bc

REINKARNASI

book_age18+
135
FOLLOW
1K
READ
revenge
reincarnation/transmigration
body exchange
brave
bxg
mystery
city
rebirth/reborn
spiritual
office lady
like
intro-logo
Blurb

Judul : REINKARNASI

Genre : Romance-Fiction

Status : Dalam Rencana Penulisan

* * * * *

Davinna Rinda Syarirra, harus mengalami kegagalan dalam beberapa fase kehidupannya.

Dimulai dari Kenyataan bahwa dirinya yang ternyata hanyalah Seorang anak pungut, ditinggalkan kekasih, bahkan terancam dikeluarkan dari Perusahaan tempatnya bekerja.

Semua itu terjadi dalam satu waktu yang menimpanya bertubi-tubi.

Hingga ia memutuskan untuk Mengakhiri semua persoalan yang ia hadapi, hanya dengan satu cara.

Mengakhiri hidupnya saja.

Tanpa ia duga, bahwa Kenyataan akan membawa dirinya dalam sebuah Pengalaman yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Terlahir kembali, dalam sebuah tubuh baru yang berbeda.

REINKARNASI.

chap-preview
Free preview
1. Kenyataan Mengejutkan
"PIM-PIM ...!!" Sebuah suara klakson mobil berwarna hitam, terdengar memecah keheningan malam itu. Diikuti dengan seorang laki-laki penjaga gerbang yang lantas tampak tergopoh-gopoh membukakan pintu untuk tuannya. Pintu besi setinggi hampir tiga meter itu bergeser. Membuka celàh selebar mungkin, agar sang Majikan bisa leluasa masuk tanpa hambatan. Namun, mobil itu bergeming. Alih-alih langsung masuk menyusuri halaman rumah yang sudah terbuka lebar, mobil itu tampak diam di tempat tanpa bergerak sedikit pun. Di dalamnya, terdapat dua orang insan dengan beda jenis kelamìn yang tampak enggan berpisah. Mengabaikan malam yang telah larut. Cup! "Aku akan menjemputmu kembali, besok pagi," ucap sang pemuda dengan pandangan mata berkabut, setelah mengecup singkat pipi sang gadis. Gadis di sebelahnya tampak mengangguk. Menatap sang pemuda, dengan rona merah di kedua pipinya. "Kabari aku jika sudah sampai di unit," pesan gadis itu kemudian. Mengulurkan satu tangannya, menyentuh rahang sang pemuda yang ditumbuhi jambang-jambang halus. Meresapi rasa geli itu, pada permukaan kulit telapak tangannya. "Tentu, saja. Aku pasti akan menghubungimu, jika sudah sampai di apartemen," janji sang pemuda. Ia lalu meraih telapak tangan gadisnya, kemudian mengecup punggung tangan itu dengan begitu hangat. "Istirahatlah, Sayang. Aku yakin kamu pasti lelah dengan perjalanan hari ini." Sekali lagi, gadis itu mengangguk. Memberikan balasan tatapan penuh cinta pada kekasihnya yang sudah bersikap sangat manis padanya hari ini. Pria itu rela mengantarnya pergi ke luar kota, hanya demi menemaninya melakukan tugas kantor. "Terima kasih. Maaf, sudah banyak merepotkanmu," ucap gadis itu, dengan nada sungkan. "Ssttt ... jangan pernah berkata merepotkan, padaku. Ini sudah menjadi tugasku untuk menjagamu, Sayang." Gadis itu pun tersenyum kecil, kemudian mengangguk. "Terima kasih, kalau begitu," ucapnya. "Aku pulang dulu, kamu hati-hati di jalan." "Tentu, saja." Pintu mobil itu pun terbuka. Diikuti sepasang kaki jenjang yang lantas turut keluar tak lama setelahnya. "Bye!" pamit gadis itu sembari melambaikan tangan, setelah menutup kembali pintunya. "Bye," balas sang pemuda singkat, kemudian menutup kaca hitam mobil itu dengan perlahan. Mengakhiri kebersamaan mereka sepanjang hari ini. Perlahan, mobil itu pun bergerak. Menyusuri jalanan malam yang tampak lengang, meninggalkan kompleks Perumahan mewah itu. "Selamat malam, Nona," sapa seorang penjaga gerbang, begitu mendapati Nona mudanya lewat melintas di depan pos jaganya. Membiarkan gadis berperawakan tinggi semampai itu memasuki halaman, sementara ia bergegas menutup kembali pintu gerbang yang semula telah ia buka lebar dan menguncinya. "Selamat malam." Gadis itu tampak melenggangkan kakinya menyusuri halaman. Melewati beberapa pancuran air di tengah taman, juga patung-patung kecil yang tampak menghiasi sepanjang halaman rumah berlantai dua itu. Hingga sampailah ia pada sepasang daun pintu berukuran cukup besar, dan kemudian membukanya. "Ma ...! Pa ...! Aku pulang ...!" teriaknya sembari menjinjing sebuah tas di tangan kanannya. Namun, sepi. Tidak ada sahutan. Sepertinya kedua orang tuanya sedang beristirahat, mengingat hari yang sudah memasuki tengah malam. Gadis itu pun memutuskan untuk melanjutkan langkah kakinya. Menapaki anak tangga, melewati beberapa pintu kamar yang terdapat di lantai dua rumahnya. Hingga terdengar samar-samar olehnya, sebuah perdebatan kecil dari salah satu kamar yang pintunya tampak sedikit terbuka. "Sudah kubilang, jangan terlalu memanjakannya, Widia! Kamu selalu saja memberikan semua yang dia inginkan!" bentak seorang laki-laki dari dalam sana. "Dia tidak pernah memintanya, Pa. Ini murni keinginan Mama sendiri. Sebentar lagi Davinna berulang tahun. Tidak ada salahnya Mama memberinya sebuah kado kecil," kilah seorang perempuan, kemudian. Langkah kaki gadis itu terhenti. Tertarik oleh rasa penasaran, akan percakapan kedua Orang tuanya dari dalam sana. Pintu kamar itu sedikit terbuka. Tidak tertutup dengan sempurna, membuat ia dapat mendengar, apa yang tengah diperbincangkan oleh kedua Orang tuanya. "Kado kecil?! Kamu bilang itu kado kecil?!?" pekik sang Ayah. "Berlian itu harganya hampir sama dengan nilai rumah ini, Widia!?!" Kening gadis itu pun berkerut. Tidak biasanya, papanya berbicara dengan nada tinggi pada mamanya. Memangnya, apa yang tengah mereka perdebatkan? "Mama membelinya dengan uang Mama sendiri, Pa. Mama tidak menggunakan sepeser pun, uang perusahaan Papa," lirih perempuan paruh baya itu, dengan tubuh bergetar. "Ha-ha-haaa ...." "Tidak menggunakan uang Perusahaan, kamu bilang? Lalu dari mana, uang bulanan yang kamu dapatkan selama ini berasal?!" Wanita paruh baya itu pun terisak. Mengusap pipinya yang basah, dengan punggung tangannya. "Sejak awal aku tidak pernah setuju, jika kamu mengadopsinya, Widia. Tapi kamu bersikeras mengambilnya dari Panti Asuhan itu!" Tubuh gadis itu seketika saja bergetar. Dadanya terasa amat sesak, seolah tertimpa sesuatu yang sangat besar dalam waktu sekejap. Adopsi? Sejak kapan orang tuanya memiliki anak adopsi? Atau jangan-jangan .... Dirinyakah yang mereka maksud? "Maafkan Mama, Pa. Mama hanya berusaha menghangatkan rumah ini ... dengan kehadiran seorang anak," lirih perempuan paruh baya itu, dengan sisa tangisnya. "Anak, kamu bilang? Seorang anak yang bahkan tidak jelas asal-usulnya itu?! Selamanya, dia bukanlah darah dagingku. Ingat itu, Widia!" Seketika, gadis itu pun mematung. Bak tersambar petir di tengah hari, separuh jiwanya seolah melayang. Sulit untuk dirinya mempercayai apa yang baru saja ia dengar dari mulut lelaki-yang selama ini ia anggap sebagai ayah kandungnya. Ia pun menutup mulut dengan menggunakan kedua tangannya. Mencoba menahan isakan yang nyaris saja keluar dari bibirnya. Benarkah? "Maafkan Mama, Pa. Tapi Davinna sudah Mama anggap sebagai putri kandung Mama sendiri. Dia tumbuh dan besar di tengah-tengah keluarga kita, Pa," bela perempuan paruh baya itu seraya mendongak, menatap suaminya. "Aku tidak mau tahu. Jual kembali perhiasan itu ... atau kamu yang keluar dari rumah ini, Widia!" hardik pria paruh baya itu sembari mengibaskan sebelah tangannya. "Tapi, Pa ...," lirih sang istri. "Tidak ada tapi-tapian!?!" Hening seketika. Menyisakan sebuah isakan kecil yang terdengar samar, dari balik daun pintu. Perempuan paruh baya itu menangis. Menerima bulat-bulat keputusan suaminya, yang tidak mungkin lagi dapat ia bantah. Atau dirinyalah yang akan terancam keluar dari rumah itu. Sementara di luar pintu, tubuh Davinna bergetar. Menarik mundur langkah kakinya dengan perlahan. Berusaha untuk tidak menimbulkan suara, sekecil apa pun. Mata gadis itu berkaca-kaca. Menggigit bibir, demi menahan tangis yang siap meledak membasahi pipinya. Jadi .... Selama ini, ia hanya seorang anak adopsi? Anak Adopsi? Pertanyaan itu seketika saja berputar-putar memenuhi otaknya. Sisa-sisa rasa lelah akibat perjalanan panjang hari ini, seolah melebur menjadi satu dengan rasa sesak yang tiba-tiba saja datang. Gadis itu menutup pintu kamarnya dengan perlahan. Bersembunyi di balik daun pintu, dengan tubuh setengah meringkuk di lantai. Davinna menutup wajah dengan kedua tangannya. Membiarkan tangisnya meledak, membasahi sela-sela jemarinya. Kedua bahunya tampak bergetar. Berguncang naik turun, seiring dengan isak tangis yang tak mampu lagi ia bendung. Kenyataan ini terlampau pahit. Ia bahkan tidak yakin, jika esok dirinya masih sanggup bertatap muka dengan kedua orang tuanya, apabila mereka kembali bertemu. Orang tua? Masih pantaskah, ia menyebut mereka sebagai Orang tua? Aaah .... Kini, lidahnya bahkan terasa amat kelu untuk sekadar menyebutkan nama panggilan itu untuk mereka. Gadis itu merasa asing. Mengecil. Kerdil. Ia merasa bahwa dirinya kini tidaklah lagi memiliki arti apa pun. Hilang sudah, jati dirinya. Kini, ia bagai sehelai layang-layang yang terlepas dari tali pengekangnya. Terhempas begitu saja, setelah diterbangkan dengan begitu tinggi di angkasa sana. Tak ada lagi arah dan tujuan. Tak ada lagi tempat untuk bersandar. Tak ada lagi tempat untuk berpulang. Semua yang ia miliki hanyalah kepalsuan semata. Fatamorgana .... Yang sewaktu-waktu bisa saja menghilang, seiring dengan berlalunya kehangatan sang surya. Lenyap dan tidak berbekas. *

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Time Travel Wedding

read
5.2K
bc

Romantic Ghost

read
162.3K
bc

AKU TAHU INI CINTA!

read
8.8K
bc

The Alpha's Mate 21+

read
146.2K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.1K
bc

Putri Zhou, Permaisuri Ajaib.

read
3.0K
bc

Legenda Kaisar Naga

read
90.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook