bc

I’m Obsessed With Your Daddy

book_age18+
1.3K
FOLLOW
12.6K
READ
family
confident
tragedy
comedy
sweet
bxg
first love
affair
stepmother
lawyer
like
intro-logo
Blurb

Prily, mahasiwa Pendidikan bahasa Inggris yang baru saja melakukan PPL terobsesi pada ayah muridnya sendiri.

Wanita itu harus terjatuh beberapa kali agar bisa meyakinkan Pradipta bahwa rasa ini akan selalu ada, bukan akan menghilang dengan cepat. Ia bahkan memberikan gelar Mr. Palu untuknya.

Namun, disisi lain, seorang Agam Kuswara, Guru Matematika disana jatuh cinta pada Prily. Lelaki itu muda, tampan dan nampak sudah mapan.

Apakah perasaan sukanya pada Pradipta hanya sebuah obsesi?

Mencintai atau dicintai?

Cover by Me.

Picture from Pexels.

Font form Canva.

chap-preview
Free preview
One
“Sudah enam belas tahun dua bulan tiga puluh hari kamu pergi. Ternyata yang patah, tak selamanya tumbuh. Kadang akan segera mati.”   “Kamu tahu—-“   Brak! Brakk!   “PAPAAA!”   “PAAAA!”   Seorang gadis yang mengenakan seragam putih abu-abu merenggutkan wajahnya ketika pintu kamar sang Ayah terbuka dan melihat keberadaan orang yang ia cari berada di atas kasurnya sambil memegang foto berisi almarhum Mamanya. “Papa yang angkat sepatu aku sore kemaren kan?” tanya gadis berambut panjang itu. Tak memberi kesempatan pada sang Ayah menjawab bahkan sekedar mengangguk, gadis itu kembali berujar cepat. “Sepasang lagi mana? Kenapa cuman ada yang kiri?” Tangan kanan gadis itu mengangkat sepatu dengan list putih yang hanya ada satu. “Oh,” pria yang dipanggil Papa itu mengangguk dengan tenang. Wajahnya yang rupawan walau berada kepala tiga, nampak tersenyum. Berusaha untuk menenangkan sang anak. “Satunya lagi kemarin jatuh, jadi Papa cuci lagi,” ujarnya sambil meletakan foto mendiang isterinya di atas nakas dengan perlahan. “Lho? Lho? Kenapa enggak bilang dari sore?” Gadis itu berekspresi seperti baru saja mendapat nilai tujuh puluh. Oh, seorang Pricilia tak pernah mendapakan angka lebih kecil dari sembilan dua. “Papa lupa, pake aja yang lain,” saran Papanya. “Tapi, Pa. Hari ini aku pake sweater warna putih dan cuman sepatu itu yang cocok!” Gadis itu masih tak terima. “Enggak usah pake sweater, Cil,” desah pria dewasa itu, raut lelah di wajahnya terlihat. “Hari ini dingin, Pa,” gadis bernama Pricilia itu menampakan wajah kesalnya. Malam tadi ia sudah menghabiskan banyak waktu untuk me-matchakan seragam serta atribut yang akan ia pakai untuk hari senin yang dingin ini.   “Papa tahu ini awal minggu kan? Hari ini harus hebat biar hari-hari lainnya lebih great!” Pricilia Savana. Anak enam balas tahun itu menatap kesal pada Ayahnya yang nampak mengabaikannya. Pradipta Nugraha masih nampak tenang, pria itu bangkit dari duduknya, terus berlajan menuju lemari pakaiannya, mengambil jaz dan langsung memakainya. “Sebentar lagi kita berangkat.” Ia mengabaikan ocehan anaknya. “Papa itu niat enggak ngerawat aku enggak, sih?! Kalo Papa enggak sanggup balikin aja aku ke rumah Oma!” Dipta menghela nafasnya mendengar perkataan anaknya di pagi hari, sungguh dirinya pusing bercampur lelah. Lelaki itu baru saja tidur pukul tiga pagi untuk mengerjakan semua berkas perceraian kliennya. “Terus Papa bebas untuk nikah lagi!” “PRICILIAAA!” Bola mata gadis itu membulat ketika mendengar teriakan dari sang Ayah. Cia—nama panggilan gadis itu, berusaha untuk mengepalkan kedua tangannya agar Dipta tak melihat tangannya yang bergetar. Ia berusaha untuk tidak terlihat lemah di depan Papanya. “Aku berangkat sama Oma!” Gadis itu melempar sepatunya ke lantai lalu berjalan menuju kamarnya. “Cia, Pricilia!” Dipta menghela nafasnya kasar, menarik kasar dasi yang mengikat lehernya, sesak.  Tak seharusnya ia membentak putrinya sendiri, pria itu sungguh menyesali emosinya yang mudah terpancing jika mendengar rengekan-rengekan anak gadisnya. Wajar apabila seusia Pricilia banyak meminta padanya, apalagi mereka baru dua bulan ini tinggal bersama sebagai seorang Ayah dan anak. Namun, Dipta tak bisa berbohong bahwa ucapan perkataan gadis itu tentang ia yang akan menikah lagi membuatnya tiba-tiba merasa emosi. Cintanya pada Savana, tak hanya sekedar mati dan hidup. Namun, selamanya.   ————   “Lo kenapa, Ci? Sakit? Flu?” Gendis menatap bingung ke arah sahabatnya yang baru saja masuk ke dalam kelas. Gadis itu mengenakan masker untuk menutupi setengah wajahnya. “Lo enggak lihat, Gentong?” Cia bertanya sambil membuka maskernya. Raut wajah Gendis yang mendengar panggilan Pricilia padanya sedikit merasa tersinggung. Namun, sayangnya gadis itu tak menyadari bahwa ucapannya melukai gadis didepannya. “Oh, lo emang enggak akan paham,” ujar Cia menghela nafasnya frustasi. “Lo enggak lihat sepatu sama sweater gue itu enggak match?” tanya gadis itu. Gendis yang mendengarnya memperhatikan gadis di depannya dari atas hingga bawah. Tidak ada yang berbeda atau salah. Pricilia masih mengikuti peraturan sekolah. Tapi, Gendis merasa bahwa ia tak akan mengerti apa yang dikesalkan wanita yang sudah ia anggap sebagai sahabat ini.   Pricilia Savana itu sudah menjadi ratu sejak ia lahir. Cantik dengan mata yang bulat, rambut yang bergelombang dan tubuh ideal serta kulit putih. Tak sampai disitu, otaknya pun begitu encer. Gadis itu memiliki banyak prestasi dan namanya selalu dipanggil lebih awal sebagai juara saat pembagian rapot. Tentu saja semua yang dimiliki gadis itu langsung membuatnya menjadi gadis idola di sekolah mereka. Walau saat ini mereka baru duduk di tingkat satu, namun tidak ada seorang pun yang menolak pesona Pricilia. “Lo enggak jadi diet, Tong?” Cia sedikit menepuk perut Gendis yang nampak seperti ibu hamil tiga bulan, menurut gadis itu. “Katanya pengen terkenal, sampai tamat enggak bakal ada yang tahu kali kalo lo sekolah disini.” Diakhiri dengan kekehan kecil. Tapi, untuk mereka yang berada hidup di dekat Pricilia. Gadis itu memiliki mulut yang super pedas, super egois dan ambisius. Segala cara, dari yang kotor sampai bersih pun wanita itu lalukan untuk mendapatkan apa yang ia tujuh. “Gendissss!” Seorang gadis dengan seragam seperti mereka masuk ke dalam kelas. Gadis bernama Ocean itu tersenyum manis, bahkan Pricilia yang melihatnya ikut terkesima. “Dis, resep yang kamu kasih ke aku itu enak banget!” senyum gadis bernama Oceana itu semakin lebar. “Kamu pasti pinter masak,” gadis itu menghela nafasnya. “Aku pengen diajarin sama kamu,” rengeknya manja membuat Gendis mengangguk sambil tersenyum. Pricilia yang mendengarnya memutar bola matanya, kesal. Oh, gadis itu benar-benar membuat Cia bete. “Eh, Cia? Baru datang?” Oh, kehadirannya ternyata tak dianggap pemirsa! “Iya,” angguk Cia sambil tersenyum manis menahan kesal. “Mata lo baru datang!” sunggut gadis itu lalu pergi menuju mejanya. Dengan kasar ia meletakan tasnya. Oceana, gadis itu benar-benar membuat kebaradaanya seperti diancam. Cia tidak tahu apa yang membuat bisa berpikiran seperti itu karena jika dibandingkan dengan apapun, ia akan menang telak. Tapi sejak lelaki yang ia kagumi saat Masa Pengenalan Lingkungan itu menembak Oceana, padahal Pricilia sudah menunggu untuk lelaki itu menembaknya. Dirinya merasa terhina! Kanapa harus perempuan itu? Pintar? Dari rapot SMP yang Cia selidiki, Oceana belum pernah masuk tiga besar. Namun, masih berada di sepuluh besar.  Kaya? Kedua orang tuanya hanya membuka toko mie ayam yang tak jauh dari sekolah. Pricilia pernah melihat gadis itu membantu Ibunya mencuci piring saat tak sengaja membeli mie ayam disana. Cantik? Ia akui gadis itu manis dengan kedua lesung pipi dan gigi gingsul. Imut, sih. Namun, hanya sedikit. Sedikit. Seperti kopi manis yang hanya ditambahi satu gram bubuk kopi akan membuatnya menjadi pahit.   Pricilia menggigit bibirnya ketika Gendis masih bersama Oceana, rasa takut tiba-tiba menyergapnya kala gadis yang menjadi teman sebangku plus teman perempuan yang cukup dekatnya itu malah menuju bangku Oceana yang berada diujung nomor dua. Gendis itu teman satu-satunya yang ia miliki dan jika gadis itu memilih bangku kosong yang berada dibelakang Oceana. Tamat sudah. Pricilia akan benar-benar sendirian. Ah, tapi seharusnya ia tak perlu memikirkan itu kan? Dirinya memiliki banyak teman, walau bukan di kelas ini. Cia sendiri tidak tahu apa yang menyebabkan gadis-gadis di kelasnya ini menjauhinya? Oh, mereka pernah mendekatinya namun hanya untuk bertanya jawaban atau rumus. Lalu setelah mendapat yang mereka mau, semuanya akan pergi. Hah! “Ci, Ci! Mau enggak?” Pricilia tersentak ketika lengannya disenggol, Gendis ternyata sudah berada disampingnya. Gadis dengan kulit berwarna coklat manis itu tersenyum sambil menawarkan pisang goreng madu padanya. “Enggak mau ya? Ya udah, Oceana mau tadi kata—“ “Gue mau kok, gue lapar banget kayak setahun enggak makan!” “Buruan makan, gih. Entar lo kenapa-napa.” Gendis memberikan kotak berisi olahan pisang itu pada Cia. “Thanks, Dis.” “Katanya nanti ada Guru PPl yang gantiin Mam Sri,” kata Gendis menyebut Guru Bahasa Inggris mereka yang sedang cuti hamil dan melahirkan. Ia tahu dari Oceana yang kebetulan pagi tadi bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa yang akan mengajar disini. Pricilia mendengus, mengunyah dengan cepat pisang goreng itu. “Alah! Palingan juga nanti mereka bilang gini ‘kata Mam Sri kalian harus mengerjakan halaman 20, tugasnya dikumpul’ terus main ponsel, bikin instastory,” dumel gadis itu membuat Gendis yang berada disebelahnya terkekeh. “Enggak semua kok, Ci.” “Enggak semua? Berarti lo membenarkan kan?” tanya Cia membuat Gendis tanpa sadar mengangguk. “Ci.” “Hem,” jawab gadis itu sambil menggigit pisang gorengnya dengan lahap. Jangan lupa ia tidak sarapan pagi tadi dan harus berangkat dengan ojol karena berbohong dijemput Omanya. “Lo udah Matematika?” tanya Gendis ragu-ragu. Pertanyaan itu dijawab dengan tatapan datar oleh Pricilia. Gendis yang melihat tatapan itu merasa malu, gadis manis itu sudah mengerjakan tugas matematika itu semalaman hingga larut dan ia juga selalu mendengar dengan seksama ketika guru menerangkan. Namun, soal yang diberikan sebagai tugas jauh berbeda dengan apa yang dicontohkan di papan tulis. “Enggak jadi, deh, Ci.” “Kenapa?” tanya Pricilia heran. Walau sudah dua minggu menjadi teman sebangku, bisa dibilang ini pertama kalinya Cia menanggapi ucapannya cukup panjang. Selebihnya hanya Cia yang memintanya sedikit minggir karena gadis itu ingin keluar. Mereka duduk di nomor dua, di dekat dinding. Bahkan Gendis pagi tadi sedikit terkejut karena Pricilia tahu ingin terkenal. Gadis itu ternyata diam-diam mendengarkannya. Dan, sebenarnya selain ingin meminta jawaban Gendis ingin mengajak Cia mengobrol. “Gue malu,” ucap Gendis jujur. “Gue enggak mau ngasih jawabannya.” Pricilia menutup tempat pisang goreng madu milik Gendis yang sudah habis. “Tapi, kalo lo minta ajarin. Ayo!”  

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
60.7K
bc

Om Bule Suamiku

read
8.8M
bc

Dua Cincin CEO

read
231.3K
bc

Married with Single Daddy

read
6.1M
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
52.4K
bc

FORCED LOVE (INDONESIA)

read
598.7K
bc

Kupu Kupu Kertas#sequel BraveHeart

read
44.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook