bc

My Roomate

book_age18+
937
FOLLOW
7.8K
READ
billionaire
sex
one-night stand
friends to lovers
prince
boss
drama
office/work place
lonely
roommates
like
intro-logo
Blurb

My Roomate

Apa yang terjadi pada Samara saat dia mengetahui bahwa teman sekamarnya merupakan putra kedua pemilik perusahaan tempatnya bekerja? Dia berusaha kabur dan menghindar dari Keanu. Dia tidak mau menimbulkan gosip baru setelah apa yang dia hadapi.

Samara telah dituduh sebagai simpanan seorang manager yang tak lain adalah kakaknya sendiri. Gosip tersebut hampir membuatnya didepak dari perusahaan dan dia terancam pulang ke Kalimantan. Padahal dia tidak ingin kembali ke tanah kelahirannya tersebut.

Lantas, apa bisa Mara tetap berkelit dari Keanu saat laki-laki itu berbalik mengejarnya?

***

JANGAN LUPA TAP LOVE , SUPAYA TERSIMPAN DI PUSTAKA, DAN MENDAPATKAN PEMBERITAHUAN SAAT CERITA INI UPDATE.

cover : original PicArt

pict : Pixabay

font : Phonto

chap-preview
Free preview
Pertemuan Kedua
Tadinya aku pikir ini sudah pukul tiga pagi. Mataku langsung terbuka, seperti dibangunkan seseorang. Anehnya, tubuhku tidak merasa lelah. Tidak ada kuap meyertai. Tidak ada keinginan untuk menutup mata kembali. Aku benar-benar terjaga. Fenomena yang sampai detik ini belum kutemukan jawabannya. Kenapa aku selalu terbangun tepat pada pukul tiga pagi? Sayangnya, sekarang masih jauh dari angka tiga. Ini baru jam sebelas. Berarti aku ketiduran. Tanpa cuci muka, gosok gigi, pun berganti piyama. Aku masih di meja belajarku dengan sebuah agenda terbuka dan laptop yang sudah padam. Aku terbangun pukul sebelas malam untuk pertama kalinya. Tidak bisa disebut terbangun juga. Ya, bisa seharusnya. Aku tidak benar-benar berangkat tidur soalnya. Aku masih mengenakan baju yang sama seperti pagi tadi saat meninggalkan rumah. Aku ketiduran saat mengerjakan tugas. Ya, aku terbangun. Bukankah begitu? Ketiduran selalu berteman dengan kata terbangun pada akhirnya. Sudah saatnya aku mandi, melakukan ritualku sebelum tidur. Mungkin dengan begitu aku akan benar-benar tidur. Bukan tertidur atau ketiduran. Bunyi barang pecah membuatku berjengkit. Aku menoleh lagi pada jam digital di atas meja. Benar, pukul sebelas dan ini sudah gelap. Bukan jam sebelas siang. Jendela kaca di depanku belum aku tutup kordennya. Lampu kamar juga tidak menyala. Karena aku hanya menggunakan lampu belajar untuk membantu penerangan tadi. Pecahan kedua. Kali ini diikuti suara tangis seseorang. Mereka bertengkar lagi. Kakakku membuat masalah apa lagi sekarang? Aku mulai membereskan meja. Menutup laptop dan hendak meraih handuk untuk mandi. Tapi, itu berarti harus keluar dari kamar. Kamarku tidak dilengkapi fasilitas untuk membersihkan diri. Aku duduk di tepi ranjang, menunggu waktu yang tepat untuk keluar. “Keluar!” Teriak Kak Sarah diiringi tangis. Aku yakin beberapa tetangga pasti terbangun karena hal ini. Tinggal di komplek perumahan yang dindingnya menempel satu sama lain memang memungkinkan suara paling pelan pun terdeteksi. Bahwa masih ada kehidupan di sana. Bukan bangunan kosong tanpa penghuni. “Sar, biar aku jelaskan dulu. Bukan seperti itu.” Suara Kak Saga begitu memohon. Aku menghela napas. Usaha yang sia-sia. Dia belum sepenuhnya mengenal perempuan. Kak Sarah takkan memberi kesempatan untuknya membuka mulut. Bahkan untuk meminta maaf, apalagi penjelasan yang aku tahu pasti hanya alasan. Bukan sekarang. Lebih baik dia segera pergi dan kembali lagi nanti. Nanti bagi perempuan itu berbeda-beda. Kak Sarah termasuk yang butuh waktu lama untuk menurunkan kadar emosi dan berpikir secara logis. Aku sudah masuk tahun keempat menumpang di sini. Aku tahu benar bagaimana sifat kakak iparku tersebut. Masalahnya, aku harus ke mana sekarang kalau Kak Saga benaran keluar dari rumah? Pada saat seperti ini, Kak Sarah juga akan memusuhiku. Seolah aku menjadi pendukung setia atas semua tindakan Kak Saga, karena dia kakakku. Handuk yang sudah kupegang, kupasang lagi ke hanger dan menggantungnya di belakang pintu. Aku harus berkemas juga. Dua hari lagi akan kembali. Setidaknya sampai pasangan ini mendapatkan waktu cukup untuk bermediasi. Tas ransel tidak terlalu besar aku isi dengan dua stel baju, pouch make-up, pouch alat mandi, dompet, laptop, pouch berisi charger serta jurnal. Semoga kali ini kemarahan Kak Sarah tidak terlalu lama. Entah apa yang telah dilakukan kakakku? Apa dia membeli sepeda gunung lagi tanpa meminta izin? Atau pancingan seharga belasan juta, tapi jarang dia gunakan? Apa pun itu, yang jelas telah membangunkan singa di tubuh Kak Sarah. “Keluar.” Sekali lagi teriakan Kak Sarah terdengar. Aku menggaruk kepala. Segera menulis di atas sticky note, benda itu akan aku tempelkan di pintu kulkas. Sebagai ucapan pamit, karena aku tak seberani itu untuk mengirim pesan pada kakak iparku. Bunyi pintu dibanting dan deru mobil meninggalkan halaman menyisakan sepi yang menyesakkan. Kakakku sudah pergi. Aku harus segera keluar dan menyelinap pergi juga. Aku tidak mau tetap di sini, lalu menjadi bulan-bulanan keluarga Kak Sarah. Selalu seperti itu jika mereka bertengkar. Meskipun Kak Sarah sendiri tidak mengatakan apa-apa. Pukul sebelas lewat lima belas menit. Ternyata hanya lima belas menit. Rasanya sudah berjam-jam aku terkurung dalam neraka bernama drama sepasang suami istri. Aku menyelinap keluar. Semua ruangan gelap. Hanya ada lampu dapur yang menyala remang. Aku menajamkan penglihatan, jangan sampai menginjak sesuatu yang akan menimbulkan suara. Terutama benda pecah belah yang bisa melukai kakiku. Aku sedang tidak ingin menambah drama. Sticky note berwarna kuning bertuliskan aku tidur di rumah Kiara segera aku tempelkan ke pintu kulkas. Hanya rumah Kiara yang bisa aku tuju sekarang. Gadis itu tinggal sendiri. Tidak ada keluarga yang akan bertanya, pun seorang ibu kos yang melakukan wawancara. Gadis itu mendiami sebuah flat apartemen studio tidak jauh dari kampus. Jika terjadi Perang Bratayudha di rumah ini, aku akan mengungsi ke sana. Kia dengan senang hati akan menerima kehadiranku. Isakan tangis di ruang tengah membuatku berhenti. Aku melihat Kak Sarah menunduk dengan sesenggukan. Apa yang harus aku lakukan? Mendekat padanya dan memberikan dukungan? Tidak mungkin. Kami tidak terlalu akrab. Sejak awal kepindahanku ke rumah ini sudah menambah daftar masalah dalam keluarga baru mereka. Kak Sarah tidak terang-terangan menolak kehadiranku sebagai adik suaminya. Pun, tidak menyambut dengan sukacita kedatanganku yang diantar Ayah empat tahun lalu. Dia hanya menganggapku ada. Itu saja. Itu mengapa aku berusaha tidak menyulitkannya sama sekali. Aku mengurus diriku sendiri. Seperti anak kos yang cukup tahu diri. Empat tahun ini bisa dibilang kami tidak pernah berbincang. Jangankan bersama Kak Sarah, sama kakakku sendiri pun aku tidak pernah. Hubungan kekerabatan kami bisa dibilang rumit. Sepertinya Kak Sarah menyadari kehadiranku. Dia mendongak. Aku benci harus menemukan sinar matanya yang marah, putus asa, sedih, pun ingin menghabisi seseorang pada saat bersamaan. Dia memandangku sekilas, lalu bergegas menuju kamarnya dengan bantingan pintu yang begitu kuat. Bagus. Sekarang aku yang salah. Aku berjalan keluar dengan lunglai. Sudah tengah malam. Jalan perumahan sepi. Namun, beberapa rumah di samping rumah kami masih menyala lampunya. Pasti mereka benaran terbangun karena pertengkaran yang baru saja terjadi. Sebuah pesan aku kirimkan ke Kiara. Aku akan datang ke rumahnya sekarang. Namun, hingga sepuluh menit berlalu, dan aku telah sampai di gerbang perumahan, tidak ada tanda-tanda pesanku akan dibalas. Hanya centang satu. Kemungkinan ponsel Kiara mati. Sial. Aku harus ke mana sekarang? “Mau ke mana, Mbak?” Seorang satpam mendekat. Dia memandangku dari atas sampai bawah. Seolah kami tidak pernah bertemu sebelumnya. Padahal aku sering berdiri di depan gardu ini untuk menunggu angkot saat berangkat kuliah. Biasanya dia tidak pernah bertanya apa-apa. Ah, ya, pemilihan waktunya untuk keluar rumah yang sedang dia pertanyakan sekarang. “Teman saya barusan telepon Pak. Tapi, tidak bisa dihubungi lagi. Dia mengalami keram perut.” Semakin mahir saja aku berbohong. “Tidak ke rumah sakit?” Bapak itu tampak khawatir. “Iya, saya akan membawanya ke rumah sakit. Teman satu rumahnya pada pulang. Kami sudah selesai sidang soalnya, tinggal tunggu wisuda.” Baiklah, Mara, kamu berhak mendapatkan mendali untuk ini. “Kasihan sekali. Mau naik apa? Sudah tidak ada angkot yang lewat.” Dia memandang jalan raya yang lumayan ramai. Nah, kan? Tidak mungkin saya berdiri di sini sambil menunggu Kia membuka pesan dan membalasnya. “Saya naik ojek saja, Pak.” Kening satpam tersebut berkerut. Dia menoleh pada pos sekuriti. Jam dinding bulat warna putih dan cukup besar itu menjadi alasan utamanya. Sudah setengah dua belas lewat. “Jauh?” Raut khawatir itu membuatku merasa bersalah. Tapi, tidak mungkin juga aku menarik kata-kata yang sudah keluar dengan lancar tadi. Lagipula penampilanku cukup meyakinkan. Aku masih mengenakan baju pagi tadi. Hoodie warna kuning yang cukup longgar dengan celana jeans biru pudar dan sepatu kets putih. Aku menguncir rambut sedadaku dengan satu kuciran asal. Jauh sekali dari kata rapi. Mau rapi bagaimana, aku bahkan belum mandi. “Dekat dengan kampus kami. Tidak terlalu jauh.” Bapak itu menghela napas lega. “Naik taksi saja, Mbak.” Aku mengangguk. Apa saja, yang penting segera pergi dari tempat ini. Aku tidak mau menambah kebohongan. Walau bukan dosanya yang aku khawatirkan. Aku takut, pada akhirnya tidak bisa membedakan yang mana kenyataan, atau karanganku semata. Itu menakutkan. Berharap taksi lewat pada jam seperti ini juga susah. Ini bukan sinetron, saat seseorang membutuhkan tumpangan untuk pergi maka taksi begitu saja mendekat. Jalanan memang masih ramai dengan kendaraan pribadi. Lalu-lalang motor pun tak kalah ramai. Beberapa pedagang kaki lima masih dipenuhi pengunjung. Perutku mendadak lapar. Seharusnya bukan mendadak, aku memang belum makan sesuatu sejak sore tadi. “Mau saya antarkan ke rumah temannya, Mbak? Tapi, hanya naik motor.” Satpam itu menoleh pada motornya yang terparkir di samping gardu. Dia berusaha tersenyum. Sudah lima menit berlalu dan tidak ada tanda-tanda taksi bakalan lewat. “Saya pesan ojek saja, Pak. Lagipula masih ramai. Jalan menuju kampus, kan tidak pernah sepi.” Aku segera meraih ponsel dan mencari aplikasi ojek online. Masih banyak motor lewat dengan pengendaranya memakai jaket hijau. Meskipun marak berita bahwa pengemudi ojek jarang mau menerima pesanan tengah malam, tapi aku berdiri di jalan raya yang ramai ditemani satpam juga. Bukan memintanya datang untuk menjemput ke jembatan kosong apalagi kuburan. Tujuanku juga jelas, ke sebuah apartemen tidak jauh dari kampus. Aku akan menunggu Kiara di sana saja. Tak lama kemudian sebuah motor datang mendekat. Pengemudinya membuka kaca helm. “Samara, bukan?” Dia bertanya padaku. Aku memandang plat nomor motorya dan segera mengangguk setelah mencocokkan nomor tersebut dengan yang tertera di layar ponsel. “Pak, saya duluan.” “Semoga temannya tidak apa-apa, Mbak.” Hah, teman saya kenapa? Ah, ya, dia keram. Semoga Kiara benaran tidak apa-apa. Aku hanya tersenyum dan mengangguk, sebelum motor matic seratus lima puluh cc itu melaju dengan cepat. Bergabung dengan pengendara lain yang memenuhi bahu jalan. Tidak butuh waktu lama sampai aku turun di depan apartemen. Aku memandang tiga tower yang lumayan tinggi di depanku. Masih ada lalu-lalang kendaraan memasuki jalan tunggal milik apartemen tersebut. Setidaknya panjangnya ada seratus meter dari jalan raya. Aku duduk di trotoar sepert orang bodoh. Memegang ponsel yang tak jua menyala. Sepertinya aku harus menelpon Kiara. Gadis itu memang tidak begitu suka dihubungi secara langsung. Dia benci dengan perasaan was-was saat seseorang menelpon. Biasanya ponselnya berdering saat ada kabar buruk. Tanda mendesak yang tidak bisa disampaikan dengan kalimat berwujud pesan chat. Bodo amat. Ini juga mendesak. Aku lapar. Aku belum mandi. Aku butuh tempat untuk berbaring. Hanya dia yang bisa aku hubungi pada jam-jam seperti sekarang. Hanya dia juga yang tak akan banyak melontarkan pertanyaan. Sampai panggilan kedua, tidak ada tanggapan dari seberang. Panggilan tersebut masuk, tapi tidak dijawab. Apa mungkin Kia sudah tidur? Tidak mungkin. Dia makhluk nocturnal. Dia takkan tidur sampai menjelang subuh. Itu mengapa dia sering ketiduran di kelas. Terutama kelas yang mengharuskan kehadirannya di pagi hari. Ah, sial. Perutku lapar sekali. Aku harus berjalan lumayan jauh untuk sampai jalan raya. Masih banyak warung tenda yang buka. Aku harus menyelamatkan perutku terlebih dahulu sebelum memikirkan akan tidur di mana nanti. Mungkin aku akan buka kamar hotel, dan meminta Kak Saga untuk mengganti uangku nanti. Hotel yang murah saja. Yang penting bisa untuk bermalam. Benar, ke mana kakakku pergi sekarang? Kalau dia tidak pulang, kemungkinan dia sedang menginap di hotel, kan? Aku bisa .... “Kabur dari rumah?” Langkahku terhenti dan segera berbalik. Dia, laki-laki itu tersenyum di belakangku. Aku memandang sekeliling. Tidak ada siapa-siapa. Dari semua makhluk yang kemungkinan bertemu denganku malam ini, kenapa justru dia? Aku berkedip beberapa kali. Berharap pada kedipan ke sekian dia akan hilang. Dia justru terkekeh. Dari penampilannya yang sedikit berantakan, sepertinya dia baru pulang kerja. Kemaja krem garis-garis dengan lengan panjang tersebut sudah tidak rapi lagi masuk ke celana khakinya yang pas. Sebagian sudah menyembul keluar. Kedua lengannya tergulung hingga ke siku. Dasinya sudah longgar. Kancing teratas kemejanya juga sudah terbuka. Dia terlihat .... panas. Ah, sial. “Kamu tinggal di sini?” Aku memandang tiga tower di belakang tubuhnya. Padahal aku sering ke sini. Bahkan siang tadi aku baru saja dari tempat ini. Kenapa kami tidak pernah bertemu? Ah, ya, dia bekerja. Kemungkinan pagi-pagi sekali sudah berangkat, dan jam segini baru pulang. Jakarta memang keras. Dia menoleh ke belakang. “Ya. Butuh tempat menginap?” Aku yakin wajahku memerah. Rasa panas tidak terhindarkan. Menginap? Itu bukan arti secara harfiah. Aku tahu benar makna di balik kata tersebut. Sebulan lalu, kami pernah terjebak dalam situasi yang bisa dikatakan menginap tersebut. Tentu saja bukan dalam kamar apartemennya. Melainkan satu kamar hotel yang membuat kami berdua tidak tidur semalaman. Pengalaman paling bodoh sekaligus mengesankan. Ya, putus cinta membuat seseorang menjadi bodoh. Jika bicara mengenai aku. Itu kebodohan. Aku putus, berakhir dengan pesta, dan bangun di sebuah kamar hotel dengan seorang pria yang tidak aku kenal. Pria itu berdiri di depanku sekarang. ***  

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

BELENGGU

read
63.3K
bc

After That Night

read
7.3K
bc

Hasrat Istri simpanan

read
4.6K
bc

Revenge

read
11.9K
bc

The CEO's Little Wife

read
622.9K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
50.6K
bc

Istri Lumpuh Sang CEO

read
3.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook