bc

Married by Accident 2

book_age18+
12.0K
FOLLOW
118.8K
READ
family
love after marriage
pregnant
tomboy
drama
bxg
like
intro-logo
Blurb

(sudah tamat)

Tentang kisah Deza dan Alfa yang melakukan kesalahan hingga harus dinikahkan. Mereka belajar dari kesalahan untuk memperbaiki diri dan berhijrah di jalan yang benar.

chap-preview
Free preview
Prolog
Cerita ini sekuel dari MBA (Married by Accident) Seorang mahasiswi baru berambut cepak dan bercelana panjang warna hitam serta berkemeja putih menolehkan wajahnya ke kanan dan ke kiri. Ia mencari-cari panitia Ospek untuk dimintai tanda tangan. Ada lima nama panitia yang wajib dia mintai tanda tangan. Tinggal satu tanda tangan yang belum ia dapatkan. Sejenak ia menggerutu. Untuk apa orangtuanya pulang kembali ke Indonesia. Ia yakin di Amerika tidak akan ada yang namanya Ospek begini, harus mengejar-ngejar kakak angkatan untuk dimintai tanda tangan. Mending kalau mudah memberikan tanda tangan. Beberapa diantaranya memanfaatkan moment ini untuk mengerjai mahasiswa baru. Dia membaca baik-baik sebuah nama yang tertera di buku catatannya. Nama itu terdengar familiar, mengingatkannya akan seseorang di masa kanak-kanak. Dia dan orangtuanya pindah ke Amerika saat dirinya berumur lima tahun. Setiap kali pulang ke Indonesia untuk liburan, dia kadang diajak orangtuanya bertemu dengan sahabat lamanya. Dan nama kakak angkatannya ini mengingatkannya pada anak dari sahabat lama orangtuanya. Gadis itu menghentikan langkahnya di depan mahasiswa yang tengah duduk di gazebo sembari membaca sebuah buku. “Permisi Kak,” ucap gadis itu. Sang pemuda melirik sang gadis dan menatapnya menelisik. Wajah itu serasa tak asing, tapi dia lupa apakah dia pernah bertemu dengan gadis itu sebelumnya atau hanya perasaannya saja. Jika saja sang gadis tidak bersuara, mungkin dia akan mengira gadis di hadapannya ini adalah seorang laki-laki. Tomboy sekali. “Ada apa?” tanya pemuda itu datar. “Saya mau minta tanda tangan,” sang gadis menyodorkan buku catatannya. Dia bersyukur selama tinggal di Amerika, orangtuanya tetap mewajibkannya untuk belajar bahasa Indonesia dan berkomunikasi dengan bahasa Indonesia di rumah, jadi dia tak mengalami kesulitan untuk berbicara dengan bahasa Indonesia. Sang pemuda tercenung sejenak. Rasa-rasanya dia ingin bermain-main dulu dengan gadis ini. Mungkin sedikit dikerjai. “Boleh, tapi saya nggak mau kamu mendapatkan tanda tangan saya dengan mudah.” Sang gadis melongo. Rasanya dia sudah bad mood duluan membayangkan apa yang ada di pikiran sang pemuda. Jelas dia mau mengerjainya. “Coba nyanyi lagu balonku atau pelangi.” Sang gadis mengernyit, “Lagu apa itu Kak?” Pemuda itu menganga sekian detik, “Kamu nggak tahu? Masa kamu nggak tahu? Itu lagu anak-anak yang hampir semua anak Indonesia bisa menyanyikannya.” Sang gadis menggeleng. Mahasiswa berparas tampan dan menjadi idola banyak mahasiswi itu tak percaya begitu saja. Ia yakin gadis di hadapannya ini tengah berbohong. “Anak TK aja bisa, kamu nggak bisa? Jangan coba-coba membohongi panitia!” pemuda itu mendelik. Sang gadis tergugu, “Saya memang tidak bisa menyanyikan lagu itu Kak. Coba Kakak kasih contohnya dulu, nanti saya menirukan.” Sang pemuda terpekur sesaat, “Kamu pikir saya guru TK yang lagi ngajarin muridnya bernyanyi?” “Kalau memang mengajarkan menyanyi lagu anak-anak identik dengan pekerjaan guru TK kenapa Kakak meminta saya untuk bernyanyi?” Sang pemuda tak menduga mahasiswi baru ini tengil juga dan berani melawannya. “Kamu berani banget ya. Saya bisa lho kasih kamu hukuman.” Gadis itu terdiam tak membalas apapun. “Siapa nama kamu?” tanya sang mahasiswa berperawakan tinggi tegap itu. “Deza Salsabila Himawan,” jawabnya datar. Sang pemuda mengingat-ingat nama yang tak asing itu. “Kalau kamu ingin mendapat tanda tangan saya, minta maaf dulu dan sebut nama lengkap saya.” Tatapan sang pemuda begitu menghujam seolah menguliti nyali sang gadis habis-habisan. Gadis itu menggerutu dalam hati. Sungguh apes nasibnya kebagian tugas meminta tanda tangan pada kakak angkatan yang songong naudzubillah. “Maafkan saya Kak...” Gadis itu melirik nama yang tertulis di buku catatannya. “Maafkan saya Kak Alfarezel Azwan Adhiaksa.” “Kurang keras. Yang lantang dong, jangan kayak cacing kepanasan!” Mahasiswa bernama Alfarezel atau yang biasa dipanggil Alfa membulatkan matanya. “Maafkan saya Kak...” Di ujung kata ‘kak’ sang gadis kembali melirik catatannya. Dia kesulitan menghafal nama kakak angkatannya tersebut. “Astaghfirullah. Nggak usah pakai nyontek. Hafalin nama saya dulu baru setelah itu minta maaf.” Nada bicara Alfa meluncur begitu tegas. Deza mengepalkan tangannya. Rasanya ia kehilangan kesabaran. “Kenapa diam?” bentak Alfa. Deza tersentak kaget. Baru kali ini ia menghadapi kakak angkatan yang kejam dan tak berperasaan. “Today is a bad day for me... why should I meet this annoying person..,” gumam sang gadis pelan. “Apa kamu bilang? Am I annoying person? What about you? You think that you are better than me? Kamu muslim bukan ya?” Deza mengangguk dengan wajah yang sudah diselimuti kekesalan. “Muslim tapi nggak ngerti caranya berpakaian. Boro-boro pakai jilbab. Rambut dicepakin gitu, ngrasa keren? Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki. Balik lagi sana ke SD, belajar tentang aurat dan cara sopan santun sama orang yang lebih tua,” cerocos Alfa membuat Deza menunduk dan sudut matanya mulai berkaca. Nggak di rumah, nggak di kampus, semua menyuruhnya berjilbab dan itu membuatnya jengah. Mahasiswa di sekitar terpancing untuk menoleh ke arahnya. Deza merasa begitu malu dan tersudut. “Kenapa diam? Kamu belum menghafal nama saya dan kamu belum meminta maaf tanpa menyontek nama saya di buku catatanmu,” ucap Alfa lantang. Deza sudah tak bisa lagi memusatkan pikirannya untuk menghafal nama sang kakak angkatan. Entah kenapa dia ingin menangis karena hardikan sang kakak senior. Padahal biasanya dia tak mudah untuk bersedih apalagi menitikkan air mata. Dia bukan gadis yang cengeng. “I’m sorry. I don’t even remember about your name. Please give me one more time to memorize your name.” Suara Deza terdengar lebih pelan. Alfa menyeringai, “Kamu ini kesulitan mengingat nama orang ya. Dan tolong ya, aku lebih suka kamu ngomong pakai bahasa Indonesia. Bukan karena aku nggak ngerti kamu ngomong apa. Aku paham, tapi kayaknya nggak etis aja di acara Ospek gini kamu ngajak saya komunikasi pakai bahasa Inggris. Kalau di luar Ospek mah bebas.” Deza tercenung. Alfa melihat kedua mata Deza sudah digenangi bulir bening yang mengkristal di sudut mata. Sepertinya gadis tomboy itu berusaha kuat untuk membendungnya. Dia merasa tak tega juga. “Ya sudah hafalkan nama saya. Kalau sudah hafal silakan balik lagi.” Deza berbalik. Dia melangkah gontai menuju toilet kampus. Di dalam toilet tangis gadis itu pecah, sesenggukan dan isakannya menggaung di segala sudut ruang. Namun dia berusaha menahannya agar tak terdengar sampai luar. Siapa yang ingin tumbuh berbeda dengan kebanyakan perempuan lain yang bangga akan status wanitanya? Dia sama sekali tak bangga terlahir sebagai perempuan. Selama ini dia kerap bersitegang dengan orangtua dan kakaknya terkait soal jilbab. Semua orang menjuluki ibu dan kakaknya sebagai wanita sholehah hingga tak ada yang percaya dia adalah putri dari ayah dan ibunya. Bagaimana bisa ibunya yang berhati bidadari melahirkan anak bengal sepertinya? Salah didikkah atau memang sang anak yang kebangetan bandelnya? Ibunya seringkali malu memberi materi kajian karena merasa gagal menjadi orangtua, tak bisa mendidiknya dengan baik. Kadang ia lelah. Ia hanya ingin bebas mengekspresikan dirinya dan menjadi diri sendiri. Dan kakak angkatannya ini semakin membuatnya tertekan. Deza memang kesulitan mengingat nama orang sejak kecil. Hari ini dia berusaha mati-matian mengingat nama Alfarezel. Dia kembali menemui Alfarezel di tempat semula. Alfa masih duduk di gazebo itu. “Sudah hafal?” tanya Alfa dengan melirik gadis itu sejenak. Deza mengangguk. “Ayo bilang maaf sambil menyebut nama lengkap saya.” “Maafkan saya Kak Alfarezel Azwan Adhiaksa,” sahut Deza lancar. “Sini bukunya,” Alfa menengadahkan telapak tangannya. Deza menyerahkan buku catatannya. Alfa membubuhkan tanda tangan di atas lembaran kertas. Setelah itu dia menyerahkan kembali buku itu pada Deza. “Thank you... ups... I mean... terima kasih,” ujar gadis itu tak berani menatap Alfa karena ia sadar benar matanya tampak sembab. Ia tak mau Alfa mengetahui bahwa dia baru saja menangis. Alfa menyipitkan matanya dan memperhatikan wajah Deza lebih detail. “Kamu habis nangis?” tanya Alfa mengernyitkan dahi. Ia tak menyangka gadis berpenampilan sangar itu ternyata punya sisi melankolis juga. “Permisi....” Deza berbalik dan berlari menjauh. Alfa menatap kepergian sang gadis dengan sejuta tanya, entah kenapa sosok itu serasa tak asing. ****** Seorang wanita menaiki tangga hingga timbul suara derap langkah yang terdengar dari kamar sang anak. Setelah tiba di depan pintu kamar, wanita itu mengetuk pintu. “Alfa...” “Ya Bunda,” Alfa membukakan pintu. “Malam ini kamu jangan kemana-mana ya. Tante Selia dan Om Agil mau datang ke rumah bareng Khansa dan adiknya. Waktu mereka baru kembali dari Amerika kan mereka ke sini cuma berdua, nggak ngajak Khansa dan adiknya. Nah sekarang dua anaknya mau diajak. Kamu sekalian kenalan. Kamu masih ingat nggak sama Khansa dan adiknya?” Kia mengulas senyum lembut. “Agak lupa sih Bun. Mereka jarang pulang juga kan? Tiap pulang juga Alfa nggak ketemu sama Kak Khansa dan adiknya.” “Makanya kamu jangan kemana-mana ya. Ya udah bunda mau masak dulu. Kamu temeni ayah gih di ruang tengah.” Kia mengacak rambut putranya asal. Alfa mengerlingkan senyum, “Okay Bunda cantik.” ****** Deza melangkah lunglai menuju kamarnya. Ia mematut diri di cermin. Rambut cepak dengan sentuhan wax sudah terlihat sedikit berantakan karena aktivitas seharian ini. Ia tersenyum mengamati wajahnya. Ia senang saat teman-temannya di Amerika menyebutnya tampan. Dan ia tak suka disebut cantik, manis, atau sejenisnya. Entah kenapa dia merasa terperangkap di tubuh yang salah karena sejatinya, ia merasa tak seharusnya terlahir sebagai perempuan. Dia melirik satu pigura yang terpajang di nakas. Betapa ia merindukan teman-temannya di Bellingham. Ia merindukan kebebasannya mengikuti ekstra kurikuler sepakbola di SMA-nya dulu, meski orangtuanya menentangnya. Ia tak habis pikir untuk apa ayah dan ibunya memutuskan kembali ke Indonesia. Ayah sudah memiliki pekerjaan mapan di sana. Dan tujuan ayahnya kembali ke Indonesia adalah untuk meneruskan usaha kakeknya. Kakeknya sudah terlalu tua untuk memimpin perusahaan real estate yang sudah dirintisnya puluhan tahun. Rencananya untuk melanjutkan kuliah di sana pun amblas. Terpaksa ia kuliah di Bandung karena ayah ibunya tak memberinya izin untuk kuliah di Bellingham sementara tidak ada yang mendampinginya di sana karena keluarga sudah pindah ke Indonesia. Deza berganti pakaian lalu membaringkan badannya di ranjang. Jujur masuk ke psikologi itu sama sekali bukan keinginan pribadinya. Dia lebih suka teknik informatika. Sang ibu menasihatinya untuk mengambil psikologi agar ia bisa belajar lebih untuk mengenali dirinya sendiri. Ibunya selalu merasa ada yang tak beres dengan kondisi psikis putrinya ini. Susah diatur, bengal, seenaknya sendiri, tak mau berjilbab, pemberontak, yang lebih mengkhawatirkan sang ibunda, dia takut anaknya tidak memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis karena penampilannya yang begitu tomboy dan ia sama sekali tak pernah bercerita akan ketertarikannya pada lawan jenis, sebaliknya sang anak hobi mengoleksi foto-foto perempuan cantik dan seksi. Ibu dan ayahnya begitu mengkhawatirkannya. Pernah mereka membujuk sang anak untuk berkonsultasi pada psikolog tapi Deza menolak mentah-mentah. Tok tok tok... “Deza....” Deza terkesiap. Suara kakak perempuannya terdengar lembut. “Masuk Kak.” Khansa melangkah dengan merentangkan kedua tangannya. Mereka belum lama balik ke Indonesia, itu artinya dia harus beradaptasi lagi untuk menghafal setiap sudut ruang di rumah kakeknya. “Kamu udah makan belum?” gadis cantik yang tak bisa melihat itu duduk di ujung ranjang adiknya setelah sebelumnya meraba-raba dengan tangannya. “Sudah, di kampus.” Deza memperhatikan kerudung baru kakaknya. Di Bellingham tentu saja lebih susah menemukan kerudung. Di Indonesia menjamur, wajar saja sang ibu menghujani kakaknya dengan hadiah gamis dan kerudung baru. Deza dan Khansa adalah dua potret pribadi yang berbeda karakter bahkan bertolak-belakang meski dibesarkan oleh orangtua yang sama. Deza belum tahu bahwa Khansa bukanlah kakak kandungnya. Semua orang merahasiakannya darinya, termasuk Khansa sendiri. Sebelum menikah dengan ayahnya, ibunya yang bernama Selia adalah seorang janda. Suami pertama sang ibu meninggal dunia. Khansa adalah anak dari almarhum suami pertama Selia dan almarhumah ibunya Khansa. Gadis tuna netra itu sosok anak yatim piatu yang begitu beruntung karena mendapat kasih sayang yang luar biasa tulus dari Selia dan Agil, orangtua kandung Deza. Deza lahir ketika sang kakak berusia enam tahun. Kebutaan yang sudah merenggut penglihatan sang kakak sejak bayi tak menghalangi langkahnya untuk menyelesaikan pendidikannya sampai perguruan tinggi. Di Bellingham sang kakak aktif mengajar anak-anak yang juga tuna netra sama sepertinya, entah mengajarkan membaca huruf braille, ketrampilan dan life skill agar mereka mandiri dan tak sepenuhnya bergantung pada orang lain. Di Indonesia, gadis itu akan meneruskan pekerjaannya, mengajar dan membantu anak-anak yang tak bisa melihat indahnya dunia. Khansa mengulas senyum lembutnya. Deza tahu, ia dan kakaknya bagai bumi dan langit. Khansa begitu santun, religius, kalem, lemah lembut, memiliki paras yang begitu cantik dengan bulu mata lentik dan bibir ranumnya yang merah alami. Kendati tidak bisa melihat tapi dua bola mata bening itu terlihat secantik berlian. Sedang Deza, dia kurang aware untuk mematuhi aturan agama, keras kepala, egois, sulit dinasihati, berantakan, memiliki wajah yang cantik sebenarnya, perpaduan ketampanan ayahnya dan kecantikan ibunya, tapi dia tak pernah merasa dirinya cantik. Namun kendati berbeda karakter, hubungan dua kakak beradik itu cukup harmonis. Ribut sesekali itu sudah biasa, tapi keduanya saling menyayangi satu sama lain. “Deza, nanti malam Ibu sama ayah ngajak kita ke rumah tante Kia dan om Gharal.” “Deza nggak ikut ah,” sela sang gadis tomboy itu. “Eh nggak boleh gitu. Emang kamu nggak kangen sama tante Kia? Dulu kita pernah diberi gaun rajut buatannya. Kakak kok kangen ya sama tante Kia. Dari kecil kakak senang setiap ketemu sama tante Kia yang baik dan lembut kayak ibu.” Deza menyeringai, “Ibu baik dan lembut itu kalau sama kakak. Sama Deza mah ngomel mulu.” Deza mengerucutkan bibirnya. Khansa tertawa kecil, “Deza nggak nurut sih. Coba deh kalau nurut, pasti ibu nggak akan cerewet dan marah-marah.” “I have my own way to live my own life. And i”m so bored every time ibu talks everything about so many rules.” Khansa tersenyum sekali lagi, “Al-Qur’an and As-sunnah will always guide our lives Deza. Our religion has many rules to make our lives better.” Deza terdiam. Di matanya, baik kakaknya maupun ibunya selalu saja suka ceramah dan mengingatkannya pada banyaknya hal berbau religi. Deza ingin menjalani kehidupan bebas tanpa terikat aturan. Bukan bebas yang lepas, karena ia masih tahu batasan. Ia tak pernah clubbing, minum, s*x before marriage, atau bahkan pacaran, ia hanya ingin menjadi diri sendiri dengan cara pandangnya sendiri akan hidupnya. “Lebih baik kamu mandi dulu gih. Kalau kamu mau, kamu bisa pakai gamis dan jilbab kakak saat nanti bertandang ke rumah tante Kia. Tapi kalau kamu nggak mau, kamu bisa pakai dress panjang yang sopan. Jangan mempermalukan ibu dan ayah ya, kakak mohon kali ini aja Deza mau pakai dress ya. Kalau Deza pakai celana jeans bolong-bolong dan kemeja laki-laki, rasanya kurang sopan.” Ekspresi wajah Khansa terlihat begitu mengiba. Deza menekuk wajahnya. “Deza paling males kalau pakai dress gitu. Deza nggak mau pakai jilbab Kak, ya udah deh pakai dress saja.” Khansa tersenyum, “Iya nggak apa-apa, asal jangan pakai celana jeans bekas cakaran kucing ya,” tawa terlontar dari bibir sang kakak. Deza semakin cemberut. Jika Khansa bisa melihat, tawanya mungkin akan bertambah nyaring tatkala mengamati wajah ngambek Deza yang menggemaskan. ****** Agil membelalakan matanya menatap anak gadisnya mengenakan dress panjang. Wajahnya terlihat lebih cantik dengan penampilannya yang anggun. “Wow ada bidadari,” tukas Agil. Deza malah memasang tampang cemberutnya. “Kok malah cemberut? Udah cantik gini harusnya tersenyum manis, biar terlihat semakin cantik,” ledek Agil. “Ayah mah gitu. This dress makes me look so weird.” Deza masih saja menekuk wajahnya. “Kata siapa? You look so beautiful my little princess.” Agil mengumbar senyumnya. “I’m not little anymore Dad,” buru-buru Deza menyela. “Ayah bukan Dad, gunakan bahasa Indonesia jika sedang komunikasi di rumah.” Selia melangkah mendekat dan menatap tajam putrinya. “Jangan terlalu keras Bu. Nggak apa-apa pakai english yang penting dia sudah lancar berbahasa Indonesia. Lihat dong kemajuan putri kita. Dia sudah mau mengenakan dress.” Agil merangkul putrinya. Selia menatap Deza menelisik dari ujung kepala hingga kaki. “Lebih cantik lagi kalau kamu pakai jilbab,” tukas Selia. “Bertahap Bu. Dia udah mau pakai dress aja udah bagus banget.” Selia melirik tajam suaminya, “Ayah terlalu memanjakan Deza, makanya jadi begini.” Khansa berjalan perlahan menghampiri orangtuanya. “Ayah, ibu sudah siap untuk berangkat?” tanya Khansa dengan gamis dan khimar warna ungu tua, simple, elegan dan begitu cantik. “Nah ini baru cantik luar dalem. Deza mesti mencontoh kakak dalam berpakaian. Bukan pakai baju laki-laki, tapi pakai baju yang memang untuk perempuan seperti kakakmu.” Selia melirik putrinya. Deza tak membalas apapun, hanya bisa menggerutu dalam hati karena selalu dibandingkan dengan kakaknya. “Ya sudah kita berangkat ya,” Agil mengedarkan pandangannya pada semua anggota keluarga. Selia menatap Deza yang menuntun tangan Khansa. Membesarkan Deza itu benar-benar melelahkan jiwa dan raganya. Dia seringkali memohon ampunan pada Allah jika dirinya telah lalai dalam mendidik putrinya hingga tumbuh di luar ekspektasi. Gadis yang sebenarnya manis itu sewaktu bayi selalu ia timang-timang seraya melantunkan doa agar sang putri tumbuh menjadi anak sholehah. Namun pergaulan dengan teman-temannya yang kebanyakan hidup bebas ditambah tinggal lama di suatu tempat di mana Muslim menjadi penduduk minoritas rupanya membentuk karakter Deza menjadi pribadi yang berpandangan bebas, tak mau diatur dan suka memberontak. Selia menyadari satu hal, mendakwahi keluarga sendiri itu terkadang memang lebih sulit dibanding mendakwahi orang lain. Ia berusaha untuk mengajarkan kebaikan pada Khansa dan Deza. Bahkan ia kerap mengajak Deza berkumpul dengan komunitas Muslim sewaktu tinggal di Bellingham untuk belajar agama. Namun entah kenapa sang anak justru tumbuh tidak di jalur yang ia harapkan. Ia teringat bahwa sejatinya anak juga bisa menjadi ujian untuk orangtuanya. Agil dan Selia hanya dikaruniai satu anak. Mereka sudah mengikuti program hamil untuk menambah momongan, tapi hingga detik ini Allah hanya menganugerahkan satu buah hati. Satu anak yang bagi Selia begitu menguji kesabarannya. Mobil itu melaju menuju rumah Kia dan Gharal, menembus angin malam yang sesekali menyibak. Surya, ayah Agil tidak turut serta karena tengah berlibur di villa bersama istrinya untuk menikmati masa senja. Ayahnya menikah lagi setelah delapan tahun menduda pasca kepergian sang istri untuk selamanya. Dari pernikahan ini Agil mendapat saudara tiri, seorang laki-laki dan seorang perempuan, anak dari ibu tirinya dan mantan suaminya. Kedua saudara tiri Agil sudah berkeluarga semua. Mobil memasuki pelataran rumah Kia dan Gharal. Agil menghentikan lajunya. Sebelum mereka melangkah menuju teras, Gharal dan Kia sudah membuka pintu karena mendengar deru suara mobil dari dalam. Kia dan Gharal menyambut sahabat lamanya dengan ramah dan senyum yang tak lepas. Kia pangling melihat Khansa yang terlihat semakin cantik dan anggun. Dia sedikit kaget melihat sang adik yang berambut cepak. Meski ia mengenakan dress, kesan tomboy itu tetap terlihat. Kia dan Gharal mempersilakan mereka masuk ke dalam. Seorang asisten rumahtangga menyajikan aneka makanan dan teh hangat. “Alfa, Zara ayo keluar nak, ada tante Selia dan om Agil.” Kia menoleh ke belakang. Keluarlah seorang gadis cilik berusia tujuh tahun bernama Zara. Dia mengulas senyum manisnya. “Ayo sayang salaman sama tante, om dan kakak-kakak,” Kia mengarahkan anak bungsunya untuk menyalami tamu istimewa. Zara menuruti permintaan bundanya. “Masya Allah Zara cantik sekali, sudah kelas berapa sayang?” tanya Selia sembari mengusap rambut sang gadis cilik. “Kelas dua tante,” jawab Zara dengan senyum manisnya. “Zara, ayo panggil kakakmu.” Gharal meminta anak gadisnya untuk memanggil Alfa. Zara setengah berlari menuju ke dalam. Tak lama kemudian, Alfa melangkah menuju ruang tamu. “Nah ini Alfa...” Kia tersenyum cerah manatap putra sulungnya. Alfa mengangguk dan mengulas senyum. Tatapannya menyisir pada Khansa yang terlihat semakin cantik dibanding terakhir kali ia melihatnya. Ia tak menduga gadis yang biasa ia panggil kak Khansa saat kecil dulu kini menjelma seperti bidadari yang begitu jelita. Ia terhenyak saat melirik seorang gadis yang duduk di sebelah Khansa. Gadis yang tadi siang meminta tanda tangannya. Jadi mahasiswi baru yang tomboy itu adalah anak dari tante Selia dan om Agil? Adiknya Khansa? Deza tak kalah terkejut menatap sang pemuda yang ternyata adalah kakak angkatannya yang begitu menyebalkan dan membuatnya menangis dengan kata-kata pedas dan gertakannya. Pantas saja ia merasa nama kakak angkatannya itu tak asing dan mengingatkannya akan sosok yang ia kenal di masa kecil. Anak yang sudah menyebalkan sedari dulu ternyata tumbuh menjadi sosok yang sangat tampan dan masih saja songong serta galak. Mendadak gadis berumur 17 tahun itu ingin segera pulang dan tak berminat dengan pertemuan keluarga ini karena ada Alfarezel Azwan Adhiaksa. *****

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Skylove (Indonesia)

read
109.0K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

Dependencia

read
186.2K
bc

T E A R S

read
312.6K
bc

MANTAN TERINDAH

read
6.8K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
75.9K
bc

Unpredictable Marriage

read
280.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook