Menyemai Impian

Menyemai Impian

book_age16+
217
FOLLOW
3.0K
READ
HE
fated
opposites attract
second chance
confident
heir/heiress
drama
bxg
campus
office/work place
musclebear
like
intro-logo
Blurb

Di gang sempit pinggiran kota, Marwa Shidqia tumbuh dalam keluarga yang dicap sebagai "sampah masyarakat." Ibunya seorang LC, ayahnya pemabuk, kakaknya hidup glamor dengan mengandalkan pria, dan abangnya terjerumus dalam dunia n*****a. Namun, Marwa berbeda—ia ingin lepas dari takdir kelam yang membelenggu keluarganya. Dengan kegigihan luar biasa, Marwa berjuang mengubah nasibnya.

Segalanya semakin rumit ketika ia jatuh cinta pada Haryo, putra pemilik kontrakan tempat keluarganya tinggal. Haryo yang awalnya baik berubah membenci Marwa setelah mengetahui perselingkuhan Mariana—ibu Marwa—dengan ayahnya.

Lalu, tragedi itu terjadi di Gang Kenanga, meninggalkan luka yang tak mungkin dilupakan. Ibu Marwa tewas dalam kecelakaan bersama ayah Haryo, disusul kebakaran misterius yang menghanguskan rumah Marwa dan merenggut nyawa seluruh anggota keluarganya. Marwa pun tinggal sebatang kara.

Lima belas tahun kemudian, Marwa kembali ke Gang Kenanga. Ia datang bukan sekadar membawa kenangan, tapi juga dendam. Ia yakin, Haryo lah yang telah membakar rumahnya!

chap-preview
Free preview
1. Menjalani Takdir.
Setelah menitip keranjang kue, Marwa berlari-lari kecil ke arah lapangan basket. Di sana terdengar suara bola basket memantul di lapangan serta sorak sorai yang riuh. Marwa berlari dengan tangan membawa sebotol air mineral dingin yang rencananya akan ia berikan pada seseorang. Saat sorak-sorai memanggil-manggil nama Haryo mulai terdengar, kaki Marwa semakin lincah berlari. Ia tidak mau tertinggal moment melihat Haryo—sang kapten basket beraksi. Selain itu ia juga berencana akan memberi Haryo air mineral seperti yang dilakukan oleh siswi-siswi yang lain. Haryo Laksono adalah pujaan siswi-siswi Budi Mulia. "Aduh!" Marwa jatuh terjerembab saat seseorang mendorong bahunya keras. "Ngapain kamu ke lapangan basket, anak LC? Mau "jualan" seperti ibumu? Dasar bibit LC. Masih SMP sudah kegatelan kalau melihat laki-laki!" Suara Asila, salah seorang pembullynya di sekolah. Marwa berdiri sambil mengibas-ngibas kotoran yang melekat di bajunya. Siku dan lututnya terasa perih. Ternyata semen keras telah membuat siku dan lututnya lecet-lecet. Untungnya air mineralnya selamat. Ia memeganginya walaupun terjatuh. "Berharap sekali kamu ya, kalau Kak Haryo bersedia menerima air minum darimu? Jangan mimpi. Ada Kak Nabila and the gang di sana. Mana mau Kak Haryo menerima air mineral yang berasal dari uang amis ibumu!" Suara Briana, salah seorang pembully lainnya. "Kata orang yang bayar SPP dari uang hasil korupsi bapaknya," balas Marwa sambil bersiap-siap lari. "Dasar anak LC tidak tahu diri!" Briana menerjang ke arah Marwa dengan tangan terangkat. Bersiap untuk mencakar wajar cantik yang sangat ia benci di sekolahnya. Marwa yang sudah berancang-ancang lari, langsung melesat kencang meninggalkan Briana dan Asila. Ia sudah terbiasa menerima hujatan gara-gara tingkah keluarganya. Selama ini yang bisa ia lakukan hanya diam. Karena apa yang mereka katakan benar adanya. Keluarganya tidak ada bagus-bagusnya. Tapi dia bertekad akan mengubah nasib keluarganya suatu hari nanti. Setiba di lapangan Marwa ikut bersorak saat melihat sosok atletis berseragam putih abu-abu, melompat dan memasukkan bola ke dalam keranjang dengan sempurna. Haryo—sang kakak kelas memang piawai bermain basket. Haryo kerap bermain basket sebelum masuk kelas maupun saat beristirahat. Ketika Marwa melihat Haryo menyeka keringat sambil memindai jam di pergelangan, sontak sekelompok siswi SMA merubungi Haryo. Di tangan mereka masing-masing ada sekotal tissue dan air mineral dingin. “Yo, ini buat kamu. Kamu pasti haus, kan?” Nabila menawarkan air mineral dan tissue di tangannya. “Aku juga bawa, Yo. Ambil punyaku saja. Aku beli khusus buat kamu lho.” Ria juga menyodorkan barang-barang yang sama. Beberapa siswi perempuan lain juga melakukannya. Haryo tampak kebingungan memilih barang-barang yang ditawarkan padanya. Di pinggir lapangan, Marwa menggenggam botol air mineralnya dengan ragu. Ia ingin memberi juga, tapi melihat senior-senior cantik itu, ia merasa ciut. Namun, entah mendapat keberanian dari mana, sekonyong-konyong ia maju dan mengulurkan botol air mineralnya. “Kak Haryo… ini buat Kakak," ucap Marwa lirih. Beberapa siswi SMA menoleh tajam ke arahnya, mendengkus jijik. “Ish, ada anak LC bau amis tidak tahu diri.” Para siswi berbisik-bisik dengan suara yang cukup keras. Mereka memang sengaja melakukannya agar Marwa mendengarnya Marwa menunduk, jantungnya berdegup kencang. Ia siap ditolak, siap malu. Namun tiba-tiba Haryo mengambil botol dari tangannya dan tersenyum manis “Oh, makasih. Aku minum ya?” Haryo langsung membuka tutup botol dan meneguk air dinginnya dengan nikmat. Marwa terpaku. Ia tak percaya Haryo benar-benar menerima minumannya! “Seger! Terima kasih ya, Dek.” Haryo mengacungkan jempol. Marwa membeku sesaat lantas tersenyum manis. Ia sangat bahagia. Marwa tersenyum sekali lagi sebelum berlari-lari kecil menuju kelasnya. Ia tak peduli dengan tatapan sinis senior-senior itu. Pagi ini, Haryo telah membuat harinya lebih cerah dari matahari yang bersinar di atas sana. *** Malam terasa sunyi. Hanya suara detak jam dan gemerisik plastik yang terdengar di dapur kecil. Marwa duduk di lantai, dengan telaten memasukkan kue-kue buatannya ke dalam kotak. Tangannya yang mungil bekerja cepat, memastikan semua kue tersusun rapi untuk dititipkan ke kantin sekolah dan kedai-kedai besok pagi. Sebagian ia letakkan di atas meja. Ia akan menjualnya secara online sepulang sekolah. Sembari bekerja Marwa berharap, semoga besok pagi ia bisa melihat Haryo bermain baaket lagi. Tiba-tiba, terdengar langkah kaki berderap mendekat. Dari sudut mata, Marwa melihat ibunya keluar dari kamar. Ibunya tampak cantik seperti biasa. Gaun ketat dan pendek yang dikenakannya memeluk tubuhnya dengan sempurna, bibirnya merah menyala, dan aroma parfum yang menyengat memenuhi udara. “Ibu mau kerja?” tanya Marwa tanpa menoleh, suaranya sedih. Bu Mariana berkaca di cermin kecil yang tergantung di tembok, membetulkan lipstiknya. “Tentu saja. Kalau tidak, kita semua mau makan apa, heh?” dengkus Bu Mariana sambil lalu. Marwa menggigit bibirnya. Sudah lama ia ingin mengatakan ini, tapi baru malam ini ia berani. “Bu, apa Ibu tidak bisa berhenti kerja di club?" tanya Marwa takut-takut. Bu Mariana tertawa kecil, lalu menoleh ke arah anaknya. “Terus, menurutmu Ibu harus kerja apa? Buruh pabrik? Buruh cuci gosok?" "Ya tidak harus jadi buruh pabrik dan buruh cuci juga, Bu. Mungkin Ibu jadi penjaga toko seperti Bu Iin atau kasir mini market seperti Mbak Mira misalnya. Apa pun asal pekerjaan baik-baik, Bu." Marwa mencoba memberi solusi. Mendengar itu, Bu Mariana tertawa. “Marwa... Marwa... orang-orang yang kamu sebutkan itu masih muda dan berpendidikan tinggi. Ibumu ini SMP saja tidak tamat. Lagi pula gaji mereka-mereka itu masih jauh di bawah tip Ibu. Mana cukup untuk membayar biaya sekolahmu, kontrakan, listrik, air dan makan kita semua. Belum lagi biaya ekstra untuk rokok ayah dan abangmu," dengkus Bu Mariana muak. Marwa terdiam. Ia tahu ibunya benar, tapi tetap saja hatinya menolak menerima kenyataan itu. “Biaya sekolahku kan gratis Bu, karena bea siswa. Aku juga sudah membantu Ibu membayar kontrakan kita tahun ini dari hasil penjualan kue-kue..." "Oh jadi kamu mau menganggar karena sudah merasa ikut menanggung biaya keluarga kita. Begitu?" Bu Mariana berkacak pinggang. "Marwa bukan mau menganggar, Bu. Marwa cuma... malu,” ucap lirih Marwa lirih. Matanya berkaca-kaca. “Semua orang bilang bahwa Marwa makan dari hasil—" Marwa tidak melanjutkan kalimatnya. Ia tidak sampai hati mengatakannya. "Hasil ngelonte?" tandas Bu Mariana. Marwa menunduk. Apa yang ibunya tebak memang benar. "Bilang pada mereka untuk mengurus masalah mereka sendiri. Tapi kalau mereka memang mau mengurusi kita, sekalian suruh urus juga token listrik dan uang kontrakan. Ibu pergi dulu." Bu Mariana mencangklong tas. Ia menarik napas panjang terlebih dahulu sebelum keluar rumah. Ia harus mempersiapkan diri sebelum berjibaku dengan LC-LC baru dan muda-muda di club. Lihatlah, semua orang punya masalah sendiri-sendiri bukan? Malam semakin larut. Marwa masih duduk di lantai dapur, menyusun kue-kue buatannya. Tapi tangannya kini bergerak lebih lambat, pikirannya melayang pada kata-kata ibunya barusan. Tiba-tiba, suara gaduh terdengar dari depan rumah. Pintu didorong kasar hingga hampir lepas dari engselnya. "Astaghfirullahaladzim!" Marwa mengucap karena kaget. Ayahnya masuk ke dalam rumah dalam keadaan teler seperti biasa. Tubuh ayahnya limbung dengan aroma alkohol menyengat yang menusuk hidung. "b******k! Hidup memang tidak adil!" Pak Maryadi menggeram kesal dan berjalan sempoyongan. Saat sampai di tengah ruangan, ia tiba-tiba sambil menekan perutnya. Marwa buru-buru bangkit saat melihat ayahnya membungkuk, lalu muntah-muntah di lantai. Bau asam menyebar, membuat perutnya ikut mual. "Apa gunanya hidup kalau aku miskin begini, hah?!" Maryadi menggeram lagi, menghapus sisa muntah di dagunya dengan lengan baju yang sudah lusuh. Matanya merah dan kosong. Dulu ia sangat kaya, makanya Mariana yang cantik jelita bersedia ia persunting. Sayangnya ia kemudian bangkrut dan kehidupannya pun berubah! "Ibumu mana?" Dengan tubuh sempoyongan, Pak Maryadi memandang seantero ruangan. "Ibu kerja seperti biasa, Yah," sahut Marwa sambil memegangi ayahnya. "Dasar perempuan tidak tahu diri! Dia enak-enakan berdandan cantik untuk laki-laki lain, sementara aku di sini sengsara!" Marwa diam, sudah terlalu biasa mendengar ocehan seperti ini. Ia hanya mengambil lap, membersihkan muntahan ayahnya, lalu melangkah ke dapur, pura-pura sibuk. Tak ada gunanya menjawab atau membantah. Tak lama kemudian, setelah mengumpat beberapa kali lagi, Pak Maryadi akhirnya roboh di atas sofa butut mereka dan tertidur dengan dengkuran keras. Marwa menghela napas lega. Tapi baru saja ia hendak kembali ke dapur, pintu depan kembali terbuka. Kakaknya Marsya masuk sambil mengibas-ngibaskan uang di tangannya. Bibirnya merah menyala, rambutnya masih acak-acakan seperti habis pulang dari pesta. Wajahnya sumringah, bertolak belakang dengan keadaan rumah mereka yang kumuh dan berantakan. Marsya putus sekolah tahun lalu karena sering menunggak uang SPP. Lagi pula Marsya memang tidak suka sekolah. "Malam yang menyenangkan," katanya riang, melempar tasnya ke sofa. "Lihat, Marwa! Aku mendapat hadiah banyak hari ini! Pacar baruku royal sekali!" Marsya mengibas-ngibaskan uang pecahan seratus ribu di depan wajah Marwa. Marwa hanya melirik sekilas, lalu kembali menata kue-kue yang sudah disusun rapi ke atas meja. "Kamu iri kan melihatku mendapat uang sebanyak ini? Cepat lagi. Tidak sepertimu yang seharian membuat kue tapi hasilnya tidak seberapa. Mana capek lagi." Marsya memanas-manasi adiknya. "Tapi uangku halal, Kak. Dimakannya jadi daging," sahut Marwa sabar. "Halah. Makanan kalau dimakan, ya jadinya t*i*. Nggak ada itu soal halal haram," cibir Marsya sinis. "Lihat, Wa. Dia sampai membelikan aku ini." Marsya mendongak. Memamerkan kalung emas indah yang melingkari lehernya. Marwa tak menjawab. Hatinya perih melihat betapa kakaknya begitu bangga hidup dengan cara seperti itu. "Jangan pasang muka sok suci begitu, deh. Kamu itu masih SMP. Jadi kamu belum mengerti rasanya ingin tampil cantik dan keren tapi tidak punya duit. Coba nanti kamu seumurku. Paling tidak tiga tahun lagilah. Pasti kamu pengen ini itu juga. Tinggal menunggu waktu saja kamu akan menjadi sepertiku," imbuh Marsya yakin. "Aku tidak mau uang kotor, Kak," jawab Marwa lirih. Marsya tertawa sinis. "Terserah kamu deh. Tapi ingat, dunia ini bukan tempat buat orang baik. Kamu akan sadar sendiri nanti." Setelah itu, Marsya masuk ke kamarnya, meninggalkan Marwa sendirian di dapur. Saat melewati kamar Marco, ia menutup hidup. Aroma asam muntahan membuatnya mual. Marsya berdecih. Tidak ayah tidak abang, sama saja kelakuannya. Tukang mabuk sekaligus pengangguran. Di rumah ini hanya Marwa yang masih bertahan dengan sikap sok sucinya. Ia muak berada di tempat ini. Semoga saja ia bisa secepatnya pergi dari rumah kontrakan kumuh ini.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My husband (Ex) bad boy (BAHASA INDONESIA)

read
293.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
212.7K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
152.1K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
169.0K
bc

Papa, Tolong Bawa Mama Pulang ke Rumah!

read
4.3K
bc

Ketika Istriku Berubah Dingin

read
3.4K
bc

TERNODA

read
192.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook