bc

Homophobia in Love (indonesia)

book_age0+
1.5K
FOLLOW
9.7K
READ
tomboy
powerful
comedy
sweet
gxg
transgender
like
intro-logo
Blurb

Jessica Arshella memiliki hampir semua yang diidamkan oleh setiap gadis seusianya. Cantik, pintar, populer dan memiliki segudang bakat. Seorang gadis dengan penyakit homophobia stadium akut. Namun masalah muncul dihidupnya ketika ibunya yang single parent memutuskan untuk menikah kembali dan mengenalkannya pada sepasang saudara tirinya yang kembar. Pada awalnya Jess mengira hidupnya akan semakin berwarna ketika kedua kakak laki-lakinya itu hadir. Hingga pada suatu hari ia menyadari bahwa salah satu kakaknya ternyata bukanlah laki-laki seperti yang ia kira.

Revian Ivandra sudah lama memproklamirkan dirinya sebagai seorang lesbian. Ia berpakaian dan bertingkah laku layaknya seorang laki-laki. Ia cukup terkejut ketika mendengar keputusan ayahnya untuk menikah lagi dengan ibu dari seorang artis terkenal. Pada awalnya ia mengira kehidupannya akan tetap baik-baik saja sampai ia bertemu dengan adik tiri yang mampu membuat jantungnya bergetar.

chap-preview
Free preview
Hai, Aku Jessica
Aku sedang asik memainkan salah satu game online favoritku di smartphone ketika secara tidak sengaja mendengar pembicaraan dari kakak-kakak perempuan Papa. Apa kata mereka barusan? Mungkin aku salah dengar. Aku kembali fokus pada gadgetku kemudian kembali mendengar ucapan yang cukup membingungkan itu. Penasaran, akhirnya aku meng close permainan yang akhir-akhir ini cukup menyita waktu senggangku kemudian bergerak mendekati para ibu-ibu yang sudah tidak muda lagi itu. "Tadi, Tante Mis bilang apa?" Tante keempatku itu langsung berpaling menatapku yang kini sudah duduk tak jauh darinya. "Revi? Memangnya kamu belum dengar beritanya?" Aku menggeleng. "Papa kamu mau menikah lagi dengan janda beranak satu." Tante Mis terdiam memperhatikan reaksiku sejenak. "Calon istrinya kerja di rumah sakit sebagai kepala rumah sakitnya. Kata Papa kamu, anak dari calonnya ini artis terkenal." Menikah lagi? Aku bahkan tidak pernah tahu jika Papa menjalin hubungan dengan perempuan semenjak di tinggal pergi oleh Mama. Dan sekarang tahu-tahu ingin menikah? Mendadak sekali. Papa bahkan tidak pernah bercerita apa-apa padaku maupun Rekas. "Kok Papa gak bilang atau izin Rev dulu untuk menikah Tan?" "Justru Tante kira Papa kamu sudah kasih kabar ke kamu sama Rekas. Jadi kami diam saja." "Memangnya artis yang mana Tan?" tanyaku lagi. "Gak tahu. Tante lupa namanya. Besok lusa juga kamu ketemu sama anaknya. Besok lusa kita sekeluarga berangkat kerumahnya. Mau bahas untuk pernikahan mereka. Kamu sama Rekas harus ikut." "Lusa?" "Iya, kerjaan kamu bisa ditinggal kan?" Aku terdiam mencoba mengingat jadwal kerjaku yang memang tidak seperti pegawai kantoran. Maklum, pekerjaanku bukanlah dibalik meja. Aku hanya seorang Kepala Perencanaan di sebuah agency model. Pekerjaanku kebanyakan berada dilapangan. Mengatur jadwal para model, mencari sponsor untuk event-event yang kadang kantor ku selenggarakan, atau bolak balik ke luar negeri untuk menemani para modelku bekerja. Meskipun hanya agency model biasa, agency model tempatku bekerja cukup terkenal di Asia. Banyak brand dari produk pakaian atau aksesoris yang memakai jasa kantorku sehingga tidak jarang aku dan rekan lainnya harus bekerja sama dengan brand-brand ternama dari luar negeri yang memang mencari wajah-wajah Asia untuk menjadi model mereka. Tidak jarang ada artis atau band yang juga memakai model agencyku sebagai model video klip mereka. Jika sedang beruntung, bahkan beberapa majalah terkenal seperti Vogue dan Bazaar seringkali mengontak meminta kami mengirimkan model bagi majalah mereka. Kupikir pekerjaan ini sangat cocok bagiku yang berpenampilan seperti laki-laki. Aku tidak tertarik bekerja pada perusahaan atau kantor yang mengharuskan pegawainya berpakaian secara formal. Tentu saja. Aku pasti diharuskan memakai blouse dan rok pendek diatas lutut. Benar-benar bukan gayaku. Jika aku berpakaian seperti itu, aku justru terlihat seperti seorang banci taman lawang. Untungnya agency model tempatku bekerja tidak mengharuskan karyawannya untuk berpakaian formal. Yang penting rapi dan sopan. Sungguh fleksibel. "Bisa kan Revi?" tanya Tante Mis lagi yang melihat aku masih terdiam. "Iya bisa Tante." Setelah berkata demikian, aku segera bangkit dan kembali meraih smartphone yang tadi kuletakkan di atas meja. Aku harus menghubungi salah satu karyawanku untuk mengatur ulang jadwal-jadwalku. Baru saja aku selesai menghubungi sang karyawan, sebuah notifikasi dari social messenger ku muncul. Dari Reka. Nama sebenarnya Rekas Ivandra. Namun aku lebih suka memanggilnya Rek atau Reka saja. Lebih simple. Saudara kembarku itu memang bekerja di sebuah perusahaan konstruksi bangunan di ibukota, berbeda denganku yang memilih bekerja di Bandung. Meskipun jarang bertemu karena kesibukan pekerjaan, aku dan Reka masih sering memberi kabar lewat social messenger. Mungkin benar kata orang-orang, anak kembar biasanya terikat secara batin sejak lahir. Begitu halnya yang aku dan Reka alami. Meskipun tubuh kami terpisah jauh, tapi instingku dan instingnya seolah saling berkaitan dalam seutas tali yang sama. Jika sesuatu yang buruk terjadi padanya, aku bisa dengan cepat merasakan firasat tidak enak. Begitu juga sebaliknya. Hal ini membuatku tidak bisa untuk tidak mengabaikannya meskipun hanya satu hari. Lo udah tahu berita mengenai pernikahan Papa? Hanya itu pesan singkat darinya yang kuterima. Tanpa menunggu lebih lama, segera kuhubungi kembaranku itu. Teleponku langsung diangkat pada dering pertama. "Rev, gimana? Lo udah tau?" Reka langsung menyapaku tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu. "Lo tau dari mana? Gue baru tau. Barusan aja." "Gue di kabarin Mbak Tantri," jawabnya. Mbak Tantri adalah sepupu kami yang tertua. Usianya hampir menginjak 37 tahun dan sudah memiliki dua orang anak yang kini duduk di bangku SMA dan SMP. "Jadi gimana?" "Apa yang gimana?" Reka justru balik bertanya. "Lo setuju?" "Kalau lo?" "Gue? Asalkan Papa bahagia.." "Kita juga bahagia," sambung Reka seakan mengerti apa yang hendak kukatakan. Itulah salah satu manfaatnya punya saudara kembar. Reka selalu bisa menebak isi pikiranku meskipun jarak di antara kami cukup jauh. Ibu kandung kami, aku enggan menyebutnya dengan panggilan Mama, adalah seorang wanita berkebangsaan Inggris yang amat modern. Setelah melahirkan aku dan Reka, wanita itu lantas meninggalkan kami pulang ke negara asalnya karena tidak tahan dengan keluarga besar Papa yang dianggapnya kuno. Menurut cerita Papa, ibu kandung kami memiliki kebiasaan minum alkohol setiap malam. Menyukai dunia malam. Hal ini sangat bertentangan dengan keluarga Papa yang sangat menganut budaya timur. Karena begitu ketatnya budaya timur yang di anut oleh keluarga Papa, hal tidak menyenangkan sempat kualami ketika usiaku menginjak 15 tahun. Saat itu aku mulai menyadari bahwa ada yang berbeda denganku. Bahwa aku seharusnya tidak terlahir ditubuh seorang perempuan. Bahwa cinta monyetku justru jatuh pada seseorang yang berjenis kelamin sama denganku. Aku lebih suka mengenakan pakaian laki-laki daripada harus memakai rok dan sepatu bertumit tinggi. Sejak kecil, aku bahkan tidak bisa membedakan pakaian wanita mana yang menarik dan yang tidak. Namun mataku bisa dengan cepat memilih pakaian mana yang bagus untuk Reka dan mana yang tidak. Hingga pada akhirnya aku mulai memutuskan untuk mengubah penampilanku seperti layaknya laki-laki. Tentu saja saat itu keinginan ku ditentang oleh seluruh keluarga besar Papa. Aku dimarahi habis-habisan begitu mereka mendengar pengakuanku. Setiap kali aku muncul di berbagai acara keluarga, mereka tidak mau menegurku. Aku bahkan sempat di kucilkan oleh keluarga ku sendiri. Papa bahkan pernah mengusirku dari rumah karena merasa malu memiliki anak sepertiku. Sempat selama dua tahun, aku hidup menumpang di rumah salah satu kerabat kami hingga akhirnya salah satu dari Tante-ku muncul dan membujukku untuk kembali ke rumah. Meskipun saat aku memutuskan kembali, aku masih bisa mendengar amarah Papa dan beberapa Tante ku berkali-kali. Setelah tahun demi tahun berlalu, lama kelamaan mereka mulai membiarkan aku menjalani hidupku seperti apa yang kuinginkan. Meskipun terkadang sesekali mereka masih mencibirku setiap kali kami berkumpul bersama. "Lusa kita bakal ketemu sama calon Mama kita. Lo ada kerjaan di hari itu?" Kurasakan Reka tampak berpikir sejenak dari seberang sana. "Kalau sore kerjaan gue udah selesai." "Sip. Kalau begitu lusa sore kita kesana." "Oke." "Eh Rek," kataku cepat sebelum ia memutuskan sambungan. "Lo udah denger soal calon ibu tiri kita?" "Kalau dia ibu dari artis terkenal?" tebaknya tanpa menunggu lebih lama. "Jadi lo udah tahu," gumamku pelan. "Siapa artis itu?" Kudengar Reka tertawa kecil dari seberang sana. "Lo tahu Jessica Arshella?" "Yang baru-baru ini ngeluarin film yang sampai sekarang masih betah nangkring di bioskop? Dia?" "Yap. Lo bener. Dia calon adik tiri kita." "Apa dia.. Bakal nerima kita?" "Papa udah melamar ibunya. Ibunya gak akan setuju kalau anaknya nolak kan? Itu berarti dia memang sudah membuka tangannya lebar-lebar untuk kita." "Yeah, you're right." "Oke, sampai ketemu di Jakarta lusa twin!" Reka langsung memutuskan sambungan telpon. Kupandangi layar smartphoneku dengan perasaan yang masih diliputi kebingungan. Kuharap apa yang dikatakan Reka memang benar. Bahwa Jessica Arshella akan menerima kehadiran kami, keluarga barunya dengan tangan terbuka. Mengingat keadaanku sendiri sudah cukup rumit, aku tentu tidak berharap bahwa adik tiriku akan ikut mencibir dan menjauhiku karena orientasi seksualku ini. *** Aku duduk di samping kemudi menemani Kak Juli, suami dari Mbak Tantri mengemudikan mobilnya mengikuti iring-iringan mobil yang berada di depan. Kembaranku, Reka, berada di mobil belakang bersama Papa dan Tante tertuaku. Ya, meskipun secara kasat mata Papa lebih terlihat dekat dengan Reka, tapi aku bisa merasakan Papa lebih menyayangiku daripada Reka. Setiap kali ia menyentuhku atau memberikan kecupan di kepala atau keningku, aku bisa merasakan luapan kasih sayang yang terpancar dari setiap sentuhan Papa. Ini bukan berarti kehadiran Reka dinomorduakan. Papa menyayangi kami berdua. Hanya saja aku merasa Papa lebih sedikit mencurahkan kasih sayangnya yang berlebihan padaku. "Kamu deg-degan gak Rev mau ketemu sama adik baru?" Mbak Tantri yang duduk dari kursi belakang kini mulai mengajakku berbicara. "Hmm.. Enggak," gumamku pelan. "Bohong. Tante pasti deg-degan," celetuk Sabila, keponakanku yang baru saja menginjak bangku SMA. "Tante gak deg-degan." "Om Rev bakal punya adek artiiis." Zaky yang lebih suka memanggilku dengan sebutan Om daripada Tante ikut berkomentar. Sejak kecil Zaky memang sedikit bingung dengan penampilanku. Ia sempat mengira bahwa aku laki-laki dan terbiasa memanggilku dengan sebutan Om hingga sekarang. Meskipun kedua orangtuanya sudah memberitahunya bahwa aku adalah perempuan. Di antara semua keponakanku, hanya Sabila yang masih memanggilku dengan sebutan Tante. "Kerjaan kamu dan dia kan mirip-mirip. Mbak dengar, Papa kamu punya rencana untuk jadiin kamu managernya Jessica." "Managernya yang lama mau dikemanain?" "Managernya yang lama kan calon Mama tiri kamu." "Oh." Aku mengangguk. "Tapi aku gak mau ninggalin pekerjaan aku Mbak." Iring-iringan mobil kami memasuki sebuah komplek perumahan yang bisa dibilang cukup elit. Rumah-rumahnya tampak megah dan luas. Terdapat pohon-pohon rindang di sisi-sisi jalan. Menambah sejuk suasana perumahan ini. Meskipun menurutku kota kelahiranku jauh lebih sejuk daripada disini. Mobil Kak Juli berhenti tepat disebuah rumah. Rumah ini cukup besar dan bergaya minimalis. Warna-warna dindingnya yang abu-abu, putih serta sedikit campuran kuning membuatnya terlihat cukup indah dipandang mata. Aku bisa melihat mobil-mobil keluargaku yang lain cukup kesulitan mencari lokasi untuk memarkirkan mobil mereka. Papa, yang sudah lebih dulu memarkirkan mobilnya di dalam garasi rumah, berjalan menghampiri mobil kami dan mengetuk kaca mobil Kak Juli. "Kenapa Uncle?" Kak Juli mengeluarkan wajahnya dari balik kaca. Raut mukanya terlihat cukup bingung. "Kamu turun dulu. Biar nanti Rekas sama Revi yang parkirin mobil-mobil kalian. Gak enak kita sudah ditunggu dari tadi." "Iya Uncle." Seolah mengerti, Kak Juli lantas turun dari mobil dan memberi isyarat padaku dengan ekor matanya untuk segera mengambil posisi di kemudi. Mbak Tantri beserta anak-anaknya ikut turun bersama suaminya. Ia sempat melemparkan candaan padaku dengan mengatakan bahwa ia akan menyampaikan salamku terlebih dahulu pada sang adik baru yang hanya kubalas dengan sedikit menaikkan kedua alisku. Aku dan Reka cukup mengalami kesulitan mengatur posisi mobil-mobil yang berukuran cukup besar ini. Avanza, Innova, CRV, Fortuner, APV. Semuanya mobil keluarga. Hanya Mobil Tante Mis yang termasuk kecil, Yaris. Reka sempat terkekeh melihat aku menggerutu sendirian sambil naik turun ke kursi kemudi. Tentu saja. Ini perumahan. Tidak ada lahan parkir yang cukup untuk keenam mobil ini. Aku dan Reka terpaksa memarkirkan mobil-mobil ini berjejer di sisi jalan, tepat di depan pagar rumah ibu tiriku. "Selesai!" Reka menepukkan kedua tangannya seolah terlihat puas dengan hasil kerja kami yang hanya membutuhkan waktu tidak kurang dari 15 menit. Ia kemudian merangkul bahuku kemudian mengajakku untuk memasuki rumah yang kini mulai ramai dengan suara-suara keluarga besarku. Aku sempat melotot pada Reka lalu melepaskan lengannya dari bahuku. Tubuhku sudah cukup lelah selama diperjalanan dari Bandung-Jakarta. Aku tidak ingin lengannya yang kokoh itu semakin membuat bahuku nyeri. Meskipun postur tubuh kami sama, tapi Reka lebih memiliki otot-otot yang kuat daripada milikku. Meskipun aku sudah melatih ototku dua kali lebih keras dari pria manapun yang rajin berkunjung ke gym. Tetap saja tubuh laki-laki dan perempuan berbeda. Aku selalu mendambakan bisa memiliki otot bagus layaknya model Prancis Erika Linder. Dia seorang androgynous perempuan. Tubuhnya? Jangan ditanya. Pria manapun akan iri dengan otot-otot yang dimilikinya. "Rek! Rev! Sini!" Aku bisa mendengar Papa memanggil kami begitu aku dan Reka memasuki ruang tamu. Reka berjalan lebih dulu di depanku. Aku lalu melihat seorang gadis dengan senyum yang manis berjalan menghampiri Reka. Jessica Arshella. Diluar dugaan, Jessica jauh lebih cantik daripada yang kulihat di televisi. Dan senyumnya itu.. Aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya, tapi sepertinya senyumnya mampu membuat jantungku berdebar dan gugup. "Hai, aku Jessica," ucapnya sambil mengulurkan tangannya pada Reka. Dia sangat ramah. Kukira karena seorang selebritis dia mungkin memiliki sikap yang angkuh dan sombong untuk menjaga wibawanya. "Aku tahu kalau kamu Jessica. Aku sering lihat kamu di tv. Aku Rekas Ivandra." Aku bisa merasakan Reka menjawab perkenalan dari adik baru kami dengan sama hangatnya. Masih dengan kehangatan yang sama, Jessica kini berganti memandangiku. Matanya memperhatikan penampilanku sejenak kemudian tangannya terulur padaku. "Hai." Jessica menyapaku dengan cukup ramah. Sama ramahnya ketika ia menyapa Reka. Kupikir gadis ini bisa menjadi saudara tiri kami cukup baik. Setidaknya sambutannya yang hangat ini menunjukkan bahwa dia menerima keluarga barunya dengan senang hati. Sambutan yang tidak aku duga sebelumnya. Aku sempat terkesima menatap wajahnya sedekat ini. Cantik, manis, mempesona dan begitu memukau. Tidak pernah aku bertemu seorang gadis yang bisa dengan sukses mencuri hatiku pada pandangan pertama seperti ini. Dia benar-benar membuatku terkesan. Apa yang kupikirkan? Aku seharusnya tidak tertarik pada calon adik tiriku sendiri. "Uhm.. Ya." Kusambut uluran tangannya dengan kikuk. Aku bisa merasakan tangannya yang lembut itu memberikan percikan-percikan listrik ketanganku kemudian mengantarkan percikan itu tepat menuju jantungku. Membuat degup jantungku mendadak berdetak tidak seirama. "Jadi, aku manggilnya apa nih? Kakak?" Pertanyaannya membuatku langsung tersadar bahwa kami masih saling menatap untuk waktu yang kupikir cukup lama. "Hemm, ya. Kakak juga boleh." Dengan cepat, kutarik tanganku sambil mencoba menetralkan degup jantungku yang sempat berpacu tidak karuan. Aku sempat merasakan Jessica menatapku dengan sedikit bingung. Setelah berkenalan dengan Jessica, aku dikenalkan dengan calon Mama baruku dan keluarganya. Wajah Mama baruku ini sungguh manis. Tidak berbeda jauh dengan Jessica. Kulit wajahnya putih dan tertutup hijab. Tipikal seorang ibu muda yang modern namun penuh kasih. Aku sedikit gugup melihatnya tersenyum padaku. Aku memanglah bukan jenis orang yang mudah berkenalan dan beradaptasi dengan orang-orang baru. Berbeda dengan Reka yang dengan mudah bisa mengekspresikan apa yang ada dipikirannya ke dalam bicaranya, aku lebih sulit menunjukkan perasaan hatiku. Aku lebih suka menyimpannya sendiri dan bersikap setenang mungkin serta tidak keluar dari zona nyamanku. "Jessica sekarang kuliah dimana?" Aku bisa mendengar Tante Mis bertanya pada calon adik tiriku. "Aku kuliah di Persada Pertiwi Tante. Ngambil jurusan desain grafis." Biar kutebak, Tante Mis pasti tidak paham apa itu desain grafis. Jika bertanya mengenai RPP, kurikulum 2014, sertifikasi guru tentu akan dijawabnya diluar kepala. Semua tanteku bekerja sebagai guru Sekolah Dasar kecuali Tante Yus, adik Papa. Tante Yus bekerja sebagai pegawai negeri. Di antara semua tanteku, hanya Tante Yus yang sedikit lebih modern. "Itu ngapain nanti kerjanya?" Benar kan dugaanku. Tante Mis akhirnya kembali melancarkan pertanyaan yang menurutku cukup sulit untuk dijawab. Jessica tampak mulai menyadari bahwa Tante Mis sama sekali buta mengenai desain grafis. Kupikir gadis ini akan tersenyum mengejek dan mulai memandang remeh tanteku yang kuno itu. Namun, di luar dugaanku, Jessica justru kembali tersenyum. Dengan sabar, ia menjelaskan pada Tante Mis apa saja yang dilakukan oleh seorang desainer grafis dan apa saja lapangan pekerjaan yang cocok bagi seorang lulusan desain grafis. "Jadi kalau buat-buat undangan, bikin sampul majalah, poster begitu kamu bisa?" "Bisa Tante." "Kalau begitu, kalau Tante mau buat undangan pernikahan, sama kamu aja ya." Sepertinya Tante Mis sudah salah kaprah mengartikan pekerjaan desainer grafis sebagai pekerjaan percetakan. Tentu saja seorang desainer grafis bisa dengan mudah mendesain bentuk undangan apa yang diinginkan, tapi tetap saja untuk membuat undangan itu menjadi utuh dibutuhkan tenaga dari bidang profesi lainnya. Kulihat Jessica hanya mengangguk menanggapi permintaan Tante Mis yang sedikit tidak masuk akal itu. "Om, mau cucu." Diva, keponakanku yang baru berusia 2 tahun tiba-tiba menarik lengan kemejaku dengan wajah memelas, mengusik fokus ku pada Jessica. Aku sempat melirik Bunda-nya yang masih sibuk mengobrol dengan calon Mamaku. Aku tidak ingin mengganggu mereka. Tapi aku juga tidak ingin melihat keponakan tersayangku ini merengek kehausan hanya karena sepupuku itu sedang sibuk. Kubawa Diva ke dalam gendonganku kemudian bergerak mencari kotak susunya yang tadi sempat kulihat diletakkan oleh Bunda-nya di atas meja. Setelah menuangkan beberapa sendok s**u kedalam botol, mataku mulai sibuk mencari dispenser. Aku sempat kesulitan menemukannya sementara Diva semakin merengek di dalam gendonganku. Karena tidak tega melihat Diva yang semakin kehausan dan terlihat ingin menangis, aku akhirnya nekat menuju dapur dan menemukan seorang asisten rumah tangga yang berusia hampir separuh abad sedang menyiapkan beberapa minuman. "Uhm, anu.." Perempuan paruh baya ini menoleh kaget melihat kehadiranku. "Iya, ada apa ya Mas?" Ini bukan kali pertama orang-orang mengira bahwa aku laki-laki. Aku sudah tidak pernah mempedulikan betapa seringnya aku dikira laki-laki oleh orang-orang yang baru kutemui. Jadi aku membiarkan saja ketika asisten rumah tangga ini memanggilku dengan sebutan Mas dan melihatku dengan wajah bingung. "Uhm.. Aku bisa minta air hangat? Mau buat s**u untuk anak ini." Mataku menunjuk Diva yang masih berada dalam gendonganku. Memeluk leherku dengan erat sambil menyandarkan kepalanya dibahuku. Seakan mengerti, asisten rumah tangga itu menunjuk salah satu dispenser di samping lemari es. "Itu air hangatnya bisa diambil disana Mas." "Oh! Makasih Bi." Aku langsung bergerak mendekati dispenser dan menekan tombol untuk air hangatnya. "Anu.." Asisten rumah tangga itu terlihat ingin mengatakan sesuatu. "Kenapa Bi?" Aku menoleh menatapnya setelah menyelesaikan tugasku membuatkan sebotol s**u untuk Diva. Kuberikan botol itu ke tangan-tangan Diva yang mungil yang segera disambut antusias olehnya. "Jangan panggil Bi, Mas. Panggil Bude saja. Mas ini, calon anaknya Ibu kan?" "Uhm.. Iya Bude." "Walah.. Ganteng tenan tho," komentarnya setelah mencermati wajahku sejenak. "Mas ini bule? Yang kalau ngomong cas cis cus begitu?" "I.. Iya Bude." "Nanti kalau Ibu sama Pak Andre nikah, apa kalian akan tinggal disini?" "Hemm, iya sepertinya.." Bude mengangguk puas mendengar jawabanku. "Bude pikir Bude harus pindah ke Bandung ikut sama Pak Andre. Untunglah kalau tinggalnya disini. Habis anak-anak Bude semuanya kerja disini Mas. Kasihan mereka. Repot kalau harus jengukin Bude setiap minggu ke Bandung." Ia berbicara sambil melanjutkan membuat minuman. "Anak-anak Bude kerja dimana?" "Yang tua ikut pamannya jadi kuli bangunan Mas. Yang nomor dua perempuan, ikut suaminya buka usaha warung makan." "Bude sudah punya cucu?" "Walah.. Sudah tho Mas. Cucu Bude ada 5. Masih kecil-kecil. Lucu sekali. Sebaya lah sama anak yang Mas gendong ini." Aku melirik Diva yang kini mulai terlelap dalam gendonganku dengan mulut masih melumat botol susunya. "Oh, salam buat cucu-cucunya ya Bude." "Nanti kalau mereka main kesini akan Bude kenalin sama Mas," jawabnya sambil tangannya sibuk bekerja. "Hemm, Bude.. Jangan panggil Mas. Panggil aku Revi aja." "Iya Mas Revi." "Gak usah pake Mas nya Bude. Aku ini perempuan." Perempuan paruh baya itu menoleh menatapku sekilas kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya. "Mas Revi ini bercanda ya? Mana mungkin Mas ini perempuan. Lha wong laki-laki banget begini." Aku tersenyum kecil mendengar ucapannya. Setelah mendengar seseorang memanggil nama Diva dari ruang tengah, aku berbalik menatap Bude yang masih memunggungiku. "Bude, aku duluan ya. Maaf gak bisa bantu." *** Aku duduk terdiam dalam perjalanan pulang dari rumah calon Mama tiriku. Pikiranku teringat pada sosok Jessica yang selama hampir beberapa jam yang lalu kupandangi dengan diam-diam. Entahlah. Aku sudah sering jatuh cinta pada sesama perempuan. Namun aku cukup dibuat terkejut dengan perasaanku sendiri. Aku tidak pernah jatuh cinta pada pandangan pertama seperti ini. Dan Jessica mampu membuat perasaanku cukup terombang-ambing. Tentu saja hal ini tidak boleh. Dia adikku. Meskipun status kami hanya adik tiri. Aku tidak mungkin 'makan' adik sendiri. "Revi, kata Uncle hotel tempat kalian menginap nanti gak ada kamar kosong." "Huh?" Aku berpaling menatap Mbak Tantri yang masih sibuk menatap layar smartphonenya. Uncle adalah panggilan yang semua sepupuku gunakan untuk memanggil Papa. "Iya ini Uncle baru kasih kabar. Dia bilang dia akan nginap di kosannya Rekas." "Terus aku gimana? Aku gak mungkin menginap disana juga." Karena Papa harus mengurus beberapa keperluan untuk pernikahannya, Papa mengajak aku untuk tinggal selama beberapa hari di Jakarta. Seingatku, kami sudah memesan hotel dari jauh-jauh hari sebelumnya. Tapi kenapa hari ini hotel tersebut mendadak penuh? "Gimana kalau kita balik ke rumahnya Tante Merry dan Jessica? Mereka pasti punya banyak kamar kosong buat kamu," usul Kak Juli dari sampingku. "Apa? Gak mungkin aku sendirian.." "Kalau gitu aku telpon dulu Jess nya." Mbak Tantri langsung menyetujui usul suaminya itu. "Mbak?" Aku belum sempat mencegahnya. Tangannya sudah lebih dulu memencet kontak pribadi Jessica yang aku tidak tahu sejak kapan ia minta pada sang empunya itu. "Jessica?" Mbak Tantri mulai berbicara ditelpon. "Masa lupa? Baru tadi kita ketemu. Ini Mbak Tantri. Sepupunya si kembar yang paling tua. Yang tadi minta nomor kamu." Aku melotot memandangi Mbak Tantri yang kini tersenyum-senyum memandangiku. Salah satu jarinya diletakkan di depan bibirnya, memberiku isyarat untuk diam. "Hallo? Jess?" Mbak Tantri memanggil kembali nama itu. Sejak kapan ia seakrab ini pada adik tiriku itu. "Gak apa-apa Jess. Pengen ngobrol aja sama kamu. Kedatangan kami tadi gak buat keluarga kamu repot kan?" Setelah berbasa-basi sejenak akhirnya Mbak Tantri memberitahukan permintaannya pada Jessica untuk mengizinkan aku menginap dirumahnya. Setelah mengakhiri panggilan, ku tatap Mbak Tantri dengan wajah menyerah. "Mbak, apa harus aku sendiri yang menginap disana? Aku bisa ajak Reka.." "Rekas kan nemenin Papa kamu di kosannya." "Kalau gitu sama Papa juga." "Apa kata tetangga kalau lihat Uncle menginap dirumah calon istrinya? Mereka bisa mikir yang enggak-enggak." "Tapi kenapa harus aku??" "Karena kamu perempuan. Dirumah itu gak ada laki-laki. Bisa gawat kalau Mbak suruh Rekas yang menginap disana Rev." "Ugh.." Aku tidak bisa membantah ucapannya kali ini. "Lagipula kenapa sih Rev? Kan nanti kamu bakal tinggal disana juga. Sekaligus mengakrabkan diri sama calon keluarga baru." "Ya ya ya," jawabku menyerah. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

✅Sex with My Brothers 21+ (Indonesia)

read
951.3K
bc

Playboy Tanggung Dan Cewek Gesrek

read
466.0K
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
61.3K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
122.8K
bc

ARETA (Squel HBD 21 Years of Age and Overs)

read
58.6K
bc

T E A R S

read
314.3K
bc

Crazy In Love "As Told By Nino"

read
283.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook