar dari balik kamar ini. Aku hampir saja lupa bahwa diluar Om Luham masih menunggu untuk mengantar ke Rumah Sakit. Aku terlalu asik bernostalgia dengan masa lalu itu. "Moy? sudah siap?" "Eh? iya om, maaf ya Cimoy lama." "Iya enggak apa-apa. Yuk kita berangkat sekarang." "Sini om bantu bawakan tasnya," ujar Om Luham sembari mengambil tas gendongku. Kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Rumah Sakit. Tempat papa di rawat. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menelusuri koridor Rumah Sakit. "Papa enggak apa-apa kok, Moy." "Cimoy tahu papa kuat kok." "Terus kamu kenapa kayak gitu barusan? udah kayak mau presentasi aja." "Cimoy berusaha tetap tegar aja om depan mama. Cimoy e nggak mau mama tambah drop disini. Jadi kalau Cimoy nggak kuat seenggaknya Cimoy harus pura-pura kuat depan mama." "Good girl!" ucap Om Luham mengacak rambutku. Aku menarik napas sekali lagi. Menatap jalan koridor Rumah Sakit. Terlalu bohong jika ku katakan tidak ada rasa sedih yang tersirat dalam hati. Bagaimana mungkin itu tidak terasa? Sementara di dalam sana ada cinta pertamaku yang sedang berjuang keras melawan penyakit kanker pada tubuhnya. Aku pastikan mata ini menitikan air mata saat melihatnya terbaring lemah dibalik tembok putih itu. Tetapi demi mama, sekuat dan semampuku akan kutahan ia agar tidak jadi menetes. Pikirku jika mama melihat air mata ini jatuh membasahi pipi, ia akan semakin terguncang jiwanya. Kasihan irfan, adikku yang belum genap berusia satu tahun. Kami mencari ruangan papa seraya menoleh ke kanan-kiri tiap ruangan yang kami lewati. "Itu mama kamu," ucap om menunjuk wanita yang jaraknya sekitar satu meter dari kami. Dia sedang menggendong bayi laki-laki. mondar-mandir seperti sedang menenangkan bayi itu. Aku terdiam sejenak. Kasihan mama─batinku. Lalu memberi simpul senyum dari sudut bibir. Tentu saja dengan terpaksa. Bibir mana yang masih sanggup tersenyum melihat keterpurukan kedua orang tuanya seperti ini? Papa sedang berjuang melawan sakitnya di ruang yang membosankan. Mama yang juga berjuang tetap kuat demi kedua anaknya. Juga demi suaminya yang terbaring lemah di sana. "Irfaaan!" ucapku setengah berteriak. Dia disana begitu bersemangat. Kakinya tidak bisa diam seolah ingin langsung terbang saja kepadaku. "Kamu bawa baju mama sama papa, enggak?" "Bawa kok, Ma. Tadi dibantu bawa sama Om Luham," jawabku menoleh ke belakang. Tentu saja mama tidak bisa memberi senyum pada kami. Raut wajahnya begitu panik. "Ma, sini Irfan biar sama Cimoy. Siapa tahu dia mau lihat suasana diluar. Biar enggak bosen." "Cimoy enggak capek, Nak? Kan baru pulang sekolah." "Enggak kok. Cimoy belum capek." "Yaudah, nih. Hati-hati ya, Nak." "Iya, Ma. Cimoy keluar dulu ya," ucapku berlalu membawa adik laki-laki yang begitu antusias. Membiarkan mama dan om di ruang tunggu itu. "Irfan, mau kemana kitaa? katakan peta. Apa? lebih keras!" ucapku dengan nada dora and the explorer. Irfan seperti mengerti guyonan ku ikut terkekeh. Usianya masih empat bulan. Jadi wajar kalau hanya itu caranya merespons. Kalau dia tidak suka akan menangis dengan jeritan yang khas. Jika ia sedang senang akan terkekeh seperti barusan. Tidak terasa 15 menit sudah kami berjalan kesana kemari. Berwisata dalam Rumah Sakit. Setelah lelah, aku duduk di kursi panjang yang tersedia. Irfan menoleh ke belakang. Menatap bola mataku yang berwarna cokelat tua. Ku tatap balik matanya yang menenangkan. Betapa menggemaskan sekali bayi mungil ini. "Irfan, kita do'ain papa ya? Irfan sayang papa kan?" ucapku lirih. Suaraku sedikit bergetar masih menahan air mata yang ingin menetes. *** Saat kami berdua sedang menikmati angin siang yang terasa masih segar, tiba-tiba saja Om Luham menghampiri. Aku agak terkejut. Biasanya dia tenang dan santai. Tetapi kali ini berlari kecil kearahku. "Ugh.." ucapnya mengelap keringat pada dahinya. "Kenapa Om? sampai lari-lari kayak gitu?" "Bentar, om napas dulu sebentar ya." Untuk sejenak terdengar Om Luham menarik napas. Mengatur napas yang tidak karuan. "Tadi mama..." ucapnya lemas. "Ha? mama kenapa om?" tanyaku tersentak. Ada apa dengan mama? hingga membuat Om Luham berlari kemari. Apa ada yang serius? atau sakitnya papa semakin parah? Pikiranku kesana kemari menebak-nebak apa yang akan dikatakan Om Luham. "Kamu mending samperin mama deh kesana. Irfan biar sama om dulu," ucapnya seraya mengambil Irfan dari pelukanku.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
9.3K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.5K
bc

My Secret Little Wife

read
84.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
12.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook