bc

30 Hari Menuju Perceraian

book_age16+
306
FOLLOW
2.2K
READ
others
love after marriage
mate
drama
first love
spiritual
like
intro-logo
Blurb

"Jika rumah tanggamu dalam badai besar, berjuanglah sekuat tenaga menaklukkan badai itu. Berjuanglah meskipun kamu berjuang

sendirian, perih dan sakit. Pernikahan ini layak diperjuangkan bagaimanapun hasilnya. Kalaupun sampai batasnya rumah tangga tetap tak terselamatkan. Maka perjuangan akan menempa kita menjadi pribadi yang kuat dan pantas menerima yang terbaik. Dan tentunya, tidak ada rasa penyesalan karena kita pernah merasakan berjuang mempertahankannya."

Itulah pesan Bivisyani Alkafh kepada Alana Mehrunnisa, klien konseling pernikahannya. Kisah ini tentang lika-liku seorang konselor menaklukkan tantangan-tantangan dalam menyelamatkan rumah tangga Alana dan Ghulam. 30 HARI! Hanya ada waktu 30 hari masa perjuangan mempertahankan cinta sejati.

Selamat menjadi saksi kisah penyelamatan cinta sejati!

chap-preview
Free preview
1# Aku dan Alana
Pagi itu pukul 10.00, matahari sudah seperti pukul 12.00. Panas sekali. Kuturunkan lagi suhu ac di ruang kerja, kenapa ac ini tidak membantu mendinginkan tubuhku yang keherahan ini, batinku kesal. Apakah ini karena kemejaku? Kemeja warna navy berbahan oxford yang dibelikan ibuku dari temannya yang berjualan online, nggak enak nggak beli saat ditawari, kata ibuku. Dan aku memakainya juga memakainya karena tidak enak juga, sekaligus ingin membuat ibu senang, hadiahnya bermanfaat. Akhirnya kumatikan ac dan kubuka jendela lebar-lebar, hawa panas segera merebak masuk. Kunyalakan kipas angin kencang-kencang. Ahh..ini lumayan. Jus mangga di gelasku sisa seperempat, ini gelas kedua sepagi ini. Aku tidak peduli lagi berapa kalori yang masuk ke tubuhku. Meskipun meminum jus rasa-rasanya tidak menghilangkan hausku. Dari pagi, aku sudah sibuk berkutat dengan dokumen klien yang harus kupelajari, belum lagi hasil tes kepribadian yang harus kucerna dalam-dalam. Kepalaku berdenyut-denyut, sepertinya tekanan darahku turun lagi. "Mbak Bivi, ada yang mencari, sudah kubilang seperti pesan mbak kalau mbak sedang sibuk dan full slot klien, tapi dia malah menangis dan minta hanya pengen bertemu mbak. Bagamana?" Laila, asisten serbaguna yang merangkap admin sekaligus receptionist tiba-tiba datang ke ruanganku. Wajahnya seperti sedang me-nego-ku agar diterima saja tamu itu, kasian. "Okelah, suruh dia masuk." Kataku kemudian. Sejenak kemudian seorang ibu muda mendatangiku sambil menangis. Wajahnya sembab, matanya menyipit dan hidungnya memerah, terlihat jelas ia sudah menangis cukup lama. Sekalipun begitu ia tetap terlihat sangat cantik, wajahnya bening seperti iklan-iklan sabun muka, t**i lalat di dekat bibir sebelah kiri membuat wajahnya sangat menarik untuk dipandangi terus menerus, meskipun oleh seorang perempuan. Perempuan ini mengenakan blouse warna nude kekinian dan celana kain yang serasi. Dia pasti orang yang mengerti fashion. Rambutnya sebahu tergerai rapi, sangat rapi, ia pasti rajin ke salon pikirku. Di sisinya, tangannya mengenggam jemari seorang gadis kecil berpipi bulat, berhidung mungil, dan bermata sipit. Ciri khas anak down syndrome. Ia memakai seraga sekolah, atasan pink dan rok selutut kotak-kota merah dan dasi kecil ala-ala sailor moon. Wajahnya sangat ceria. Ia nyengir, melet, dan tertawa berkali-kali padaku. Kontras dengan ibunya yang berwajah sendu. "Ada yang bisa saya bantu?" Kataku kemudian setelah mengisyaratkan kepada mereka untuk duduk di sofa ruang kerjaku. "Namaku Ala. Alana Mehrunnisa. Ini putriku bernama Kavya. Aku kesini untuk memintamu membantuku berpisah dari suamiku." Ala kembali menangis, kemudian ia coba menguasai diri dengan mengambil nafas panjang dan ia hembuskan dalam-dalam. "Tenanglah dulu, aku ambilkan minum sebentar." Aku keluar menuju dapur kantor untuk mengambil dua kotak jus di kulkas. Ala segera meminumnya begitu kuserahkan jus itu padanya.  Gadis kecil bernama Kavya itu juga segera meraih jus itu, sepertinya mereka haus. Kemudian Kavya beralih memainkan vas bunga di meja. Aku bersyukur sudah menggantinya dengan vas kayu tadi pagi. "Tadi kamu bilang, kamu ingin berpisah dengan suamimu? Apa yang terjadi?" Tanyaku setelah Ala tenang dan kurasa dia lebih siap bercakap-cakap. "Kami setiap hari bertengkar, kami saling berteriak, untuk urusan apapun. Dia sangat keras dan tidak punya waktu untuk kami. Aku sering mengalah tapi dia terus menyalahkanku." Aku terdiam, Ala sepertinya sedang dikuasai perasaan, ia menangis lagi setiap setelah selesai bicara. Aku hanya diam menyimaknya mencurahkan isi hati. Ia terus bercerita sambil menangis. Ala menceritakan suaminya yang bernama Ghulam, seorang pekerja sosial di sebuah LSM. Waktunya banyak ia habiskan untuk proyek-proyek kemanusiaan tapi kata Ala, ia tak memanusiakan istri dan anaknya. Ghulam mulai berubah justru ketika Ala memilih membangun usaha butiknya. Kini usaha butik itu berkembang pesat. Tapi Ghulam tidak pernah mengapresiasi Ala, justru dia tidak suka melihat kesuksesan Ala. Ia merasa tersaingi ketika pendapatan yang didapatkan Ala dari butik bisa 10 kali lipat gaji Ghulam. Padahal Ala tidak pernah menuntut apapun. "Aku sangat mencintainya, tapi aku tidak sanggup jika dia terus melukaiku." Ala mengakhiri ceritanya. Kavya sedikit merengek, mungkin bosan. Ala mengambilkan snack ketela dari tas ransel gadis itu. Kavya kembali tenang dan sibuk dengan snacknya. "Hah….hah..!" Kavya berteriak kegirangan, rupanya dia menuka mainan patung kecil dari dalam kemasan snack. Ia senang sekali hingga melompat-lompat, memamerkan patung kecil berbentuk kuda poni warna ungu pada ibunya dan kepadaku lalu asyik memainkannya hingga lupa snack ketelanya. "Apakah kau bisa membantuku terlepas dari hubungan beracun ini?" Wajah Ala begitu memelas, meski begitu ia terlihat sangat cantik. "Aku berharap aku bisa membantu kalian. Tapi aku membutuhkan banyak informasi tentang kalian. Jadi, aku harap aku bisa bertemu dengan suamu juga." Mendengar kalimatku, Ala menatapku cukup lama. "Aku tidak yakin dia akan mau. Dia selalu mengaku tidak punya waktu selain untuk pekerjaannya. Dia tidak peduli dengan hubungan ini." "Mungkin kau bisa coba dulu, dengan penjelasan yang baik, demi rumah tangga kalian. Entah akhirnya harus berpisah atau tidak. Paling tidak, kalian telah sama-sama memperjuanglannya." Lagi, Ala menatapku lama. Ia mungkin mencerna kalimatku. "Kau benar, baiklah akan kucoba memberitahunya nanti. Ayo Kavya! Hah!" Ala terperanjat melihat putri kecilnya telah memotong-motong bungaku dengan gunting. Ia sepertinya mengambil gunting dari meja kerjaku. Aku ikut terperanjat karena sebenarnya, itu bunga lily tiruan yang dibawakan temanku dari Malang. "Kavya, apa yang kamu lakukan?" Ala panik memberesi robekan daun dan bungaku. Wajahnya khas ibu-ibu yang ingin mengomel. "Tidak apa-apa, akan bersihkan nanti. Jangan memarahinya." Aku segera mencegah Ala mengomel, wajah Kavya lansung setuju dengan pendapatku, ia mendatangi lalu memelukku, "Acih." Ia melepas pelukan, melihatku, dan memelukku sekali lagi. Aku tersenyum lalu berjongkok di depannya. "Kavya sedang belajar menggunting? Besok kita mengunting gambar apel, ok!" Kuisyaratkan jempol kepadanya, Kavya menirukan dan mengangguk keras. Ia tersenyum lebar memperlihatkan lesung pipi kecil di kanan dan kiri bibirnya. "Terimakasih atas pengertianmu, sekarang aku tahu kenapa temanku Zahra menyarankanku menemuimu. Kau memiliki hati yang sangat baik. Aku dan Kavya pamit dulu." Sesaat kemudian Ala menuntun Kavya keluar dari ruangku, sedikit memaksa karena anak kecil itu sepertiny betah. Aku hanya tersenyum melihatnya. Seperginya Ala dari ruang kerjaku, Laila masuk lagi. Dengan wajah penasaran ia bertanya, "Diterima lagi mbak? Katanya full slot?" Aku hanya mengangkat bahu. Tidak tahu kenapa, aku selalu sulit menolak klien yang datang, apalagi yang mereka sengaja ingin bertemu khusus denganku. "Entahlah, La. Aku kasian kalau menolaknya. Dia terus menangis dan anaknya juga sangat manis." "Ya..semoga mbak Bivi kuat. Sehat-sehat ya mbak." Laila segera ngeloyor pergi. Di minggu-minggu ini, sebenarnya aku sibuk mendampingi empat klien yang hendak bercerai. Mereka semua fix bercerai, itu keputusan terbaik yang kami ambil. Alana adalah klien kelima saat ini. Entah kenapa saat ini aku berharap pada diriku sendiri agar bisa membantunya menyelamatkan rumah tangganya. Aku tidak tahu bagaimana melalui besok dengan jadwal yang padat, bertemu Bu Neni, salah seorang pengacara klienku, datang ke pengadilan agama untuk mendampingi, dan aku, baru saja mengambil janji juga tadi, bertemu Ghulam, suami Alana.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
91.8K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.0K
bc

Siap, Mas Bos!

read
11.0K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook