bc

Mother Of Healing

book_age18+
921
FOLLOW
2.6K
READ
powerful
self-improved
tragedy
mystery
nymph
magical world
witchcraft
special ability
horror
spiritual
like
intro-logo
Blurb

Cerita dewasa bernuansa horor dan romance. Terima kasih raiders yang sudah mendukung karya aku.

Terlahir berbeda dengan memiliki ketajaman batin yang bisa mendeteksi energi positif dan negatif dari manusia. Kelebihannya bisa menyembuhkan jiwa dan raga yang terluka. Dalam situasi tertentu Janitra bisa berubah seperti si pahit lidah yang ucapannya dapat terwujud pada sesuatu yang dikehendaki dan tentunya juga atas izin sang Pencipta Jagat Raya.

Janitra memilik khodam pendamping yang berasal dari Timur. Namanya Lestari. Sejak malam pembebasan sukma, persahabatan beda dunia terjalin. Kedua tangan Lestari sudah tidak terbenggang kaku, karena kawat yang tertanam di kedua telapak tangannya sudah tidak lagi menyiksa tubuhnya. Lestari membalas budi dengan menjaga Janitra.

Berada di sebelah kiri dan siap menghadang di depan ketika Janitra mendapat serangan dari orang jahat.

Simak perjalanan Janitra dalam memecahkan misteri pasien-pasiennya yang memiliki masa lalu suram.

chap-preview
Free preview
Mata Hati
Semesta akan menunjukkan kehebatannya dalam memberikan pelajaran kepada manusia yang berani bertindak semena-mena di bumi-Nya. Hukum alam adalah hukum Tuhan dan tidak ada manusia yang bisa melarikan diri dari ini. Janitra Samana dia adalah seorang gadis yang berbeda dan unik. Awalnya memang ia tidak menyadari kalau dirinya terlahir dengan memiliki kemampuan yang sulit untuk dicerna logika. Ia berkali-kali menolak keunikan yang ada pada dirinya. Semakin ia berontak semakin ketajaman mata hati bertambah. Penolakan itu tidak mampu merubah dan menghilangkan kelebihan alami yang diberikan oleh Tuhan kepada Samana. Berulang kali menolak maka dirinya juga akan diberikan ujian berat sebagai pelajaran yang justru membuat dirinya semakin hebat. Samana yang rajin bangun di sepertiga malam terakhir. Untuk bisa bangun, ia tidak menggunakan jam alarm. Kebiasaan yang dilakukan membuatnya dengan mudah terbangun. Samana meyakini di dalam dirinya sudah ada alarm sejati yang mengaturnya untuk bisa terbangun. Setiap menjelang tidur, Samana selalu berdoa dan berkata di dalam hatinya agar bisa bangun untuk melaksanakan Shalat tahajud. Dan benar saja, itulah yang terjadi, ia pun selalu terbangun di jam-jam terakhir sang malam. Malam ini setelah selesai Shalat tahajud, terlihat tetap berada di atas sajadahnya dengan terus memutarkan tasbihnya untuk berdzikir. Hingga tanpa ia sadari, dirinya seolah telah berada di negeri makhluk astral. Samana merasakan kalau dirinya di suatu tempat yang sangat asing. Ini bukan dunia manusia. Namun, ini dunia manusia yang meninggal dengan tidak wajar. Di sini tempatnya para arwah gentayangan. Ia melihat seorang gadis cantik dan putih yang meminta pertolongan. Samana belum begitu jelas menyaksikan wajah gadis itu seperti apa. Karena sangat penasaran akhirnya Samana menghampiri dan bertanya kepada gadis itu. “Iiii … iiii … heemmmm … heemmmm. Ampun Ibu!“ ucap gadis itu sembari menangis. Di bawah pohon asam terlihat gadis seusia Samana yang sedang menangis, sepertinya dia kesakitan. Samana memperhatikan dengan seksama, jika gadis itu sedang tersiksa. Tangan kanan dan tangan kiri gadis itu membesar, begar dan kaku penuh luka. Jari jemari tangan tersayat, berdarah karena tertembus kawat pengait dari tali kecil, seperti tali jemuran atau sejenis kawat pekerja bangunan yang biasa untuk mengikat besi. "Tolong ...." "Aku mendengar suara minta tolong dan suara itu berasal dari sekitar sini," ucap Samana. "Hai ... tolonglah aku ...." "Benar aku bilang, memang ada yang meminta tolong," kembali Samana berucap. "Jika kamu bisa ke dunia ku, tolong bebaskan aku," pinta sosok gentayangan. "Minta tolong tapi bersembunyi," kata Samana. "Jika kamu mau menolong ku. Aku akan menunjukkan siapa aku." "Oh, dia masih terlalu muda. Masih malu-malu juga," ucap Samana. "Bagaimana apakah kamu mau menolong ku. Jika mau aku akan muncul. Aku harap kamu tidak takut melihat penampakan ku." “Siapa kamu?" Samana bertanya kepada gadis yang akhirnya menunjukkan wujudnya. Gadis itu duduk di bawah pohon asam yang rimbun dan besar. "Tolong, ihhiii ... iiihh." “Hai, kenapa tidak mau jawab. Bukankah tadi minta tolong." "A-ku ...." Keadaan justru terbalik. Malah hantu ini yang takut kepada Samana. "Jangan takut, aku tidak akan menyakiti kamu. Aku akan menolong mu. Katakan padaku, siapa nama kamu." Samana melangkahkan kakinya untuk lebih mendekat lagi kepada sosok itu. Samana terlihat penasaran dengan sosok itu, sebetulnya siapa. Manusia atau bukan, itu yang sedang ingin di ketahui oleh Samana. Srenggkkk, suara gadis itu menggesek tanah. Sepertinya ketakutan dengan teguran Samana. Ia memegang ranting kecil dan di gesekan ke tanah. Gadis itu masih diam dan belum mau menjawab siapa namanya. Gadis itu terlihat bersedih dan terus menangis sambil menenggelamkan wajahnya di pangkuannya. Lalu Samana mendekat dengan pelan. Terus ingin menegurnya lagi dan menegurnya lagi. Mengajaknya berkomunikasi dengan baik-baik untuk menghilangkan rasa takut gadis itu. “Shutttt. Jangan berisik. Malam-malam kok nangis, malu kalau di dengar kodok," tegur Samana kepada gadis itu. Samana mengangkat jari telunjuknya tepat di tengah bibirnya dengan maksud untuk menyuruh gadis itu agar tidak menangis lagi. "Aku takut," akhirnya gadis itu berkata. "Aku tidak jahat." "Benarkah?" sahut gadis itu. Gadis mengintip wajah Samana dari balik lubang jari jemarinya. "Tentu saja, coba lihat aku dan rasakan energi ku ini positif atau tidak." Gadis itu mengangkat wajahnya, mendongak dan mengamati Samana. "Iya, aku sedikit-sedikit merasakan sejuk." "Makanya aku bilang apa, jangan takut." "Aku tidak mengenal mu," kata gadis itu. "Sama, aku juga tidak mengenalmu." "Kenapa kamu tidak takut sama aku?" tanya gadis itu. "Jika aku baik, kenapa aku harus takut kepada mu!" jawab Samana. "Tentu saja kamu tidak takut. Kamu baik dan tulus." "Kamu sudah bisa merasakan energi ku jadi bisa berkata seperti itu," kata Samana. “Tolong aku!” pinta gadis itu sembari mengangkat wajahnya sejajar dengan separuh tubuh Samana. “Tolong! Kamu minta tolong apa?" Samana pun tidak ketakutan, karena gadis itu masih memperlihatkan dirinya dengan wajahnya yang segar, muda dan sangat cantik. "Iya,” jawab gadis itu dengan singkat. “Kamu siapa, maksudnya siapa nama kamu?” tanya Samana. “Lestari … Anjana Kayshila Lestari,” jawabnya. “Oh, Anjana Kayshila Lestari.' "Iya dan kamu bisa panggil aku dengan Lestari atau bisa juga Anjana." "Baiklah, Lestari. "Siapa kamu?" "Panggil saja, aku dengan Samana" "Iya Samana." "Jangan menangis lagi ya!" "Kenapa tidak boleh menangis?" "Tau gak, tangisanmu itu kenceng banget, berisik loh,” kata Samana. “Ehmmm,” jawab Anjana Kayshila Lestari disertai dengan anggukan. “Jadi udah ya … jangan nangis. Entar orang-orang pada bangun, keganggu tangisan kamu yang kencang itu,” ucap Samana. "Iya." Ia sengaja bicara lucu untuk menghibur Lestari supaya tidak nangis lagi. Samana dengan ramahnya menegur dan duduk di dekat gadis polos dan cantik dengan rambut lurus panjang tergerai bebas. "Kenapa tadi nangis dan minta tolong?" Samana bertanya. “Tolong! Tolong a-aku,” kata Lestari dengan terbata bata. Wajahnya memandang ke arah rumah di dekat pohon asam. "Tolong bagaimana?" "Aku tersiksa di sini." “Kamu menangis malam-malam di tempat ini, sampai-sampai mengguncangkan dunia perbatinan." "Tiap malam Jumat aku menangis, minta tolong. Siapa tahu ada yang mendengarnya. Jadi aku tidak bermaksud menakuti orang-orang. Justru aku takut sama orang, mereka ada yang jahat banget." "Kenapa milih malam Jumat buat nangis dan minta tolong?" tanya Samana. "Aku percaya hari Jumat jika ada penolong berarti dia di kirim Tuhan." "Oh seperti itu." "Tentu saja." "Kenapa tidak pulang? Apa kamu dimarahi orang tuamu?” tanya Samana. “Aku tidak bisa pulang, kamu tolongin tunjukkan aku jalan, ya. Aku ingin pulang." ungkap Lestari. "Kamu tidak bisa pulang!" Samana menirukan ucapan gadis itu. Samana diam sejenak sambil berpikir, kenapa gadis di bawah pohon asem tidak bisa pulang. Apa yang dimaksud dengan kata pulang. Pulang ke rumah singgah atau pulang ke rumah terakhir. Ada suara yang memanggil manggil gadis itu. Suara panggilan dari seorang ibu dan juga seorang laki-laki. Mereka berdiri tidak jauh dari tempat Lestari. Ibu dan putranya marah melihat Lestari mengobrol dengan manusia. Ia dilarang untuk dekat-dekat dengan penghuni dunia. Ibu itu tidak ingin manusia mendengar cerita dari Lestari. “Lestari! Lestari ...." Ibu itu melambaikan tangan ke arah Lestari. Matanya melotot tajam di balik raut wajah yang mengerikan. Wajah ibu itu terlihat tidak beraturan bentuknya. Itu semua karena luka bakar yang ia alami sebelum mati. "Aduh aku takut." "Lestari ke sini!" Panggil laki-laki yang berdiri di samping ibunya. Lestari menyembunyikan wajah di balik dua tangannya. Sesekali melihat lalu kembali menutup wajahnya lagi. Maklum ia seorang gadis yang pernah mengalami traumatik yang mendalam. Ia takut kepada mereka yang pernah melakukan penganiayaan kepadanya. Meskipun sudah meninggal Lestari masih memiliki ketakutan kepada ibu fan juga abang tirinya. "Aku tidak mau ikut Ibu. Aku tidak mau ikut Abang. Kalian jangan menyakiti ku lagi. Pergi dari sini ...." "Ayo!" Ibu itu bersikeras untuk mengajak Lestari pergi. "Tidak mau! Tolonglah aku ... suruh mereka pergi! Jangan biarkan mereka menyiksaku. Aku nanti bisa jahat dan membalas mereka. Aku tidak ingin ikut mereka, nanti aku jadi jahat," ucap Lestari. Serasa penderitaan gadis ini tiada akhir. Semasa hidup ia di sakit dan sudah mati masih juga ingin di sakiti sama mereka. Samana prihatin dan sangat kasihan melihat kejadian di masa lalu gadis ini. Jika saya ia bisa membebaskan Lestari, maka dengan ikhlas dan senang hati ia akan melakukannya. "Jangan takut! Ada aku di sini. Jika aku bisa menolong mu, maka akan aku lakukan," sahut Samana. "Lestari! Sini ...." Panggil seorang ibu kepada gadis muda yang berada di dekatnya Samana. Terlihat seorang ibu-ibu berambut keriting dengan anak lelaki yang berusia di atas Lestari. Ibu itu dari kejauhan berteriak dan bisa dilihat ia sangatlah marah kepada Lestari. Mereka memang bukan manusia lagi tapi sudah menjadi hantu yang gentayangan. Mereka gentayangan karena meninggal dunia dalam kecelakaan. Ia dan putranya terbakar di dalam rumah yang mereka tempati. Lilin yang tertiup angin menyambar korden dan menjalar ke kabel listrik. Seketika kilatan api dari melesat dari kabel yang beraliran listrik. Apa yang menimpa mereka merupakan akibat dari kecerobohan mereka sendiri. Jika sudah menggunakan listrik, tidak seharusnya menyalakan lilin. Tapi itulah kebiasaan yang dilakukan oleh ibu tirinya Lestari. Setiap malam Jumat selalu menyalakan lilin dan dupa. Jika malam tak membawa angin yang kencang tentu saja tidak akan terjadi kebakaran. Tapi jika saja mereka paham bahwa beberapa malam memang anginnya sangat kencang, seharusnya tidak menyalakan lilin. Mereka sendiri yang sebenarnya ceroboh. Mereka mengabaikan keselamatannya sendiri. Mereka keenakan tidur pulas sehingga tidak tahu nyawa telah di ujung tanduk.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
11.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
188.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
92.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
203.2K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.3K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook