bc

Sister Contract

book_age16+
815
FOLLOW
5.9K
READ
possessive
contract marriage
family
love after marriage
CEO
tragedy
comedy
sweet
bxg
mystery
like
intro-logo
Blurb

Sepuluh tahun yang lalu adalah pertemuan pertama antara Gama Pradipta dan Giana Edrelin tanpa mereka sadari. Lalu, sepuluh tahun kemudian mereka bertemu lagi sebagai orang baru. Keduanya terlibat dalam sebuah hubungan yang Gama sebut Sister Contract.

Hanya demi melamar kekasih yang tak direstui ibunya, Gama rela menyewa seorang kakak perempuan pada temannya. Namun, bagaimana jika Gama dan Giana saling jatuh cinta akibat campur tangan ibunya?

Bagaimana pula kisah keduanya setelah Giana menyadari bahwa Geraldi Pradipta, ayah Gama adalah penyebab kecelakaan orang tuanya sepuluh tahun yang lalu?

Bisakah Giana memaafkan mereka dan bersatu dengan Gama tanpa rasa bersalah pada kedua orang tuanya?

chap-preview
Free preview
Bab 1: The First Time √
*** Remaja 15 tahun itu baru saja selesai mengerjakan tugasnya saat neneknya berlarian memanggil namanya dengan kencang. Giana, nama gadis remaja itu. Dia menatap penuh tanya kepada neneknya yang masih berusaha mengatur napasnya. "Ayo bersiap, kita harus ke rumah sakit sekarang!" ujar nenek Rahma pada cucu perempuannya itu. Perkataan nenek Rahma membuat bola mata Giana membesar. Benaknya bertanya-tanya kenapa mereka harus ke rumah sakit di saat jarum jam pendek sudah berada di angka setengah sembilan seperti ini. "Cepatlah! Orang tuamu sedang ada di sana," terang sang Nenek yang merasa kasihan pada kebingungan yang dialami cucunya. Pupil mata Giana semakin membesar. Pikiran buruk memenuhi otaknya. Segala pertanyaan dan kekhawatiran membuatnya sesak sendiri. Tanpa mengatakan apa-apa, Giana menarik jaketnya. "Ayo Nek!" ajak remaja Lima Belas Tahun itu pada neneknya. Selama dalam perjalanan, jari jemari Giana tak henti-hentinya bergetar. Dia merasa khawatir, tapi tak berani bertanya pada Neneknya karena Neneknya juga tampak sangat cemas. Giana menggigit bibirnya dengan keras untuk menghalau rasa sesaknya saat kini yang dirinya khawatirkan bukan saja orang tuanya, tetapi juga adiknya yang masih berumur Lima tahun itu. Sesampainya di rumah sakit, Giana langsung keluar dari taksi usai membayar ongkosnya. Giana dan neneknya berjalan bersisian dengan tergesa-gesa. Rumah sakit yang tampak ramai membuat kecemasan yang Giana rasakan kian menjadi. Pikirannya tertuju pada perjalanan bisnis yang Papa dan Mama serta adiknya lakukan beberapa hari yang lalu. Mamanya sempat berpesan pada Giana agar menjaga diri dengan baik selama mereka pergi. Entah apakah ini sebuah firasat atau bukan, tapi Giana ingat Mamanya memeluknya dengan sangat erat seolah itu adalah saat terakhir bagi keduanya untuk saling berpelukan. Giana menggeleng dengan tegas. Ia menolak mentah-mentah hasil dari pemikirannya itu. Giana yakin Mama dan Papanya baik-baik saja, begitu pula dengan adiknya. Namun, sungguh sangat disayangkan, semua keyakinan itu harus terhempas saat mereka sampai di depan unit gawat darurat yang langsung menerima pasien dalam keadaan kritis. Polisi yang berjaga di sana segera menghampiri mereka dan menjelaskan segala perkaranya secara singkat. Bahwa orang tua serta adiknya mengalami kecelakaan ketika sedang dalam perjalanan kembali ke rumah. Kecelakaan tersebut tidak sendirian, mobil orang tuanya bertabrakan dengan mobil milik pengemudi lain. Hanya itu saja informasi sementara yang lelaki berseragam itu katakan pada Giana dan neneknya. Belum sempat keduanya menghembuskan napas, dokter dari UGD keluar dengan wajah yang murung. Gelengan kepala yang dokter itu tunjukan membuat tubuh Giana meluruh ke lantai. Tangisnya pecah bersamaan dengan neneknya yang juga tak sanggup menahan air mata. "Mama, Papa, Gufta!" pekik Giana memanggil orang tua dan adik lelakinya. Perempuan yang mengenakan pakaian dokter itu turut berjongkok ke lantai. "Di dalam sana hanya ada orang tuamu, adikmu selamat," ucapan dokter itu membuat Giana mendongakan kepalanya. "Gufta masih hidup?" tanyanya pada dokter muda yang memiliki paras cantik bernama Aninta Putri. P itu. Dokter Aninta mengangguk tegas. Garis tipis terlihat di wajahnya saat melihat binar harapan di mata Giana. "Di mana Gufta?" Giana kembali mengajukan pertanyaan pada dokter Aninta. Meskipun orang tuanya telah tiada, tapi Giana masih memiliki Gufta dan Neneknya. Setidaknya Giana tidak merasa sendirian di dunia ini. Dengan cepat gadis remaja itu berdiri dari duduknya, diikuti oleh neneknya serta dokter Aninta. Belum sempat mereka mencari Gufta, anak lelaki berumur Lima tahun itu sudah berlari sambil memanggil Giana. Di belakangnya ada seorang polisi dan perawat yang juga ikut berlari. Giana tak ingin membuang waktu, dia pun berlari dengan tertatih demi memeluk Gufta. "Sayangnya Kakak," ucap Giana saat dia berhasil meraih tubuh Gufta yang masih bergetar hebat itu. "Nggak apa-apa, Sayang. Semua akan baik-baik saja," ucap Giana menguatkan. Serapuh apapun dirinya saat ini, adik dan neneknya pasti lebih rapuh lagi. Giana merasa tak memiliki pilihan selain pura-pura kuat di depan keduanya. *** Pintu ruangan milik pasien rawat inap bernama Geraldi Pradipta itu terbuka lebar saat Dindra Paramita masuk ke sana. Air matanya berlinang melihat suaminya terbaring lemah dalam keadaan koma usai mengalami kecelakaan lalu lintas beberapa jam yang lalu itu. Rasanya, baru kemarin suaminya berjanji akan membawanya ke Paris untuk mengisi liburan mereka, tapi sekarang suaminya itu sedang terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Hidupnya hanya bergantung pada alat-alat rumah sakit yang menandakan bahwa detak jantungnya masih ada. Diandra menggeleng sedih, ia sedang meratapi kesedihannya atas kejadian tak terduga ini. Menurut informasi dari pihak berwajib yang menangani kasus ini, mobil yang dikendari suaminya sudah di sabotase oleh seseorang sehingga remnya mengalami kerusakan dan tidak berfungsi saat diinjak. Hal itu menyebabkan kecelakaan. Dengan pilu ibu dua anak itu mengusap air matanya. Demi apapun dia akan mencari tahu siapa pelakunya. Diandra bersumpah orang itu harus mendapatkan balasan yang setimpal. Pintu kembali terbuka saat Diandra baru saja menghentikan tangisnya. "Mama," panggilan itu membuat Diandra menolehkan kepalanya. Gama Pradipta, anak bungsunya yang baru berumur Tujuh Belas tahun itu memeluknya dengan erat. "Mama nggak apa-apa?" tanya Gama khawatir usai menatap wajah Diandra dengan lekat. Diandra menggeleng pelan, dia tidak sedang baik-baik saja. Hidupnya sedang terombang ambing saat ini. "Papa kamu nggak ada perubahan apapun, Gama." terang Diandra sambil menatap Geraldi Pradipta yang sedang koma. Gama menghembuskan napasnya dengan lirih, tak ada satu kata pun yang dapat dirinya ungkapkan untuk menghibur mamanya yang sedang bersedih hati. Gama hanya bisa menatap sedih pada tubuh Papanya yang biasanya berdiri tegap kini terbaring tidak berdaya. "Mama istirahat dulu ya, Ma. Jangan sampai sakit, nanti siapa yang rawat Papa kalau Mama juga sakit," ucap Gama seraya menggiring Diandra keluar dari kamar pasien. Meskipun tampak berat, tapi Diandra melangkahkan kakinya juga. Benar kata Gama, jika ia juga sakit maka siapa yang akan merawat suaminya nanti. Seketika pintu ruang rawat inap itu ditutup rapat oleh Gama dari luar. "Udah Ma, nanti Gama yang akan jagain Papa," ucap Gama menenangkan kekhawatiran Mamanya. Saat keduanya semakin jauh meninggalkan kamar rawat Geraldi Pradipta, mereka melihat dokter Aninta Putri Pradipta sedang berbicara dengan gadis remaja yang sesekali mengusap air matanya di depan kamar mayat. Baik Diandra maupun Gama sama-sama menegang. "Mama duluan aja, aku yang akan ke sana," ucap Gama. Namun, Dianrda menggelengkan kepalanya dengan pelan. "Kamu temani Papamu, nak. Mama yang akan ke sana," ucap Diandra. "Tapi, Ma..." "Tolong," Ketika Diandra sudah mengatakan itu, maka Gama tidak memiliki pilihan lain selain membalikan badannya dan kembali ke ruang rawat Papanya. Sementara Diandra mencoba kuat untuk menghadapi kenyataan di depan sana. Dia harus meminta maaf sebab kecelakaan itu tak hanya membuat suaminya mengalami koma, tetapi juga telah menewaskan orang lain. Diandra menghela napasnya dengan berat. Degup jantungnya terdengar semakin kencang saja. Dia membenahi selendang yang dirinya kenakan untuk menutupi separuh wajahnya. "Dokter Aninta," panggilnya secara formal. Dokter Aninta menolehkan kepalanya. "Ma.." "Saya istri dari pasien bernama Geraldi," potong Diandra dengan cepat saat Aninta baru saja akan memanggilnya dengan panggilan yang biasa dia sematkan pada wanita itu. "Saya mau minta maaf pada gadis ini," ucap Diandra dengan tegas, seolah menghalangi apapun yang ingin Aninta katakan. Hal itu membuat Aninta bertanya-tanya. "Tante siapa? Kenapa mau minta maaf sama saya?" tanya Giana di tengah-tengah kebingungan Aninta. Dokter muda itu bermaksud untuk menerangkan siapa sebenarnya Diandra, tetapi lagi-lagi dia merasa dihalangi untuk bicara. "Suami saya.." Diandra menjeda ucapannya. "Mobil suami saya yang mengalami kecelakaan yang sama dengan orang tuamu," lanjut Diandra sambil menjatuhkan air mata. Begitu juga dengan Giana, gadis remaja itu kembali menangis usai mendengar penjelasan Diandra. "Jadi mobil suami tante yang telah nabrak mobil Papa dan Mamaku?" Giana merasa dunianya diruntuhkan untuk kedua kalinya. Giana tidak menyangka bahwa kecelakaan yang dialami oleh orang tuanya adalah karena seseorang yang tidak bertanggung jawab. Giana juga merasa tidak bisa menerima semua ini. Dia menyalahkan Geraldi karena telah menabrak mobil orang tuanya hingga menyebabkan mereka meninggal dunia. "Suami tante sudah membuat aku dan Gufta jadi yatim piatu," tak hanya air mata Giana yang lagi-lagi keluar setelah ia mengatakan itu dengan lirih, Diandra dan Aninta juga tak bisa menahan desakan dari air mata masing-masing. "Maafin kami, Nak. Kami tidak sengaja melakukan itu," ucap Diandra dengan tatapan menyesalnya. Dia menerima ketika Giana menyalahkan mereka, sebab tak mudah bagi gadis remaja sepertinya menerima kenyataan ini. Meskipun kecelakaan itu bukan sesuatu yang dia ataupun Geraldi inginkan terjadi. "Kami sekeluarga akan bertanggung jawab dengan kehidupan kalian," ucap Diandra berjanji pada Giana. Gadis remaja itu kembali terisak. Sakit sekali rasanya, tetapi dia tak bisa terlalu menyalahkan mereka karena menurut polisi, kecelakaan itu bukan disengaja. Giana menutup seluruh wajahnya dengan menggunakan telapak tangannya. "Cukup jangan pernah menampakan wajah kalian sekeluarga lagi di depanku," ucap Giana tanpa berani menatap Diandra. Giana hanya merasa itu yang terbaik, sebab dirinya tak akan sanggup melihat mereka hidup bahagia, sementara Papa dan Mamanya telah tiada. Hal itu hanya akan menyebabkan luka baru yang sulit untuk disembuhkan. Lebih baik dia hidup seperti biasa, tanpa bantuan dari mereka mungkin akan jauh lebih baik. Gadis remaja itu membalikan badannya, melangkah pergi. Menjauh dari wanita yang kira-kira sedikit lebih tua dari mamanya yang tadi ingin bertanggung jawab atas hidupnya. Tuhan mengabulkan keinginannya, mereka tak pernah bertemu lagi setelah hari itu.  . . To be continue.  Haiii dear... Selamat datang di cerita baruku yang berjudul Sister Contract :) Semoga banyak yang suka sama cerita ini ya. Harap tinggalkan jejak dengan TAP LOVE & KOMENTAR. Bagikan cerita ini kalau tidak keberatan. Terimakasih :))

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Orang Ketiga

read
3.6M
bc

Tuan Bara (Hasrat Terpendam Sang Majikan)

read
110.7K
bc

Istri Muda

read
391.9K
bc

Marry Me If You Dare

read
222.8K
bc

Living with sexy CEO

read
277.6K
bc

I Love You, Sir! (Indonesia)

read
260.3K
bc

CRAZY OF YOU UNCLE [INDONESIA][COMPLETE]

read
3.2M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook