bc

Malam Sebelum Jumat

book_age18+
391
FOLLOW
2.2K
READ
lighthearted
mystery
straight
male lead
realistic earth
supernature earth
supernatural
special ability
horror
school
like
intro-logo
Blurb

“Apakah kau tahu? Cara mengubah kuntilanak menjadi manusia?”

Pada pohon beringin di halaman belakang rumah Aji Saputra, sesosok kuntilanak tinggal. Terus menatapnya dengan tatapan sendu tanpa pernah menyerangnya. Penasaran akan sosoknya, suatu ketika Aji memutuskan untuk menemui kuntilanak itu.

Dengan sebuah paku yang konon bisa mengubah kuntilanak itu menjadi manusia.

chap-preview
Free preview
Pertemuan
Sebuah dunia baru terbuka bagi anak laki-laki itu. Sayang ia kelam dan mengerikan, penuh rasa sakit dan derita. Akan tetapi tanpanya sang waktu takkan menunjukkan masa lalu yang tertidur kelam dan membuatnya buta akan dirinya sendiri. Ia akan bertemu dengan perwujudan dari kematian, dan dari kematian itu ia akan belajar tentang kehidupan lalu menemukan kesejatian dirinya. Tapi dalam perjalanannya itu ia akan kehilangan dirinya perlahan-lahan. Kemudian akan ia saksikan bahwa kematian pun takkan pernah lepas dari cengkraman sang waktu. Karena kematian bukan berarti keabadian, sementara itu mencapai keabadian tidaklah semudah menggerakkan mayat lalu mengisinya dengan ruh-ruh kehidupan. Akankah anak laki-laki itu menemukannya? Keabadian sejati dimana ia bisa menjaga agar orang terkasih tetap ada untuknya selama-lamanya? Pov Aji Saputra Saat itu, aku tak menyangka bahwa aku akan melihatnya lagi. Kedua mataku kini terpaku menatap sesosok gadis dalam balutan gaun putih, kulihat rambut panjangnya yang tertiup angin dengan lembutnya. Hanya suara gemerisik dedaunan beringin di bawah sinar rembulan yang menemaniku. Gadis berambut panjang itu duduk di salah satu dahan pohon beringin yang paling besar. Rambut panjangnya menjuntai sampai menyentuh ujung kakinya, sementara itu salah satu matanya hitam sayu menatapku. Aneh, aku tidak bisa melihat mata sebelah kirinya karena rambut-rambut poninya. Dalam balutan kain putih koyak itulah, ia terlihat menawan dengan langit malam dibelakang tubuhnya. Menawan namun mengerikan. “Mendekatlah…” Bibir mungilnya bergerak, ia memanggilku. Tanpa suara hanya dengungan yang terdengar bagai bisikan di kepala. Apakah itu semacam telepati? Atau aku terlalu lelah sampai-sampai mendengar suara-suara aneh dalam kepalaku? Entahlah, yang aku ketahui aku merasakan ada sesuatu yang seolah-olah menarik tubuhku untuk mendekatinya. Di bawah sinar rembulan itu, kulit pucatnya terlihat rapuh bagaikan kertas. Sementara itu rambut-rambutnya hitam lembut tertiup angin bagai benang-benang sutra. Kuakui dia benar-benar cantik, tapi kecantikan seperti itu bukanlah kecantikan milik manusia. Bagaikan fatamorgana, kecantikan milik makhluk itu hanyalah ilusi. Kulangkahkan kakiku menjauh darinya dengan sepasang mata yang tak mau lepas darinya. Mata bola hitam kelam itu nampak bergerak-gerak seolah ingin menyampaikan sesuatu, aku tahu ia kecewa untuk alasan yang tak kumengerti. Tapi apa? Dengan sosok mengerikannya ia seharusnya memiliki keberanian untuk mengejarku, tapi mengapa ia hanya terdiam disana? Seolah beringin tempatnya berada kini adalah sebuah penjara baginya. Gadis itu tak bisa berbuat apa-apa selain meremas ujung gaunnya. Kekesalannya padaku membuatnya tanpa sengaja menghilangkan ilusinya. Membuat jemari tangannya yang lentik menjadi jemari busuk dengan kuku-kuku tajam, sementara itu matanya terlihat nyalang kemerahan. Suara-suara itu kini menghilang dari kepalaku. Begitu juga sosok gadis itu yang perlahan menghilang bagaikan kabut dari pandangan mataku. Kututup pintu belakang rumahku. Bayangan akan sosok dan juga tatapan mata sendu itu terasa begitu menghantuiku. Bahkan setiap kupejamkan mata, sosoknya akan muncul dalam benakku tanpa bisa kukendalikan. Apakah ini semacam kutukan? Atau aku hanya merasa kesepian saja? Aku tertawa tanpa suara saat berjalan menaiki tangga menuju kamarku yang berada di lantai atas, menertawakan nasibku yang harus sendiri di rumah mendiang ayahku. Begitu kubuka pintu kamarku, hal yang pertama kulihat adalah jendela kamar yang terbuka. Dari jendela itu aku biasa mengawasi gadis itu, dan ia tahu bahwa aku sering melihatnya diam-diam. Sosoknya yang penuh misteri membuatku terus bertanya-tanya akan keberadaannya. Apakah dia manusia? Hantu? Atau makhluk lainnya? Kalau dia adalah hantu, mengapa hanya dia yang bisa kulihat? Bukankah jika hantu merupakan sosok manusia yang sudah mati, seharusnya jumlah mereka banyak, dan dunia ini akan dipenuhi oleh makhluk seperti mereka bukan? Bahkan meskipun aku sudah beberapa kali menuju Bukit Sujati untuk menziarahi makam Ayah kandungku, tapi tak sekalipun aku melihat makhluk seperti gadis di atas beringin itu. Aneh bukan? Selain itu, mengapa gadis itu terus berada di atas beringin itu? Apakah ia semacam roh penunggu atau semacamnya? Atau ada kekuatan lain yang menyebabkannya terperangkap pada tempat itu? Kututup daun jendela lalu kubaringkan tubuhku pada tempat tidur. Langit-langit kamar yang gelap perlahan menciptakan bayangan sosok gadis itu. Kugelengkan kepalaku dengan cepat untuk menghilangkannya, lalu kutarik selimut dan mencoba untuk tidur. Malam harinya, aku bermimpi aneh. Entah mengapa, seakan-akan aku melihat diriku yang lain Ia berdiri memandangku dengan senyuman ganjil. Di atas sebuah bukit dengan beringin yang sama seperti di belakang rumahku. Kemudian di atasnya kulihat gadis itu meloncat turun menerkam sosok diriku yang lain. ############# Senja, ketika sang surya mulai tergelincir lalu perlahan menyentuh kaki langit. Mataku sekilas menatap pada jalanan yang lenggang dan sepi dengan dedaunan jatuh tertiup angin diatasnya. Dari pinggir trotoar ini, aku merasakan semuanya. Kebisuan, ketenangan dan kesunyian. Juga sedikit perasaan takut. Sebagai manusia yang ditakdirkan sebagai makhluk sosial, aku merasa takut sendirian. Ketika nyawa berada di ujung tanduk, dan tiada seorangpun datang untuk menemaniku. Meskipun perasaan itu berkali-kali telah kurasakan, tapi entah mengapa ada sesuatu yang tak biasa dengan perasaan sepi ini. Seakan-akan kesendirian ini hanyalah kepalsuan, dan ada orang lain yang ada disini. Mengawasiku diam-diam tanpa kusadari, lalu saat aku lengah sosok itu akan menyerangku dan menghabisiku tanpa ampun. Namun meskipun begitu, aku tetap berjalan di trotoar ini. Melangkah diatas trotoar bergaris hitam dan putih sambil menggendong tas di punggungku. Bukan karena Aku pemberani, tapi karena rasa takutku. Aku takut jika apa yang selama ini kukhawatirkan hanyalah sebuah kebohongan. Aku sulit mempercayai diriku, dan hal itu terkadang menyebabkanku mendapatkan masalah. Hari ini tak biasanya aku pulang sekolah terlalu sore. Bus yang biasa kunaiki juga sudah berangkat berjam-jam yang lalu. Tak seperti biasanya, hari ini aku ada urusan dengan wali kelas dan hal ini takkan terjadi jika ibuku tidak ikut tinggal bersama suaminya. Karena itulah semenjak kepergian Ibuku, ada banyak hal yang harus kuselesaikan sendirian. Samar-samar kudengar langkah kaki, aku mencoba tak menghiraukannya. Sebentar lagi aku sampai di perempatan jalan, tempat itu mungkin tidak sesepi jalan yang kulalui. Akan tetapi suara langkah kaki itu sedikit menggangguku. Seolah-olah, suara itu ingin mencoba menyamai langkah kakiku untuk menyembunyikan dirinya. Seketika itu juga kucoba mempercepat langkahku lalu memperlambatnya, Firasat buruk langsung menghinggapiku ketika dugaanku tepat seperti yang kupikirkan. Kucoba membalikkan tubuhku, berharap menemukan kenalan atau teman sekelasku di belakang punggungku. Tapi sayang nihil! tidak ada siapapun disana. Bulu kudukku seketika berdiri, tapi aku mencoba tetap tenang. Kulanjutkan langkah kakiku, sampai kemudian ekor mataku melihat sesosok laki-laki yang berdiri di ujung perempatan. Setelah jarak kami cukup dekat, sosok laki-laki itu terlihat semakin jelas. Ia berdiri membelakangiku dengan mengenakan pakaian dan celana berwarna hitam. Kepalanya tertutup oleh blangkon berwarna hitam, begitu konstras dengan rambut putihnya. Aku berdiri disampingnya, berniat untuk menyeberang jalan. Mobil yang berhenti di dekat kami menghalangi pandangan. Aku tak tahu apakah ada kendaraan yang melaju di jalur lain. Tapi melihat jalanan yang sepi membuatku tidak berpikir panjang dan langsung menyeberang. Sebuah tepukan halus menghentikanku, aku menolehkan kepalaku. Laki-laki tua itu tersenyum misterius sambil memegang bahuku. Sorot matanya kelam bagaikan gelapnya malam. Wajahnya penuh kerutan, pertanda usianya kini telah senja. "Masih terlalu cepat untukmu nak!" Aku hanya terdiam, kakek tua itu mengatakan sesuatu yang tak kumengerti. Apa yang dimaksudkan kakek ini? Selain itu, kenapa dia menghentikanku? "Kematian ini bukanlah untukmu!" Kakek tua itu menarik tubuhku dengan kuat, lalu membuatku terjungkal dan jatuh tepat di belakang tubuhnya. Saat itulah mataku menangkap sesuatu yang melaju dengan cepat tanpa suara di belakang tubuhku. Kubalikkan tubuhku, saat itulah sebuah truk besar menghantam sebuah pohon kersen dengan begitu kerasnya. Entah apa isi dari truk itu, tapi kulihat muatan di dalamnya langsung meledak begitu menghantam pohon. Api menyembur keluar dengan bayangan kematian menari-nari di depan pelupuk mataku. Dengan kecepatan seperti itu, tubuhku pasti akan hancur karena tak sempat menghindari datangnya truk mengerikan itu. "Namamu... Aji Saputra bukan? Anak muda?" Raut wajah kakek itu terlihat tenang. Meskipun ada kematian yang baru saja dia saksikan di depan matanya. Tunggu, barusan dia menyebut namaku? Apa kakek ini mengenalku? Aku segera berdiri dan membersihkan pakaianku yang kotor oleh tanah. "Iya, Tahu dari mana kek?" "Itu bukanlah hal yang penting. Namaku adalah Slamet, dan aku sudah menunggumu." Kakek itu terdiam. Ia lalu meletakkan tangan di belakang tubuhnya. Kepalanya tertunduk, lalu matanya terpejam selama beberapa saat. Tak berapa lama kemudian ia membuka matanya dan menunjukkan tangan kanannya padaku. Pada tangan kanannya kini tergenggam sebatang besi sepanjang penggaris, warnanya merah kehitaman. Salah satu ujung besi itu lancip dan ujung lainnya tumpul membentuk piringan. Membuatnya terlihat seperti sebuah paku raksasa. "Kuberikan pusaka ini untukmu anak muda, Namanya adalah Paku Puntianak." Aku hanya terdiam terpaku, merasa terintimidasi dengan perasaan aneh yang muncul saat menatap paku hitam kemerahan itu. Seorang kakek misterius yang mampu mengetahui datangnya kematian, dan juga nama orang yang baru ditemuinya. Lalu kini Ia memberikanku sebuah pusaka? "Ketahuilah anak muda, bahwa pusaka ini kuberikan bukan demi dirimu. Tapi demi kebaikan gadis berambut panjang yang selalu melihatmu tiap malam. Kau pasti mengerti maksudku bukan?" Pikiranku melayang pada sesosok gadis yang selalu duduk-duduk diatas dahan beringin di belakang rumahku. Alasan kenapa ia selalu memanggilku, dan tatapan mata kesepian itu, juga alasan kenapa ia tak pernah bisa pergi dari pohon itu. Akankah hal itu bisa kujawab dengan benda ini? Kuteriama pusaka itu dengan kedua tanganku. Paku itu begitu dingin menyentuh kulit tubuhku. Ada perasaan tak nyaman saat memegangnya. Kusentuh ujung paku lancipnya. Luka kecil muncul pada jemari tanganku, lalu darah yang meleleh itu kubersihkan dengan sapu tangan di sakuku. "Kakek, Apa yang harus." Tidak ada seorangpun disana. Aku kembali sendiri. Sementara itu kata-kataku menguap di udara, tanpa tersampaikan oleh siapapun. Meskipun kakek misterius itu menghilang, tapi seketika jalanan mendadak menjadi ramai. Polisi dan mobil pemadam kebakaran beradu sirine dengan ambulan yang baru saja tiba. Kulanjutkan langkahku. Bersikap tak peduli pada kerumunan orang yang mulai berdatangan di sekitarku.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
623.9K
bc

Menantu Dewa Naga

read
176.8K
bc

Scandal Para Ipar

read
693.4K
bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
860.2K
bc

Marriage Aggreement

read
80.7K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K
bc

Aku Pewaris Harta Melimpah

read
153.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook