bc

Dance And Love

book_age16+
218
FOLLOW
1K
READ
drama
highschool
first love
school
like
intro-logo
Blurb

Luna, gadis yatim yang ingin sekali merubah nasibnya. Berawal dari bully yang harus diterima hingga menjadikan hobinya menari menjadi jalan merubah hidup.

Di saat dirinya masih memperjuangkan kebahagiaan untuk keluarga dan meraih mimpi. Datang seorang murid baru bernama Daffa. Ia langsung menyukainya pada pandangan pertama. Akan tetapi, saudara tirinya juga merasakan hal yang sama.

Bagaimana perjuangan Luna selanjutnya. Akankah ia bisa menjaga keutuhan keluarganya dan merelakan cinta. Bukankah ia juga ingin memperjuangkan mimpi dengan pria idaman yang dicintainya itu.

chap-preview
Free preview
Luna Adalah Korban Bully
Luna hanya bisa mematung menatap lembaran sobekan kertas di atas mejanya. Syok, terkejut, tak percaya dan merasa tak terima rasanya bercampur menjadi satu. Ia menahan segalanya, menabrakkan kedua sisi giginya begitu kuat agar tak sampai emosi meluap. Amarahnya hampir keluar. Namun ia tak bisa berbuat banyak, tak ada yang mau membelanya. Jika sampai ia melakukan hal yang tak memakai akal di sekolahnya. "Kenapa sih, aku harus sekolah di tempat kayak gini. Bukan sekolah favorit, muridnya nyebelin. Kenapa sih, kalian jahat banget sama aku. Apa karena aku miskin?" gerutu Luna sendiri sambil membereskan buku miliknya yang sudah disobek seseorang. Ia berharap bulir beningnya tak keluar hanya untuk hal tersebut. Rasanya hatinya teriris sakit. Begitu tega temannya menyobek buku yang dibelinya dengan penuh perjuangan. Luna memang murid yang paling tak mampu di sekolah itu. Namun, karena dirinya pintar dan sering dipuji guru. Ia pun sedikit istimewa di kelasnya. Akan tetapi, hal tersebut justru membuat teman sekelasnya tak suka, dan mencari cara untuk mengganggu Luna. "Sabar Luna, cuma tiga tahun kok, kamu sekolah di sini," batin Luna untuk menguatkan diri. Rasanya habis terkuras tenaga yang dimiliki.  Paginya tadi, ia hanya sarapan tahu goreng dengan sambal alakadarnya. Ibunya sudah berangkat ke pasar berjualan nasi pecel dan jajanan basah. Uang saku yang diterima juga tak cukup untuk membeli seporsi makan siang. Luna kemudian terduduk lemas di bangkunya. Ia bingung meratapi nasib. Tak kuat rasanya menahan beban sendiri seperti ini. Tiba-tiba, seorang gadis berseragam yang sama dengannya berdiri di hadapannya. Tampak seragamnya begitu rapi, hanya saja lebih ketat dan pendek. Rambutnya terawat dengan corak coklat yang terlihat tipis ikut mendominasi warnanya. Tampak senyuman jahat terlukis di bibir gadis tersebut. "Kasian banget sih," ucap gadis bernama Nawang yang satu kelas dengan Luna. Ia selalu memusuhi Luna, karena ia merasa Luna lebih cantik dan pintar. Andai saja Luna memiliki cukup uang untuk keperluan pribadinya. Pasti kecantikan Nawang hanyalah seujung kuku bagi Luna yang sederhana. Luna melirik sekilas. Ia ingin melampiaskan kekesalannya saat itu juga. Didorong bangkunya dengan kuat karena kesal. Hingga terdengar suara keras hasil dari dorongan bangku itu.  "Heyyy, kasar amat jadi cewek," omel Nawang. "Dasar orang nggak berduit sok-sokan sekolah." Luna hanya diam sambil memandang kesal. Diambil tas sekolahnya dan keluar dari dalam kelas. "Lebih baik, aku bolos aja!" batin Luna sambil berlalu pergi. "Hey, mau kemana kamu?" Luna tak menghiraukan. Ia hanya ingin pergi secepatnya tanpa peduli teriakan panggilan kepada dirinya. "Dasar!" Nawang mengumpat kesal sambil berjalan cepat menuju Luna. Ditumpahkan air botol mineralnya ke tubuh Luna hingga sebagian basah.  Luna membalikkan tubuh. Menatap Nawang penuh emosi yang terpendam. "Aku salah apa sih sama kamu?"  Nawang semakin melotot. Rasanya manik matanya sudah akan keluar. Ia tak menyangka gadis tak dianggap itu berani melawannya kali ini. "Salah kamu cuma satu, kenapa kamu sekolah di sini. Anak sok pintar," omel Nawang. Ia bahkan mendorong bahu kiri Luna dengan begitu keras. Hampir saja Luna terjatuh. Namun ia bisa menahannya. "Aku beneran pintar, bukan sok pintar." Luna mengatakannya pada diri sendiri. Dibuang mukanya ke samping. Malas rasanya memandang temannya yang berwajah cantik tapi hatinya tak baik. Luna tak punya keberanian membalas Nawang untuk mendorong balik bahu gadis tersebut. Ia pun mengambil sapu ijuk yang terlihat ada di dekat papan tulis. Setelah itu dilempar sapu itu hingga mengenai bagian depan Nawang. "Ahhhh, dasar anak udik," omel Nawang sambil menghindari sapu yang jatuh tepat di depannya. "Berani kamu!" "Dasar anak nggak jelas," batin Luna tak peduli lagi. Luna pun segera berjalan pergi. Meninggalkan kegaduhan yang diciptakan di kelas bersama Nawang.  "Aku pingin banget pindah dari sekolah ini," batin Luna.  Sebuah lorong sempit menuju kantin dilewati. Ia tak peduli ada beberapa murid yang memperhatikan dirinya yang sedang membawa tas ransel. Karena pasti mereka berpikir jika Luna akan pulang saat jam sekolah, dan memang itu yang dipikirkan Luna saat ini. Sampai di pintu samping kantin. Luna melihat sekeliling. Hanya ada petugas kantin dan beberapa petugas kebersihan. Ia memutuskan berjalan melalui pintu samping itu dan segera menuju jalan setapak untuk kabur dari jam sekolah.  "Udah males, ngapain juga aku sekolah," ucap Luna. Ia harap hari-hari buruknya di sekolah SMA segera berlalu. Ia tak betah lama-lama berada di sana. ** Luna sudah melepas baju seragamnya. Menggantinya dengan baju lain agar tak ketahuan seseorang jika dirinya adalah pelajar yang membolos. Kini, sebuah pasar tradisional ia pilih untuk menjadi tujuan. Dilihat jam di tangan rasanya belum terlalu siang. Sepertinya masih ada beberapa kios yang buka untuk dikunjungi. Termasuk kios nasi pecel milik ibunya. "Perutku lapar banget," batin Luna merasakan perutnya keroncongan.   Sepanjang perjalanan, ia hanya bisa menahan segala rasa. Rasa lapar, rasa ingin memiliki, rasa ingin membeli dan segalanya yang membuatnya kadang harus kembali menangis. Tapi ditahan, hatinya sudah terbiasa sebenarnya. Namun, rasanya hal yang menyiksa itu terjadi begitu lama dan semakin parah. "Aku harus segera sampai di kiosnya Ibu. Kalau nggak, halusinasi ku bisa semakin parah. Bisa-bisa orang-orang itu kelihatan kayak ayam goreng," batin Luna melihat deretan orang duduk berjejer layaknya paha ayam yang renyah untuk dimakan. Ia pun semakin mempercepat langkah. Sebuah pasar terlihat tak begitu ramai. Beberapa toko terlihat sudah akan tutup. Jalanan di dalam pasar juga tampak tak sepadat tadi pagi. Mulai senggang dengan kesibukan yang mulai berkurang. "Wah beceknya," gumam Luna sambil berjalan menuju kios ibunya dengan hati-hati. Aroma bumbu yang berasal dari tumbukan kacang sedang di tuangkan di atas nasi putih, mulai terhirup di hidung milik Luna. Ia seketika menikmati aroma tersebut. Rasanya seperti aroma terapi untuk perutnya. Cukup menghirupnya dari udara, kedua kakinya spontan makin cepat mengambil langkah. Luna sudah sampai di kios milik ibunya. Ia berada tepat di depan meja yang menyajikan berbagai lauk, dipandanginya semua dagangan itu dengan begitu miris karena masih banyak. "Benar-benar kenyataan yang pahit." Luna membatin semua hal yang ada di depannya. Menghembuskan nafas cukup panjang, berharap bisa membuang beberapa beban di d**a. "Sakitnya." Segera Luna membuyarkan lamunan. Ia harus bisa bersikap seperti biasa tanpa ada beban. Lagipula, beban sudah seperti teman hidup bagi dirinya.  "Luna, kok kamu ada di sini, Nak?" tanya ibu dari Luna, panggil saja Bu Mira. Sosok yang cukup terkenal di kalangan penjual makanan di pasar. Bu Mira tampak menyeka keringatnya. Panas memang mulai merajai hari. Ia terlihat sudah cukup lelah. "Guru lagi rapat. Jadi, aku ke sini buat bantu ibu jualan aja," terang Luna sambil tersenyum.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Byantara-Aysha Kalau Cinta Bilang Saja!

read
284.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.5K
bc

Head Over Heels

read
15.6K
bc

DENTA

read
16.9K
bc

(Bukan) Pemeran Utama

read
19.5K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook