bc

CALIGYNELOVE

book_age18+
730
FOLLOW
2.6K
READ
goodgirl
independent
comedy
sweet
bxg
humorous
female lead
campus
lies
passionate
like
intro-logo
Blurb

Gibran tidak menyukai Nayna karena dia terlalu cantik. Sementara Oji menganggap Nayna adalah titisan dewi yang turun dari kahyangan. Namun, bagi Gibran kecantikan Nayna lebih menyeramkan dari valak.

Nayna tidak tahu apa yang sebenarnya dialami Gibran, hingga pria itu membencinya. Yang Nayna tahu, Gibran itu pria homoseksual, lantaran dia tidak menyukainya.

Gibran tertawa mendengar tuduhan Nayna terhadapnya. Akhirnya dia dapat membuktikan bahwa dia pria normal yang bisa mencintai perempuan.

Dan perempuan itu adalah Ayra Farhana, wanita jelek dengan tahi lalat besar, alis tebal dan gigi yang dipagar.

Oji mencibir selera wanita yang disukai Gibran. Namun, tanpa Gibran tahu, orang yang dia cintai dan selalu menemaninya itu, adalah Nayna yang menyamar menjadi wanita jelek.

Sesuatu terjadi, hingga Nayna terpaksa membongkar penyamarannya. Lalu bagaimana kemarahan Gibran saat dia tahu, bahwa Nayna telah membohongi dirinya? Apakah Gibran dapat sembuh dari phobia anehnya itu?

chap-preview
Free preview
Nice to meet you
Seorang gadis berjalan sedikit terseok, mengikuti pria yang sedang berjalan cepat di depannya. "Kenapa sih, kok gue mau aja ikut bang Aksa ke tempat kayak gini," gerutu Nayna yang semakin memperlambat langkahnya.  Tiba-tiba Aksa menghentikan pergerakan kakinya dan membuat Nayna menabrak punggungnya.  “Aww,” pekik Nayna dengan bibir mengerucut. Pria bertubuh tegap itu menoleh ke samping, lalu berbalik dan menatap lekat wajah cemberut adiknya. "Udah tau belum tujuan kita kesini buat apa?" tanya Aksa. Nayna mencemooh dengan mengangkat satu sudut bibirnya ke atas. "Ya enggaklah."  "Terus kenapa lu mau ikut?" Aksa mengedikkan bahu. Nayna mengedikkan bahu. Dua hari mengurung diri di rumah karena putus dari Dewa, terus tiba-tiba Aksa mengajak pergi, apa salahnya dia ikut, sebagai bentuk penghiburan, tapi sialnya malah ke tempat seperti ini. Selasar yang luas dengan banyaknya orang berlalu lalang menenteng tas dan koper.  "Jadi, gue kesini mau jemput temen gue yang baru balik dari New York,” tutur Aksa sedikit bangga. “Mmmmhh …,” komentar Nayna. Dia tidak begitu tertarik dengan penuturan Aksa. “Namanya Gibran, dia baru aja menyelesaikan pendidikan S2 seninya di New York," jelas Aksa sembari melanjutkan langkahnya.  "Waaaww ...." Mata Nayna membulat. Kali ini dia baru tertarik karena ternyata sahabat kakaknya memiliki minat yang sama dengannya di bidang seni.   "Lu bisa berguru seni ke dia," ucap Aksa, tapi tanpa mereka tahu, Aksa ingin menjodohkan Nayna dan Gibran.  "Wiiih keren." seolah ada sebuah sugesti masuk ke dalam alam bawah sadarnya sehingga membuat Nayna menjadi bersemangat. "Tuh dia." Tunjuk Aksa pada seorang pria tampan, bertubuh atletis dengan jambang tipis di wajahnya.  Nayna tersipu. Tiba-tiba ada getaran yang berbeda saat Nayna menatap pria itu, kenapa mendadak jantungnya berdentum keras sekali. Memalukan, jika semua orang mendengar detak jantungnya yang bertabuh seperti genderang mau perang.   "Aksa!” Gibran langsung memeluknya sekilas. “Apa kabar?” tanyanya.  "Baik.” Aksa memutar tubuh Gibran yang semakin berotot.  “Waah, beda lu, nggak cungkring lagi. Gimana di sana?” "Baik." Gibran sedikit menahan tawa melihat Aksa yang sepertinya pangling dengan dirinya sekarang.   "Wah syukur deh."  Nayna yang sedari tadi tampak gugup, mencoba memegang erat tali tas selempangnya. "Oh iya, kenalin adek gue. Nayna," ucap Aksa sambil merangkul bahu Nayna dan merapatkan ke d*danya. Gibran tak langsung menatap wajah Nayna. Perlahan pandangannya menyapu dari ujung kaki Nayna yang memakai sepatu kets, berlanjut ke betis jenjang Nayna yang tak ada satupun bulu terlihat di betis mulusnya, gadis itu terlihat feminin dengan balutan dress casual selutut berwarna coklat muda.  Tiba-tiba saja, Gibran sedikit tersentak saat matanya menangkap wajah cantik Nayna. “Astaga,” gumamnya bersamaan dengan jantung yang terasa mencelus.  Nayna sedikit melirik Aksa. Dia merasa ada yang aneh dengan sahabat abangnya itu. Meski begitu, Nayna tetap mengulurkan tangan sebagai tanda perkenalan. Menunggu cukup lama sampai Gibran benar-benar menyambut uluran tangannya. "Nayna."  Gibran menbasahi tenggorokannya sebelum dia memberi tahu siapa namanya, lalu kemudian dia berujar, “Gibran.” Pelan sekali, sangat kontras dengan tubuhnya yang tegap. Tiba-tiba Gibran merasakan sesuatu dari dalam dirinya menyeruak, keringat dingin mulai mengembun dari setiap pori-pori kulitnya, dia merasa sesak, jantungnya berdebar lebih cepat dari sebelumnya, dia mulai merasa takut secara menyeluruh. Dan kemudian secara tanpa sadar tubuhnya luruh ke lantai.  Sementara tangan Nayna mengambang di udara usai berjabat tangan dengan Gibran. Dia terkejut karena Gibran terlihat aneh, tangannya terasa dingin dan gemetar saat berjabatan dengannya.   "Gibran!" teriak Aksa panik. Dibantu oleh beberapa orang di sana, Gibran dibopong dan di tidurkan di atas kursi panjang dari besi.  "Minta air, Dek." Telapak tangan Aksa terbuka pada Nayna yang sedang berdiri di belakangnya.  Nayna langsung memberikan botol mineral ke atas telapak tangan Aksa. Sementara itu dia juga merasa semakin gugup karena wajah Gibran semakin terlihat tampan kala matanya terpejam.  Aksa mencipratkan air ke wajah Gibran, setelah beberapa detik Gibran membuka mata, dan tanpa di sengaja matanya kembali menangkap wajah panik Nayna yang berdiri di belakang Aksa.  "Kakak, enggak apa-apa?" tanya Nayna lembut.  Namun, Gibran merasa lemas dan semakin sesak hingga dia pingsan kembali. Nayna semakin panik, begitupun dengan Aksa. “Temen Abang kenapa sih?” Aksa tercenung. Dia kemudian bangkit seraya menghela napas. Tiba-tiba saja Aksa teringat dengan penyakit yang diderita Gibran selama belasan tahun terakhir. Jangan-jangan phobia sahabatnya itu kambuh setelah melihat Nayna. "Kenapa, Bang?"  Aksa terdiam, dia berusaha memutar otak,  berpikir untuk meminta Nayna pulang tanpa harus membuat Nayna merasa kecewa atau sakit hati.  “Bang, kenapa?” tanya Nayna seraya menepuk bahu Aksa. Aksa terkesiap. Dia menjauhkan tangannya dari dagu, kemudian menatap Nayna. "Dek, lu mau bantu gue, kan?"  Nayna mengangguk.  "Gue minta lu balik aja. Biar gue yang urus Gibran di sini." Aksa masih memelankan intonasi suaranya.  "Enggak mau ah, abang kok gitu sih? aku nggak mau pulang sendiri. Aku mau tetap di sini sampe temen abang sadar, terus kita pulang bareng," tukas Nayna dengan senyuman kecil, ah … dapat dibayangkan jika perkenalannya berlanjut, pasti sangat menyenangkan.   Aksa mengernyit. Sudah dia duga Nayna selalu bersikap manja kepadanya. Dalam keadaan seperti ini, Nayna akan semakin merepotkan jika Aksa terus memintanya untuk pulang. Namun, Aksa juga tak dapat membiarkan Nayna untuk tetap ada di sini, bisa-bisa Gibran pingsan sampai maghrib.  Aksa menghela napas, sungguh untuk saat ini dia tidak ingin berdebat dengan adiknya yang rewel itu. Dia memijat pelipisnya, karena Gibran yang masih belum sadar dan Nayna yang terlihat panik. Aksa kemudian berdiri dan menarik tangan Nayna, lalu berjalan, kemudian menghentikan taksi yang kebetulan lewat di depan mereka. "Abang.” Nayna menoleh. “Aku nggak mau pulang." “Kamu harus pulang, biar nanti abang telepon Oji buat ke sini."   “Nggak, aku nggak mau pulang. Titik!" Nayna mengentakkan kaki.  "Kamu harus mau." Aksa membuka pintu mobil lalu memaksanya untuk masuk. "Mas, kunci pintu mobilnya! jangan dibuka sebelum sampai ke alamat ini." Aksa menunjukkan layar ponselnya yang tertera alamat lengkap rumahnya.  “Nyebelin!” Nayna membuang muka dari Aksa. Dia marah. Tapi Aksa tahu kemarahan Nayna tidak akan bertahan lama.  Sopir taksi itu mengangguk. Lalu mengoper gigi dan melajukan mobilnya. Aksa membuang napas lega. Dia segera berlari menuju tempat Gibran yang masih terlentang tak sadarkan diri. Dia segera merogoh ponsel dan mendial nomor Oji—sahabatnya—yang sedang ditugaskan olehnya menangani beberapa pekerjaannya di kantor. Sambungan terhubung. Di nada sambung ketiga, terdengar suara bariton menyapa [Halo, selamat siang, bersama Oji di sini ada yang bisa saya bantu?] intonasi Oji dibuat semirip mungkin dengan operator jaringan. “Ji, lu ke Bandara sekarang!” titah Aksa. [Lah … ngapain? gue, ‘kan masih banyak kerjaan.]  “Bentaran doang, bantuan gue, si Gibran pingsan.”  [Hahh … kenapa bisa pingsan mas vroh, mabok udara, laut dan daratan?]   Aksa menelan liurnya. Oji tak kalah menyebalkan dari adiknya. “Nanti gue ceritain, sekarang lu cepet kesini, naik Ojek!”  [Cih, naik Ojek.] “Oji!” [Iya, iya, sekarang OTW.]  Aksa mengakhiri panggilannya. Sementara itu, Nayna terlihat begitu kesal, Janji Aksa mengajaknya jalan, gagal total.   “Non, sudah sampai.” sopir taksi berhenti di sebuah kawasan komplek elit tepat di depan rumah minimalis dengan halaman luas dan nyaman. “Makasih, Pak.” Nayna turun. Namun, diikuti oleh suara klakson dari taksi tersebut. “Apa?” Nayna menoleh. “Bayar dulu taksinya, Non.”  Nayna menghela napas, dia kemudian berjalan kembali ke depan pintu taksi, gadis berambut panjang itu tidak menyangka Aksa tega, menyuruhnya pulang tanpa memberi alasan apapun.  “Lagian bapak sih mau aja nganterin saya.” Dia kemudian menganjurkan tangan ke depan wajah sopir taksi itu.“Nih! Kembaliannya buat bapak aja.”  Pria paruh baya itu mengernyit. "Kembalian? Apaan uangnya pas," gerutunya.   "Oh ya udah berarti nggak ada lebihnya buat bapak." Nayna pergi meninggalkan sopir taksi yang sedang terlihat bingung.  Mimpi apa Aksa semalam. Kenapa dia harus mempertemukan Nayna dengan sahabatnya yang memiliki phobia aneh. Aksa masih tampak kerepotan dengan keadaan Gibran. Belum lagi dengan matahari yang semakin terik membakar permukaan kulitnya yang manly. "Ji, lama banget sih, lu." Aksa memberikan kunci mobil pada Oji.   "Abang, lupa ya, ‘kan gue di suruh naik ojek.” "Abang, abang, buruan lu ambil mobil ke sini!" pekik Aksa kesal.   "Si Gibran mana?" Oji celingukan. "Noh …!" Aksa mengarahkan matanya pada Gibran yang masih terlentang tak berdaya di atas kursi bandara. "Yah … dia molor," ucap Oji. "Pingsan, bego!" Aksa mendelik.  Oji malah tertawa. Untung bukan dia yang menjemput pria itu, meski tetap ujung-ujungnya dia juga kebagian repotnya. “Dasar! Trio daging!” teriak Oji seraya berlalu. Aksa tak menghiraukan teriakan Oji, dia langsung saja mendekat pada Gibran dan mencoba membuatnya bangun dengan menepuk-nepuk pipinya. “Gibran, bangun lu! Adek gue udah balik, serius, nggak bohong.” Aksa memegang jakunnya sendiri. Tak lama Oji kembali dengan membawa mobil Aksa. Dia memencet klakson mobil dengan brutal, hingga membuat kegaduhan di terik panas yang begitu menyengat. Aksa hanya geleng-geleng kepala. Setelah mengajak dan memperkenalkan Nayna pada Gibran, ternyata meminta Oji untuk menjemputnya pun sama-sama bukan pilihan terbaik.  “Ji, bantuin dong,” teriak Aksa. Oji kemudian turun dari mobil, lalu membantu Aksa mengangkat Gibran dan memasukkannya  ke dalam mobil. “Lagian, si Gibran badan aja gede, masa hobinya pingsan,” gerutu Oji. “Kayaknya empat tahun enggak ketemu, gue yakin hobinya udah berubah, lu lihat aja badannya makin berotot,” timpal Aksa yang kini duduk dan menyangga kepala Aksa dengan pahanya.  Oji mencebik, dia kemudian masuk dan duduk di belakang kemudi. Usai membanting pintu mobil, dia menoleh pada Aksa. “Katanya lu mau cerita, kenapa si Gibran bisa pingsan?”  Menunggu Aksa menarik napas membuatnya kesal, maka dia melajukan mobilnya sembari menajamkan telinga untuk mendengar penjelasan Aksa. “Awalnya sih, gue ngajak Nayna buat gue kenalin ke Gibran.”  “Tujuan lu apa ngenalin Nayna ke Gibran? Oji menatap Aksa dari kaca spion kecil yang mengarah langsung pada Aksa dan Gibran yang duduk di belakang. “Gue …” Aksa menatap ke luar jendela.  “Jangan bilang lu--”  Aksa tampak mengangguk.  “Hah? Gila, lu!” Sebelumnya Oji memang sudah mendengar, kalau Aksa ingin menjodohkan Nayna dengan Gibran, Oji kira Aksa hanya bercanda mengingat Gibran yang sulit didekati perempuan.  “Lu yakin? kenapa nggak sama gue aja?” Oji menyugar rambut gondrongnya.  “Lu pecicilan, Ji. Nayna nggak bakalan suka.”  “Tapi gue setia, Sa”  “Sa, Sa. Gua bukan Annisa!”  “Iya Aksa.” Oji meralat sebutannya. “Jadi, kayaknya phobia Gibran kambuh setelah dia lihat adek gue.”  “Nah, ‘kan, gue bilang juga apa. Emang lu itu kelewatan, Aksa! Si Gibran sukanya sama yang jelek bukan sama cewek semanis dan secantik Nayna. Jadi, berhenti, Sa. Bilang kalau adik lu jelek.” Oji terus saja mencecar. “Empat tahun ketemu bule New York, tiba-tiba pingsan gara-gara lihat wajah Indonesia Nayna yang kelewat Ayu.” Oji kemudian tertawa.  Aksa hanya geleng-geleng kepala. Oji memang tak akan berhenti bicara sebelum kepalanya dipukul, tapi, Aksa kesulitan karena Gibran berada di atas pahanya. “Gue curiga, kalau si Gibran terlalu terpesona, sampai dia bingung mengekspresikan dirinya.” Oji kemudian melirik ke belakang. “Etapi, jangan-jangan si Gibran beneran molor, masa pingsan lama bener,” ucap Oji seraya menginjak rem.  “Kayaknya sih gitu,” sahut Aksa. “Udah deh cepet bawa balik, kita anterin ke bokapnya.” Oji kembali memutar kemudi dan melanjutkan perjalanannya. 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tuan Bara (Hasrat Terpendam Sang Majikan)

read
111.0K
bc

JODOH SPESIAL CEO JUDES

read
288.4K
bc

Satu Jam Saja

read
593.3K
bc

(Bukan) Istri Pengganti

read
49.0K
bc

LEO'S EX-SECRETARY

read
121.1K
bc

HOT NIGHT

read
605.7K
bc

BILLION BUCKS SEASON 2 (COMPLETE)

read
334.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook