Prolog
Suara desisan tajam terus terdengar sepanjang waktu, menggantikan musik dan nyanyian jernih yang biasanya mengalun dengan merdu. Desisan tersebut berasal dari percikan sinar merah yang saling bersahutan di langit, menjilat dan berkobar sepanjang garis lengkung sihir.
Sinar rembulan seharusnya berkilau biru keperakan. Namun, kali ini merahlah yang mendominasi warnanya.
Di atas menara paling tinggi yang ternaungi ketidakwajaran sang penguasa langit malam, dua sosok bercahaya berdiri bersisian, menatap lapisan kubah sihir yang mengungkung mereka dari dunia luar.
Gerak tubuh mereka yang ringan penuh dengan kegelisahan, lantas mereka saling melempar pendapat dan memperbincangkan apa yang menjadi kekhawatiran terbesar.
“Sudah saatnya.” Suara yang agung dan jernih berkata dengan tegas, membuat sosok yang lain mengalihkan perhatian kepadanya. “Panggil mereka, keadaan sudah berada di luar kendali kita.”
“Saudaraku,” ucap suara yang lebih lembut, mengalun anggun bagai nyanyian peri. “Apakah bijak memutuskan hal tersebut sementara kita masih dapat melakukan apa yang kita bisa?”
“Archelios tidak akan datang lebih lama dari kematian. Cepat atau lambat, pilihan terakhir kita dan apa yang telah dia lihat harus tetap dilaksanakan,” sahut suara agung dengan telak.
“Aku hanya cemas.” Suara yang lebih lembut menimpali. “Pertumpahan darah tidak akan dapat dihindarkan dari pilihan tersebut. Akan terlalu banyak memakan korban yang tidak terkait dengan masalah kita.”
“Bukankah sejak awal kematian memang tidak pernah terelakkan.”
Itu sebuah pernyataan, dan sosok yang lebih lembut mengangguk dengan muram. “Aku akan mengirim pesan kepadanya, menitahkannya untuk mempersiapkan para pelindung.”
Bersamaan dengan itu, dia berjalan ringan menuju pintu, meninggalkan sosok yang lain berdiri diam di tengah kegelapan.
“Rembulan memerlukan sinar untuk kembali bercahaya, meskipun rembulan lain yang harus dikorbankan sebagai bayarannya.” []