bc

Mendua

book_age16+
720
FOLLOW
3.6K
READ
possessive
friends to lovers
arrogant
scandal
goodgirl
sweet
bxg
female lead
city
first love
like
intro-logo
Blurb

Tidak ada yang tahu kapan cinta akan berubah. Feya pikir hidupnya baik-baik saja meskipun hanya berdua saja dengan Heya karena ada Satrio yang mencintainya. Namun, siapa sangka cinta Satrio berubah begitu bertemu dengan si daun muda, Santi Cantika.

Pernikahan yang sudah berada di depan mata harus kandas begitu Satrio mengakui perselingkuhannya. Bukan kebahagian yang menghampiri, tetapi justru patah hati yang Feya dapatkan.

Tidak ada yang bisa Feya lakukan selain menyembunyikan rasa sakitnya seorang diri. Dalam persembunyian itu Feya menemukan Axel Adijaya, sahabat lamanya masih mencintainya. Axel menawarkan banyak kebahagian untuk Feya yang pernah terluka.

Ketika Feya mulai merasakan hal yang sama dan melupakan tentang cinta Sepuluh tahunnya bersama Satrio, kenyataan lain menghantamnya. Santi Cantika mendatanginya dan memberitahunya tentang apa yang selama ini Satrio rahasiakan darinya.

Apa yang sebenarnya terjadi? Rahasia apa yang Satrio simpan dari Feya? Dan seeprti apa hubungan Feya dan Axel selanjutnya? Simak cerita selengkapnya di MENDUA.

.

.

Design cover by me.

Pict by Pixabay.

chap-preview
Free preview
Mendua-Bab 1
*** Debur ombak ditepi pantai tak menghilangkan sepiku yang kini semakin menjadi. Seolah menghukumku hingga tak sanggup bernapas lagi. Aku sesak di sini. Hatiku melemah karena cinta yang Satrio berikan perlahan berubah. Ah, sebelumnya, perkenalakan namaku Shena Arfeya. Aku seorang tour guide professional yang sudah bekerja selama Tiga tahun lamanya. Aku datang ke tempat ini memiliki tujuan ingin memperbaiki hati yang telah retak. Namun, apa yang aku dapat saat ini sungguh sebaliknya. Aku patah, hatiku tak bersisa. Rasa kecewa itu tidak sembuh melainkan semakin menyakitkan. Demi apa Satrio tidak berubah. Lelaki itu tak pernah memikirkan perasaanku sama sekali. Dia yang kucinta akhirnya memilih mendua. “Tante kenapa?” Tarikan pada ujung baju yang aku kenakan membuatku buru-buru mengusap sisa airmata. Heya di sini, dia bersamaku. Aku menggeleng tegas sambil menampilkan senyum manis di bibirku. Tak ingin keponakanku satu-satunya itu berpikir yang macam-macam tentangku. “Nggak apa-apa, Sayang. Semua baik-baik aja,” ucapku menenangkannya. Heya yang masih berumur Empat tahun itu pun memintaku untuk mensejajarkan tinggi kami. Aku pun menuruti. Kurasakan jari jemari kecilnya mengusap sisa airmataku. “Tante nggak boleh nangis, nanti Heya juga ikutan sedih,” ucapnya. Alih-alih menuruti, hatiku yang rapuh kembali membuatku menangis. Kupeluk Heya dengan erat. Kutumpahkan kesedihan itu pada bahunya yang kecil. Ya Tuhan, tak kusangka rasanya akan sesakit ini. Sungguh, satu-satunya tujuanku datang ke sini adalah untuk memperbaiki hubunganku dengan Satrio, tetapi apa yang lelaki itu lakukan? Dia berani mengenalkan Santi kepadaku sebagai kekasihnya. Hatiku tak berdaya, tetapi dengan bodohnya aku masih pura-pura. Seolah Santi bukan selingkuhannya. Padahal, aku menyadari itu. Aku mengetahui semuanya. Entah sejak kapan perasaan Satrio terbagi, atau mungkin perasaannya benar-benar telah pergi. Membayangkan itu membuatku terisak lagi. Siapa yang bisa menerima ini? Bayangkan, sepuluh tahun kami bersama, menjalin cinta untuk menuju akhir dari penantian yang membahagiakan. Namun, apa yang terjadi? Aku justru mendapati hati Satrio telah terbagi. “Nggak! Nggak mungkin dia kayak gitu. Ini pasti hanya salah paham,” ucapku menolak untuk mempercayai semua ini. Namun, apa yang sebenarnya ingin kuhindari? Patah hati inikah? Aku terkekeh sembari membiarkan air mata mengalir lagi. Satu-satunya yang aku takutkan adalah kehilangan Satrio. Aku takut kehilangan cintanya. Hanya itu yang ingin kuhindari. Kuusap air mataku dengan kasar, lalu kuurai pelukanku pada Heya. Kutatap lekat-lekat keponakanku itu. “Heya Sayang, Om Satrio nggak mungkin nyakitin kita. Dia peduli dan sayang banget sama kita selama ini,” ucapku. Mungkin Heya tak akan menegrti, tetapi aku tahu hanya ini yang ingin aku katakan sekarang. Aku ingin membuat hatiku yakin bahwa Satrio tak mungkin sekejam ini padaku dan Heya. Satrio tahu persis bagaimana keadaanku selama ini. Dia memahamiku dengan sepenuh hati. Tidak mungkin hanya karena seorang perempuan Satrio rela menghancurkanku sedalam ini. “Sayang ayo kita cari Om kamu!” ajakku pada Heya. Aku masih memiliki keyakinan bahwa Satrio tidak benar-benar ingin menyakitiku. Satrio pasti hanya sedang bercanda saat ini. Lelaki itu masih sangat mencintaiku dan tak akan pernah berpikir untuk menyakiti perasaanku. Namun, keyakinan itu perlahan memudar ketika mataku menangkap bayangan Dua orang yang sedang bermesraan di sana. Menonton acara di pantai yang diadakan oleh resort. Jantungku berdetak cepat. Kutatap lekat-lekat dirinya yang tampak merangkul perempuan lain di depan mataku. Tanpa tahu malu mereka membagi canda dan tawa. Ribuan jarum menghujam jantungku tanpa ampun ketika Heya mengutarakan tanyanya tentang Om kesayangannya yang sedang bersama perempuan lain di depan sana. “Kenapa Om ada di sana bersama tante cantik?” Santi Cantika yang dimaksud Heya. Perempuan yang Satrio kenalkan padaku sebagai kekasihnya. Ya Tuhan… Perasaan apa ini. Patah hatiku melebihi kesanggupanku dalam menerima. “Om kok nggak ajak Heya, tante?” Pertanyaan lain pun menyusul dari mulut kecil Heya. Hatiku remuk. Satu-satunya yang bisa kujawab dari pertanyaan itu adalah karena Om kesayangan Heya tak ingin diganggu oleh mereka. Kututup mata Heya ketika Satrio bergerak lebih dekat kepada Santi. Lalu mataku terpaksa melihat adegan yang lebih menyakitkan dari sekedar berpelukan. Remuk. Hancur sudah organ di mana aku menyimpan perasaanku untuk Satrio berada. Benar-benar hancur berkeping-keping ketika Satrio tanpa segan mencumbu Santi meski tahu aku melihatnya. Tak dapat lagi digambarkan perasaanku ketika Santi membalas cumbuannya dengan tak kalah mesra. Kini, sebenarnya apa yang sedang aku lakukan? Apa yang sedang aku pertahankan? Kenapa diriku tak juga sadar bahwa yang Satrio inginkan adalah perpisahan. Seharusnya, aku pergi ke sana. Memberikan sebuah tamparan panas kepada Satrio dan selingkuhannya. Namun, lihat apa yang terjadi? Aku berlari pergi sambil membawa Heya di dalam pelukanku. Menangis seperti orang bodoh yang tak tahu harus melakukan apa. “Tante …” “Tante, aku mau Om Satrio! Heya mau ke sana, tante!” teriakan Heya tak lagi kuhiraukan. Biasanya, dengan senang hati aku mengantar Heya pada lelaki itu setiap kali ia mencari Satrio, tetapi kini tidak lagi. Mana mungkin aku ke sana lalu membiarkan diriku dan Heya menjadi penonton adegan mesra mereka. Tidak! Sungguh aku tidak setangguh itu. Biarlah kini semua dalam kepura-puraan karena aku masih berharap hubungan ini pulih seperti dulu. Aku benar-benar tak sudi menyerah sekarang juga. Satrio adalah milikku dan akan selamanya menjadi milikku. Satrio pun tahu hal itu. Dia mengerti aku, dia memahami perasaanku. Bagai perempuan labil, aku pun kembali ke sana setelah membawa Heya ke penginapan dan menidurkannya. Kutinggalkan Heya setelah itu. Aku kembali menemui Satrio dan selingkuhannya. Malam semakin larut, tetapi niatku untuk menggenggam Satrio kembali ke dalam pelukanku masih membara. Aku benar-benar ingin memperbaiki kesalahan ini. Aku ingin mendengar penjelasan Satrio. Aku ingin tahu kenapa dia tega melakukan ini kepadaku dan Heya. “Feya!” Urung langkahku berlari ketika kudengar seseorang memanggil namaku dengan lantang. Ketika menoleh yang kudapati adalah seorang teman lama. Sahabat yang dulu terpaksa kujauhi demi menjaga perasaan Satrio. “Axel?” tanyaku tak percaya. Dia, Axel Adijaya ada di tempat ini juga? Sungguh suatu kebetulan. Dari sekian banyaknya orang yang aku temui hari ini, Axel menjadi salah satunya. “Ka … kamu kenapa ada di sini?” tanyaku lagi. Axel pun sama terkejutnya denganku. Biar kutebak, dia juga sama tidak menduganya bertemu denganku lagi. “Kami ada acara reuni. Kamu nggak tahu?” tanyanya. Aku mengerutkan dahiku. Reuni? Mendadak aku kembali mengingat pesan chat yang Bianka, teman kuliahku, kirimkan beberapa hari yang lalu. Tunggu dulu? Jika Axel ada di sini, kemungkinan teman-temanku yang lainnya pun berada di sini. Pupil mataku membesar ketika mengingat sesuatu. Jangan sampai mereka melihat Satrio bersama perempuan itu! Aku tidak ingin Satrio memiliki image yang buruk di mata mereka. “Maaf, Xel, aku harus pergi!” ujarku. Tak sempat aku mengatakan apapun lagi pada Axel karena Satrio adalah prioritasku saat ini. Aku benar-benar tidak ingin teman-teman kuliahku memergoki Satrio selingkuh. Namun, Axel menahan tanganku. Ia menggelengkan kepalanya dengan pelan sembari menatapku dengan tatapan kasihan. Jantungku berdegup tidak karuan. Pertanyaan silih berganti memenuhi benakku ketika praduga buruk itu menghampiri. Apa mungkin Axel sudah melihat Satrio dan perempuan itu? Aku menggeleng tegas, tidak mungkin! Satrio tidak mungkin sebodoh itu hingga membiarkan orang-orang melihat kelakuan buruknya. “Jangan ke sana sekarang,” pinta Axel memohon. Raguku tentang dia yang tak mungkin melihat Satrio kini sirna sudah. Bahuku melemas ketika Satrio benar-benar di sana dan sedang berbincang dengan beberapa teman-teman kuliahku dulu. Dia memang tidak merangkul Santi lagi, tetapi kedekatan mereka barangkali telah terbaca. Kupaksa Axel melepas tanganku. “Kamu …” inginku bertanya, tetapi aku terlalu ragu. Terlalu takut akan jawaban Axel. Namun, kepala lelaki itu mengangguk pasti. “Aku lihat Satrio bersama perempuan itu tadi. Aku juga lihat kamu berlari pergi,” terangnya. Aku terkekeh, senyumku terbit dengan sangat terpaksa. Sungguh malu rasanya karena kejadian ini harus ditonton oleh Axel, lelaki yang Sepuluh tahun lalu pernah memintaku untuk memilihnya. “Aku harus tetap ke sana. Satrio nggak seperti yang kamu pikirkan. Dia masih kekasihku,” Memang benar begitu. Sampai detik ini Satrio masih menjadi kekasihku. Dia tidak pernah memintaku untuk pergi dan meninggalkannya meskipun telah mendorongku berkali-kali. Satrio tidak pernah dengan lantangnya memintaku untuk memutuskan hubungan ini. Kami masih bersama, masih berada dalam ikatan yang sama seperti Sepuluh tahun ini. Tanpa menunggu tanggapan Axel, aku pun berlari ke arah di mana Satrio dan teman-teman kuliahku tak sengaja bertemu. Lelaki itu tampak biasa saja saat melihatku. Dengan sendirinya pula Santi menyingkir, seolah memang menjadi tempatku di samping Satrio. Namun, lagi-lagi Satrio mematahkan hatiku. Dia menahan kepergian Santi. Memintanya untuk duduk kembali. Hal itu benar-benar membuatku kehilangan muka. Beruntung tak lama aku berdiri, Axel menghampiri. Lelaki itu mengajak duduk di tempat lain. Meskipun terpaksa, aku akhirnya mengikutinya. Kupandangi wajah Satrio. Entah kenapa aku berharap menemukan kecemburuan di sana. Sama seperti dulu ketika aku sibuk bermain bersama Axel. Namun, hingga acara berakhir, tak kutemukan lagi kekesalan di wajah Satrio. Benarkah dia tidak cemburu ketika aku mencoba mengobrol bersama Axel? Benarkah Satrio tidak mencintaiku lagi? Pertanyaan ini sungguh menyiksa. Aku tidak tahan untuk tidak bertanya. Kutinggalkan Axel lalu berlari pada Satrio. Semua orang menatap kami dengan tatapan curiga. Lalu kutarik Satrio pergi dari sana. Meninggalkan Santi yang bahkan tak berani memanggil namanya. Lekat sekali aku menatap Satrio. Kubiarkan ia tahu betapa luka di hati ini menganga karena ulahnya. Aku ingin mendengar permintaan maaf dari lelaki itu sekarang juga. Namun, hingga detik berlalu menjadi menit, mulut Satrio tak juga terbuka. Lelaki itu terdiam. Hanya menunggu aku bicara. “Apa …” ucapku menjeda. “Apa yang sebenarnya sedang terjadi di antara kita, Satrio? Kamu bahkan nggak peduli ketika aku ngobrol bareng Axel yang dulu selalu kamu cemburui.” Tanya itu menuntut penjelasan. Aku ingin Satrio mengakui kekhilafannya lalu aku akan dengan senang hati memaafkannya. “Kenapa harus cemburu ketika aku punya kekasih yang lain?” Detak jantungku bertalu, tetapi aku seolah kehilangan kekuatan. Tubuhku mendadak merosot mendengar pengakuannya. Ya Tuhan … apa sebenarnya yang Satrio inginkan? Apa dia ingin aku pergi meninggalkannya? Lalu bagaimana dengan rencana pernikahan kami? Apa benar itu hanya omong kosong? Aku menggeleng tidak percaya. Sudah banyak yang tahu tentang itu. Bahkan teman-teman kuliahku yang duduk di sana pun tahu sebentar lagi kami akan menikah. “Kamu gila!” bentakku. Satrio tidak peduli. Ia tidak meraihku seperti biasa ketika aku marah padanya. Lelaki yang teramat sangat kucintai itu memilih pergi meninggalkanku sendiri. . . Bersambung.    

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.1K
bc

My Secret Little Wife

read
91.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
202.9K
bc

Siap, Mas Bos!

read
10.8K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
13.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook