bc

ANAK SIWA

book_age16+
144
FOLLOW
1.1K
READ
dark
mystery
scary
spiritual
like
intro-logo
Blurb

Bie seorang gadis berusia enam tahun seringkali dipanggil Anak Siwa oleh Nyaehnya. Ia tidak paham mengapa panggilan itu seringkali terlontar dari bibir wanita tua yang sudah membesarkannya semenjak dirinya masih bayi itu. Bie juga selalu murung karena Nyaeh menunjukkan kasih sayang berlebihan kepada anak-anak Paman Jaka yang sering datang menyambangi. Ia lebih suka bermain dengan Ruri—teman tak kasat matanya. Mereka bermain di kolong meja sambil menceritakan apa saja.

Bie dan Nyaeh tinggal di rumah kontrakan yang dulunya adalah gudang tempat penyimpanan berbagai benda pusaka milik Mbah Paimin. Hayati—cucu Mbah Paimin yang sering ditinggal bekerja oleh Ibu dan Bapaknya, sering merasa takut dan kesepian di rumah. Terkadang Hayati minta ditemani Bie, walau sejujurnya Bie tidak begitu suka berada di rumah Hayati. Di sana ia sering melihat makhluk penunggu rumah itu bahkan sering merasakan keanehan ketika berada di sumur yang berada di dalam rumah Mbah Paimin.

Bagaimanakah Kehidupan Bie selanjutnya? Apakah ia akan mendapatkan jawaban, mengapa Nyaeh selalu memanggilnya anak siwa? Sosok-sosok apa saja yang dijumpainya di rumah Mbah Paimin? Dan Misteri kematian seperti apa yang menimpa Mbah Yamik—istri Mbah Paimin?

Kalian harus membaca cerita ini sampai selesai ?

chap-preview
Free preview
Bie
“Dasar anak Siwa!” hardik seorang wanita tua bernama Bestari, saat Bie memecahkan sebuah vas bunga cina kesayangannya. Sudah kesekian kali Bestari, memanggilnya dengan sebutan anak Siwa. Apa maksud dan artinya anak usia lima tahun itu tidak paham. Dari usia sembilan bulan Bie diambil dan diasuh oleh Bestari. Ia jarang bertemu kedua orang tua juga adik-adiknya yang tinggal di kota lain. Karena jarang bertemu gadis berambut keriting itu tidak begitu dekat dan canggung bila bertemu keluarganya. Tinggal bersama Bestari membuatnya belajar mandiri. Masak sendiri untuk sarapan, menimba dan mengisi bak air, menyapu serta membereskan rumah merupakan hal biasa yang ia lakukan. “Memanglah kau itu anak Siwa!” teriak Bestari saat terdengar suara piring pecah dari dapur. Bie yang sedang mencuci piring di sebelah sumur mendadak ketakutan. Dengan tubuh yang gemetar, ia memungut pecahan piring yang di dapat dari hadiah detergen itu. “Maafin Bie, Nyaeh. Bie ndak sengaja,” jawabnya sambil menahan tangis. “Sekali anak Siwa tetap anak Siwa!” Wanita tua berperawakan kurus itu berlalu menuju kamarnya, meninggalkan Bie yang semakin menangis. Dengan terburu-buru, dihapusnya air mata yang menetes di pipi. Takut bilamana nanti ada yang melihat. Sepasang mata tanpa wujud memandangi Bie yang sedang menangis. Tidak seharusnya seorang anak kecil mengalami situasi seperti ini. Ia ingin melampiaskan rasa amarahnya. Tapi sebuah tabir menghalangi. Saat ini 'sesuatu' itu hanya bisa memandang saja tanpa bisa melakukan apa-apa untuk gadis yang disayangnya itu. Bie meletakkan piring-piring yang sudah selesai dicuci kedalam baskom besar sebelum ditata ke rak piring. Tujuannya agar air bekas cucian piring tidak menetes. Begitu yang diajarkan Bestari kepadanya. Bie—seorang gadis kecil berusia enam tahun. Memiliki rambut keriting panjang dan mata besar. Alisnya hitam tebal dengan bulu mata yang lentik. Ia memiliki bulu, kaki, tangan, panjang dan lebat tidak seperti bulu tangan anak kecil pada umumnya. Nawang, adalah anak pertama Bestari. Ia memiliki dua orang saudara laki-laki dibawahnya dan dua orang saudara perempuan. Jaka adalah adik Nawang yang tinggal di kota yang sama dengan Bie. Ia sering datang berkunjung ke rumah Bestari sambil mengajak istri dan kedua anaknya. Setiap datang, Jaka pasti akan membawa makanan kesukaan Bestari. Entah itu lotek ataupun sate padang. Cakra dan Kunti adalah kedua orang sepupu Bie. Usia mereka beberapa tahun saja di atasnya. Menginap dan bermain bersama di rumah Bestari merupakan jadwal rutin di setiap malam minggu. Tertawa, bermain peran, berlarian kerap dilakukan kedua anak pamannya tetapi tidak dengan Bie. Gadis kecil yang memiliki tubuh yang ringkih dan badan yang sering sakit-sakitan itu tidak boleh terlalu lelah bermain. Untuk itu dirinya lebih suka bermain dengan Ruri. Menurut Bie, Ruri sama sepertinya. Mereka berdua tidak menyukai permainan yang membuat lelah. Bermain di bawa meja atau di bawah kolong ranjang menjadi pilihan yang asik untuk keduanya. Perlakuan yang berbeda dari Bestari membuat Bie menjadi semakin pendiam. Ia jadi semakin sering tidur dan bermain di bawah meja. Di dalam pikirannya, hanya ia saja, cucu Bestari yang tidak pernah dipuji. “Wah, Mas Cakra dan Mbak Kunthi pinter banget ngajinya. Sudah khatam berapa kali?” Mata Bestari nampak berbinar melihat wajah cucu laki-laki yang dipanggilnya Cakra. Anak laki-laki berperawakan kurus tinggi dengan kulit sawo matang itu tersenyum manis. “Di sekolah Mas Cakra dan Mbak Kunthi, masuk ranking tiga besar yah. Wah ... pintar sekali sih. Nyaeh jadi tambah sayang.” Hal-hal seperti itu yang sangat dibanggakan Bestari. Bie merasa Nyaeh hanya sayang kepada anak-anak Jaka saja. Bie acapkali bercerita kepada Ruri. Ia tidak membenci malahan sangat kagum. Hanya saja perbedaan perlakuan membuatnya semakin jauh dari anak-anak pamannya. Ketika bulan ramadan tiba, Bie yang tidak sanggup untuk berpuasa membuatnya semakin diasingkan oleh Bestari. Gadis itu tidak diizinkan untuk duduk dan makan bersama di meja makan. Kalau sudah begitu, ia akan tidur terlentang di bawah kolong ranjang besi tua yang ada di kamar bersama dengan Ruri. “Ruri, kita mau main apa hari ini?” Bie bertanya pada Ruri, sambil memeluk sebuah boneka berkerudung merah. Ruri tetap bergeming. Ia hanya menunjuk ke arah bawah kolong ranjang berkelambu merah muda itu. “Oh, kamu mau kita main di bawah sana? Baiklah, ayo kita main!” Bie masuk mendahului Ruri. Di bawah sana mereka menceritakan banyak hal. Sepertinya Bie sangat menyukai Ruri. Ruri tidak pernah nakal, ia selalu baik dan mau mendengarkan semua ceritanya. Terdengar suara mobil yang menderu, sepertinya Jaka dan anak-anaknya sudah pulang. Perlahan ia keluar dari bawah ranjang kemudian menuju dapur. Seorang perempuan bersanggul cepol sedang membereskan piring. Ia berniat membantunya tapi yang di dapat hanya penolakan. “Kamu makan dulu, ini biar Nyaeh yang membereskan!” Bestari mengambil piring yang sudah akan dibawa Bie ke sumur. “Jangan lupa habis makan kamu mengaji! Bibimu sedang membuat skripsi. Nanti kamu tanya saja mau mengaji jam berapa,” sambung Nyaeh lagi. Bie membuka tudung saji Nyaeh yang terbuat dari rotan. Matanya mengisyaratkan kekecewaan saat masakan yang ingin dimakannya sudah habis, yang tersisa hanya beberapa potong ikan sepat dan sambal mentah saja. Bukan masakan yang cocok untuk anak seusianya. Ia mengembalikan piring ke dalam rak dan menutup kembali tudung nasi itu. “Kenapa, ndak jadi makan?“ tanya Nastiti yang tiba-tiba saja sudah berada di belakang tubuh kurusnya. “Bie, ndak mau, makan sama ikan sepat Bi,” jawabnya sambil menunduk. Ia tahu pasti Nastiti akan marah kepadanya. Sebenarnya ada sebuah alasan, kenapa ia tidak suka makan ikan sepat. Setiap memakannya, perasaan mual muncul. Bie juga tidak begitu suka aromanya. Apalagi dulu Nastiti selalu memecahkan empedu setiap membersihkan ikan sepat. Alhasil bagian perutnya menjadi berwarna kehijauan. Aroma, rasa, dan ingatan-ingatan ketika Bibi memaksa untuk memakannya merupakan ketakutan tersendiri baginya. “Bikin telor ceplok saja, kalau ndak mau makan itu. Nanti setelah makan, kita ngaji!” Nastiti berlalu meninggalkan Bie yang sedang terpekur di dapur dan kembali ke kamar. Ia mengambil sebutir telur bebek dari lemari kaca, menyiapkan kuali berbahan alumunium kecil yang sudah terlihat menghitam di bagian bawahnya dan mengambil minyak di sebuah kaleng bekas s**u kental manis. Malangnya minyak itu malah tumpah dan membasahi bagian pinggir kompor. Ia tidak tahu apa yang terjadi padanya saat itu. Bestari yang sudah selesai mencuci piring langsung berteriak. “Anak Siwa! Ndak pernah benerlah kerja kau ini!” hardiknya marah. Tangan kecil yang gemetar itu buru-buru mengelap tumpahan minyak sayur dengan lap kain. Ia segera meminta maaf dan mengatakan bahwa tidak sengaja melakukannya. Akhirnya Bestari membuatkan telor ceplok untuknya. Mengapa harus ada hardikan dan kata-k********r. Padahal ia masih mendapatkan sebutir telur ceplok dan nasi hangat. Pikir anak kecil yang lugu dan polos itu. Bie kemudian membawa piring cokelat kecil ke dalam kamar dan makan di depan buffet yang memiliki kaca besar. Sambil menangis ia menyuapkan nasi ke dalam mulut. Ruri berdiri disampingnya, walau diam saja. Bie tahu hati Ruri berkata 'sudah tak mengapa, tolong jangan menangis!' Menurut Bie, jangan pernah makan sambil menangis. Rasanya sulit dijelaskan. Itu seperti kamu ingin menghujamkan belati ke jantungmu sendiri. Berkali-kali. Benar-benar sakit. Bie lupa kalau setelah makan ini, Nastiti memintanya untuk mengaji. Ia masih mematut wajah di depan cermin. Ada seorang anak perempuan berambut keriting sedang menangis dan teman setia berwajah pucat berdiri di sebelahnya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
201.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
186.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
9.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
85.1K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
18.2K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook