bc

Terurai

book_age18+
5.4K
FOLLOW
64.1K
READ
YA Fiction Writing Contest
Writing Academy
Girlpower Revenge Writing Contest
Supreme Me Fiction Writing Contest
like
intro-logo
Blurb

I just want you to be happy is the bullshit words ever.

Aku harus meninggalkan suamiku dengan sebuah surat perceraian yang telah kutandatangani.

bukan untuk membuatnya bahagia.

tapi untuk menyelamatkan diriku sendiri.

chap-preview
Free preview
Prolog
"Aku ingin kamu membantuku" ucapan yang tertahan dari dua setengah jam yang lalu itu akhirnya keluar juga. Adara –teman SMAku- itu menatapku lekat. Tau bahwa ini bukan lagi guyonan masa SMA yang akan kubicarakan. Masa-masa memalukan yang ajaibnya sangat kami rindukan. Dari dua setengah jam yang lalu, aku menahan ucapanku ini untuk tidak langsung memperburuk keadaan, atau menyisipkan aroma ketegangan yang tak seharusnya dirasakan dua orang teman lama -akrab yang baru saja bertemu setelah satu setengah tahun terpisah. Adara mengerinyitkan dahi, tampak tidak mau menginterupsiku. "Aku ingin kamu membantu untuk mengurus perceraianku" Baru dua mata belonya melotot tak percaya. Di kondisi normal, aku akan meringis dan mengatakan bahwa mata itu sudah siap keluar karena tulang mata yang tak sanggup menampung volume matanya yang besar. Tapi tidak sekarang. "Jangan bercanda! Kamu baru saja nikah dua tahun yang lalu" "Satu tahun, lima bulan" ralatku cepat. Jantungku berdegup cepat, seketika merasa gugup. Untuk menutupi perasaanku, aku meminum jus jeruk yang masih bersisa sedikit di gelas tinggi sedikit. Aku belum siap menghadapi ekspresi Adara. Tidak mendapati tanggapan apa-apa, aku mencoba menatap Adara lekat. Sepertinya dia masih shock dengan apa yang kuucapkan. "Aku serius! Aku mau menggugat cerai. Kalau kamu bukan pengacara yang mengurusi soal begini, tolong carikan aku pengacara terbaik yang pernah kamu kenal"tegasku padanya. Tidak lagi gamang seperti tadi. "Kenapa? Kamu ada masalah?" ujarnya yang membuatku terdiam seketika. Perceraian mana yang tidak dasari oleh masalah? Pasangan mana yang mau berpisah tanpa adanya konflik yang sudah menjalar dihubungannya? "Oke. Maksudku. Apa masalahmu nggak bisa diselesaikan dengan cara baik-baik. Perceraian bukan jalan pintas, Tsania Pramesti" Aku memutar bola mataku ketika mendengar nama panjangku disebut. Namun ini bukan saatnya bercanda, ini bukan lagi masalah siapa yang meminjam tipe-xku tanpa dikembalikan atau siapa yang mencuri penghapus papan tulis dan tak seorangpun mengaku dikelas. "Aku tau konsekuensinya, Ra. Untuk masalahnya kamu nggak perlu tau, nanti akan kuberitahu setelah kamu resmi jadi pengacaraku" Adara menatapku kaget. "Aku tau kita udah nggak dekat setelah kuliah, Sa. Tapi dilihat dari wajahmu sekarang, aku paham bukan perkara mudah. Arseno ngapain kamu?" Aku menghela nafas dalam. Aku lupa bahwa Adara lebih pantas menjadi jaksa daripada pengacara, keingintahuannya besar sekali daridulu. Aku lupa orang kuhadapi sekarang bukanlah seorang yang masa bodoh dengan kehidupanku. "Aku mau pisah. Nggak ada masalahnya sama dia. Aku yang mau pisah. Kamu nggak bisa ya cuma membantu tanpa merecoki lebih dalam?" Adara menghela nafas dalam. "Nggak bisa Sa, kamu membicarakan dulu dengan cara mediasi? Pisah bukan hal yang baik loh. Kamu akan menjanda di usiamu 26 tahun, aku saja bahkan belum menikah" Aku menggeleng pelan. Mataku rasanya panas. Mediasi? Aku bahkan lupa kapan terakhir aku berbicara tanpa terbawa emosi kepadanya. Aku sudah tidak tau lagi bagaimana caranya membangun hubungan ini, setidaknya dari sisiku. Aku sudah benar-benar putus asa dengan pernikahan ini. "Kamu masih mencintainya?" Aku hanya memilih diam. Cinta? Apa masih pantas cinta itu kuberikan pada seorang suami yang dengan teganya mengucapkan hal yang membawaku menemui Adara siang ini. Ucapan yang sama yang membuatku kehilangan kepercayaan diriku beberapa bulan ini. Aku ingin menangkap semua ceceran hatiku yang meluruh saat itu juga. Menjaga agar harga diriku tidak ikut runtuh berjatuhan, bertahan agar otakku tidak gila setelah mendengarnya menanyakan hal tersebut. Pertanyaan yang mengiringku pada sikap dingin kepadanya beberapa bulan terakhir. Pertanyaan yang akhirnya bisa kujawab setelah melihat sendiri suamiku berpelukan dengan seorang wanita yang sangat kukenal. Adara tak pernah tau, menjalani semua ini sudah begitu berat bagiku. Aku bisa gila dan mendekam di rumah sakit jiwa jika melanjutkannya. Aku hanya ingin menyelematkan diriku sendiri dari kehancuran. Jika melarikan diri dan berpisah adalah jalan satu-satunya, aku akan menempuhnya. Aku benar-benar akan menempuhnya. Aku sudah tak percaya pada siapapun lagi. * Aku melepas sepatuku dengan cepat dan masuk ke dalam rumah. Masihkah ini disebut rumah ketika aku sendiri ingin segera pergi sejauh mungkin? Aku tidak ingin pulang, apalagi pada rumah yang menghantarku pada jurang kehancuran seperti ini. Mobil yang biasa dikendarai Arseno sudah berada di car port, menandakan dia sudah pulang. Aku memang menghabiskan beberapa malam ini untuk menuntaskan pekerjaanku, sebelum resign. Kalau tidak, aku akan dituntut perusahaan untuk membayar ganti rugi. Ruang tengah masih terang benderang. Aku yakin dia ada disana, mungkin sedang menonton bola tim favoritenya. Dulu aku pernah menemaninya bergadang, menonton bola. Aku mengerti sedikit tentang bola sehingga aku tidak akan keberatan jika dia memintaku untuk menemaninya. Lagipula berduaan dengannya adalah hal yang paling menyenangkan di dunia ini, sebelum semua badai laknat itu dilakukan olehnya. Seluruh rasa manis yang kurasakan saat itu menjadi pahit seketika. Aku tak lagi menemukan warna dalam hidupku. "Dari mana kamu?" Aku menoleh sedikit kearahnya sebelum masuk ke dalam kamarku. Ya kamar tamu yang ada di rumah ini. aku sudah mengatakan bukan hubungan kami jauh dari kata pasangan baru menikah. Aku yang meminta pisah kamar. "Kerja. darimana lagi?" Aku menahan diri untuk tidak menjawab ketus. Aku bukan kamu, tukang selingkuh yang berani menggandeng wanita lain diluar sana tanpa diketahui pasangannya. Aku masih bermoral melakukan hal itu. "Dua minggu ini kamu pulang larut terus. Apa pekerjaan kamu nggak bisa diselesaikan besoknya?" Ha ha. Tanyakan pertanyaan itu pada orang yang mau hengkang dari pekerjaannya sepertiku. Pekerjaanku memang mendekati deadlinenya, dan tanggung jawabku setelah itu lepas. lagipula aku harus mengedit beberapa file yang belum sempat kusentuh, kalau tidak aku akan dikenakan biaya kompensasi karena kontrakku belum habis. Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku memberitahunya hal lain. "Aku mau cuti, minggu depan. Aku mau ke rumah orangtuaku" bukan cuti tapi resign, Rahangnya mengeras mendengarku mengatakan hal tersebut. "Kapan? Kamu nggak bilang sama aku mau pulang" Buat apa? Memangnya kamu masih peduli kepadaku? Aku hanya diam dan segera masuk ke dalam kamarku. Meresmas ujung pashmina yang menutupi kepalaku. Aku menahan diri agar tidak menangis. Aku benci melakukan ini, jujur saja, menjadi istri durhaka yang tidak mendengar omongan suami. Ini jelas bukan keahlianku. namun ini berubah menjadi kebiasaan dalam beberapa bulan terakhir. Tapi wanita mana yang tidak melakukan tindakan impulsif saat pasangannya menunjukkan tanda-tanda bahwa dia mencintai perempuan lain? Aku mengeluarkan sebuah surat dan kucengkram seerat yang kubisa. Menahan diri untuk tidak merobeknya. Aku mengeluarkan bolpoin dan menandatangani gugatan cerai itu. Surat yang akan kutinggalkan bersamaan dengan kepergianku minggu depan. Katakanlah aku ratu drama, tapi aku memang merencanakannya semanis yang bisa kulakukan. Setelah menandatanganinya, satu bulir air mataku luruh. Jika boleh aku memohon, aku tidak akan mengiyakan ajakannya untuk menikah dua tahun yang lalu. Aku benar-benar menyesal.   

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

MENGGENGGAM JANJI

read
473.9K
bc

MANTAN TERINDAH

read
6.8K
bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
75.8K
bc

TERSESAT RINDU

read
333.1K
bc

Noda Masa Lalu

read
183.3K
bc

Orang Ketiga

read
3.6M
bc

PATAH

read
514.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook