bc

Gadis pengantar tidur

book_age18+
2.8K
FOLLOW
25.6K
READ
dark
drama
sweet
like
intro-logo
Blurb

Pekerjaan kedua Nadira adalah terapis ranjang bagi penderita insomnia akut. Meski terdengar intim, Nadira selalu bersikap profesional. Hingga prinsipnya hancur saat Dirgantara masuk dalam kehidupan rahasianya itu.

Dirgantara adalah Presdir di mana Nadira bekerja sebagai buruh harian saat pagi. Nadira takut, bingung hingga akhirnya jatuh hati. Nadira terjebak karena dituntut menyembuhkan Dirgantara yang punya gangguan tidur berat.

Saat malam, Nadira akan menemui Dirgantara untuk berbagi cerita di atas ranjang, tapi begitu siang, Nadira akan menjelma menjadi sosok bawahan yang canggung, cupu dan penakut. Gadis itu menjalani kehidupan ganda demi uang juga kepuasan.

Pertanyaannya, sampai kapan Dirgantara akan tertipu? ia bisa saja kecewa setelah mengetahui kenyataan tentang Nadira. Gadis wangi bersuara lembut yang selalu berhasil membuatnya lelap, ternyata hanyalah buruh kasar di pabrik kainnya.

chap-preview
Free preview
Tentang aku
Dari sekian profesi di dunia ini, aku memilih menjadi seorang terapis untuk orang-orang dengan gangguan tidur sulit. Aku bukan seorang psikologis atau dokter kejiwaan berlisensi. Aku Nadira, seorang wanita bersuara merdu nan jernih yang bisa menemani klien untuk menjemput mimpi. Sejenis wanita panggilan, tapi bukan untuk memuaskan kebutuhan biologis, melainkan batin. Klienku tidak dibatasi gender dan usia. Mereka bervariatif dan unik. Aku hanya perlu menyelami mereka di pertemuan pertama kami, lalu di kali kedua aku akan mulai memahami dan memberi sedikit sugesti. Aku memulai bisnis ini karena faktor ketidaksengajaan. Suatu ketika, seorang kenalan yang punya anak susah tidur memintaku untuk menjaga putrinya. Dari situlah, aku merasa kasihan lalu tergerak hatinya dan diam-diam mempelajari bagaimana caranya menidurkan penderita imsonia. Bisa dibilang, klien pertamaku adalah si anak kecil. Butuh setidaknya seminggu untuk tahu alasan kenapa ia menderita gangguan tidur. Ayahnya setahun lalu meninggal, gantung diri dengan kondisi kaku di dekat pembaringan. Psikiater rupanya tidak banyak membantu, sedang obatpun sudah menjadi hal memuakkan. Jika diperlukan, aku juga melakukan sedikit trik hipnotis. Aku kemudian memberanikan diriku untuk memberinya hal-hal dasar. Seperti minuman hangat, wangi lavender dan kasur paling nyaman. Tapi yang mengejutkan adalah anak kecil itu justru benar-benar terlelap karena suaraku. Ia menyukai saat aku bicara dan menyanyikan sesuatu. Hingga di satu titik, aku berinisiatif untuk membacakannya berpuluh-puluh buku. Hal melelahkan itu berlangsung selama kurang lebih sebulan hingga kemudian, aku memutuskan untuk memberinya sugesti positif di tiap malam. Tentu saja, dengan sedikit hipnotis ringan. Hasilnya, anak kecil itu perlahan mampu melelapkan dirinya tanpa harus ketakutan dengan bayangan bunuh diri sang ayah. Kunci terpenting dari semua itu adalah set kamar tidur yang harus dirombak besar-besaran. Ya, pusat traumanya adalah tempat tidur. Berkat itu, aku mendapat uang terima kasih yang cukup besar dari kenalanku. Bahkan tanpa diminta, ia merekomendasikanku pada temannya yang punya masalah sama. Aku memang pernah belajar tentang hal itu dari almarhum ayah. Bakat terapis kejiwaan rupanya menurun padaku. Bedanya, aku mempelajarinya dengan melihat, tanpa melalui jalur pendidikan yang semestinya. Apa boleh buat, aku yatim piatu sebelum lulus kuliah. Aku juga harus membiayai adikku setelah ayah meninggal. Beruntung, melalui pekerjaan keduaku sebagai gadis pengantar tidur, ekonomiku perlahan bangkit sedikit demi sedikit. Ya, untuk menghindari fitnah para tetangga, aku masih bekerja sebagai penjahit di pabrik konveksi. Membantu orang insomnia adalah pekerjaan malam, sedang buruh adalah pekerjaan siang. Namun, kedua hal tidak selalu mulus. Kadang, dalam menangani pasien laki-laki dewasa, aku mendapat pelecehan verbal. Meski jarak kami dibatasi dan wali klien mengawasi, tapi ada kalanya, mereka merasa intim karena berada di ruangan sama dengan lawan jenis. Hal itu memicu keputusanku untuk tidak lagi menerima klien laki-laki. Hingga kemudian, prinsip itu dipatahkan oleh keadaan. Adikku, Bella, tiba-tiba saja mengalami kecelakaan dan membutuhkan biaya besar. Asuransi kesehatan pemerintah, hanya sanggup membiayai separuh sedang sebagian tetap dibebankan padaku. Alhasil, aku berniat untuk kembali mengambil klien laki-laki Kebetulan, di suatu malam yang melelahkan, aku tiba-tiba mendapat panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Saat itu aku tengah berbaring dengan wajah dibasahi air mata. Awalnya aku ingin mengabaikan, takut kalau itu penagih hutang tapi karena terus menganggu, pada akhirnya kuangkat juga. "Nad, ini aku Sisil teman SMAmu." "Sisil?" kernyitku merasa familiar. "Bisa ketemu besok? Ada yang mau aku bicarakan sama kamu," kata suara lembut di seberang. "Tapi..,"ucapku ragu. Otakku sedang malas mengingat apapun. "Nanti aku beritahu tempat janjiannya." Tut. Panggilan akhirnya diputus secara sepihak. Tak lama kemudian, pesan dari nomor yang sama masuk, memberi tautan lokasi pertemuan. Aku yang masih bingung hanya bisa menatap layar ponsel penasaran. Sisil siapa? Apa benar kita pernah saling kenal? Atau ini hanya modus penipuan? Jaman sekarang, banyak orang yang melakukan segala cara untuk mendapatkan uang dengan mudah. Tapi untuk menghindari kecurigaan, aku bertekad untuk tetap menemuinya. Keesokan siang, aku sengaja datang setengah jam lebih awal. Memilih meja di pojok café agar bisa memantau siapapun yang datang. Setelah beberapa saat menunggu, sosok stylish dengan rambut panjang bergelombang masuk. Aku terpaku dan langsung mengenalinya. Itu Marta, lebih tepatnya, Sisilya Marta. Primadonna cantik di masa SMA. Dulu, kami bukan teman, bahkan tidak pernah sekalipun kami saling bicara. Jadi, ada urusan apa dia ingin bertemu? "Sisil?" sapaku mendekat. Wajah cantik itu mendongak, menatapku lama. "Nadira?" tebaknya terdengar ragu. Kuku warna ungunya menunjukkku sekilas. Aku mengangguk lalu mengambil tempat duduk di depannya. Tidak perlu basa-basi atau apapun. Rasa penasaranku terlalu besar hingga enggan untuk beramah tamah. Lagipula, tampilan Sisil berbeda kelas denganku. Kalau kami duduk bersama, mirip majikan dan pembantu. Mungkin harga bajunya, setara gaji menjahitku selama setahun. "Ngomong-ngomong, ada urusan apa? Waktuku tidak banyak," ucapku menatap dua gelas jus yang baru saja diletakkan pelayan di tengah meja. Sisil terdiam sebentar kemudian menatapku pelan. Di mataku, ia sama sekali tidak terlihat ramah dan terkesan menjaga jarak. "Aku dengar kamu gadis pengantar tidur?" gumamnya ragu. Aku bergeming, menahan keterkejutanku. "Kamu tahu dari mana?" tanyaku khawatir. Profesi itu terdengar cukup memalukan di telinga orang awam. "Itu tidak penting. Tenang saja, aku menemuimu bukan sebagai teman, tapi calon klien," kata Sisil terdengar serius. "Kamu menderita insomnia?" "Bukan, tapi calon suamiku. Dia kadang berhalusinasi kalau beberapa hari tidak bisa tidur," kata Sisil ringan, tanpa ada sedikitpun kesedihan. Padahal, selama ini aku selalu menemui wajah-wajah putus asa. Tapi sebagai calon istri, Sisil terlihat datar tanpa emosi. "Maaf, tapi aku sudah tidak menerima klien laki-laki," pungkasku lugas. Aku memang sedang butuh uang, tapi masih enggan menggadaikan prinsip. "Jangan bersikap keras. Aku dengar adikmu sedang di rumah sakit. Aku akan memberimu upah dua kali lipat, bagaimana?" Sisil memainkan jemari lentiknya, seakan khawatir mendengar sebuah penolakan. Aku tahu, ini jahat. Tapi aku menyukai ketidakberdayaan Sisil. Melihat gadis cantik yang punya segalanya itu bergantung padaku, harga diriku serasa lebih tinggi. "Maaf, aku tidak bisa. Klienku sudah banyak, jadi tidak mungkin menambah jam kerja lagi," sahutku tersenyum tipis. Sisil menggigit bibirnya lalu terdiam lama. Aku terkejut saat melihat tangannya yang semula bergerak gelisah, tiba-tiba berubah tenang. "Baiklah kalau begitu. Aku tidak akan memaksa. Tapi, hubungi saja aku kalau nanti kamu berubah pikiran," ucapnya menghembuskan napas panjang. Setelah mengatakannya, ia kemudian beranjak pergi tanpa meminum jusnya sama sekali. Walau pertemuan kami singkat, tapi cukup membekas. Selain cantik dan kaya, Sisil bukan wanita yang mudah memohon. Jelas-jelas ia membutuhkanku, tapi tetap tidak mau mengaku. Aku jadi penasaran, bagaimana rupa calon suaminya? Pasti melebihi standart di atas rata-rata, batinku lantas berdiri lalu diam-diam berjalan ke luar untuk memeriksa. Sayang sekali, aku tidak bisa melihat dengan jelas dari kejauhan. Hanya saja mobil yang menjemput Sisil nampak mahal dan berkelas. Tampilan cat dan modelnya terkesan mencolok karena kemewahan. Seketika aku sadar telah bersikap seperti seorang pecundang. Harusnya, aku menyanggupinya saja tadi. Toh, aku benar-benar sedang butuh uang untuk biaya pengobatan. Bukankah nyawa Bella lebih penting dari harga diri ini? Dengan gerakan kesal, aku buru-buru menghubungi Sisil. Untungnya, panggilanku itu diangkat meski di dering terakhir. “Nad, aku sudah bilang belum? Kalau di minggu pertama terapi kamu harus menginap?” tanya Sisil sesaat setelah aku mengutarakan niatku. “Menginap? Jangan bercanda,”ucapku terkejut. Nyaris aku mengakhiri panggilan itu. Apa dia tidak paham dengan definisi pekerjaanku? “Datanglah besok ke alamat yang aku kirim nanti. Tenang saja, aku akan ada di sana, mengawasimu saat memberi terapi. Kalau pekerjaanmu bagus, upahmu bisa kunaikkan hingga berkali-kali lipat.” Tut. Panggilan itu diputus secara sepihak. Arogansi Sisil membuatku tersenyum getir. Harga diriku kini benar-benar telah dikuliti. Menginap dia bilang? Memangnya aku ini perempuan panggilan?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
101.2K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.4K
bc

My Secret Little Wife

read
92.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.2K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook