nenek jangan pergi
Matahari pagi menyusup lembut melalui celah tirai, menghangatkan kamar yang masih diselimuti kantuk. Di balik selimut, Sky Arkana Sutton perlahan membuka matanya. Detik berikutnya, tatapannya tertuju pada jam dinding—pukul tujuh. Tanpa banyak berpikir, ia bangkit, melangkah menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri, memulai harinya. Aroma sarapan pun mulai tercium dari lantai bawah, mengundang langkahnya turun menapaki pagi yang baru.
"Eh—Nenek! Nenek masak?!" seru Sky begitu melihat neneknya di dapur. Ia langsung berjalan cepat mendekat, wajahnya menunjukkan rasa tak percaya. "Kan nenek lagi sakit! Udah Sky bilang, biar juru masak aja yang masak!"
Sky berdiri dengan tangan di pinggang, menatap nenek Margaret Sutton dengan ekspresi setengah jengkel, setengah khawatir.
Kekehan lembut terdengar dari wanita tua itu. Margaret melepas apronnya perlahan, lalu menarik Sky untuk duduk di kursi dekat meja makan.
"Sudahlah, Sky, jangan terlalu berlebihan," ucapnya sambil tersenyum tipis. "Aku cuma membuat adonan roti. Itu mudah dan tidak terlalu melelahkan."
Dengan tenang, Margaret mengambil sepotong roti panggang yang telah dilapisi alpukat dan meletakkannya di piring hadapan Sky.
“Tapi kan…” ucapan Sky terhenti. Dering ponsel mendadak memecah suasana. Margaret segera mengangkatnya dan melangkah sedikit menjauh.
Dari kejauhan, Sky melihat perubahan drastis di wajah wanita tua itu—tatapannya membelalak, tubuhnya gemetar, lalu sebuah teriakan kencang namun penuh kepanikan meluncur dari bibirnya.
“Anakku!!!”
Tanpa pikir panjang, Sky langsung bangkit dari kursi dan berlari menghampiri Margaret. Tubuh wanita itu sudah merosot ke lantai, nafasnya memburu, matanya masih terpaku pada ponsel yang kini tergeletak di sampingnya. Sky buru-buru memeluk dan menenangkan Margaret, sementara pikirannya dipenuhi tanda tanya—apa yang sebenarnya terjadi?
"Ada apa? Kenapa, Nek?? Plis jangan bikin Sky khawatir… Nenek, hiks…" Suara Sky bergetar, matanya membulat panik saat melihat Margaret yang tampak rapuh dan terguncang.
Tiba-tiba, wanita tua itu memegangi dadanya dan mengerang kesakitan. Nafasnya memburu, tubuhnya mulai goyah.
"Sakit, Sky… sakit…" ucap Margaret berulang kali, nyaris seperti bisikan putus asa.
"Iya, Nek, tenang ya… tenang…" Sky berusaha menahan tangis. "Paman Tio!! Tolongin Nenek!!" teriaknya panik, sambil menopang tubuh Margaret yang mulai kehilangan tenaga, wajahnya pucat pasi, kelopak matanya perlahan menutup.
Pintu rumah terdorong keras. Seorang pria kekar berlari mendekat, matanya terbelalak melihat kondisi Margaret. "Ada ap—Nyonya—"
Tanpa banyak tanya, Tio segera mengangkat tubuh Margaret dalam pelukannya dan membawanya keluar menuju mobil. Sky mengikuti dari belakang, air matanya tak terbendung, membasahi pipinya dalam diam yang penuh kepanikan.
Mereka akhirnya tiba di rumah sakit. Margaret segera dibawa masuk ke ruang ICU, sementara Sky hanya bisa duduk di luar, menunggu dengan hati gelisah. Ia menunduk, tangan mengepal di pangkuan, pikirannya berkecamuk. Tio berdiri di sampingnya, sesekali mengusap pundak Sky dengan lembut, mencoba memberikan ketenangan meski hatinya sendiri ikut cemas.
Beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam berlalu, hingga pintu ICU terbuka dan seorang dokter keluar.
"Bagaimana, Dok? Bagaimana kondisi nenek saya?" tanya Sky buru-buru, suaranya penuh harap sekaligus takut.
Dokter menghela napas sebelum menjawab, "Kami sudah melakukan tindakan secepat mungkin. Tapi… kondisi jantung beliau sangat lemah dan sekarang dalam keadaan kritis. Secara medis, beliau sudah berada dalam fase end-of-life. Kami ingin Anda bersiap… kemungkinan untuk pulih sangat kecil."
Bagaikan disambar petir, Sky membeku. Kata-kata dokter itu menggema di kepalanya, mengoyak batin yang belum siap menerima. Barusan saja ia memarahi neneknya… dan kini, wanita yang paling ia sayangi itu berada di ambang kepergian.
"Saya… boleh masuk, Dok?" tanyanya pelan, suara gemetar, mata berkaca-kaca.
Dokter mengangguk dengan empati. "Boleh. Silakan."
Sky masuk ke dalam ruangan dengan langkah terburu-buru. Matanya langsung tertuju pada sosok Margaret yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Nafasnya terdengar berat, pelan, dan terputus-putus. Mata wanita tua itu terpejam rapat, seakan sedang berjuang antara sadar dan tidak.
Dengan hati-hati, Sky duduk di sisi ranjang dan menggenggam tangan neneknya yang terasa dingin.
"Nenek… jangan pergi," ucapnya, suaranya bergetar menahan tangis. "Kalau nenek pergi… Sky sama siapa?"
Seolah mendengar panggilan itu, kelopak mata Margaret perlahan terbuka. Tatapannya lemah, namun masih penuh kasih. Dengan tangan satunya yang gemetar, ia mengangkatnya dan mengusap kepala Sky perlahan.
"Nenek! Nenek sudah bangun!" seru Sky dengan harapan yang seketika tumbuh. Tapi Margaret tidak berkata apa-apa. Ia hanya menghela napas dalam-dalam, lalu dengan susah payah menarik dua amplop dari saku bajunya.
Satu ia serahkan pada Sky, yang menerima dengan bingung. Satu lagi, dengan isyarat lemah, ia sodorkan ke arah Tio yang berdiri tak jauh dari mereka. Tio mendekat, mengambil amplop itu dengan kepala tertunduk dalam hormat.
Sky membuka mulut, hendak bertanya, "Ini apa, Ne—"
Namun sebelum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, suara monitor EKG mendadak berubah. Detak yang tadinya pelan berubah menjadi satu garis lurus. Tit… tit… tittttt…
"Kode biru!" teriak salah satu suster. Beberapa dokter dan perawat langsung bergerak cepat, melakukan resusitasi dan tindakan darurat.
"NENEK!!!" jerit Sky histeris, tubuhnya gemetar hebat. Ia mencoba mendekat, namun Tio dengan sigap menahan dan menariknya mundur.
"Lepas, Paman! Itu Nenek… dia nggak mungkin ninggalin Sky sendirian kan… hiks… nenek sudah janji sama Sky hiks pamannn…"
Sky menangis tersedu-sedu dalam pelukan Tio, sementara di depannya, kehidupan nenek yang selama ini menjadi segalanya bagi dirinya sedang berada di ujung harapan.